Gaming Gear, Atlet Esports, dan Sebuah Jalan untuk Jadi yang Terbaik

Sebagai industri yang berkembang bersama dengan teknologi, tidak heran jika industri game dekat dengan berbagai aksesori pelengkapnya, yang kini lebih dikenal dengan istilah gaming gear. The NPD Group dalam laporan jumlah belanja gamers Amerika Serikat Q1 2020, menjelaskan bahwa penjualan aksesori game mencapai angka 390 juta dollar AS (sekitar 5,7 triliun Rupiah). Angka tersebut merupakan penurunan, namun tetap dianggap sebagai jumlah penjualan tertinggi ketiga sepanjang masa.

Mungkin banyak yang bertanya. Apa yang membuat gaming gear begitu menarik dan penting? Memangnya, Anda jadi lebih jago kalau punya gaming gear? Akankah MMR Anda meningkat dari Herald ke Ancient dalam satu minggu di Dota 2 hanya karena membeli gaming gear? Sejauh ini sih jawabannya “tidak” ya. Tapi kalau Anda punya teman yang bisa naik rank hanya karena punya gaming gear baru, mungkin bisa diperkenalkan ke saya agar dapat saya wawancara… Hehe.

Saya sempat menyatakan opini singkat soal ini saat menulis tips aim di FPS PC. Pada artikel tersebut saya sengaja meletakkan soal tips memilih gear yang tepat di bagian akhir. Karena ibaratnya sepak bola, kalau kemampuan main bola Anda masih sekelas antar-kampung alias tarkam, sepatu Nike Mercurial tidak akan serta merta membuat Anda sejago Lionel Messi. Namun jika Anda sudah bisa dribble bola seperti Lionel Messi, Anda pasti membutuhkan perlengkapan terbaik, agar gerakan Anda lebih leluasa dan menghindari cidera.

Kalau begitu, apakah mouse bolong-bolong, monitor 144Hz, keyboard mekanikal, dan mouse pad RGB memang tidak ada gunanya? Jawabannya belum tentu. Pertanyaan berikutnya mungkin adalah kenapa gaming gear dibutuhkan dan gaming gear seperti apa yang punya pengaruh terhadap kemampuan gaming Anda?

Sebuah Pencarian untuk Menjadi yang Terbaik

Dalam esports, hanya yang terbaik dari yang terbaik, yang bisa berjaya duduk di tahta juara dunia. Tim OG dari skena Dota 2, butuh berkompetisi selama berbulan-bulan, mengalahkan semua lawan, dan bersaing setidaknya dengan 85 orang dari 17 tim lainnya di gelaran utama The International 2019 untuk menjadi juara dunia. Tak heran, menjadi yang terbaik selalu menjadi pencarian utama dari sebuah tim esports.

Untuk menjadi yang terbaik, banyak faktor yang perlu dipikirkan. Skill individu adalah perangkat wajib seorang pemain. Setelah skill individu, strategi serta rencana permainan akan membuat sebuah tim menjadi semakin kuat. Setelah strategi, kerja sama serta chemistry permainan menjadi perekat yang membuat sebuah kemampuan main tim esports jadi semakin solid.

Setelah tiga aspek tersebut, pencarian untuk menjadi yang terbaik sebenarnya masih belum selesai. Masih ada aspek lain yang bisa diperbaiki, agar sebuah tim bisa menjadi lebih baik lagi. Ada tim yang mencoba memperbaiki dari sisi psikologi, yang contohnya bisa terlihat dari peran kinerja sosok psikolog olahraga, Mia Stellberg, di balik kemenangan Astralis di CS:GO dan OG di Dota 2.

Tetapi kompetisi akan terus-menerus menjadi semakin berat. Jika setelah tiga aspek di atas sudah terpenuhi, lalu apa berikutnya? Aksesoris pelengkap seperti gaming gear jadi salah satu jawaban. Hal ini mungkin jadi alasan kenapa angka Refresh-Rate monitor terus meningkat selama beberapa tahun belakangan, mouse menjadi semakin ringan sampai dibuat dengan rancangan bolong-bolong, masing-masing brand terus mengembangkan switch keyboard mekanik paling responsif, dan membuat headset dengan kemampuan Surround Sound terbaik.

Semua orang dalam jalannya untuk menjadi yang terbaik, dan respon serta kecepatan menjadi salah satu yang terus berusaha dikejar. Tapi apakah benar respon adalah segalanya? Lalu apa benar gaming gear memberi dampak pada performa.

Jika kita melihat kepada olahraga tradisional seperti sepak bola, yang melibatkan lebih banyak pergerakan fisik, jawabannya mungkin iya. Sebuah artikel akademis berjudul “Current Soccer Footwear, Its Role in Injuries and Potential for Improvement” menjelaskan seluk beluk hal tersebut.

Jika saya menjelaskan secara terperinci apa yang dibahas dalam artikel ilmiah tersebut, pembahasan ini mungkin akan menjadi sangat panjang dan njelimet; apalgi jika saya menjelaskan sampai ke hitung-hitungan hukum fisika dari perancangan sebuah sepatu sepak bola. Namun yang pasti, dalam proses perancangan sebuah sepatu saja, ada banyak aspek yang perlu dipikirkan.

Mulai dari besaran momentum kaki menghantam bola harus dihitung, untuk menentukan tebal atau tipis bahan yang digunakan. Seberapa keras menghentak ke tanah saat berlari, untuk menentukan konstruksi sol sepatu. Seberapa besar beban pergelangan kaki saat berlari menggocek musuh, untuk menentukan apakah sebuah sepatu harus dirancang “High” atau “Low”. Semuanya dilakukan dengan memikirkan bagaimana agar sebuah sepatu bisa nyaman dan membantu sang pemain bola memberikan performa paling efisien.

Lalu bagaimana dengan esports? Riset mendalam terhadap performance gear sejauh ini mungkin baru dilakukan oleh “The Lab” milik Complexity Gaming dan We Are Nations, sebuah perusahaan esports merchandising asal Amerika Serikat. Dua perusahaan tersebut terinspirasi oleh Bill Bowerman, sosok co-founder Nike, yang begitu terobsesi memikirkan rancangan sepatu terbaik yang bisa membuat seorang pelari bisa berlari lebih cepat lagi.

Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider
Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider

Dalam sebuah wawancara dengan Esports Insider, Cam Kelly CMO Complexity Gaming mengatakan. “Selain dari kesehatan, nutrisi, dan kebugaran, apparel dan equipment adalah bagian penting dalam menciptakan performa yang lebih baik lagi entah itu dalam skala millisecond atau milimeter. Jika seseorang kepanasan sehingga dia tidak bisa melenturkan bagian tubuhnya ke arah yang biasanya ia lakukan, maka performa permainan orang tersebut akan berkurang.” Ucapnya

Pada kasus pemain kasual, perbedaan millisecond atau milimeter mungkin tidak berarti. Namun dalam hal esports dan kompetisi, beda respon sepersekian detik adalah penentu hidup atau mati. Tidak percaya? Sebagai intermezzo, Anda bisa tonton permainan terbaik dari pro player League of Legends, Lee-Sang Hyeok (Faker), yang menunjukkan betapa berartinya setiap millisecond serta milimeter pergerakan di dalam dunia esports; dan alasan kenapa dia jadi dijuluki Unkillable Demon King.

Lebih lanjut The Lab juga menjelaskan bagaimana proses mereka melakukan riset sebuah aksesori yang bisa membuat performa seorang atlet esports jadi lebih efisien. Awalnya kecepatan, reaksi, muscle memory, dan batasan-batasan atau inhibisi diuji dalam Cognitive Lab.

Setelahnya purwarupa aksesori akan masuk fasilitas bernama Herman Miller Innovation Lab untuk memberi feedback terhadap purwarupa dalam sesi pengujian privat. Terakhir produk masuk ke dalam Advanced Training Room. Di sana, pemain akan melalui stress test, bermain dalam lingkungan yang menyerupai pertandingan LAN, termasuk temperatur, suara, lighting, serta perlengkapannya.

Dari sini, kita melihat bagaimana The Lab bisa dibilang menjadi salah satu pionir yang sangat serius dalam meningkatkan performa seorang pemain di dalam esports. Bahkan mereka melihat gaming gear bukan hanya soal mouse dan keyboard, tapi juga aksesori pakaian dan lain sebagainya. Patrick Mahoney, CEO We Are Nation lalu menambahkan lebih lanjut tentang dampak aksesori khusus gaming terhadap performa.

“Untuk meningkatkan performa esports ke tingkat berikutnya, kita bisa belajar dari cara atlet olahraga jadi lebih baik berkat teknologi. Contohnya, selama 20 tahun terakhir kita melihat pergantian bahan pakaian dari awalnya menggunakan wol dan katun, menjadi kain sintetis. Pergantian bahan ini ternyata terbukti membuat atlet lari bisa berlari lebih cepat, dan membantu menjaga temperatur tubuh seorang pendaki gunung. Esports masih berada di fase yang sangat awal, jadi siapa yang tahu nantinya kami yang akan menjadi pionir akan hal ini. Namun kami mengerti pentingnya riset pada bidang ini, dan kami sangat bersemangat bisa menjadi bagian dari hal ini.” Ucapnya.

Sumber: We Are Nation
Sumber: We Are Nation

Jason Lake Founder Complexity malah mencetuskan gagasan yang ia sebut sebagai Esports 3.0. Menurut pandangannya, gagasan Esports 3.0 akan menjadi masa depan. Menurut Lake, arti filosofi ini adalah mengelola pemain secara menyeluruh, termasuk memenuhi kebutuhan pemain dari segi nutrisi, kebugaran, mindfulness, work-life balance, dan kesejahteraan pemain secara keseluruhan.

Esports 3.0 pun bukan hanya soal kesejahteraan pemain saja, tetapi juga memberikan segala aksesori yang terbaik agar seorang pemain bisa menjadi juara. Soal gaming gear, Cam Kelly malah memberikan ide yang lebih gila lagi seperti menghubungkan audio dengan haptic (teknologi yang mensimulasikan sentuhan) sehingga menurutnya, teknologi tersebut secara potensial bisa membuat pemain merespon pergerakan musuh secara lebih cepat. “Itu mungkin belum seberapa. Coba bayangkan jika kita bisa membuat gaming gear seperti lensa kontak atau Google Glass berisi informasi tambahan yang mungkin akan menjadi keuntungan yang tidak adil.” Kelly menjelaskan angan-angan konsep gaming gear yang ada di kepalanya.

Apa yang Dicari Dari Gaming Gear Agar Permainan Anda Jadi Lebih Baik?

Menjadi terbaik dari yang terbaik bisa dibilang alasan kenapa gaming gear masih memiliki pasarnya tersendiri di dalam ekosistem gaming. Tim esports bisa menggunakannya untuk membuat performa pemain jadi lebih efisien. Sementara itu pemain kelas menengah bisa menggunakannya untuk jadi lebih baik lagi, atau mungkin sekadar agar bisa merasakan rasanya menjadi seperti seorang pro player. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dicari?

Soal mencari gear yang tepat, ada pembahasan menarik yang dilakukan oleh Keith Stuard dalam tulisannya di The Guardian. Ia mengupas topik tersebut secara satu per satu, mulai dari monitor, mouse, keyboard, sampai controller atau joystick.

Dalam pembahasan monitor, Keith meminta pendapat Nicolas Reetz (dev1ce) pemain profesional CS:GO tim Astralis. Menurutnya 240Hz adalah suatu keharusan. “Juga sebuah monitor harus memiliki response time serendah mungkin, serta fitur color control. Saya cenderung bermain dengan saturasi warna yang tinggi, ini jadi alasan kenapa monitor saya harus punya fitur kustomisasi tersebut. Ukuran layar juga tak kalah penting. Karena kebanyakan turnamen menggunakan monitor 24-inci, jadi saya memilih ukuran tersebut.” Ungkap Nicolas Reetz.

Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV
Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV

Beralih bicara soal mouse, Keith kali ini tidak mengutip pendapat dari pemain profesional, namun opini dari Alex Walker Editor Kotaku Australia cukup menarik. “Hal mendasar dalam mencari mouse adalah Anda harus melihat lebih dulu seberapa besar tangan Anda, dan bagaimana kebiasaan Anda memegang mouse. Build quality memang penting, tetapi jika bentuk mouse-nya tidak nyaman di tangan, maka Anda bisa jadi akan menyesal menggunakannya.” Ucap Alex.

Dalam artikel lain yang ditulis Vice, Rasmus Madsen selaku SteelSeries Industrial Lead Designer menjelaskan secara lebih lanjut. “Kami merancang sesuatu untuk kondisi yang sangat ekstrim. Kami tidak merancang sebuah produk untuk sekadar browsing internet. Ini (mouse gaming) bukanlah sesuatu yang akan Anda gunakan selama 45 menit saja.” ucapnya. “Kenyamanan selalu menjadi sesuatu yang dicari oleh pengguna. Tentunya mereka mencari produk yang tidak akan membuat tangan mereka keram setelah bermain game selama 6 sampai 8 jam.” Perjelas Rasmus.

Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech
Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech

Menariknya, walau memiliki filosofi perancangan demikian, SteelSeries ternyata bukan mouse yang dicari oleh para pemain profesional. Wccftech melakukan riset pasar gaming gear dengan mengambil data dari situs pengumpul data konfigurasi gear pemain profesional dari berbagai games, prosettings.net, pada Februari 2020 lalu. Hasilnya, SteelSeries ternyata hanya mengambil 4,23% saja dari keseluruhan mouse gaming yang digunakan berbagai pro player. Proporsi terbesar dipegang oleh Logitech, dengan 42,80%, dan kedua dipegang oleh Zowie dengan proporsi sebesar 28,50%.

“Selama ini kebanyakan keyboard mekanik menggunakan ‘switch’ dari perusahaan bernama Cherry MX. Mereka menggunakan kode warna untuk membedakan respon yang dihasilkan tuts keyboard ketika ditekan.” Perjelas Mike. Bagi Anda yang mungkin masih awam, ada 3 jenis Switch mechanical keyboard yang umum ada di pasaran: merah, coklat, biru. Untuk gaming, menurut opini saya pribadi Switch warna merah adalah yang paling cocok. Ini karena switch warna merah punya respon yang paling cepat dibanding dua jenis switch lainnya. Jadi, sebenarnya Anda tidak harus selalu membeli keyboard dengan embel-embel “gaming”. Asalkan keyboard tersebut bersifat mechanical, dan menggunakan Red Switch, maka keyboard tersebut sudah tepat untuk main game kompetitif.

Sumber: GamingGem
Infografis singkat soal pilihan Switch yang tepat bagi Anda. Sumber: GamingGem

Lalu bagaimana dengan controller atau joystick. Jawabannya paling awal mungkin tergantung game apa yang Anda mainkan. Hybrid sempat membahas soal ini dari perspektif fighting game. Dalam fighting game, pilihan yang kerap diperdebatkan adalah antara Gamepad vs Arcade Stick. Namun antara dua jenis controller ini, bisa dibilang salah satu tidak lebih dari yang lain dalam hal performa permainan. Gamepad dan Arcade Stick sama-sama presisi. Dua kubu tersebut tercipta hanya karena media bermain fighting game mengalami pergeseran, dari yang awalnya populer lewat Arcade (atau yang kadang kita sebut dengan dingdong), sampai akhirnya jadi terkenal lewat konsol rumahan.

Pemain Arcade seperti Daigo Umehara tentu akan memilih Arcade Stick, karena dia sudah main Street Fighter dari zaman Arcade, dan jenis controller tersebut adalah yang ternyaman baginya. Sementara pemain generasi baru seperti Victor Woodley (Punk) tentu akan memilih gamepad, karena baru mengenal fighting game pada zaman konsol. Aspek apa yang perlu diperhatikan dalam Gamepad atau Arcade Stick? Anda lebih baik membaca artikel kami yang secara lebih komprehensif membahas hal tersebut.

Lalu bagaimana dengan headset? Dari opini saya pribadi, mungkin bisa dibilang kualitas output suara dari headphone dan input suara dari mic, serta kenyamanan build-quality jadi beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Anda bahkan sebenarnya tidak selalu harus membeli headset dengan embel-embel “gaming”. Karena jika bicara kualitas output suara, brand spesialis bidang audio seperti Sennheiser, atau Audio Technica tentu lebih terpercaya jika dibandingkan dengan brand gaming.

Beberapa tahun ke belakang, brand audio tersebut terbilang cukup jarang merilis produk headset. Namun, kini brand spesialis audio tersebut juga turut terjun ke ranah gaming, seperti Sennheiser yang punya brand Sennheiser Gaming yang bekerja sama dengan EPOS, atau Audio Technica yang punya seri PG dan PDG.

Aspek apa yang perlu dicari dalam sebuah headset? Sebenarnya ada banyak. Ada tipe Closed-Back atau Open-Back, yang menentukan apakah headset Anda kedap suara atau tidak. Ada tipe On-ear atau Over-ear, yang menentukan di mana busa earpad duduk di telinga Anda. Fitur tambahan selain dari itu mungkin bisa terbilang gimmick, yang terbilang tidak esensial, dan cenderung hanya untuk bahasa marketing saja. Untuk pembahasan soal tipe-tipe headset, Anda bisa membaca artikel Headphone.com yang secara lugas membahas soal hal tersebut.

Jadi apakah gaming gear benar-benar bisa membuat Anda lebih jago? Jawabannya paling valid baru bisa kita dapatkan setelah melakukan penelitian dengan pendekatan ilmiah seperti apa yang dilakukan oleh The Lab milik Compelxity Gaming. Tapi kalau menurut opini saya, gear yang tepat, nyaman, dan canggih, penting untuk digunakan, apalagi jika Anda adalah gamers kompetitif kelas berat, yang akan main game selama berjam-jam dalam satu hari, entah untuk menjadi atlet esports ataupun streamer. Jika Anda nyaman menggunakannya, Anda bisa lebih lama berlatih. Sedangkan jam terbang Anda berlatih akan berbanding lurus dengan kemampuan bermain Anda juga.

Apakah peralatan Anda harus selalu punya embel-embel gaming? Tentu saja tidak, karena tidak selamanya brand gaming peripherals tahu dan bisa membuat peralatan yang tepat dan nyaman untuk digunakan. Jika Anda membaca artikel ini sampai habis, saya ucapkan “terima kasih”. Semoga artikel pembahasan saya ini bisa menjadi semacam catatan singkat bagi Anda yang sedang galau dalam memilih gaming gear.

Audeze Luncurkan Headset Gaming Wireless Baru, Kali Ini Tanpa Gimmick Head Tracking

Produsen headphone yang populer di kalangan audiophile, Audeze, kembali meluncurkan sebuah headset gaming anyar bernama Penrose. Ini merupakan headset gaming ketiga Audeze setelah Mobius di tahun 2018 dan LCD-GX di tahun 2019.

Secara fisik, Penrose kelihatan mirip seperti Mobius, akan tetapi ada satu faktor pembeda yang sangat signifikan: Penrose tidak mewarisi teknologi head tracking yang dimiliki Mobius. Sebagai gantinya, Penrose lebih berfokus menyajikan performa wireless terbaik dengan latency yang rendah.

Meski kesannya Penrose kalah canggih atau kalah inovatif dibanding Mobius, sebagian konsumen mungkin justru menilai head tracking terlalu gimmicky. Penrose sepertinya juga tidak dimaksudkan untuk menggantikan Mobius, sebab Mobius sampai sekarang masih terpampang di situs Audeze dengan banderol $399, $100 lebih mahal ketimbang Penrose.

Penrose dengan aksen biru, Penrose X dengan aksen hijau / Audeze
Penrose dengan aksen biru, Penrose X dengan aksen hijau / Audeze

Penrose hadir dalam dua varian: Penrose untuk PS4, PS5, PC dan Mac; Penrose X untuk Xbox One, Xbox Series X dan PC. Kedua varian menawarkan fitur dan spesifikasi yang sama persis, dengan perbedaan hanya pada dongle wireless 2,4 GHz-nya, serta aksen warna yang mengitari bagian earcup-nya.

Varian manapun yang konsumen pilih dipastikan kompatibel dengan Nintendo Switch, dan keduanya turut mengemas Bluetooth 5.0 yang mendukung codec SBC maupun AAC sebagai pelengkap. Istimewanya, koneksi 2,4 GHz dan Bluetooth ini bisa berjalan secara bersamaan, yang artinya pengguna bisa mendengarkan audio dari console sekaligus dari smartphone, sangat cocok buat yang rutin berbincang di Discord selama sedang bermain, atau buat yang ingin menyambi mendengarkan podcast.

Audeze Penrose

Sesuai dengan tradisi Audeze selama ini, Penrose hadir mengusung driver planar magnetic berdiameter 100 mm. Mikrofonnya berwujud fleksibel dan bisa dilepas-pasang, serta dilengkapi filter terintegrasi yang diyakini mampu mengeliminasi suara di sekitar pengguna sampai 20 dB. Secara keseluruhan, bobot Penrose tercatat di angka 320 gram.

Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa bertahan sampai sekitar 15 jam pemakaian. Charging-nya sudah mengandalkan sambungan USB-C, dan Penrose rupanya tetap bisa dipakai seperti headset biasa menggunakan kabel 3,5 mm.

Audeze Penrose rencananya akan dipasarkan pada bulan September mendatang dengan harga $299. Namun Audeze sudah membuka gerbang pre-order mulai sekarang, dan para pemesan dapat menerima potongan harga senilai $50.

Sumber: Trusted Reviews.

HyperX Luncurkan Dua Headset Gaming Terjangkau dengan Dukungan Suara Surround 7.1

Kingston, melalui divisi gaming-nya, HyperX, adalah salah satu pabrikan headset gaming yang paling produktif. Portofolio mereka sangat lengkap, dan mereka juga belum menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti.

Baru-baru ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming anyar: HyperX Cloud Stinger Core dan HyperX Cloud Stinger Core Wireless. Keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan perbedaan hanya di konektivitas (satu berkabel, satu nirkabel).

Fitur unggulan kedua headset ini adalah virtual surround 7.1 berbasis software. Meski cuma berbasis software, sebelum ini virtual surround cuma tersedia pada lini headset HyperX yang lebih premium dari lini Cloud Stinger. Ya, kedua perangkat ini sama-sama diposisikan di kategori ramah kantong dengan banderol masing-masing $60 (Core) dan $80 (Core Wireless).

HyperX Cloud Stinger Core dan Core Wireless

Secara teknis, Cloud Stinger Core dan Core Wireless dibekali sepasang dynamic driver berdiameter 40 mm, dengan respon frekuensi di kisaran 20 – 20.000 Hz. Input-nya mengandalkan mikrofon uni-directional yang dilengkapi teknologi noise cancelling beserta fitur swivel-to-mute.

Sepintas kedua headset ini tampak bongsor, tapi rupanya bobotnya tidak sampai seperempat kilogram. Fitur pemanis seperti tombol-tombol pengoperasian di sisi luar earcup (termasuk kenop volume) turut tersedia. Khusus Core Wireless, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 16 jam pemakaian.

Sumber: Business Wire.

Aplikasi Ini Pelajari Anatomi Telinga Anda Guna Menyuguhkan Audio yang Lebih Baik Sepanjang Sesi Gaming

Di kalangan gamer kompetitif, headset gaming yang baik adalah yang mampu meningkatkan performa mereka selama bermain. Biasanya, ini diwujudkan lewat teknologi spatial audio, yang pada dasarnya bisa memberikan gambaran jelas dari mana tiap suara dalam game berasal.

Menurut Logitech, spatial audio malah bisa disempurnakan lebih lagi dengan bantuan aplikasi bernama Immerse. Immerse dibuat oleh Embody, perusahaan ahli spatial audio yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) supaya gamer dapat “mendengarkan audio dari game seperti ketika mereka mendengarkan suara di dunia nyata”.

Tugas AI di sini adalah menganalisis bentuk telinga masing-masing pengguna. Ya, sebelum bisa digunakan, aplikasi akan meminta pengguna untuk memotret salah satu telinganya terlebih dulu. Setelahnya, AI akan mencoba memprediksi bagaimana telinga kita masing-masing menerima suara.

Logitech G Immerse

Berbekal informasi anatomi telinga pengguna, Immerse pada dasarnya mampu ‘menempatkan’ suara di tempat-tempat spesifik di sekitar pengguna secara akurat. Salah satu fitur yang ditawarkan Immerse adalah “Close Combat Mode”, yang akan membuat audio jadi terdengar lebih dekat, sehingga akhirnya bisa lebih mudah diidentifikasi.

Satu hal yang perlu dicatat, Immerse bukan aplikasi gratisan. Kita memang diberi akses free trial selama 14 hari, tapi setelahnya pengguna wajib membayar biaya berlangganan sebesar $3 per bulan, atau $15 per tahun.

Sebelum berlangganan, pastikan juga headset Anda kompatibel, dan untuk headset Logitech G daftar lengkapnya bisa dilihat di blog resmi mereka. Selain Logitech, Immerse rupanya juga kompatibel dengan sejumlah model headset gaming bikinan Beyerdynamic.

Sumber: The Verge.

HyperX Cloud Flight S Lebih Praktis dari Headset Gaming Lain Berkat Wireless Charging

Headset wireless tentu lebih praktis ketimbang headset biasa. Namun terkadang yang terasa menyebalkan adalah ketika baterainya sudah hampir habis, terutama pada headset yang tidak bisa digunakan selagi sedang di-charge.

Supaya terhindar dari skenario menyebalkan itu, pengguna harus terus ingat untuk mengisi ulang headset wireless dari waktu ke waktu. Andai saja ada cara charging yang lebih praktis. Well, di sinilah wireless charging jadi terasa sangat berguna, dan ini juga yang menjadi salah satu nilai jual utama headset gaming terbaru HyperX.

HyperX Cloud Flight S

Ya, kelebihan headset bernama Cloud Flight S ini adalah dukungan Qi wireless charging. Jadi setiap kali selesai bermain, cukup letakkan headset ini di atas wireless charger, maka baterainya akan selalu dalam kondisi terisi penuh setiap kali Anda menggunakannya kembali.

Daya tahan baterainya pun jempolan; Cloud Flight S mampu beroperasi sampai 30 jam nonstop dalam sekali pengisian. Keunikan lain dari Cloud Flight S adalah empat tombol pengoperasian yang terintegrasi pada salah satu sisi luar earcup-nya, dan fungsi tiap-tiap tombolnya ini dapat diprogram sesuai kebutuhan masing-masing.

HyperX Cloud Flight S

Kompatibel dengan PC atau PS4, Cloud Flight S mengandalkan sepasang driver neodymium berdiameter 50 mm, dengan respon frekuensi 10 – 22.000 Hz. Mikrofonnya dapat dilepas-pasang, dan HyperX tak lupa menyertakan indikator LED yang menunjukkan apakah mic-nya sedang dalam posisi mute atau tidak.

Di Amerika Serikat, HyperX Cloud Flight S saat ini telah dipasarkan seharga $160. Sayang banderol tersebut rupanya belum mencakup wireless charger-nya, tapi konsumen tentu dapat memakai miliknya sendiri selama charger tersebut sesuai dengan standar Qi.

Sumber: Business Wire.

Razer Kraken Ultimate Hidangkan THX Spatial Audio Demi Memaksimalkan Performa Gamer Kompetitif

Gamer FPS kompetitif pasti tahu betapa pentingnya audio buat mereka. Menggunakan headset yang mendukung suara surround, mereka dapat bereaksi secara lebih baik, sebab mereka tahu dari mana suara derap kaki musuh berasal, dan secara keseluruhan mereka bisa lebih siaga selama bermain ketimbang saat sedang tidak menggunakan headset serupa.

Tidak semua headset surround diciptakan sama. Ada yang mendukung konfigurasi 5.1 channel, ada yang 7.1, dan ada pula yang dibekali teknologi THX Spatial Audio, salah satu terobosan terbaru di ranah 3D audio. Inilah yang menjadi hidangan utama headset teranyar Razer, Kraken Ultimate.

Razer Kraken Ultimate

Razer bilang THX Spatial Audio punya akurasi yang jauh lebih baik dibanding surround 7.1 biasa. Selain lebih presisi, teknologi ini juga dirancang untuk mencegah pemain terlalu cepat lelah akibat harus berkonsentrasi secara visual maupun aural. Caranya adalah dengan mencocokkan posisi speaker virtual-nya persis dengan jarak sumber suara di dalam game, sehingga pada akhirnya yang lebih banyak bekerja adalah insting pemain ketimbang telinganya.

Yang mungkin menjadi pertanyaan, apakah THX Spatial Audio juga bakal berdampak di luar sesi gaming? Well, pengguna Kraken Ultimate tidak perlu khawatir sebab sudah ada tuas untuk mengaktifkan atau menonaktifkan fitur tersebut kapan saja mereka mau. Tuas tersebut diposisikan di sisi luar earcup, persis di sebelah kenop kecil untuk menyesuaikan volume.

Kraken Ultimate datang membawa sepasang driver 50 mm yang diyakini punya karakter suara yang natural, dan yang diklaim mampu menyuguhkan suara paling mendetail dari seluruh lini Kraken. Selain unggul dari sisi input, Kraken Ultimate juga memprioritaskan output dengan berbekal mikrofon active noise cancelling, yang akan memastikan suara pengguna selalu terdengar jelas dan tidak terganggu suara lain di sekitarnya.

Razer Kraken Ultimate

Fisik headset ini memang tergolong bongsor, akan tetapi bobotnya masih tergolong ringan di angka 390 gram berkat konstruksi yang terbuat dari perpaduan bahan aluminium dan stainless steel. Demi menambah kenyamanan, Razer turut menanamkan gel pendingin di balik masing-masing bantalan telinganya.

Razer Kraken Ultimate saat ini telah dipasarkan seharga $130. Kalau terlalu mahal, Razer juga menawarkan Kraken X USB yang jauh lebih terjangkau ($60), akan tetapi yang hanya berbekal surround 7.1 biasa dan sejumlah pemangkasan lain dibanding Kraken Ultimate.

Sumber: Razer.

Headset Gaming Wireless Sennheiser GSP 370 Unggulkan Daya Tahan Baterai Hingga 100 Jam

Saya yakin semua setuju bahwa headset wireless jauh lebih praktis ketimbang yang berkabel. Namun sering kali kelemahannya ada pada daya tahan baterai. Jadi setelah belasan atau puluhan jam, sesi gaming terpaksa harus terinterupsi oleh sesi charging.

Kalau ketahanan baterai selama ini menjadi faktor yang membuat Anda urung membeli headset gaming wireless, mungkin penawaran terbaru dari Sennheiser berikut ini bisa membuat Anda berubah pikiran. Dinamai Sennheiser GSP 370, keunggulan utamanya terletak pada daya tahan baterainya yang diklaim mencapai angka 100 jam.

Sennheiser GSP 370

Anggap sehari Anda menghabiskan waktu sekitar 10 jam untuk bermain, maka headset ini masih bisa digunakan setelah seminggu nonstop, dan ia pun masih bisa digunakan selagi dalam posisi di-charge. Sayang sekali charging-nya masih mengandalkan kabel micro USB, meski itu tidak terlalu menjadi masalah kalau memang perangkat jarang perlu diisi ulang.

GSP 370 mengandalkan bantuan dongle USB untuk menyambung secara wireless ke PC, Mac maupun PlayStation 4. Selain irit daya, koneksinya ini juga disebut minim latency, sehingga transmisi audio yang keluar maupun masuk bisa berjalan hampir tanpa delay.

Sennheiser GSP 370

GSP 370 mengemas earcup tipe over-ear yang berukuran besar. Bantalan memory foam-nya dibalut dua jenis material yang berbeda; kulit sintetis di luar, semacam suede di dalam. Di baliknya, bernaung dynamic driver dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz.

Menyambung ke earcup sebelah kirinya adalah mikrofon unidirectional dengan respon frekuensi 100 – 6.300 Hz dan teknologi noise cancelling. Saat dibutuhkan, mic ini bisa di-mute secara instan dengan melipat lengannya ke atas. Di sisi kanan earcup, ada kenop besar untuk mengatur volume headset.

Terkait desainnya, Sennheiser bilang bahwa headband tipe split milik GSP 370 dirancang untuk mengurangi tekanan pada kepala. Juga menarik adalah engsel ball-joint yang secara otomatis memosisikan earcup agar sudutnya sesuai dengan bentuk kepala masing-masing pengguna.

Bagi yang tertarik, Sennheiser GSP 370 saat ini sudah dipasarkan seharga $200.

Sumber: SlashGear dan Business Wire.

HP Luncurkan Monitor QHD 240 Hz dan Sekuel dari Gaming Headset Inovatifnya

Seperti biasa setiap tahunnya, deretan game yang diluncurkan di Gamescom turut dibarengi oleh sejumlah gaming gear baru. Dari kubu HP tahun ini, ada dua perangkat menarik yang diumumkan di bawah divisi gaming-nya, Omen.

Perangkat yang pertama adalah HP Omen X 27. Ukuran monitor ini memang kalah jauh dari persembahan terbaru Alienware, akan tetapi panelnya sangat istimewa: 27 inci dengan resolusi 2560 x 1440 pixel (QHD), refresh rate 240 Hz, dan response time 1 ms. Perpaduan resolusi dan refresh rate-nya ini tergolong langka mengingat mayoritas monitor 240 Hz yang ada di pasaran saat ini hanya mengemas resolusi 1080p.

Bukan hanya itu saja, panel milik Omen X 27 juga sudah mendukung penuh format HDR. Ia bahkan kompatibel dengan FreeSync 2 HDR, fitur khusus seri GPU AMD Radeon yang pada dasarnya mampu mencegah problem screen tearing terjadi meski monitor tengah menayangkan konten HDR.

HP Omen Mindframe Prime / HP
HP Omen Mindframe Prime / HP

Produk yang kedua adalah HP Omen Mindframe Prime, sekuel dari headset “anti kuping panas” yang HP rilis tahun lalu. Seperti sebelumnya, sistem termoelektrik yang bertugas menyerap udara panas di dalam earcup dan membuangnya ke luar kembali menjadi daya tarik utama dari headset ini.

Yang membuat suksesornya berbeda adalah, kinerjanya menyerap dan mengeliminasi panas semakin efektif berkat penambahan heat spreader berbahan grafit yang ditempatkan di sisi dalam earcup. Juga ikut disempurnakan adalah performa mikrofonnya, yang kini berjumlah sepasang dan bertipe noise cancelling, dengan klaim kemampuan mengeliminasi suara luar hingga 40 desibel.

Terkait jadwal pemasarannya, HP Omen X bakal tersedia lebih dulu mulai bulan September mendatang dengan harga $649, sedangkan HP Omen Mindframe Prime baru akan menyusul di bulan Januari 2020 seharga $199.

Sumber: Trusted Reviews dan IGN.

Headset Wireless SteelSeries Arctis 9X Diciptakan Khusus untuk Pengguna Xbox

Kalau ditanya apa salah satu kekurangan Xbox One dibanding PlayStation 4, mungkin mayoritas penggunanya akan bilang absennya kompatibilitas headset Bluetooth. Sebagai gantinya, Microsoft mengandalkan protokol khusus bernama Xbox Wireless, kurang lebih mirip seperti kasus Apple dan AirPlay.

Yang jadi masalah, populasi headset Xbox Wireless tergolong kecil. Beruntung SteelSeries tergerak untuk meluncurkan produk di segmen ini, yaitu Arctis 9X. Kelebihan utamanya? Apa lagi kalau bukan dukungan resmi Xbox Wireless, yang berarti pengguna Xbox dapat menyambungkannya tanpa kabel maupun dongle.

Dukungan Xbox Wireless juga berarti latency-nya dipastikan sangat rendah, yang berarti hampir tidak ada jeda antara audio yang keluar dari game dan yang terdengar di telinga. Lebih lanjut, SteelSeries juga mengklaim bahwa Arctis 9X menawarkan koneksi yang paling bisa diandalkan di antara headset Xbox Wireless lain, dan ini berdasarkan pernyataan Microsoft kepada mereka.

SteelSeries Arctis 9X

Dari segi estetika, Arctis 9X tampak tidak jauh berbeda dari headset Arctis lainnya. Desainnya simpel namun elegan (tidak norak seperti mayoritas gaming headset), dan kenyamanan yang ditawarkannya mungkin sudah bisa diwakilkan oleh bantalan telinga yang terlihat cukup tebal.

Berhubung ini adalah headphone wireless, sudah pasti ada sejumlah tombol kontrol di earcup-nya. Namun yang paling menarik adalah sebuah kenop di earcup sebelah kiri, yang berfungsi untuk mengatur volume audio yang datang dari Xbox di saat headset juga tersambung ke perangkat lain via Bluetooth.

Ya, Arctis 9X mendukung multiple input. Jadi selagi tersambung ke Xbox, ia juga bisa disambungkan ke ponsel via Bluetooth, entah untuk mendengarkan musik atau menerima panggilan telepon, semuanya sembari asyik bermain game.

SteelSeries Arctis 9X

Terkait daya tahan baterai, dalam satu kali pengisian, Arctis 9X diklaim mampu beroperasi sampai 20 jam nonstop, dan pengguna dapat memantau sisa baterainya langsung di TV. Saat baterainya habis, pengguna masih bisa memakainya dengan bantuan kabel 3,5 mm.

SteelSeries saat ini sudah memasarkan Arctis 9X seharga $200. Bukan harga yang murah, tapi cukup pantas jika mempertimbangkan semua fiturnya, serta fakta bahwa headset Xbox Wireless merupakan spesies yang langka.

Sumber: AnandTech.

HyperX Luncurkan Cloud Stinger Wireless, Gaming Headset Nirkabel untuk PC dan PS4 Seharga $100

Mencari gaming headset berkualitas dengan harga di bawah $100 bukanlah tugas yang sulit. Namun kalau kriterianya juga harus mencakup konektivitas wireless tanpa menambah budget, maka pilihannya akan jadi sangat terbatas.

Salah satu yang dapat menjadi alternatif adalah kreasi terbaru HyperX. Dijuluki Cloud Stinger Wireless, ia merupakan versi nirkabel dari Cloud Stinger yang juga masuk dalam kategori budget gaming headset. Alhasil, desainnya nyaris tidak berbeda.

Cloud Stinger Wireless datang bersama sebuah USB receiver yang harus ditancapkan ke PC, PS4 atau PS4 Pro demi mewujudkan konektivitas wireless-nya, dengan jarak paling jauh 12 meter. Dalam satu kali pengisian, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 17 jam nonstop.

HyperX Cloud Stinger Wireless

Menariknya, kehadiran baterai rechargeable ini tak membuat perangkat jadi kelewat berat. Pada kenyataannya, bobotnya hanya berkisar 270 gram, atau 5 gram lebih ringan ketimbang versi standarnya yang tidak dibekali baterai.

Kinerja audionya mengandalkan sepasang driver berdiameter 50 mm, lengkap dengan mikrofon noise cancelling di luar yang dapat di-mute hanya dengan melipatnya ke atas. Tombol-tombol kontrolnya sendiri diposisikan pada sisi luar earcup.

Di Amerika Serikat, HyperX Cloud Stinger Wireless saat ini sudah dipasarkan seharga $100. Belum benar-benar di bawah $100, tapi setidaknya tidak lebih. Satu catatan terakhir, meski kesannya terjangkau, banderol Cloud Stinger Wireless rupanya dua kali lipat lebih mahal ketimbang saudara berkabelnya.

Sumber: Business Wire dan The Verge.