Grab Ujicoba Layanan GrabFood di Jakarta

Persaingan layanan ride sharing dengan armada ojek di Indonesia semakin ketat. Imbasnya mereka harus cerdik melihat potensi apa yang bisa dikembangkan dengan armada ojek yang mereka miliki. Setelah Go-Jek hadir dengan beberapa layanan on-demand yang melengkapi layanannya, kini Grab salah satu pesaingnya meluncurkan versi beta GrabFood. Layanan pesan antar makanan untuk wilayah SCBD-Semanggi, Kuningan dan Senayan.

GrabFood akan berhadapan langsung dengan layanan Go-Food milik Go-Jek. Sama seperti layanan pesan antar lainnya, GrabFood mencoba memberikan layanan bagi mereka yang mencari kemudahan dalam membeli makanan tanpa harus repot-repot terjebak kemacetan di jalan.

“Kami melakukan uji coba beta GrabFood untuk mengatasi kendala tersebut (kemacetan dan lain-lain) dan bahkan memudahkan warga Jakarta untuk menikmati makanan dari restoran-restoran terkemuka di SCBD – Semanggi, Kuningan dan Senayan. Kami yakin bahwa hidangan lezat dapat diperoleh dengan mudah – hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi Grab pada ponsel cerdas Anda, dan Anda dapat segera menikmati makanan yang diinginkan, hangat saat disantap, diantarkan langsung dari dapur kepada Anda,” papar Group VP of Marketing Grab Cheryl Goh dalam rilis pers yang kami terima.

Dalam tahap uji coba ini layanan GrabFood terbatas melayani daerah SCBD – Semanggi, Kuningan dan Senayan, dan beroperasi terbatas pada pukul 11:00 – 14:00 WIB. Sedangkan untuk tarif dalam masa uji coba ini GrabFood memberikan promo diskon 50 persen menggunakan kode promo ‘CEPATDONG’ dengan tarif normal sebesar Rp.20.000.

Berdasarkan pantauan Dailysocial, GrabFood milik Grab ini pertama kali diuji coba untuk Indonesia di antara semua pasar Grab di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, layanan pesan antar berbasis aplikasi menjadi salah satu layanan primadona. Di konteks ini, sebelumnya sudah hadir layanan pesan antar makanan Grab (dahulu bernama Grab a Grub) yang berbasis di India yang tidak memiliki afiliasi dengan Grab di Asia Tenggara.

Application Information Will Show Up Here

Pemerintah Tetapkan Deadline 31 Mei 2016 untuk Uber dan Grab

Kehadiran aplikasi kendaraan online Uber dan GrabCar di Indonesia sempat tersandung polemik regulasi. Pegawai taksi konvensional sempat melancarkan aksi demo untuk meminta pemerintah melarang kedua layanan tersebut beroperasi. Tak tinggal diam pemerintah dikabarkan akan segera mengeluarkan regulasi mengenai hal tersebut. Pemerintah sudah menyusun sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi layanan aplikasi kendaraan online agar sah secara hukum yang berlaku di Indonesia.

Menurut Direktur Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto Iskandar, syarat-syarat yang keluarkan pemerintah tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) No 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek yang dikeluarkan pada 1 April 2016.

“Permen itu mengatur angkutan tidak dalam trayek, seperti taksi, angkutan sewa, pariwisata, dan lainnya,” Pudji seperti diberitakan Kompas, Rabu (20/4/2016).

Dalam pemberitaan lain, Pudji juga menuturkan bahwa dua layanan aplikasi kendaraan online (Uber dan Grabcar) diminta untuk memiliki izin penyelenggara angkutan umum. Antara lain dengan membuat badan usaha tetap yang bertanggung jawab terhadap operasional armada masing-masing dan membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Selain itu kedua perusahaan juga wajibkan untuk mendapatkan izin operasional. Salah satunya dengan cara memiliki minimal lima kendaraan yang dibuktikan dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atas nama perusahaan, memiliki pool, adanya fasilitas perawatan, dan pengemudi dengan SIM umum. Dijelaskan Pudji, batas akhir pemenuhan persyaratan tersebut jatuh pada tanggal 31 Mei 2016 mendatang.

“Ya kita lihat dulu nanti tanggal 31 Mei. Apakah saat itu mereka sudah memenuhi persyaratan atau belum. Kalau belum ya tidak (ilegal),” ungkap Pudji.

Selain legalitas, pemerintah rencananya juga akan mengatur soal tarif angkutan berbasis aplikasi. Perusahaan dan koperasi diperbolehkan membahas tarif yang akan diberlakukan di layanan, tetapi keputusan untuk menerapkan tarif tersebut tetap harus berdasarkan kesepakatan pemerintah.

Dalam pemberitaan Kompas disebutkan Pemerintah berencana mengatur ulang batas tarif atas dan tarif bawah untuk angkutan berbasis aplikasi. Rencana ini juga akan diberlakukan pada perusahaan taksi konvensional. Nantinya, saat surge pricing karena permintaan yang sedang tinggi, bakal ada nilai maksimum batas atas yang ditetapkan Pemerintah.

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan bahwa penerapan batas baru berguna untuk menciptakan iklim usaha yang setara. Sehingga angkutan berbasis aplikasi tidak bisa seenaknya mengatur tarif.

Saat ini kebijakan tarif batas bawah dan atas masih belum selesai dibahas. Andri menjelaskan, pihaknya tengah mengajak berbagai pihak untuk berunding mengenai penetapan tarif ini. Termasuk mengajak para ahli teknik dan ekonomi untuk menemukan tarif yang wajar.

“Sekarang ini mereka (Uber dan GrabCar) belum bayar pajak jadi tarifnya bisa murah. Kalau sudah ada PPn 10 persen dan penentuan tarif pasti harganya berubah,” katanya.

Persyaratan mempengaruhi model bisnis

Sementara itu, dikutip dari pemberitaan Kontan, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kamadibrata menilai Permen No 32 tahun 2016 ini akan meresahkan pengemudi dan juga akan berpengaruh pada model bisnis yang ada di industri ride sharing selama ini.

Ridzki menjelaskan bahwa Grab sampai saat ini masih mempelajari soal detil-detil dalam Permen tersebut. Saat ini mereka sedang memastikan para mitra koperasinya memenuhi arahan pemerintah dengan merujuk pada peraturan sebelumnya.

“Kami akan selalu berusaha untuk memenuhi segala ketentuan dan aturan lokal yang berlaku, terutama terkait keamanan dan pajak,” terangnya.

Keresahan yang diutarakan Ridzki cukup masuk akal, terutama pada persyaratan mengenai keharusan STNK kendaraan harus atas nama perusahaan. Seperti diketahui layanan seperti Uber dan Grabcar selama ini hanya menyediakan aplikasi, kendaraan yang beroperasi adalah kendaraan milik mitra. Sebuah persyaratan yang mengganggu model bisnis.

Melihat Sisi Lain Pembayaran Transaksi Online

Pilihan pembayaran untuk transaksi online secara global selama ini didominasi oleh penggunaan kartu kredit. Dipilihnya pembayaran kartu kredit memiliki beberapa alasan pendukung, termasuk kemudahan, kebiasaan, dan tentunya cashless. Meskipun demikian, sangat riskan jika sebuah layanan, apalagi layanan global yang tidak mengenal kearifan lokal, bersikukuh hanya mengadopsi satu jenis layanan pembayaran.

Saya sendiri cukup menyukai pembayaran dengan kartu kredit untuk beberapa pembayaran yang saya lihat relevan, seperti membeli tiket pesawat, memesan hotel, dan membeli produk dari e-commerce asing. Namun ketika saatnya melakukan transaksi di tanah air, saya sedikit enggan untuk memasukkan nomor kartu kredit dan melakukan pembayaran. Ternyata pemikiran seperti ini tidak saja dirasakan oleh saya, tapi juga kebanyakan masyarakat Indonesia.

Rasa kepercayaan yang rendah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara di Asia dengan angka yang rendah dalam hal penetrasi kartu kredit. Kisarannya hanya di angka 3-4% dari total jumlah penduduk.

Hal ini menjadi tantangan startup, perusahaan teknologi, hingga industri e-commerce yang ada di Indonesia saat ini. Keraguan masyarakat memanfaatkan kartu kredit untuk pembayaran transaksi online, dengan alasan keamanan atau sekedar tak ingin berhutang, membuat sebagian perusahaan ragu bahkan cenderung pesimis menawarkan pembayaran dengan cara kartu kredit.

Karena kurangnya rasa trust yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, pembayaran dengan cara Cash On Delivery (COD) pun kemudian menjadi pilihan utama di awal berdirinya situs sosial commerce seperti Kaskus. Selain itu pilihan lainnya yang populer adalah RekBer atau rekening bersama, yang juga dipopulerkan oleh Kaskus.

Masyarakat Indonesia memerlukan sebuah jaminan dan pihak yang bisa dipertanggungjawabkan dalam hal pembayaran. Karena alasan itu pula, kedua jenis pembayaran tersebut sangat populer di masa awal kebangkitan industri e-commerce dan hingga kini masih terus digunakan.

Bank transfer dan internet banking

Pihak bank merupakan salah satu pihak yang paling diuntungkan dengan makin maraknya industri e-commerce dan ragam online shop di Indonesia. Ketika pilihan COD dan RekBer bukan menjadi pilihan beberapa e-commerce, mulai muncul kemudian pembayaran melalui bank transfer dan internet banking, yang kemudian diadopsi oleh banyak layanan e-commerce, startup dan perusahaan lainnya di Indonesia.

Saya sendiri lebih memilih pembayaran dengan cara bank transfer atau internet banking ketika ingin berbelanja online di layanan e-commerce atau fashion e-commerce yang ada di Indonesia. Selain semakin mudah, dengan ketersediaan virtual account atau integrasi dengan internet banking, penggunaan layanan ini biasanya bebas biaya tambahan yang membuatnya semakin menarik untuk lebih sering digunakan.

Bangkitnya pilihan pembayaran alternatif, dari convenience store hingga e-wallet

Layanan video on-demand video seperti HOOQ hingga streaming musik seperti Spotify mencoba mendobrak pakem layanan internasional, atau regional, yang mengandalkan pembayaran dengan kartu kredit.

Kehadiran Spotify di Indonesia Maret silam cukup mencengangkan, tidak hanya saya tetapi juga semua pelaku startup dan konsumen pada umumnya dengan pilihan pembayaran yang sangat bervariasi yang ditawarkan Spotify, mulai dari bank transfer, internet banking, e-wallet, carrier billing, dan gerai seperti Alfa. Hal ini membuktikan bahwa produk internasional pun akhirnya mengadopsi kebiasaan lokal demi mendapatkan lebih banyak konsumen.

Pembayaran tunai masih belum pudar

Layanan transportasi on-demand seperti Grab dan GO-JEK telah membuktikan bahwa pembayaran dengan cara tunai masih menjadi pilihan utama para pengguna. Hal ini kemudian yang langsung ditangkap UBER, yang sebelumnya hanya menawarkan pembayaran melalui kartu kredit.

Meskipun sudah memiliki banyak pelanggan tetap, UBER melihat pilihan pembayaran dengan kartu kredit membatasi lebih banyak konsumen di Indonesia untuk menggunakan UBER. Salah satu konsumen tersebut adalah saya!

Setelah melakukan serangkaian uji coba, akhirnya secara resmi awal tahun 2016 UBER mengeluarkan pilihan pembayaran dengan uang tunai. Saya pun kemudian secara rutin menggunakan UBER setelah pembayaran dengan uang tunai diresmikan. Terima kasih UBER!

Kesimpulan yang saya ambil adalah layanan, fitur, atau produk yang ditawarkan kepada konsumen di Indonesia yang bertahan pada satu jenis metode pembayaran, misalnya kartu kredit, tidak akan membantu adopsi layanannya secara eksponensial.

Hal ini patut dicermati oleh pelaku startup global yang hendak masuk ke ranah online Indonesia untuk selalu memberikan pilihan pembayaran lain dan jangan hanya mengandalkan kartu kredit. Tidak melulu soal akuisisi pelanggan baru, tetapi bagaimana konsumen merasa nyaman untuk menggunakan layanan dalam jangka panjang dan membelanjakan uangnya dengan lebih mudah.

Grab Beberkan Informasi Layanannya di Echelon Indonesia 2016

Dalam presentasinya di ajang Echelon Indonesia 2016, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyebutkan secara singkat data layanan Grab, misi yang ingin dicapai oleh Grab, dan strategi yang dilakukan untuk pasar lokal.

Pertumbuhan Grab saat ini disebutkan rata-rata 35% per bulan untuk yang GrabCar, dan 75% per bulan untuk GrabBike. Grab sendiri telah menyediakan layanan di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam dan Indonesia. Setidaknya ada 4 layanan yang telah bisa dinikmati di sini, yaitu GrabTaxi, GrabCar, GrabBike dan GrabExpress.

grab

Saat ini Grab telah memiliki 250 pengemudi di enam negara dan melayani 30 kota dengan akses dari aplikasi di 13 juta perangkat. Selain menjalankan layanan yang telah ada, Grab juga mempersiapkan layanan lain, yaitu GrabHitch, layanan carpooling yang secara fungsi tak berbeda jauh dengan Nebengers.

Sebagai perusahaan berbasis teknologi mobile, Grab sendiri telah mendapatkan investasi mendekat $700 juta 2 tahun setelah berdiri. Sebagai startup ia juga bekerja sama dengan perusahaan lain yang lebih besar seperti Ola, Didi Kuaidi, dan Lyft dalam menghadapi persaingan global dengan kompetitor.

Ridzki bercerita misi perusahaan yang diemban Grab adalah menyediakan layanan transportasi teraman di Asia Tenggara, menjadikan transportasi mudah dijangkau oleh semua orang, dan meningkatkan taraf hidup para mitra dalam hal ini adalah pengemudi.

Yang terpenting bagi Grab dalam menjalankan perusahaan adalah menciptakan nilai (lebih) bagi pengguna dan mitra mereka. Sisi keamanan yang di-cover Grab tidak hanya dari sisi aplikasi, tetapi juga proses penyediaan layanan secara menyeluruh, termasuk rekrutmen supir.

grab 1

Layanan Grab memang menjadi sorotan akhir-akhir ini terutama dari sisi peraturan dan ‘benturan’ dengan beberapa layanan transportasi lain, terutama untuk GrabCar dan juga GrabBike. Menyinggung hal ini, Ridzki menjawab cukup diplomatis bahwa Indonesia merupakan wilayah yang unik dan Grab terbuka untuk mendukung regulasi pemerintah. Meski belum sempurna sebagai layanan transportasi publik, layanan Grab jelas dibutuhkan masyarakat sebagai alternatif pilihan.

Tentang pasar lokal, Grab mencoba untuk melakukan pendekatan hyperlocal. Jadi ada kemungkinan menjalankan layanan yang secara khusus hanya hadir di Indonesia.

Konflik Taksi dan Layanan Pemesanan Transportasi Online Masuki Masa Transisi

Grab dan Uber dinyatakan harus memenuhi beberapa persyaratan dalam masa transisi yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Sementara ini kedua perusahaan tersebut berada dalam kondisi status quo yang masih beroperasi seperti sediakala, namun tidak dapat melakukan ekspansi.

Kericuhan panjang antara perusahaan taksi dan layanan pemesanan taksi online ini memaksa pemerintah selaku regulator sekaligus mediator menjalani serangkaian pertemuan untuk mencari solusi terbaik.

Sebagaimana yang telah diketahui dan dipercaya, Grab dan Uber sepakat untuk tetap menjadi perusahaan berbasis teknologi sebagai penyedia layanan. Hal tersebut dikabulkan. Kendati demikian, persyaratan lain yang muncul ialah izin penyelenggaraan armada dari kedua perusahaan tersebut, solusi yang ada yaitu menggandeng badan hukum (koperasi) yang akan bertindak sebagai pengelolanya.

“Bukan perusahaan aplikasinya ya, tapi kendaraannya apakah ini beroperasi secara legal atau tidak. […] Justru ini sangat efisien, saya malah mendorong semua transportasi publik pakai teknologi informasi,” papar Menteri Perhubungan Ignasius Jonan (22/3).

Dalam hasil rapat terbatas pada hari Rabu (23/3) kemarin, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menuturkan saat ini pemerintah sedang memberlakukan masa transisi guna memberikan kesempatan kepada armada jasa angkutan umum yang belum memiliki izin, menurut pemberitaan Kompas.

Masa transisi ini mewajibkan Grab dan Uber untuk segera menuntaskan kewajibannya untuk mengurus legalitas armada yang terdaftar di layanannya. Pembentukan koperasi melingkupi mengurus izin sebagai perusahaan penyelenggara angkutan umum, mengurus pendaftaran kendaraan, KIR, dan lainnya. SIM A Umum nampaknya juga menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengemudi.

Operasional akan berjalan seperti sedia kala, namun ada batasan penambahan armada yang diberlakukan.

“Selama masa transisi angkutan umum yang ada kita nyatakan dalam kondisi status quo. Artinya, yang sudah terdaftar sekarang sudah operasi, tetap beroperasi, tapi tidak melakukan ekspansi. […]Apabila dalam masa transisi itu tidak dipenuhi, maka berlaku lah ketentuan perundangan yang berlaku. Maka ada tindakan yang tegas,” ujar Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sugihardjo.

Menurut kami, solusi ini bukanlah yang terbaik, meskipun lebih baik daripada pemblokiran. Skema yang dijalani cenderung memaksakan inovasi dari para pelaku usaha (Grab dan Uber) untuk patuh dalam peraturan dan regulasi yang kaku. Menolak merevisi atau merumuskan regulasi baru, Jonan bersikukuh bahwa konflik ini bisa dipadamkan dengan peraturan yang ada.

“Saya rasa enggak ada regulasi yang perlu diubah, enggak perlu evaluasi undang-undang, itu salah dan pernyataan keliru,” tandas Jonan yang enggan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

Grab Dukung MatahariMall Kembangkan Layanan O2O

Satu lagi strategi online-to-offline (O2O) dilancarkan Lippo Group untuk MatahariMall. Kali ini mereka bermitra dengan Grab dalam hal pengantaran dan pengambilan barang. Armada Grab akan menjadi salah satu layanan kurir mitra MatahariMall.

Dalam membangun layanannya, O2O selalu menjadi fokus yang ditonjolkan MatahariMall, misalnya dengan membangun loker di berbagai tempat, dan kemitraan kali ini berusaha meningkatkan image tersebut. Lippo Group sendiri tidak asing bagi Grab, karena sebelumnya dikonfirmasi bahwa Lippo Group merupakan early backer Grab.

“Kami bangga dapat bermitra dengan Grab dan percaya bahwa kolaborasi dari dua perusahaan teknologi dan internet terdepan di Asia Tenggara ini akan dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkesinambungan,” ujar Executive Director Lippo Group Emirsyah Satar dalam rilisnya hari ini.

”MatahariMall tengah muncul sebagai platform e-commerce nomor satu di Indonesia, dan skala dan pertumbuhan dari Grab dalam ranah bisnisnya di Indonesia telah mendemonstrasikan pemahaman yang mendalam terhadap pasar lokal Indonesia. Dengan menggabungkan wawasan kami terhadap pasar Indonesia, hal ini akan membantu kami untuk membangun pengalaman online-to-offline yang paling efektif untuk memastikan bahwa pembeli online di mana pun di Indonesia dapat menerima atau mengambil pembelian mereka dengan mudah,” ungkap Direktur Lippo Group John Riady.

[Baca juga: Grab Siap Uji KIR, Tawarkan Dua Opsi Pajak, dan Kerja Sama dengan Koperasi PPRI]

Co-Founder dan Group CEO Grab Anthony Tan menambahkan, “Lippo Group dan Grab merupakan perusahaan yang lahir dan bertumbuh di Asia Tenggara. Teknologi dapat menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi, dan kami berdua telah berinvestasi untuk membuka ekonomi digital kepada seluruh masyarakat Indonesia. Untuk Grab, kemitraan ini berarti menggunakan teknologi untuk membantu pengguna layanan transportasi dapat melewati kemacetan lalu-lintas, dan memberikan mitra pengemudi penghidupan yang lebih baik dan berkesinambungan.”

Seperti apa dan berapa biaya yang ditawarkan oleh Grab terkait dengan kemitraannya dengan MatahariMall masih belum diungkapkan dengan jelas. Grab sendiri memiliki armada terdedikasi GrabExpress yang memang ditujukan untuk kemudahan pengantaran barang. Selain GrabExpress, ada kemungkinan pengantaran dilakukan menggunakan GrabCar untuk kapasitas yang lebih besar. GrabCar di Indonesia sendiri telah tumbuh 30 persen dibanding bulan sebelumnya pasca pengumuman rebranding Grab pada bulan Februari 2016.

GrabCar sendiri, dan Grab secara umum, baru saja “menyelesaikan” polemiknya dengan armada taksi konvensional dengan menjanjikan siap mengikuti uji KIR, menjanjikan dua opsi pembayaran pajak, dan mewadahi asosiasi mitra pengemudi dalam bentuk koperasi.

“Kami berterima kasih kepada masyarakat Indonesia karena telah mempercayai Grab untuk menghadirkan tumpangan yang aman dan nyaman, dan kami akan terus bekerja sama dengan mitra lokal kami seperti Lippo Group dan pemerintah untuk terus meningkatkan transportasi publik di Indonesia,” kata Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Grab Siap Uji KIR, Tawarkan Dua Opsi Pajak, dan Kerja Sama dengan Koperasi PPRI

Setelah sebelumnya resmi bekerja sama dengan Koperasi Jasa Perkumpulan Pengusaha Rental Indonesia (PPRI), Grab Indonesia menyatakan kesiapannya untuk melakukan uji KIR untuk armada GrabCar. Nantinya seluruh mitra yang bergabung bersama aplikasi Grab bisa melakukan uji KIR, sesuai dengan permintaan dari pemerintah DKI Jakarta terkait dengan penetapan wajib pajak terhadap GrabCar sebagai penyedia aplikasi transportasi.

“Setelah ada pengesahan koperasi ini, kami siap uji KIR sesuai arahan Dinas Perhubungan. Kami juga sudah menyiapkan mekanisme pembayaran pajak. Ada dua opsi yang kami siapkan,” ujar Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata kepada Beritasatu.

Opsi pembayaran pajak yang direkomendasikan Grab terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu dengan pembayaran uang tunai, nantinya semua pajak akan dibayarkan oleh pihak koperasi dalam hal ini Koperasi Jasa Perkumpulan Pengusaha Rental Indonesia (PPRI).

Opsi kedua adalah pembayaran dengan menggunakan kartu kredit, semua transaksi dari pengguna yang menggunakan kartu kredit akan dibayarkan secara otomatis oleh Grab. Terkait dengan pembahasan tarif, pihak Grab menyebutkan tidak akan sama dengan mekanisme perhitungan dengan Gubernur seperti yang selama ini dilakukan oleh taksi pada umumnya, Grab mengklaim sebagai angkutan sewa seluruh perhitungan tarif ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar.

Peranan koperasi untuk akuntabilitas Grab

Kerjasama yang telah dilakukan oleh Grab selaku perusahaan penyedia aplikasi merupakan langkah positif yang diambil oleh Grab untuk bisa tetap eksis dalam menjalankan usahanya. Diharapkan dengan kemitraan ini, beberapa keluhan serta permintaan yang ada terkait dengan kehadiran Grab yang tidak memiliki badan hukum, bisa terjawab.

“Dengan berkoperasi, artinya kita sudah memiliki wadah secara resmi untuk menjalankan usaha sewa mobil, termasuk yang menggunakan aplikasi teknologi. Kita disatukan dalam satu wadah koperasi,” kata Ketua Koperasi Jasa PRRI Ponco Seno kepada Beritasatu.

Banyak kelebihan serta manfaat yang nantinya akan diberikan oleh PRRI kepada para pengemudi atau mitra dari Grab, di antaranya adalah mengadakan program untuk kesejahteraan anggota koperasi dan keluarganya.

“Beberapa manfaatnya adalah kita menyiapkan asuransi jiwa untuk para pengemudi. Koperasi juga sudah memiliki pool bengkel untuk sekitar 300 unit mobil. Bahkan, nantinya, koperasi akan bekerja sama dengan bengkel lain dan ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) dalam hal perawatan mobil para anggota koperasi,” kata Ponco.

Kemitraan dengan PRRI dianggap telah memenuhi peraturan pemerintah untuk menjalankan bisnis transportasi di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 22/2009 tentang angkutan umum.

Application Information Will Show Up Here

Bisnis Konvensional, Teknologi, dan Pertentangan yang Berlarut-larut

Kreativitas kerap menjadi tuntutan yang mengerikan bagi perusahaan besar (yang bersifat konvensional). Kata tersebut mewajibkan pihaknya untuk berani menghadapi risiko. Dalam kasus ini, risiko yang dihadapi adalah keterpurukan bisnis atas kompetisi yang gagal diantisipasi. Organda DKI yang cukup vokal dalam menyuarakan penentangannya terhadap layanan pemesanan transportasi daring, seperti Uber dan GrabCar, kembali menggelar demo untuk menuntut pemblokiran kedua aplikasi tersebut [yang konon mengancam pundi-pundi kasnya]. Gagal bersifat kreatif, Organda mewakili perusahaan transportasi memilih untuk menjadi bebal, yang sialnya turut didukung oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

Senin 14 Maret 2016, Jonan meneken surat rekomendasi pemblokiran Uber dan GrabCar yang dibarengi demo oleh ratusan pengemudi taksi di sejumlah titik di Jakarta. Menhub menilai perusahaan tersebut melanggar pasal 138 ayat (3), Pasal 139 ayat (4), Pasal 173 ayat (1) UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua perusahaan itu dinilai memberikan keresahan dan konflik di kalangan pengusaha angkutan resmi dan pengemudi taksi resmi. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang diminta Menhub Jonan untuk segera memblokir kedua aplikasi tersebut menilai keputusan tersebut di luar kebijakannya, seperti dikutip dari Rappler.

“Dari sisi Kemkominfo, kami tidak relevan mengatur mengenai regulasi. Hal itu seharusnya ditangani oleh Kemenhub, Dishub daerah dan Pemda,” kata Rudiantara.

Jika berbicara bisnis sebagai penyedia layanan, kepuasan masyarakat sebagai konsumen merupakan faktor yang esensial. Menuntut dengan alasan “keresahan dan konflik di kalangan pengusaha” bukanlah urusan yang ingin diketahui masyarakat, apalagi jika harus terkena imbas macet.

Uber dan Grab sendiri diberitakan akan dan telah mengurus izin mendirikan perusahaan legal, dengan tetap berpegang teguh bahwa mereka perusahaan teknologi, bukan transportasi. Meski Uber dan Grab terus mencoba memenuhi syarat Kemenkominfo, Organda selalu mencoba mengeksploitasi celah yang bisa dimanfaatkan untuk menjegal operasionalnya. Memposisikan diri sebagai korban, Ketua Organda DKI Jakarta, sekaligus Direktur Taksi Express, Shafruhan Sinungan menyatakan bahwa Uber dan Grab memberikan dampak negatif seperti penurunan pendapatan, merumahkan ribuaan kendaraan, dan membayar kredit ke bank.

“Ya rugi dong. Biaya operasional gede, sementara pemasukan dikit. Mending tinggalin aja itu mobil. Kan jadi nganggur (sopir),” kata Shafruhan.

Mungkin jika awalnya CEO dan pendiri Uber Travis Kalanick memiliki banyak uang dan armada taksi yang besar, tentunya lebih banyak pilihan cara untuk memasarkan produknya (membangun aplikasi mobile misalnya), dan jadilah perusahaan taksi bersenjatakan aplikasi mobile. Tapi Uber tidak berangkat dari sana, Ia hanya menyederhanakan proses yang  menghubungkan penumpang dengan solusi transportasi. Jika tetap mewajibkan Uber melalui proses birokrasi untuk terdaftar sebagai perusahaan taksi, menuruti sistem argo yang dipatok Organda, segalanya tidak bertambah mudah. Perusahaan teknologi tidak bekerja seperti itu. Mereka ingin mendobrak hegemoni yang sudah ada, yang kadang tidak sinkron dengan peraturan yang berlaku.

Terlepas dari urusan perpajakan dan badan hukum, sebagai layanan transportasi berbasis teknologi, jelas kisruh yang berlarut-larut ini adalah tentang kompetisi dan keengganan bisnis konvensional untuk adoptif terhadap teknologi

Masyarakat memilih menggunakan Uber dan Grab karena (1) kenyamanan pemesanan (2) kemudahan pembayaran (3) fasilitas tracking kendaraan, berbagi rute, informasi dan rating pengemudi, dan berbagi fitur teknologi lainnya. Blue Bird dan Taksi Express sesungguhnya sudah mulai berusaha ke arah sana, tapi secara kualitass masih jauh dari apa yang disajikan oleh Uber dan Grab. Daripada menghabiskan energi untuk berdemo dan mempertahankan status quo, kapan kami bisa menikmati 3 poin tersebut dari layanan transportasi yang sudah ada saat ini?

Grab Indonesia Targetkan Miliki 50% Pasar Transportasi Roda Dua

Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata kemarin (3/2) secara resmi memperkenalkan Grab Indonesia sebagai entitas baru. Mempersatukan seluruh layanan transportasi di bawah satu bendera, Grab ingin menjaga momentum dari serangkaian pencapainnya di Indonesia.

Dengan wajah yang direpresentasikan oleh logo baru Grab sebagai filosofi kebebasan yang diusungnya. Dua garis pada logo baru tersebut terinspirasi dari jalan raya, dan mewakili jalan dengan segala kemungkinan yang tak berujung. Logo tersebut merupakan simbolisasi dari perjalanan baru Grab bersama dengan para mitranya, baik penumpang, pengemudi, karyawan, dan masyarakat pada umumnya.

“Kami merasa rebranding ini datang pada waktu yang tepat, dan merupakan hasil dari komitmen kami untuk menyediakan pelayanan serta pengalaman yang terbaik bagi seluruh pengguna di tanah air, dengan penekanan pada kecepatan, keamanan dan kehandalan,” ujar Ridzki dalam keterangannya.

Ridzki turut mengungkapkan ambisi Grab di Indonesia untuk meraih market share sebesar 50% di pasar transportasi roda dua. Mereka berharap meraih 50%-50% pasar antara GrabBike dan Go-Jek.

“Di Indonesia Grab telah menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Grab menjadi satu-satunya aplikasi transportasi yang dapat memberikan kebebasan kepada penumpang dalam memilih jenis transportasi yang mereka inginkan, mulai dari taksi, kendaraan pribadi hingga ojek, mengokohkan posisi nya sebagai aplikasi transportasi darat terkemuka di Indonesia. Kami juga menargetkan dan berada di jalur untuk memiliki 50 persen transportasi darat, kategori ojek,” papar Ridzki.

Sejak diluncurkan pertama kali pada tahun 2012, Grab telah berevolusi dari aplikasi sederhana untuk pemesanan taksi menjadi perusahaan penyedia layanan transportasi darat terbesar di Asia Tenggara, dengan lebih dari 200.000 pengemudi aktif, diunduh di lebih dari 11 juta perangkat dengan 1,5 juta pemesanan di kawasan ini.

Sejak pertengahan tahun 2015, Grab mencatat rata-rata pertumbuhan jumlah tumpangan sebesar 35% per bulannya untuk layanan GrabCar dan 75% untuk layanan GrabBike di seluruh Asia Tenggara.

 

Grab: Kami Terus Berinovasi Mengembangkan Platform Yang Lebih Kokoh

GrabPay dan GrabWork adalah fitur baru yang diperkenalkan bersamaan ketika Grab melakukan rebranding perusahaannya beberapa hari yang lalu. Dua fitur andalan ini merupakan salah satu langkah bagi pihaknya untuk menjadi pilar yang akan menopang bisnis inti Grab di masa depan. VP of  Marketing Grab Cheryl Goh menyatakan bahwa pihaknya senantiasa melakukan inovasi untuk membawa layanannya sebagai platform yang terkemuka.

Kepada DailySocial, Grab memaparkan telah melakukan serangkaian percobaan fitur GrabPay yang pada awalnya dapat digunakan hanya untuk pembayaran GrabCar sejak bulan Desember tahun lalu. Namun seiring berjalannya waktu, fitur tersebut dapat digunakan untuk keseluruhan layanan Grab di sekitar bulan Februari ini. Opsi non-tunai memberikan kesempatan Grab untuk mengantisipasi gaya hidup digital masyarakat Indonesia meski penggunaan kartu kredit masih terbilang rendah.

“Kami bertujuan untuk membangun platform yang kokoh dan akan terus berupaya untuk mengembangkan dan melakukan inovasi platform kami. Uang tunai tentu masih akan menjadi primadona, namun kami tidak dapat menghiraukan permintaan atas metode pembayaran lain, dan seiring dengan semakin matangnya pasar, kami percaya bahwa akan semakin banyak orang yang akan memilih pembayaran non-tunai. Grab memberikan para penumpang kebebasan untuk memilih dengan metode pembayaran yang terbaik yang cocok dengan kebutuhan mereka. Penumpang dapat memilih untuk membayar secara tunai maupun non-tunai,” kata Cheryl.

Lebih lanjut, mengenai GrabPay, Grab terus menampung aspirasi sebagai dasar inovasi bisnisnya. Ketika ditanyai perihal metode pembayaran non-tunai selain kartu kredit, Grab juga membuka kesempatan jika pada akhirnya pengguna memiliki preferensi pembayaran dari payment gateway lainnya.

Perihal GrabWork yang merupakan fitur terbaru untuk menargetkan kalangan profesional, para pebisnis dan profesional yang menggunakan Grab untuk rapat dapat menandai perjalanan bisnis mereka dengan mudah sehingga membantu proses klaim pengeluaran bisnis.

Saat ini, seluruh pengguna Grab dapat menandai perjalanan bisnis mereka menggunakan kode/deskripsi. Para pengguna Grab dapat mengunduh struk perjalanan mereka yang telah terkonsolidasi untuk klaim pengeluaran mereka. Para pengguna dapat membayar tarif normal GrabTaxi/Car/Express/Bike dan tidak akan dikenakan biaya administrasi.

“Struk tersebut pada dasarnya sama dengan yang reguler, namun para karyawan memiliki pilihan untuk mengisi kode dan deskripsi perjalanan mereka sebagai perjalanan bisnis,” paparnya.

Perusahaan yang ingin mendaftarkan kemitraannya bisa melalui Grab Passenger Hub. Proses validasinya akan mulai diterapkan setelah fitur-fitur lain diluncurkan nanti yang akan dibantu prosesnya oleh pihak Grab.

“Kami gembira mengetahui bahwa respon pengguna Grab di Indonesia terhadap fitur GrabPay dan GrabWork sangat positif. Kami akan terus mendengarkan masukan dari para pengguna sehingga kami dapat melayani dengan lebih baik,” tutup Cheryl.