[Hands-on] GoPro Hero8 Black, Racun Bagi Content Creator

Buat para video content creator, vlogger, atau YouTuber, serta traveler, penyuka kegiatan outdoor, dan olah raga ekstrem – GoPro Hero8 Black adalah racun buat kalian. Bentukan action camera ini mungil, tapi kemampuan perekam videonya amat powerful. Sebelum membahasnya lebih jauh, kita lihat dulu video berikut:

Ya, aksi (footage-nya) dan fitur-fitur GoPro Hero8 Black ini keren banget. Ada banyak peningkatan yang dibawa dibandingkan generasi sebelumnya, pertama ialah sistem stabilization HyperSmooth dan TimeWarp yang kini di-upgrade ke versi 2.0.

Menurut saya, kinerja HyperSmooth generasi pertama pada GoPro Hero7 series sudah cukup mengesankan, tapi memang masih ada beberapa batasan. Sedangkan, pada GoPro Hero8 Black, HyperSmooth 2.0 telah disempurnakan. Kini dapat diaplikasikan ke resolusi dan frame rate berapapun, serta dilengkapi perataan horizon dalam aplikasi.

Perlu diketahui, sistem stabilization ini aktif secara otomatis. HyperSmooth 2.0 juga menghadirkan mode Boost baru yang meningkatkan stabilisasi lagi saat dibutuhkan, dengan sedikit kompensasi berupa crop tapi tidak begitu signifikan.

PSX_20191031_111923

Sementara, dengan mode TimeWarp 2.0 – kita bisa membuat time-lapse dan memperlambatnya ke waktu nyata dengan mengetuk tombol dan ketuk lagi untuk mempercepatnya.

Terkait kemampuannya, kita masih menjumpai angka-angka yang sama seperti GoPro Hero7. Perekaman video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps, slow-motion 1080 240 fps, serta pengambilan foto beresolusi 12MP.

PSX_20191031_111830

Kualitas hasil foto, terutama yang diambil menggunakan mode HDR meningkat. Pengambilan foto dalam format RAW kini berlaku untuk semua mode, termasuk mode time-lapse dan burst. Selain itu, fitur Digital Lenses untuk video maupun foto, memungkinkan kita memilih focal length yang diinginkan (Narrow, Linear, Wide yang lebih bebas distorsi, dan SuperView yang paling lebar).

Untuk desainnya, tampang Hero8 masih identik dengan Hero7. Bedanya di bagian bawah Hero8, kini sudah dilengkapi pengait bawaan dan 14 persen lebih ramping.

Artinya, kita dapat memasangkan beragam aksesori tanpa perlu menggunakan case tambahan. Penggantian baterai dan microSD pun menjadi lebih cepat dan lensanya sekarang 2x lebih tahan benturan. Durabilitas fisiknya; Hero8 masih tahan air hingga kedalaman 10 meter tanpa perlu memakai apa-apa.

Apalagi? Posisi mikrofonnya, kini menghadap ke depan dengan peningkatan algoritma yang mengurangi derau angin sehingga mampu menghadirkan kualitas audio yang lebih baik.

Namun fitur Hero8 Black yang benar-benar baru adalah Mod. Aksesori modular ini berbeda dari aksesori standar GoPro pada umumnya. Tiga Mod pertama yang GoPro rilis untuk Hero8 Black akan tersedia pada bulan Desember dan dirancang untuk menyulap action camera tersebut menjadi senjata utama para vlogger.

Mod yang pertama ialah Media Mod berupa mikrofon tipe shotgun yang menancap ke sisi kanan Hero 8 Black. Ia mengemas sepasang cold shoe untuk menyambungkan aksesori tambahan, tidak ketinggalan juga port USB-C, HDMI dan adaptor 3,5 mm untuk mikrofon eksternal.

Mod yang kedua, Display Mod adalah layar lipat 1,9 inci yang bisa dihadapkan ke depan atau belakang. Untuk bisa menggunakan Mod ini, kita wajib memiliki Media Mod, sebab ia memanfaatkan cold shoe dari Mod tersebut.

Terakhir, ada Light Mod yang dapat membantu memperbaiki kondisi pencahayaan di lokasi vlogging. Flash eksternal ini tahan air sampai kedalaman 10 meter, dan ia dibekali sebuah diffuser agar sorotannya tidak terlalu berlebihan. Selain berdiri sendiri, Light Mod juga dapat dipasangkan ke Media Mod maupun ke mount standar GoPro.

Dengan Mod ini, GoPro Hero8 Black semakin optimal sebagai kamera vlogger. Tentu saja, masih banyak lagi fitur dan peningkatan lainnya. Sebagai content creator pastikan Anda sudah memiliki kamera utama – misalnya kamera mirrorless dengan lensa yang Anda butuhkan sebelum membeli GoPro Hero8 Black. Walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan GoPro Hero8 sebagai kamera utama.

GoPro Max

Kalau Anda ialah pengguna Hero7 series dan merasa peningkatan Hero8 Black masih kurang signifikan, maka yang satu ini menjadi opsi terbaik buat Anda. Adalah GoPro Max, sebuah action camera 360 derajat yang membawa hampir semua kelebihan Hero8 Black yang tak lain merupakan penerus GoPro Fusion yang dirilis dua tahun lalu.

GoPro mengibaratkan Max sebagai tiga kamera yang berbeda dalam satu kemasan: action camera, kamera 360 derajat, dan kamera khusus vlogging. Sebagai action camera, GoPro Max siap merekam video beresolusi 1440p 60 fps atau menjepret foto 5,5 megapixel, lengkap dengan Digital Lenses dan sistem stabilization HyperSmooth 2.0 milik Hero8 Black.

Lalu, sebagai kamera 360 derajat, GoPro Max siap menyajikan output video 360 beresolusi 5,6K 30 fps, dan lagi-lagi HyperSmooth kembali memegang peran penting. GoPro bahkan menyebut sistem stabilization milik Max ini sebagai yang terbaik dari semua penawarannya selama ini.

Lalu sebagai kamera vlogging, Max siap memudahkan pekerjaan lewat layar front-facing dan enam buah mikrofon yang, kalau menurut GoPro, kinerjanya pantas disetarakan shotgun mic. Kita bisa memilih memfokuskan pengambilan suara dari depan atau dari arah sebaliknya.

Harga & Ketersediaan

PSX_20191031_111816

Bekerja sama dengan Erajaya Group, GoPro pun resmi menghadirkan Hero8 Black dan Max ke Indonesia. Masing-masing dibanderol Rp6.999.000 dan Rp8.699.000. Hero7 Black turun harga menjadi Rp5.399.000.

Keduanya akan tersedia secara pre-order pada tanggal 1-7 November 2019 secara eksklusif hanya di EranyaGoPro.com dan Blibli.com. Dengan bundle promo khusus berupa Sleeve, lanyard, dan microSD card 32GB untuk Hero8 Black. Sementara, untuk Max akan mendapatkan baterai cadangan.

Kemudian GoPro Hero8 Black dan Max akan tersedia pada 15 November 2019 di seluruh jaringan ritel Erajaya Group, Erafone, iBox, Samsung Store by NASA (SES), dan Urban Republic. Mod akan tersedia untuk pre-order di GoPro.com pada bulan Desember.

 

GoPro Hero 8 Black dan GoPro Max Resmi Diluncurkan

GoPro punya action cam baru. Bukan cuma satu, melainkan dua sekaligus, yaitu GoPro Hero 8 Black dan GoPro Max. Max sendiri merupakan penerus dari Fusion, kamera 360 derajat yang GoPro rilis dua tahun lalu.

Kita mulai dari Hero 8 Black terlebih dulu. Desainnya memang nyaris tidak berubah jika dibandingkan Hero 7 Black, namun keistimewaan Hero 8 Black adalah kemudahannya untuk di-mount ke beragam aksesori tanpa harus dipasangkan ke dalam case terlebih dulu. Ini dikarenakan ia dilengkapi pengait terintegrasi yang tersembunyi di pelat bawahnya.

GoPro Hero 8 Black

Semua itu tanpa mempengaruhi durabilitas fisiknya; Hero 8 Black masih tahan air hingga kedalaman 10 meter tanpa dibungkus apa-apa. Juga sedikit berbeda adalah posisi mikrofonnya, yang kini menghadap ke depan demi menangkap kualitas audio yang lebih baik, lengkap dengan bantuan algoritma baru yang lebih efektif mengeliminasi gemuruh angin.

Terkait performanya, kita masih akan menjumpai angka-angka yang sama seperti pendahulunya: perekaman video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps, slow-motion 1080 240 fps, serta pengambilan foto beresolusi 12 megapixel. Yang disempurnakan adalah sistem stabilization internalnya, yang GoPro sebut dengan istilah HyperSmooth.

HyperSmooth 2.0, demikianlah nama sistem stabilization baru yang diusung Hero 8 Black. GoPro mengklaim kinerjanya mengompensasi guncangan meningkat cukup dramatis jika dibandingkan dengan HyperSmooth generasi pertama. Namun yang paling istimewa, HyperSmooth 2.0 dapat diaplikasikan ke resolusi dan frame rate berapapun.

Kualitas hasil fotonya juga disebut meningkat pesat, terutama yang diambil menggunakan mode HDR. Pengambilan foto dalam format RAW kini berlaku untuk semua mode, termasuk halnya mode time lapse maupun burst. Juga menarik adalah fitur Digital Lenses untuk video maupun foto, yang pada dasarnya membebaskan pengguna memilih focal length yang diinginkan (Narrow, Linear, Wide, dan SuperView yang paling lebar).

GoPro Hero 8 Black

Namun Hero 8 Black masih menyimpan satu fitur yang benar-benar baru, yakni Mod. Mod berbeda dari aksesori standar GoPro pada umumnya. Tiga Mod pertama yang GoPro rilis untuk Hero 8 Black misalnya, dirancang untuk menyulap action cam tersebut menjadi senjata utama para vlogger.

Mod yang pertama, Media Mod ($80), adalah mic tipe shotgun yang menancap ke sisi kanan Hero 8 Black. Ia mengemas sepasang cold shoe untuk menyambungkan aksesori tambahan, tidak ketinggalan juga port USB-C, HDMI dan adaptor 3,5 mm untuk mic eksternal.

GoPro Hero 8 Black

Mod yang kedua, Display Mod ($80), adalah layar lipat 1,9 inci yang bisa dihadapkan ke depan atau belakang. Untuk bisa menggunakan Mod ini, pengguna juga wajib memiliki Media Mod, sebab ia memanfaatkan cold shoe dari Mod tersebut.

Terakhir, ada Light Mod ($50) yang dapat membantu memperbaiki kondisi pencahayaan di lokasi vlogging. Flash eksternal ini tahan air sampai kedalaman 10 meter, dan ia dibekali sebuah diffuser agar sorotannya tidak terlalu berlebihan. Selain berdiri sendiri, Light Mod juga dapat dipasangkan ke Media Mod maupun ke mount standar GoPro.

GoPro Max

GoPro Max

Untuk Max, pembaruan yang diusungnya benar-benar signifikan jika dibandingkan dengan Fusion. Namun menurut saya keunggulan utamanya terletak pada fleksibilitasnya; selain mengabadikan momen dari segala sudut, Max juga dapat diperlakukan sebagai action cam biasa ketika diperlukan.

GoPro bahkan mengibaratkan Max sebagai tiga kamera yang berbeda dalam satu kemasan: action cam, kamera 360 derajat, dan kamera khusus vlogging. Sebagai action cam, Max siap merekam video beresolusi 1440p 60 fps atau menjepret foto 5,5 megapixel, lengkap dengan sistem HyperSmooth 2.0 maupun fitur Digital Lenses seperti milik Hero 8 Black.

Sebagai kamera 360 derajat, Max siap menyajikan output video 360 beresolusi 5,6K 30 fps, dan lagi-lagi HyperSmooth kembali memegang peran penting. GoPro bahkan menyebut sistem stabilization milik Max ini sebagai yang terbaik dari semua penawarannya selama ini.

Lalu sebagai kamera vlogging, Max siap memudahkan pekerjaan lewat layar front-facing dan enam buah mikrofon yang, kalau menurut GoPro, kinerjanya pantas disetarakan shotgun mic. Pengguna bahkan bisa memilih hendak memfokuskan pengambilan suara dari depan atau dari arah sebaliknya.

GoPro Max

Fleksibilitas semacam ini penting mengingat tidak semua orang suka menonton video 360 derajat, saya salah satunya. Dengan atau tanpa VR headset, saya kurang bisa menikmati video 360 derajat, apalagi mengingat kualitas gambarnya selalu kalah jauh dibandingkan video biasa.

Namun kamera seperti Max ini tetap bisa terkesan menarik bagi konsumen yang tak menyukai video 360 derajat seperti saya. Yang dicari bukanlah kemampuannya merekam dari segala sudut, melainkan kebebasan mengatur perspektif video standar dari hasil tangkapan 360 derajatnya – ibarat menjadi sutradara atas momen yang sempat diabadikan.

Dari segi desain, secara garis besar Max masih mempertahankan rancangan milik Fusion. Pengait tersembunyi seperti milik Hero 8 Black untuk memudahkan mounting juga ada di sini, akan tetapi ketahanan air Max cuma sampai kedalaman 5 meter saja, dan itu pun setelah pengguna memasangkan lensa protektif yang termasuk dalam paket penjualan.

Harga dan ketersediaan

20 Oktober adalah tanggal yang ditunjuk sebagai penjualan perdana GoPro Hero 8 Black di skala global. Harganya dipatok $400, dan GoPro masih akan memasarkan Hero 7 Black seharga $330 – Mod-nya sendiri baru bisa dibeli mulai bulan Desember. Untuk GoPro Max, pemasarannya bakal dimulai pada 25 Oktober, dan banderolnya dipasang $500.

Sumber: GoPro.

Layanan GoPro Plus Kini Tawarkan Kapasitas Penyimpanan Tak Terbatas untuk Foto dan Video dalam Resolusi Asli

Masih ingat dengan GoPro Plus, layanan berlangganan dengan tarif bulanan $5 yang diluncurkan pada tahun 2016 lalu? Layanan ini sebenarnya terkesan biasa saja, namun seiring waktu, GoPro terus menyempurnakannya sampai ke titik di mana Plus sekarang bisa dilihat sebagai layanan yang cukup esensial.

Esensial karena GoPro Plus sekarang menawarkan kapasitas penyimpanan yang tak terbatas, baik untuk foto maupun video. Oke, saya yakin Anda akan langsung teringat dengan Google Photos ketika membahas tentang layanan cloud storage dengan kapasitas unlimited, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa Google menerapkan kompresi supaya resolusi foto dan videonya tidak melebihi 16 megapixel dan 1080p.

Lain halnya dengan GoPro Plus. Semua foto dan video akan disimpan dalam kualitas aslinya, tanpa sedikitpun penurunan bit rate maupun resolusi. Ini berarti video 4K 60 fps hasil tangkapan GoPro Hero 7 Black bakal disimpan tanpa melewati proses kompresi sama sekali. Dan itu semua tanpa mengubah tarif berlangganannya, yang sampai saat ini masih dipatok $5 per bulan.

Batasan tentu masih ada. Yang paling utama, GoPro Plus jelas tidak bisa seenaknya kita pakai untuk menyimpan foto dan video dari smartphone. Kapasitas tidak terbatas itu murni untuk foto dan video yang diambil menggunakan kamera GoPro.

Di samping kapasitas tak terbatas, pembaruan lain GoPro Plus juga menyangkut benefit potongan harga untuk mayoritas aksesori yang dijual di situs GoPro. Sekarang, diskonnya dinaikkan dari 20% menjadi 50% buat para pelanggan GoPro Plus, dan ini berlaku secara global.

Sayangnya, untuk keuntungan lain GoPro Plus, yakni garansi penggantian kamera yang rusak, sampai saat ini masih berlaku bagi konsumen di Amerika Serikat saja. Kendati demikian, GoPro bilang bahwa benefit ini bakal mereka berlakukan untuk konsumen internasional mulai tahun ini.

Sumber: Engadget dan GoPro.

Firmware Update Wujudkan Peningkatan Resolusi pada Kamera 360 Derajat GoPro Fusion

Tren penyempurnaan kamera 360 derajat melalui firmware update terus berlanjut. Rylo memulainya pada bulan November lalu dengan merilis update yang meningkatkan resolusi kameranya dari 4K menjadi 5,8K. Tidak lama setelahnya, Insta360 juga mengambil langkah serupa guna menghadirkan opsi perekaman video HDR pada One X.

Tahun 2019 ini, giliran GoPro yang bertindak. Mereka baru saja meluncurkan firmware update versi 2.0 untuk kamera 360 derajat GoPro Fusion, dan pembaruan paling utamanya adalah peningkatan resolusi menjadi 5,6K, serta opsi perekaman 24 fps demi menyuguhkan hasil akhir yang lebih sinematik.

5,2K menjadi 5,6K memang terkesan seakan tidak ada artinya, akan tetapi GoPro bilang bahwa kamera sebenarnya menangkap gambar dalam resolusi 5,8K, sebelum akhirnya di-stitch menjadi 5,6K, sehingga hasil akhirnya semestinya tampak cukup tajam dan mendetail. Bagi penggemar time lapse, opsi perekaman 5,6K 24 fps ini juga bisa dipakai dalam mode tersebut.

Di samping peningkatan resolusi, update ini juga mendatangkan dukungan format RAW pada night mode maupun time lapse dengan interval 5 detik atau lebih. GoPro pun tak lupa meng-update software pendamping Fusion Studio agar kualitas gambar di hasil akhir video bisa semakin ditingkatkan, sekaligus menghadirkan integrasi yang lebih mudah dengan software seperti Adobe Premiere CC maupun After Effects CC.

Sumber: Engadget dan GoPro.

GoPro Luncurkan Trio Action Cam Baru: Hero 7 Black, Silver dan White

Sejak tahun 2016, GoPro rutin merilis action cam baru di bulan September. Di tahun 2016, GoPro Hero 5 Black datang membawa desain baru. 2017, GoPro Hero 6 Black hadir sebagai kamera pertama yang mengemas prosesor buatan GoPro sendiri. Tahun ini, GoPro menyiapkan tiga action cam baru sekaligus: Hero 7 Black, Hero 7 Silver dan Hero 7 White.

Seperti biasa, Hero 7 Black adalah bintang utama alias model flagship-nya. Gaya desain yang diperkenalkan Hero 5 masih dipertahankan, demikian pula bodi yang tahan air sampai kedalaman 10 meter tanpa bantuan casing. Sekali lagi yang berubah cukup signifikan adalah jeroannya.

GoPro Hero 7 Black

Prosesor GP1 kembali menjadi suguhan utama, akan tetapi GoPro sudah memodifikasinya lebih lanjut hingga mampu menghadirkan kapabilitas baru pada Hero 7 Black. Utamanya adalah sistem stabilization internal super-efektif yang dijuluki HyperSmooth.

Eksklusif untuk Hero 7 Black, HyperSmooth sanggup mengompensasi guncangan dengan luar biasa baik sampai-sampai hasil videonya kelihatan seperti direkam dengan bantuan gimbal, dan sistem ini pun tetap bisa bekerja meski kamera sedang dibawa menyelam. Komparasinya dengan generasi sebelumnya dapat Anda lihat sendiri pada video di bawah ini.

Hero 7 Black juga menjadi action cam pertama GoPro yang dibekali fitur live streaming. Video yang sedang direkam dapat langsung disiarkan ke berbagai platform seperti Facebook, YouTube atau Twitch. Juga baru adalah fitur bernama TimeWarp, yang akan menghasilkan video time lapse dengan efek yang sangat mirip seperti fitur Hyperlapse di Instagram.

Selebihnya, spesifikasi Hero 7 Black masih sama seperti Hero 6 Black. Resolusi video maksimum yang dapat direkam 4K 60 fps, plus 1080p 240 fps jika ingin mengambil video slow-motion. Foto dapat dijepret dalam resolusi 12 megapixel, dan Hero 7 Black turut dibekali fitur pemotretan HDR ala smartphone.

Beralih ke Hero 7 Silver dan Hero 7 White, keduanya jelas dipasarkan sebagai alternatif yang lebih terjangkau. Desainnya nyaris identik (dengan warna yang berbeda tentunya), akan tetapi LCD kecil yang ada di samping lensa Hero 7 Black absen di sini. Tonjolan lensanya pun lebih kecil jika dibandingkan Hero 7 Black.

Seperti yang saya bilang, fitur HyperSmooth cuma tersedia di Hero 7 Black, sedangkan Silver dan White cuma dibekali sistem stabilization internal standar. Beruntung layar sentuh 2 inci tetap ada di kedua kamera ini, demikian pula fitur pemanis macam kendali via perintah suara. Khusus Hero 7 White, ia adalah satu-satunya yang tak dilengkapi GPS.

GoPro Hero 7 SilverSoal spesifikasi, Hero 7 Silver mampu merekam video dalam resolusi maksimum 4K 30 fps, sedangkan resolusi fotonya turun menjadi 10 megapixel. Kalau Hero 7 Black dilengkapi HDR, Hero 7 Silver cuma WDR alias “wide dynamic range”.

GoPro Hero 7 White

Hero 7 White di sisi lain cuma bisa merekam video dalam resolusi 1080p 60 fps, dan resolusi fotonya juga cuma 10 megapixel, tapi tanpa HDR maupun WDR. Baik Hero 7 Silver maupun White mengemas baterai rechargeable yang tertanam, sedangkan Hero 7 Black bisa dilepas-pasang baterainya.

Rencananya, trio action cam baru ini akan dipasarkan mulai 27 September mendatang. GoPro Hero 7 Black dihargai $399, Hero 7 Silver $299, dan Hero 7 White $199. Pada generasi terbaru ini, seri Session yang berbentuk kubus sudah tidak ada lagi.

Sumber: PetaPixel dan GoPro 1, 2.

Cuma $1, Mobil Hot Wheels Ini Bisa Menggotong Action Cam GoPro

Berbekal banyaknya variasi mount yang tersedia, action cam buatan GoPro pada dasarnya bisa diletakkan di mana saja dan mengambil gambar dari beragam sudut. Namun pernahkah terpikir di benak Anda untuk merekam aksi balapan mobil Hot Wheels dari sudut pandang orang pertama?

Di YouTube, Anda sebenarnya bisa menemukan cukup banyak video-video seperti ini berkat kreativitas komunitas DIY, Namun sekarang sudah ada solusi resmi dari Mattel yang bekerja sama dengan GoPro. Namanya Hot Wheels Zoom In, dan tidak ada deskripsi yang lebih pas untuknya selain “mobil kecil penggotong action cam“.

Hot Wheels Zoom In for GoPro

Mainan ini memang tidak bisa dibilang canggih, namun kepraktisan dan fungsionalitasnya tidak boleh diragukan. Ia mampu menggotong action cam GoPro Hero Session atau Hero5 Session dengan mencengkeram bagian belakangnya menggunakan sebuah pengait, sehingga kamera bisa duduk tenang di tengah-tengah.

Selebihnya kita tinggal menguji kreativitas masing-masing dalam mengabadikan aksi dari sudut pandang orang pertama. Kalau niat, hasilnya bisa sekeren video berikut ini.

Bagian terbaiknya, harganya tidak berbeda dari mobil Hot Wheels standar, yakni cuma sekitar $1 di Amerika Serikat, sehingga secara teknis ia bisa disebut sebagai mount GoPro yang paling murah. Masalahnya hanya satu: baik Hero Session maupun Hero5 Session sudah di-discontinue oleh GoPro, jadi semuanya bergantung pada stok yang tersedia di pasaran.

Sumber: CNET.

Action Cam Terbaru GoPro Dihargai Cuma $200

GoPro kembali mendapat sorotan publik. Setelah mengumumkan strategi bisnis barunya belum lama ini, kali ini mereka memperkenalkan sebuah action cam baru yang secara spesifik ditujukan untuk konsumen baru, atau dengan kata lain, action cam berharga paling terjangkaunya.

Dinamai sesederhana GoPro Hero (tanpa embel-embel angka), action cam ini menawarkan keseimbangan yang pas antara harga dan kualitas. Hero6 dan Hero5 belum lama ini memang sudah turun harga masing-masing menjadi $400 dan $300, akan tetapi Hero yang paling gres ini malah lebih murah lagi di angka $200.

GoPro Hero

Tentu saja pemangkasan harga itu harus berujung pada hilangnya beberapa fitur unggulan milik kedua kakaknya yang lebih mahal, utamanya opsi perekaman video 4K. Kendati demikian, Hero masih sanggup merekam dalam resolusi 1440p ataupun 1080p, semuanya dalam kecepatan 60 fps, serta menjepret foto beresolusi 10 megapixel.

Desainnya nyaris identik dengan Hero6 maupun Hero5, dan Hero rupanya juga tahan air hingga 10 meter tanpa casing tambahan. Pengoperasiannya mengandalkan layar sentuh 2 inci di belakang, atau bisa juga dengan perintah suara. Lebih lanjut, sistem electronic stabilization telah disematkan, dan seperti biasa, kamera juga kompatibel dengan seabrek aksesori GoPro yang ada di pasaran.

GoPro Hero

Tidak ketinggalan adalah dukungan fitur QuikStories yang ada pada aplikasi pendamping GoPro, di mana koleksi rekaman dapat diedit menjadi satu klip secara otomatis. Kehadiran fitur ini sejatinya cukup krusial kalau yang menjadi target pasar adalah konsumen baru, atau lebih tepatnya mereka yang belum pernah memiliki action cam dan selama ini masih mengandalkan kamera smartphone.

Simpel, mengemas fitur dan spesifikasi yang lumayan, tapi dihargai terjangkau; kira-kira demikian deskripsi pendek yang cocok untuk GoPro Hero generasi terbaru ini. $200 memang masih terdengar mahal jika dibandingkan action cam lain yang ada di pasaran, tapi setidaknya Hero layak dipertimbangkan berkat dukungan ekosistem aksesorinya.

Sumber: DPReview.

GoPro Lisensikan Teknologi Besutannya ke Perusahaan Lain

Terlepas dari statusnya sebagai produsen action cam paling terkenal, GoPro masih tidak luput dari problem finansial. PHK atas ratusan karyawan sempat dilakukan pada bulan September tahun lalu, dan GoPro pun sudah resmi mundur dari bisnis drone.

Singkat cerita, GoPro perlu menerapkan strategi baru untuk bisa bertahan. Salah satunya adalah dengan melisensikan teknologi buatannya ke perusahaan lain. Perusahaan yang dimaksud adalah Jabil, yang bergerak di bisnis manufacturing, dan sebenarnya sudah bekerja sama dengan GoPro sejak dirilisnya action cam Hero4 di tahun 2014.

Menurut CTO GoPro, Sandor Barna, ini merupakan kesempatan bagi GoPro untuk menjadi pemasok lensa dan sensor gambar di bidang robotik, perangkat video conferencing dan mobil kemudi otomatis – tidak secara langsung, melainkan melalui Jabil, yang akan memproduksi komponen-komponen tersebut dengan merujuk pada blueprint GoPro.

Setidaknya untuk sekarang, kita tak akan melihat action cam lain yang menggunakan teknologi besutan GoPro. Dengan kata lain, Jabil hanya boleh memanfaatkan lisensi dari GoPro untuk produk-produk yang tidak bersaing secara langsung dengan lini produk GoPro. Ini penting mengingat GoPro sendiri saat ini sudah menerima serbuan dari banyak kompetitor.

Ini merupakan pertama kalinya GoPro melisensikan kekayaan intelektualnya ke perusahaan lain. Langkah ini bisa dibilang cukup berisiko, tapi selama bisnis action cam GoPro tidak terusik, upaya ini semestinya bisa membantu menyelamatkan GoPro dari keterpurukan, sekaligus menekan peluang terjadinya PHK massal lagi ke depannya.

Sumber: TechCrunch dan GoPro.

Belum Dua Tahun, GoPro Resmi Mundur dari Bisnis Drone

Sungguh malang nasib GoPro. Belum dua tahun menekuni bisnis drone, produsen action cam nomor satu itu sudah menyerah dan memutuskan untuk mundur sepenuhnya. Karma, drone perdananya yang diperkenalkan pada bulan September 2016, sudah berhenti diproduksi, dan GoPro akan meninggalkan area kekuasaan DJI ini sesaat setelah stok Karma habis.

Keputusan ini didasari oleh beratnya persaingan di segmen drone, ditambah lagi dengan tidak mendukungnya regulasi seputar drone di berbagai negara. Meski demikian, GoPro masih akan terus memberikan layanan purna jual bagi konsumen yang sudah terlanjur membeli Karma.

Apakah ini berarti GoPro juga akan berhenti memasarkan aksesori Karma Grip. Sayangnya sejauh ini belum ada informasi sama sekali mengenai hal tersebut. Andai ada demand yang cukup besar dari konsumen, saya yakin GoPro masih akan lanjut memproduksinya, akan tetapi lain ceritanya apabila GoPro benar-benar ingin melupakan kenangan pahitnya selama menggeluti segmen drone.

Kenangan pahit? Ya, sebab peluncuran Karma bukanlah tanpa masalah. Tidak sampai dua bulan setelah dipasarkan, semua unit Karma langsung ditarik oleh GoPro akibat masalah teknis. Tiga bulan setelahnya, barulah GoPro kembali memasarkan Karma setelah menginvestigasi penyebab masalahnya, yang ternyata cuma sesepele mekanisme pengunci baterai yang tidak optimal.

GoPro Karma

Problem lain yang juga mempengaruhi pengambilan keputusan yang mengejutkan ini adalah masalah finansial yang GoPro alami. Per akhir September kemarin, GoPro sudah merumahkan 254 karyawannya, yang sebagian besar berasal dari divisi drone. Bukti lainnya, GoPro memangkas harga jual Hero6 Black sebesar $100 meski action cam tersebut belum ada enam bulan terjun ke pasaran.

Isu keuangan ini sejatinya cukup serius. CNBC melaporkan bahwa beberapa bulan lalu GoPro sudah meminta bantuan institusi finansial kenamaan, J.P. Morgan, untuk mencari perusahaan yang tertarik mengakuisisi GoPro, atau sebatas kemitraan dengan perusahaan lain.

CEO GoPro, Nick Woodman, menjelaskan bahwa mereka mempertimbangkan peluang GoPro untuk menjadi anak usaha dari perusahaan yang lebih besar, dengan maksud supaya GoPro bisa bertumbuh dengan skala yang lebih besar lagi. Meski begitu, GoPro berharap bisa tetap beroperasi secara mandiri andaikata wacana ini bisa terwujudkan.

Sumber: Ars Technica dan GoPro.

12 Kamera Terbaik di Tahun 2017

2017 adalah tahun yang cukup menarik buat industri kamera. Tidak tanggung-tanggung, Sony meluncurkan dua kamera mirrorless kelas high-end sekaligus tahun ini, demikian pula Panasonic. Lalu ada Fujifilm yang terus mengimplementasikan fitur-fitur modern ke kameranya, demi menuruti permintaan pasar.

Di sisi lain, Nikon mengungkap DSLR paling komplet dan paling cekatan sepanjang sejarah, sedangkan Canon, well, Canon tetaplah Canon. Tahun ini juga menjadi saksi atas action cam baru GoPro yang mengemas prosesor buatan mereka sendiri. Tidak ketinggalan pula DJI yang terus menciutkan ukuran drone-nya sampai ke titik di mana kita bisa menganggapnya sebagai sebuah kamera.

Tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, berikut adalah 12 kamera terbaik yang dirilis di tahun 2017.

Sony a7R III

Sony a7R III

Mungkin inilah salah satu kamera yang paling dinanti kehadirannya tahun ini. Sony a7R III melanjutkan jejak a7R II yang dirilis dua tahun sebelumnya, membawa sederet peningkatan yang tidak kelihatan secara kasat mata. Utamanya peningkatan performa continuous shooting dan autofocus dalam kondisi low-light, serta opsi perekaman video 4K dalam format RAW.

Namun kalau menyimak ulasan-ulasan yang beredar di internet, fitur baru a7R III yang paling disukai adalah baterainya yang kini berkapasitas dua kali lebih besar. Pengoperasiannya juga lebih mudah berkat kehadiran joystick kecil di sebelah layar, serta layar sentuh yang bisa difungsikan sebagai touchpad untuk mengatur titik fokus.

Sony memang hampir tidak menyentuh sensor full-frame yang tersematkan padanya, tapi hasil foto maupun dynamic range-nya masih tetap merupakan yang terbaik saat ini, bahkan melampaui sejumlah DSLR kelas premium sekalipun.

Sony a9

Sony a9

Kalau a7R III sudah lama dinantikan, Sony a9 malah muncul di luar dugaan. Hasil fotonya memang tidak sefenomenal a7R, tapi toh sensor yang digunakan masih full-frame. Yang justru diunggulkan a9 adalah performanya, yang di titik tertentu bahkan bisa mengungguli DSLR.

Bagaimana tidak, a9 sanggup mengambil 362 gambar JPEG atau 241 gambar RAW tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Begitu cepatnya kinerja a9, foto-foto hasil ‘berondongannya’ dapat disatukan dan disimak sebagai video yang mulus. Tidak percaya? Tonton sendiri video di bawah ini.

Performa selama ini kerap dinilai sebagai kekurangan utama kamera mirrorless jika dibandingkan dengan DSLR, namun Sony a9 berhasil mematahkan anggapan tersebut.

Panasonic Lumix GH5

Panasonic Lumix GH5

Diperkenalkan secara resmi di awal tahun, Lumix GH5 meneruskan peran Lumix GH4 sebagai kamera mirrorless favorit para videografer. Kelebihannya? Ia mampu merekam video 4K dalam kecepatan 60 atau 50 fps secara internal dan tanpa batas waktu, alias sampai sepasang SD card yang terpasang terisi penuh.

Kedengarannya memang sepele, tapi hampir semua videografer pasti tahu kalau sampai sekarang pun belum banyak kamera lain yang sanggup melakukannya. Lumix GH5 juga masih mempertahankan gelar sebagai salah satu kamera dengan kemampuan mengunci fokus tercepat di hampir segala kondisi.

Panasonic Lumix G9

Panasonic Lumix G9

Seperti Sony a9, Lumix G9 juga diumumkan di luar ekspektasi. Tidak seperti GH5, kamera ini didedikasikan buat para fotografer, utamanya fotografer olahraga maupun satwa liar, yang mendambakan kamera mirrorless dengan kinerja yang amat ngebut.

Sebanyak 50 foto berformat RAW sanggup ia jepret tanpa henti dalam kecepatan 20 fps. Itu dengan continuous autofocus. Dengan single autofocus, kecepatannya malah naik tiga kali lipat menjadi 60 fps.

Sebagai bagian dari keluarga Lumix, G9 tentu saja masih mewarisi sistem autofocus super-cepat serta kemampuan merekam video 4K 60 fps, meski itu tak lagi menjadi prioritas utamanya. Seperti yang saya katakan, fotografer satwa liar adalah salah satu target utama G9, terlebih karena sasisnya sudah memenuhi standar weather resistant.

Fujifilm X-E3

Fujifilm X-E3

Sebagai pengguna Fujifilm X-E2, X-E3 jelas mendapat tempat spesial di hati saya. Desainnya masih mempertahankan gaya rangefinder yang dicintai banyak orang, tapi di saat yang sama ukurannya sedikit menciut sampai-sampai kita bisa tertipu dan menganggapnya sebagai kamera pocket saat tidak ada lensa yang terpasang.

Namun yang lebih penting untuk disorot dari X-E3 adalah bagaimana Fujifilm mendengarkan dan mewujudkan banyak masukan dari konsumen. Kalau sebelumnya hampir semua pengguna X-E2 tidak ada yang mau memakainya untuk merekam video (termasuk saya), X-E3 menghadirkan opsi perekaman video 4K 30 fps, lengkap dengan efek Film Simulation.

Navigasinya juga turut disempurnakan berkat kehadiran layar sentuh, plus joystick kecil yang sepenuhnya menggantikan tombol empat arah. Komitmen Fujifilm untuk mengadopsi teknologi-teknologi modern terus berlanjut sampai ke konektivitas Bluetooth LE yang memungkinkan X-E3 untuk terus terhubung ke perangkat mobile demi memudahkan proses transfer gambar.

Nikon D850

Nikon D850

Diumumkan tidak lama setelah Nikon merayakan ulang tahun yang ke-100, satu-satunya DSLR yang masuk dalam daftar ini bisa dibilang merupakan DSLR terkomplet sepanjang sejarah. Hilang sudah kebiasaan Nikon untuk menyisihkan fitur-fitur tertentu pada kamera termahalnya; D850 menawarkan hampir segala yang terbaik yang bisa diberikan oleh Nikon.

Resolusinya sangat tinggi (45,7 megapixel), performa autofocus-nya menyamai Nikon D5 yang dihargai nyaris dua kali lipatnya, serta konstruksinya tahan banting dan tahan terhadap cuaca buruk. Nikon bahkan mengambil langkah yang lebih jauh lagi dengan tidak melupakan aspek perekaman video, di mana D850 menawarkan opsi perekaman 4K 30 fps.

Juga jarang ditemukan pada DSLR kelas atas adalah layar sentuh, plus konektivitas Bluetooth LE yang menjadi rahasia di balik teknologi SnapBridge yang inovatif. Singkat cerita, D850 bukanlah kamera termahal Nikon, tapi Nikon terkesan tidak mau melewatkan satu fitur pun untuknya. Ini jelas berbeda dari apa yang Canon lakukan dengan 6D Mark II, yang bahkan tidak bisa merekam video 4K.

Canon G1 X Mark III

Canon G1 X Mark III

Tanpa ada maksud menjelek-jelekkan Canon, mereka sebenarnya merilis satu kamera yang cukup mengesankan tahun ini, yaitu G1 X Mark III, yang masuk ke kategori kamera pocket premium. Label premium sejatinya belum bisa menggambarkan kapabilitas kamera ini sebenarnya, sebab pada kenyataannya G1 X Mark III mengemas jeroan DSLR.

Bukan sebatas “ala DSLR”, tapi benar-benar spesifikasi milik DSLR, mulai dari sensor APS-C 24 megapixel, teknologi Dual Pixel AF, continuous shooting dalam kecepatan 9 fps, sampai viewfinder OLED beresolusi 2,36 juta dot. Semua ini dikemas dalam wujud yang tidak lebih besar dari mayoritas kamera mirrorless.

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Olympus OM-D E-M10 Mark III

Jujur sebenarnya OM-D E-M10 Mark III kurang begitu bersinar jika dibandingkan kamera mirrorless lain yang ada dalam daftar ini, akan tetapi hanya sedikit yang bisa menyainginya dalam hal keseimbangan harga dan performa. Yup, dengan modal $650 saja (atau $800 bersama lensa), Anda sudah bisa mendapatkan kamera yang bisa dibilang amat komplet.

Dibandingkan generasi sebelumnya, pembaruannya memang tergolong inkremental, namun setidaknya ia masih menyimpan opsi perekaman video 4K seperti kakaknya, OM-D E-M1 Mark II, yang berlipat-lipat lebih mahal. Lebih lanjut, sistem image stabilization 5-axis Olympus saya kira masih belum tertandingi sampai saat ini, dan itu pun juga hadir di sini.

GoPro Hero6 Black

GoPro Hero6 Black

Tampangnya sama seperti pendahulunya, akan tetapi Hero6 Black pada dasarnya bisa menjadi bukti atas kebesaran nama GoPro di ranah action cam. Ini dikarenakan Hero6 merupakan kamera pertama yang mengemas prosesor buatan GoPro sendiri, bukan lagi buatan Ambarella seperti sebelum-sebelumnya.

Perubahan ini penting dikarenakan belakangan mulai banyak action cam lain yang memakai chip buatan Ambarella, yang pada akhirnya menghadirkan peningkatan kualitas gambar dan performa yang cukup signifikan. Dengan menggunakan prosesor buatannya sendiri, GoPro setidaknya punya nilai jual unik yang tak bisa ditawarkan kompetitornya.

Keseriusan GoPro tampaknya terwujudkan cukup baik. Hero6 Black menjanjikan performa yang belum tersentuh rival-rivalnya, yang mencakup opsi perekaman video 4K 60 fps, serta 1080p 240 fps untuk slow-mo. Sampai detik ini masih belum banyak kamera atau smartphone yang mampu merekam 4K 60 fps ataupun 1080p 240 fps.

Rylo

Rylo

Satu-satunya kamera dalam daftar ini yang berasal dari pabrikan tak dikenal, Rylo sebenarnya dikembangkan oleh sosok yang tidak asing dalam perkembangan teknologi kamera. Mereka adalah pencipta Hyperlapse, teknologi image stabilization berbasis software yang efektivitasnya tidak kalah dibandingkan tripod.

Mereka memutuskan untuk memanfaatkan teknologi Hyperlapse pada kamera buatannya sendiri, dan dari situ lahirlah Rylo. Sepintas ia kelihatan seperti kamera 360 derajat pada umumnya, akan tetapi hasil rekaman beresolusi 4K-nya jauh lebih stabil dan mulus dibandingkan kamera lain di pasaran.

Tidak kalah menarik adalah kemampuan Rylo untuk mengesktrak video 1080p standar dari hasil rekamannya, sehingga pada dasarnya pengguna dapat menentukan ke mana ia harus membidikkan kamera setelah video selesai direkam. Fitur ini sama seperti yang diunggulkan GoPro Fusion, kamera 360 derajat perdana GoPro yang diumumkan bersamaan dengan Hero6 Black.

DJI Spark

DJI Spark

Oke, ini sebenarnya merupakan sebuah drone, tapi dengan dimensi yang tidak lebih besar dari iPhone 8 Plus (saat baling-balingnya terlipat), saya kira wajar apabila Spark dikategorikan sebagai kamera – kamera yang kebetulan saja bisa terbang, sekaligus bergerak dengan sendirinya, menghindari rintangan-rintangan yang ada tanpa input dari pengguna sama sekali.

Di sisi lain, saya pribadi melihat Spark sebagai drone pertama yang bisa digolongkan sebagai gadget mainstream. Pertama karena dimensinya yang mungil, kedua karena kemudahan pengoperasiannya yang berbasis gesture, dan ketiga karena harganya yang cukup terjangkau di angka $499.

Dengan modal yang sama, Anda memang sudah bisa mendapatkan kamera mirrorless yang cukup andal. Namun apakah kamera itu bisa terbang dan mengambil potret keluarga Anda bersama background pemandangan yang menawan dari ketinggian? Pastinya tidak, dan saya kira itulah yang menjadi nilai jual utama Spark sebagai sebuah kamera.

Google Pixel 2

Google Pixel 2 XL

Anggap saja ini sebagai honorable mention, tapi menurut saya Google Pixel 2 membawa pengaruh yang cukup besar pada peran smartphone sebagai kamera secara menyeluruh. Coba Anda telusuri berbagai ulasan atau video perbandingan kualitas kamera smartphone di internet, saya yakin hampir semuanya mengatakan bahwa Pixel 2 adalah yang terbaik saat ini.

Hasil fotonya sangat bagus, oke. Namun yang lebih penting lagi menurut saya adalah bagaimana Pixel 2 bisa membuktikan bahwa itu semua bisa diwujudkan melalui software, termasuk efek foto bokeh yang diandalkan oleh deretan smartphone berkamera ganda tahun ini.

Ya, Pixel 2 hanya dibekali masing-masing satu kamera saja di belakang dan di depan, tapi keduanya sama-sama bisa menghasilkan foto dengan efek blur yang tidak kalah dibanding smartphone lain yang berkamera ganda. Hardware memang penting, dan ini juga tidak mungkin terwujud tanpa teknologi Dual Pixel pada kamera Pixel 2, namun software dan AI memegang peranan penting dalam kinerjanya secara keseluruhan.

Ketergantungannya pada software juga berarti semuanya bisa ditingkatkan dengan mudah seiring berjalannya waktu. Poin lain yang menurut saya tidak kalah penting, Pixel 2 termasuk spesies yang cukup langka karena dua modelnya yang berbeda ukuran menawarkan kinerja kamera yang sama persis. Ini jelas berbeda dari tren yang diadopsi pabrikan lain, yang mengistimewakan kualitas kamera pada satu model tertentu.