Tentang Metrik Bisnis dalam Startup

Bisnis adalah sesuatu yang terukur, dapat dikalkulasi dan memiliki rumusan untuk setiap pengukurannya. Di startup digital, pada dasarnya pengukuran (metrik) yang digunakan sebagai patokan standar capaian tak berbeda dengan bisnis, hanya saja pendekatannya kadang perlu disesuaikan dengan karakteristiknya. Pemahaman tentang metrik bisnis diperlukan bagi pelaku startup untuk memahami kondisi bisnis yang sedang ia jalankan dan untuk menentukan strategi terbaik demi penguatan di lini bisnis yang membutuhkan.

Secara umum dalam sebuah bisnis startup digital ada dua kategori metrik utama, yakni (1) metrik bisnis dan finansial dan (2) metrik produk dan engagemement-nya. Dalam setiap kategori terdapat poin-poin yang mengacu pada pengukuran spesifik untuk masing-masing bidang. Hal ini membantu untuk mengetahui bagian mana yang bekerja dengan baik dan bagian mana yang perlu dibenahi dalam hal performa dan akselerasi.

Berikut ini adalah beberapa uraian tentang metrik bisnis yang diukur dalam sebuah startup digital.

#1 Kategori bisnis dan finansial

Kategori metrik ini berkaitan dengan siklus keuangan yang ada di dalam tubuh startup. Biasanya menentukan sehat dan tidaknya perjalanan startup tersebut secara bisnis. Metrik ini terdiri dari beberapa hal, di antaranya:

Banyaknya pemesanan (booking) dan pendapatan (revenue) menjadi salah satu pengukuran yang sering diacu untuk mengukur bagaimana performa bisnis dalam kaitannya dengan penerimaan konsumen terhadap layanan atau produk yang dijajakan. Keduanya hal yang  berbeda. Pemesanan diartikan sebagai nilai kontrak antara perusahaan dan pelanggan. Ini mencerminkan kewajiban kontrak dari pelanggan untuk membayar perusahaan. Di sisi lain, pendapatan diakui pada saat layanan tersebut benar-benar diberikan atau disewakan selama masa berlangganan.

Kemudian ada juga istilah ARR (Annual Recurring Revenue) dan MRR (Monthly Recurring Revenue). ARR dan MMR adalah ukuran komponen pendapatan yang bersifat berulang, yang akan datang dengan sendirinya. Startup dapat membuat indikasi, apakah ARR dalam penjualan layanannya bertumbuh atau datar. Jika startup mengalami upselling atau cross-selling pelanggan, maka indikator metrik ini harus tumbuh, yang karena menjadi indikator positif untuk bisnis yang sehat. Untuk setiap keuntungan yang telah diprediksi pengukurannya melalui LTV (Life Time Value).

Gross profit (laba kotor) juga masuk dalam pengukuran di kategori ini. Pengukuran ini memberikan gambaran terhadap seberapa efektif arus pendapatan yang diraih oleh bisnis. Metrik ini mengukur tingkat efisiensi pengendalian harga pokok atau biaya produksi, mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk berproduksi secara efisien. Semakin tinggi laba kotor, maka semakin baik pula bisnis dari sisi operasional.

[Baca juga: Istilah Finansial Yang Wajib Dicermati Pelaku Startup]

Terkait dengan kontrak bisnis ada yang disebut dengan TCV (Total Contract Value) dan ACV (Annual Contract Value). TVC adalah pengukuran total nilai sebuah kontrak, baik jangka pendek ataupun jangka panjang. Sedangkan AVC adalah pengukuran nilai kontrak selama 12 bulan. Jika ACV mengalami peningkatan, ini akan menjadi indikasi yang mudah bahwa konsumen membayar lebih banyak terhadap produk yang ditawarkan. Artinya ada penerimaan yang baik terhadap fitur dan kemampuan produk yang disajikan.

Dalam bisnis maketplace seperti yang sedang booming saat ini di Indonesia, istilah GMV (Gross Merchandise Value) juga menjadi salah satu indikator metrik bisnis. Yakni total transaksi penjualan dari merchandise melalui marketplace dalam periode tertentu. Pengukuran GMV dilakukan untuk mengetahui apa yang konsumen sukai dalam marketplace. CAC (Customer Acquisition Cost) merupakan total biaya untuk mendapatkan sebuah kustomer yang disampaikan dalam per basis pengguna. Pengukuran metrik ini cukup beragam dan memiliki beragam bentuk.

#2 Kategori produk dan penerimaan

Metrik dalam kategori ini berhubungan dengan seberapa banyak pengguna atau konsumen produk dari sebuah startup. Pengukuran ini penting, dan memiliki keragaman kompleksitas. Mulai dari menghitung pengguna aktif, pertumbuhan bulanan, perputaran hingga burn rate. Berikut ini penjelasan singkat untuk masing-masing item:

Secara sederhana active users (pengguna aktif) didefinisikan sebagai pengguna terdaftar dan masih menggunakan layanan yang dilanggan. Pada praktiknya banyak indikasi spesifik yang menjelaskan status “aktif” tersebut seperti apa, sangat bergantung pada layanan. Biasanya juga diukur dari grafik tertentu dalam sistem yang telah dibubuhkan dalam panel administrator. Layanan satu dengan lainnya akan sangat berbeda dalam mendefinisikan pengguna aktif.

MoM (Month-on-Month) growth rate menjadi ukuran rata-rata pertumbuhan pengguna yang diukur dalam periode bulanan. Kadang dibandingkan dengan CMGR (Compunded Monthly Growth Rate), yakni pengukuran pertumbuhan secara berkala. Metrik ini membantu startup agar mempunyai patokan tingkat pertumbuhan yang dimiliki oleh perusahaan lainnya. Jika tidak hal ini akan cukup sulit untuk dibandingkan karena faktor ketidakpastian dan faktor lainnya.

[Baca juga: Tujuh Pertanda Konsumen Mulai Meninggalkan Perusahaan Anda]

Churn rate adalah persentase pelanggan (subscriber) dari sebuah layanan yang memutuskan tidak melanjutkan berlangganan. Ini dibutuhkan ketika startup ingin melakukan ekspansi, salah satu indikasinya harus memastikan bahwa maka growth rate dari perusahaan (atau jumlah konsumen baru yang berlangganan) harus melebihi churn rate-nya.

Burn rate merupakan tingkat di mana kas yang dimiliki berkurang. Terutama dalam perusahaan startup pada tahap awal, sangat penting untuk  mengetahui dan terus memonitor burn rate mereka karena mereka akan gagal apabila kas perusahaan mereka habis dan tidak memiliki waktu mencari pendanaan tahap selanjutnya untuk perusahaan mereka. Sedangkan net burn adalah cara yang benar untuk menghitung uang kas yang dikeluarkan setiap bulan.

Tiga Faktor Kepemimpinan Bisnis dalam Fase “Scale Up”

Scale up merupakan salah satu tahapan dalam bisnis rintisan. Di tahap ini startup menambahkan “bahan bakar” ke dalam mesin produksi untuk berkembang pesat ke dalam pangsa pasar yang dinamis dan penuh persaingan. Berbeda dengan proses starting up, saat bisnis mengejar product/market-fit, pada proses scale up banyak hal yang harus disesuaikan, salah satu yang paling signifikan adalah seputar kepemimpinan.

HubSpot mengawali debutnya sebagai startup media. Kini usianya telah menginjak 9 tahun. Dari pemaparan Brian Halligan selaku CEO HubSpot, selama 6-7 sejak bisnis berdiri mereka masih dalam mode “startup”, baru setelah itu sampai sekarang Brian menyalakan mode “scale up” mengingat kebutuhan bisnis kian meningkat. Dari situ ada beberapa pembelajaran tentang kepemimpinan yang ia catat, sebagai langkah pemimpin bisnis yang sedang dalam mode “scaling up“.

Faktor kepemimpinan

Selama beberapa tahun HubSpot mengadakan survei ke seluruh karyawannya, merilis dua pertanyaan yang dapat dijawab secara anonim. Dua poin pertanyaan merujuk pada seberapa besar sang karyawan merujuk HubSpot sebagai tempat kerja kepada rekannya dan yang kedua tentang alasan mengapa mereka merekomendasikan atau tidak merekomendasikannya. Cara ini ditempuh untuk mengevaluasi keyakinan karyawan di tiap divisi, pada ujungnya akan dihubungkan pada performa dan gaya kepemimpinan tiap kepada divisi tersebut.

Ketika skor survei turun, strategi khusus digencarkan, dengan mengumpulkan tren data historis dan komentar di survei tersebut dan mendiskusikannya dengan pemimpin divisi untuk menyusun rencana perbaikan. Sebuah strategi gemilang biasanya diluncurkan dan ternyata hasilnya sering kali makin memburuk. Pada akhirnya pola tersebut ditemukan. Strategi baru berjalan dengan hadirnya manajer baru.

Dari sini dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, setelah tim kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan kepercayaan tersebut kembali. Kedua, pemimpin memiliki “sweet spot“, ada fase berkembang dan tidak berkembang. Manusiawi. Ketika tidak sedang dalam fase gemilang tersebut, mereka tak harus ditempatkan pada pengelolaan tim besar dalam proses scale up. Pengalaman manajemen kadang bisa dihiraukan dalam fase starting up, namun dalam fase scale up mutlak diperlukan.

Faktor penyelesaian masalah

Permasalahan dalam bisnis harus selalu diidentifikasi dari awal dan pemimpin diwajibkan memiliki peran dominan dalam hal ini. Beberapa bisnis dihadapkan pada permasalahan sistematis yang dapat berdampak kepada organisasi secara keseluruhan. Bagaimana strategi penyelesaian menjadi kunci untuk menyelamatkan keutuhan tim dan proses bisnis. Di bisnis digital hal ini akan menjadi tantangan umum, mengingat tuntutan perubahan yang sangat cepat.

Ketika sebuah startup digital menghadirkan fitur baru, hal ini memaksa pelanggan untuk mengadopsi konten dengan user experience yang berbeda. Beberapa pelanggan mudah beradaptasi, beberapa banyak bertanya tentang berbagai hal baru yang disuguhkan, dan banyak lagi mencoba memberikan protes terhadap kenyamanan dengan sistem sebelumnya.

Ketika masalah muncul, tim mencoba melayani semua kebutuhan dan desakan pelanggan. Ketika tuntutan tersebut meningkat, tidak hanya tim customer service yang dicerca pertanyaan, tim pemasaran pun turut menerima pertanyaan dari pelanggan, sehingga mengganggu KPI penjualan.

Belajar dari kesalahan juga menjadi kunci untuk tidak terjerumus pada lubang bencana yang sama. Strategi menghindari kesalahan yang sama dapat dilakukan dalam berbagai hal. Di HubSpot, setiap bulan diadakan pertemuan internal antar manajer. Di dalamnya setiap divisi harus mempresentasikan beberapa hal. Selain metrik kemajuan, dalam slide juga harus selalu dituliskan poin-poin kesalahan yang pernah terjadi sebelumnya. Sebagai pengingat dan mematangkan kepekaan dalam menghindari isu yang sama tersebut.

Ketika bisnis menginjak masa scaling up, setiap komponen yang ada di dalamnya akan berhubungan erat. Tim pemasaran, tim pengembang, tim konten dan tim operasional harus berada dalam satu visi yang sama dengan performa yang sama-sama kuat. Semua bergerak cepat dan akan membutuhkan dukungan baik di masing-masing aspek.

Faktor penentuan keputusan

Penentuan keputusan perlu dilakukan secara cepat dan tepat, mengingat di fase ini gempuran persaingan bisnis akan sangat terasa. Pemimpin perlu jitu mengambil keputusan. Ketika dihadapkan pada sebuah meeting yang mungkin akan banyak yang mengajukan pendapat, pastikan sebagai pemimpin memilih keputusan berdasarkan pilihan yang tepat, bukan keputusan yang didasarkan pada argumen yang paling populer. Perdebatan akan terjadi, tapi wewenang pemimpin harus kuat dengan mengambil keputusan yang paling logis dan berdasar.

Kiat Bukalapak Tentukan Waktu yang Tepat untuk Monetisasi Bisnis

Mendulang untung merupakan suatu keniscayaan dalam menjalankan bisnis. Anda tidak bisa menafikan hanya karena bisnis startup baru berjalan, tidak boleh memikirkan keuntungan, makanya lebih terfokus untuk “bakar uang” demi memperoleh pertumbuhan yang signifikan.

Berangkat dari hal ini kemudian timbul pertanyaan. Saat baru menjalankan bisnis startup, bagaimana seharusnya orientasi pemikiran founder mengejar pertumbuhan dulu baru memikirkan untung, atau sebaliknya? CFO Bukalapak Fajrin Rasyid akan mencoba menjawab keresahan ini.

Menurutnya bisnis startup tidak jauh berbeda dengan bisnis pada umumnya. Pada akhirnya memang harus berorientasi pada untung. Meski pada tahap awal perusahaan memang belum menunjukkan tanda-tanda menghijau, tapi sebaiknya sedari awal Anda selaku founder sudah memikirkan bisnis bagaimana mengarahkan bisnis tersebut ke profit.

“Bisnis startup belum bisa memikirkan untung saat baru berdiri. Ada kesalahpahaman di sini, sebab bisnis apapun pada akhirnya harus memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan. Tidak masalah bila memilih untuk mengembangkan pertumbuhan bisnis, kemudian baru memikirkan monetisasi. Namun sejak awal Anda sudah harus tahu bisnis itu pada akhirnya harus mengarah ke profit,” terangnya saat mengisi sesi diskusi yang diadakan Tech In Asia, Rabu (16/11).

[Baca juga: Jadikan Bukalapak “Profitable” dan “Sustainable”, Komitmen COO Bukalapak Willix Halim]

Sama halnya di Bukalapak sambungnya, perusahaan marketplace ini lebih memilih untuk mengembangkan pertumbuhan bisnis terlebih dahulu sejak resmi beroperasi di 2010. Bukalapak mengubah kendali kemudi bisnis untuk mulai mendulang untuk per tahun ini.

Fajrin menerangkan, banyak hal yang membuat pihaknya mengubah kemudi bisnis. Pertama, dari tingkat uang subsidi yang diberikan oleh Bukalapak untuk setiap transaksi perlahan-lahan mulai menurun. Kedua, Bukalapak rutin menekan bujet pemasaran, lebih memilih jalur yang termurah. Ketiga, investor yang mulai banyak “cautious” dengan tingkat persaingan marketplace di tanah air.

“Investor kami mulai cautious, bila dua tahun lalu kami dapat funding pertanyaan dari mereka hanya sebatas bagaimana pertumbuhan GMV selama enam bulan terakhir. Kini pertanyaannya mulai bervariasi, salah satunya bagaimana pertumbuhan organik dari revenue dibandingkan tanpa ada subsidi,” ujar Fajrin.

Dari kondisi ini, akhirnya membuat pihak Bukalapak merasa mantap untuk mulai proses monetisasi. Malah sebenarnya, Fajrin mengaku sekitar tiga hingga empat tahun lalu Bukalapak sudah mulai peroleh revenue. “Kami sudah hampir [untung].”

Dia melanjutkan sebenarnya bukan hal yang salah untuk mengejar profit sejak awal tahun berdiri. Asalkan produk Anda memiliki banyak diferensiasi dengan kompetitor. Dan kompetitor tidak berusaha untuk mengejar ketertinggalannya. Maka sah-sah saja bila startup Anda mengubah orientasi bisnis jadi lebih ke arah profit.

Di luar itu, kata Fajrin, sebaiknya Anda menunda niatan tersebut untuk lebih mengarahkan ke pertumbuhan bisnis.

Buat produk yang punya efek viral dan menjaga loyalitas pengguna

Fajrin mencontohkan, Facebook menjadi aplikasi yang viral karena banyak orang yang membicarakan apapun hal yang terjadi di dalamnya. Apabila 80% teman Anda adalah pengguna Facebook, mereka akan memberi rekomendasi kepada Anda untuk juga mencobanya. Pada akhirnya Anda pun akan tergoda.

Hal ini juga terjadi di aplikasi marketplace, semakin banyak penjual yang menjual barang yang sama, maka akan terjadi perang banting harga. Kondisi tersebut, justru akan menarik banyak pembeli berdatangan dan memancing pembeli Bukalapak untuk menjadi Pelapak.

Bukalapak kini memiliki berbagai tim dari divisi yang berbeda untuk memastikan kualitas transaksi online berjalan aman dan cepat. Tools yang digunakan pun ada yang dibangun sendiri atau menggunakan dari third party untuk memantaunya.

Beberapa pencapaian Bukalapak yang diklaim berhasil dan harus terus dipantau adalah proses transaksi online yang cepat, pengiriman barang one-day delivery, dan rating aplikasi Bukalapak di Google Play merupakan tertinggi dibandingkan marketplace lainnya.

Marketplace
ini juga rajin membina komunitas Pelapak yang kini sudah tersebar di 50 kota di seluruh Indonesia. Seluruh upaya ini memiliki satu tujuan yakni ingin menjaga loyalitas dari pengguna Bukalapak.

Enam Tanda Startup Siap Melakukan Ekspansi

Startup yang mendapatkan dukungan pendanaan dari investor biasanya akan menggunakannya untuk rencana penumbuhan bisnis. Apakah itu scale-up dalam bentuk ekspansi, penambahan karyawan, pindah ke kantor baru, menambah jumlah produksi hingga ekspansi wilayah layanan secara lokal hingga global. Namun demikian sebelum berencana untuk melakukan ekspansi cermati terlebih dahulu beberapa aspek pendukung. Hal ini penting dilakukan agar proses ekspansi tidak berjalan tergesa-gesa dan pada akhirnya akan tercapai sesuai target.

Artikel berikut ini akan membahas 6 tanda yang bisa menentukan kapan waktu yang tepat startup Anda melakukan ekspansi untuk kepentingan growth startup.

Telah memiliki tim yang solid

Salah satu faktor kesuksesan suatu ekspansi adalah ketika startup telah memiliki tim yang solid dan memiliki kemampuan untuk bekerja dengan baik. Idealnya adalah masing-masing anggota tim bisa dengan sigap dan piawai melakukan eksekusi saat ekspansi dilakukan. Dengan demikian bisnis bisa berjalan dengan stabil didukung oleh talent dan skill dari anggota tim yang dimiliki.

Telah memiliki jumlah pelanggan

Tanda lainnya yang bisa dicermati untuk waktunya melakukan ekspansi adalah ketika produk dari startup Anda telah memiliki pelanggan dalam jumlah yang cukup besar, artinya produk Anda disukai bahkan dibutuhkan secara rutin oleh pelanggan. Dengan demikian menjadi alasan yang tepat ketika perusahaan memutuskan untuk menambah jumlah produksi, memperluas wilayah layanan dan pengiriman dan lainnya.

Menambah inovasi secara rutin

Salah satu potensi yang bisa dikembangkan adalah ketika startup Anda bisa menghadirkan inovasi baru, mulai dari layanan, fitur, sistem pembayaran dan lainnya. Bukan saja bermanfaat untuk pengguna namun juga memberikan produk Anda celah baru untuk mendatangkan profit. Ketika brand sudah populer dan disukai oleh pengguna, apa pun layanan yang diberikan bisa dipastikan akan langsung digunakan oleh pelanggan setia.

Perusahaan mampu menjalankan proses

Yang perlu diperhatikan adalah ketika keputusan untuk melakukan ekspansi dilakukan Anda sebagai founder dan anggota tim harus bersiap menjalankan proses yang panjang dan pastinya melelahkan. Untuk itu dibutuhkan loyalitas, waktu yang lebih, keinginan yang besar serta niat baik untuk bisa menjalankan apa pun proses ekspansi yang dipilih agar bisa berjalan lancar.

Memiliki dana yang cukup

Hal yang satu ini tentunya menjadi krusial yaitu pendanaan. Apakah dana tersebut merupakan simpanan pendanaan startup di tahap awal, modal sendiri atau bootstrapping hingga pendanaan yang didapatkan dari proses penggalangan dana baru. Pastikan Anda memiliki cukup simpanan untuk melakukan ekspansi sekaligus biaya operasional dari perusahaan. Jangan memaksakan dana yang seadanya demi melancarkan kegiatan ekspansi, hal tersebut bisa merugikan jalannya bisnis untuk jangka panjang.

Capai target yang ditetapkan

Banyak startup yang enggan untuk mewujudkan target yang ingin dicapai ketika ekspansi dilakukan. Salah satu faktor kesuksesan dari proses ekspansi adalah ketika startup Anda bisa mencapai target yang ingin diraih. Apakah itu akuisisi jumlah pelanggan, jumlah unduhan aplikasi, trafik di situs dan lainnya. Pastikan proses ekspansi tersebut bisa disertai dengan dicapainya target yang ditentukan oleh perusahaan.

“Membisniskan Startup”

Akhir pekan lalu, seorang teman di Surabaya menceritakan tentang realitas bisnis dalam kaitannya mendapatkan suntikan investasi. Dalam gurauannya, si teman tersebut mengatakan, “Kalau bisnis konvensional –mengerjakan bisnis sosial menghasilkan kerajinan tangan— untuk mendapatkan investor sulit sekali. Saya sudah mencoba pitching ke beberapa venture capital dan angel investor, hasilnya nol. Beda dengan startup [digital], investornya sudah ngantri kalau POC-nya [Proof of Concept] jelas.”

Tentu penjelasannya ini membuat saya tertarik menggali lebih dalam mengenai pandangannya tentang konsep startup digital yang ada di Indonesia saat ini.

Sebelumnya, layak kita simak kembali seberapa bombastis tren startup di Indonesia. Sebuah meme dari Richard Fang ini mungkin bisa mewakili betapa startup kini telah menjelma sebagai tren baru di kalangan muda.

Sebuah meme yang menggambarkan tren startup saat ini di kalangan muda / Richard Fang
Sebuah meme yang menggambarkan tren startup saat ini di kalangan muda / Richard Fang

Startup pada dasarnya didefinisikan sebagai sebuah bisnis rintisan, bisnis yang benar-benar baru dibuka. Oleh karenanya istilah bootstrapping atau investment melekat erat sebagai entitas di bawahnya. Akhir-akhir ini istilah startup sering diasosiasikan dengan pendekatan bisnis berbasis digital. Jelas saja semua bisnis mencoba untuk bermain di ranah digital –minimal memanfaatkan media sosial sebagai cara pemasaran— demi capaian traksi dan jangkauan yang lebih menjanjikan.

Startup dibudayakan dengan berbagai kegiatan

Salah satu faktor makin lumrahnya pengembangan startup adalah karena berbagai kalangan memang sengaja membuatnya hype. Sebagai contoh Kibar (yang didukung Kemenkominfo) dengan kampanye Gerakan Nasional 1000 Startup, Bekraf dengan Developer Day dan Bekup, bahkan perusahaan-perusahaan secara khusus menggelontorkan CSR mereka untuk kegiatan berbasis hackathon, yang tak lain untuk memajukan startup digital juga. Benar saja, saat ini seperti semua orang bisa meniatkan diri untuk membuat sebuah startup.

Namun, apakah masifnya pengembangan startup yang ada saat ini sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan? Kembali dengan obrolan saya bersama rekan wirausahawati dari Surabaya, ia sempat menanyakan mengapa startup digital saat ini (meski tidak semua) terkesan tidak fokus mendapatkan profit? Justru antusias memburu pendanaan. Padahal jika mengembalikan kepada tujuan paling mendasar, startup tetap saja adalah sebuah usaha bisnis yang harus menghasilkan untung.

Saya tak dapat menyanggah realitas tersebut. Lalu mucul sebuah pertanyaan. Apakah yang sedang menjadi tren saat ini adalah menjadikan startup sebagai proses bisnis atau tren membisniskan startup?

Konsep digital membedakan proses pendekatan di dalamnya

Konsep digital memiliki pendekatan yang berbeda dengan cara konvensional. Sebut saja cerita kesuksesan Facebook. Sekarang dari mana mereka mendapatkan uang? Dari berbagai penawaran yang didasarkan pada kekayaan dan traksi pengguna yang besar. Layanannya gratis dari awal, bisnis dijalankan secara natural di dalamnya. Konsep seperti itu yang coba diusung oleh startup masa kini, terutama yang berbasis layanan.

Ada yang sejak awal fokus pada growth, ada yang fokus pada revenue, hingga ada yang memfokuskan produk startup untuk inovasi (biasanya diikutkan dalam lomba internasional). Begitu bermacam-macam tipikal startup yang ada di Indonesia saat ini dari sudut pandang tujuannya.

Pada kenyataannya “seleksi alam” selalu turut serta dalam berbagai hal. Startup yang mampu mandiri pada akan melaju kencang dan yang mengantungkan roda bisnisnya pada entitas lain lambat-laun kian menurut performanya.

Bagi saya masih terlalu dini untuk menjustifikasi keadaan startup di Indonesia saat ini. Pelaksananya saja masih menggenggam roadmap bisnis yang akan dijalankan selama bertahun-tahun mendatang. Mungkin jawaban dari pertanyaan “membisniskan startup” tadi akan terjawab bersama pembuktian realisasi pematangan pelaku bisnis startup Indonesia.

Program Inkubasi dan Mentorship Marak di Indonesia

Dalam beberapa bulan terakhir, kita banyak melihat program inkubasi dan mentorship untuk startup founders bermunculan di Indonesia. Ada program-program seperti Merah Putih Inc (Dailysocial terlibat disini), East Ventures Alpha, Jakarta Founders Institute, Project Eden, Telkomsel Bootcamp dan beberapa program lainnya yang serupa.

Program-program ini mulai bermunculan dari awal tahun 2011, dan dalam beberapa bulan terakhir sangat terlihat beberapa entitas bisnis yang ingin mencoba masuk ke industri yang sedang bertumbuh ini. Perusahaan teknologi, telco dan bahkan grup bisnis besar termasuk yang sedang mendorong program-program semacam ini, yang pastinya berjalan sejajar dengan kepentingan bisnis mereka.

Tahun 2010 kemarin merupakan tahun dimana para investor berdatangan ke Indonesia, saya pun berkesempatan untuk bertemu dengan beberapa dari mereka yang ingin melihat-lihat, bertemu dengan entrepreneur, mencari kesempatan dimana mereka bisa berinvestasi di Indonesia. Kesimpulan: pasar sudah siap, namun para tech entrepreneur belum siap. Para investor ini tidak pernah kembali lagi ke Indonesia, mereka kecewa. Saya berkata pada mereka, bahwa saat ini Indonesia butuh lebih dari sekadar dana kapital, namun juga role-model, mentor yang bisa membimbing dan memberikan pengetahuan kepada para founder yang rata-rata masih berusia muda.

Continue reading Program Inkubasi dan Mentorship Marak di Indonesia

Incubation and Mentorship Programs Flock to Indonesia

For the past few months, we’ve been seing the number of incubation and mentorship programs starting to educate tech startup founders in Indonesia. We have local ones such as Merah Putih Inc (DailySocial is involved here), East Ventures Alpha, Jakarta Founder Institute, Project Eden, Telkomsel Bootcamp and numerous other similar programs.

These programs have existed since the beginning of the year and for the past few months it seems obvious that lots of entities want to tap this growing industry. Tech companies, telco/carriers and giant holding groups were amongst the most excited to start these programs and of course in-line with their business model.

2010 was the year for investors flocking to Indonesia and I happened to have met several of them as they went looking around the market, meeting people, looking opportunities to invest in Indonesia. Conclusion: the market is ready, the startups are not. These investors never came back, they were dissappointed. I told them that currently Indonesian tech startup scene needs mentorship, we’ve got some brave talented entrepreneurs but they’re still young and need guidance from mature entrepreneurs. And by “guidance” I don’t mean taking over their company.

Continue reading Incubation and Mentorship Programs Flock to Indonesia