Blue Icepop Adalah Upgrade Premium untuk Mic Bawaan Headset Logitech G Pro

Produsen mikrofon USB kenamaan, Blue, meluncurkan produk baru yang menarik, khususnya buat mereka yang menggunakan headset Logitech G Pro. Dinamai Blue Icepop, produk ini dirancang sebagai mikrofon premium untuk menggantikan mikrofon bawaan headset.

Icepop mengandalkan modul electret condenser berdiameter 10 mm dengan pickup pattern unidirectional untuk menangkap suara pengguna secara lebih jelas selagi mengeliminasi suara-suara di sekitar. Juga esensial adalah sebuah pop filter terintegrasi yang diyakini mampu menghilangkan kesan kasar dari suara “b” dan “p” yang kerap terjadi saat menggunakan mic bawaan headset dengan kualitas di bawah rata-rata.

Namun bagian terpentingnya adalah kemudahan penggunaan. Tanpa bantuan kabel tambahan, Icepop dapat langsung ditancapkan ke colokan 3,5 mm milik headset Logitech G Pro, G Pro X, atau G Pro X Wireless. Alternatifnya, Blue turut menawarkan varian Icepop yang kompatibel dengan headset Astro A40. Buat yang tidak tahu, baik Blue maupun Astro Gaming sama-sama merupakan anak perusahaan Logitech.

Icepop sepenuhnya bersifat plug-and-play dan tidak memerlukan instalasi driver khusus. Meski begitu, pengguna Logitech G Pro punya opsi untuk mengutak-atik kinerja Icepop lebih jauh lagi dengan memanfaatkan fitur Blue Voice di software pendamping Logitech G Hub. Sebelumnya, mic bawaan Logitech G Pro memang sudah mendukung fitur ini.

Dari segi fisik, Icepop mengadopsi desain yang cukup simpel sehingga tidak kelihatan terlalu mencolok ketika dipasangkan bersama Logitech G Pro. G Pro sendiri tergolong cukup elegan untuk ukuran headset gaming, dan kombinasi keduanya semestinya bakal sangat ideal untuk menemani sesi WFH.

Blue Icepop saat ini sudah dipasarkan secara global dengan banderol $50. Harga tersebut tidak bisa dibilang murah. Sebagai perbandingan, mic USB termurah yang Blue punya saat ini, Snowball Ice, juga dijual dengan harga $50.

Sumber: Logitech.

Headset Nirkabel Razer Barracuda X Kompatibel dengan PC, PS5, Nintendo Switch, dan Perangkat Android

Semuanya akan lebih mudah dengan USB-C. Laptop, smartphone, tablet, drone, dan banyak perangkat elektronik lain kini dapat di-charge menggunakan satu kabel yang sama. Monitor kini dapat menerima output display dari bermacam perangkat via satu kabel yang sama. Namun ternyata bukan cuma dunia perkabelan yang diuntungkan oleh USB-C, dunia wireless pun juga.

Dongle wireless yang tadinya mengandalkan konektor USB-A perlahan telah digantikan oleh dongle USB-C, dan ini membuka potensinya untuk digunakan bersama lebih banyak perangkat. Kalau perlu contoh, coba tengok headset gaming nirkabel terbaru dari Razer yang bernama Barracuda X berikut ini.

Berbekal dongle USB-C, Barracuda X dapat disambungkan ke PC, PlayStation 5, Nintendo Switch, maupun perangkat Android secara seamless. Tidak ada proses pairing yang perlu dijalani, dan perangkat juga tidak memerlukan software atau driver tambahan. Cukup tancapkan dongle-nya ke port USB-C milik perangkat, maka headset dapat langsung menerima dan menyalurkan sinyal audio.

Seandainya PC yang digunakan tidak punya port USB-C, atau Nintendo Switch sedang berada pada dock-nya, pengguna bisa memanfaatkan bantuan kabel adaptor USB-C ke USB-A yang termasuk dalam paket pembelian Barracuda X. Alternatif yang terakhir, Barracuda X juga dapat disambungkan menggunakan kabel audio standar 3,5 mm.

Secara estetika, Barracuda X lebih kelihatan seperti headphone biasa ketimbang headset gaming. Ini wajar kalau melihat sifatnya yang platform-agnostic. Razer menjanjikan pengalaman penggunaan yang nyaman, terutama berkat bobot Barracuda X yang tergolong ringan di angka 250 gram. Kinerja audionya sendiri disokong oleh driver Razer TriForce berdiameter 40 mm.

Untuk memudahkan pengoperasian, tombol power milik Barracuda X merangkap peran sebagai tombol pengaturan playback: klik satu kali untuk play/pause, dua kali untuk skip track, dan tiga kali untuk kembali ke track sebelumnya. Melengkapi aspek kontrolnya adalah kenop untuk mengatur volume dan tuas mute mikrofon. Alternatifnya, mikrofon tersebut juga bisa dilepas jika perlu.

Razer Barracuda X saat ini telah dipasarkan seharga $100. Di Indonesia, rencananya ia akan dijual dengan banderol resmi Rp1.699.000.

Sumber: Razer.

Logitech G335 Adalah Headset Gaming Ringkas dengan Harga Relatif Terjangkau

Logitech meluncurkan headset gaming baru, yaitu Logitech G335. Sepintas namanya memang terdengar mirip seperti earphone Logitech G333, akan tetapi ia sebenarnya mengusung desain yang nyaris identik dengan Logitech G733.

Awalnya saya sempat mengira G335 sebagai versi wired dari G733 (yang memang cuma tersedia dalam varian wireless). Namun ternyata ada sejumlah perbedaan lain di samping tipe konektivitasnya itu. Dari segi ukuran misalnya, G335 sedikit lebih kecil daripada G733. Bobotnya juga lebih ringan di angka 240 gram, dan Logitech tidak segan menyebutnya sebagai salah satu headset gaming paling ringan yang tersedia di pasaran.

G335 hadir dalam tiga kombinasi warna yang tampak ekspresif: hitam, putih-biru, dan mint-ungu. Karet headband-nya yang elastis dapat disesuaikan tingkat kelonggarannya, sama seperti G733. Bantalan telinganya sedikit lebih tipis daripada milik G733, tapi sama-sama dilapisi bahan kain yang breathable.

Berbeda dari G733 yang mengemas detachable mic, mikrofon milik G335 tidak dapat dilepas-pasang, tapi bisa di-mute dengan mudah dengan cara dilipat ke atas. Secara teknis, G335 dibekali sepasang driver neodymium berdiameter 40 mm, dengan respon frekuensi 20-20.000 Hz. Pada earcup sebelah kiri, tepatnya di sisi belakang, pengguna bisa menemukan kenop kecil untuk mengatur volume.

Headset ini mengandalkan sambungan kabel 3,5 mm, jadi ia dipastikan kompatibel dengan perangkat apapun yang memiliki colokan audio standar tersebut. Untuk pengguna PC yang memiliki input audio dan mikrofon terpisah, Logitech turut menyertakan aksesori PC splitter pada paket penjualannya.

Di Amerika Serikat, Logitech berencana menjual G335 dengan harga $70. Mereka juga akan menjual strap headband-nya secara terpisah bagi yang ingin mengganti strap bawaannya. Ada delapan pilihan warna strap yang tersedia, masing-masing seharga $10. Kalau melihat selisih harganya yang cukup lumayan dibanding G733 ($130), sudah sewajarnya konsumen mengekspektasikan kinerja yang berbeda dari G335.

Sumber: Logitech.

Headset Jabra Evolve2 30 Dirancang untuk Mengakomodasi Praktik Kerja Hybrid di Era New Normal

Periode new normal yang sudah berjalan selama lebih dari satu tahun belakangan menciptakan cara kerja baru yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kini banyak perkantoran yang mulai menerapkan pendekatan hybrid, atau kombinasi bekerja jarak jauh dan di kantor secara bersamaan.

Namun praktik kolaborasi semacam ini pun tidak bebas dari risiko begitu saja, apalagi jika melihat kompleksitas pekerjaan yang terus meningkat. Alhasil, ketika memilih perangkat pendukung komunikasi seperti headset, perangkat harus bisa mendukung kebutuhan yang sesuai dengan kejadian di lapangan. Ini penting karena tidak semua orang memiliki kondisi area kerja yang sama.

Sebagai perusahaan penyedia solusi audio dan video profesional, Jabra melihat ini sebagai peluang untuk memperkenalkan headset terbarunya, Evolve2 30. Perangkat ini sudah memenuhi sertifikasi UC (Unified Communication), yang artinya fitur-fitur seperti kontrol panggilan atau pengaturan volumenya dipastikan bisa bekerja dengan baik di berbagai software komunikasi bisnis di PC.

Tidak kalah penting adalah fitur supaya pengguna dapat mendengar suaranya sendiri ketika menerima panggilan, sehingga mereka bisa menghindari bicara terlalu keras. Jabra bilang ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh headset bersertifikasi UC, yang tentunya sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Brodjo Koesworo Hadiputro, Country Manager Jabra Indonesia, mengatakan Evolve2 30 sangat cocok bagi pekerja modern dengan berbagai kondisi kerja, mulai dari pekerja profesional hingga freelancer yang bekerja di kantor atau di rumah, tanpa harus memikirkan ramai atau tidaknya tempat tersebut. Berkat keberadaan dua mikrofon, headset ini bisa mengenali suara pengguna secara akurat dan meredam suara-suara dari luar. Kualitas audionya pun bisa diandalkan berkat driver berukuran 28 mm yang didukung oleh chipset digital mutakhir.

Jabra Evolve2 30 juga tersedia dalam varian yang tersertifikasi Microsoft Teams. Varian ini dilengkapi tombol khusus untuk Teams, sehingga pengguna bisa mengikuti dan mengakhiri pertemuan virtual hanya dengan satu sentuhan. Keberadaan boom arm berarti mute atau unmute bisa dilakukan secara instan, sehingga pengguna tak perlu khawatir suaranya bocor ketika belum waktunya untuk berbicara.

Secara fisik, Evolve2 30 mengemas konstruksi stainless steel dengan tingkat ketahanan dan fleksibilitas yang lebih tinggi dibanding pendahulunya, tapi di saat yang sama bobotnya sekitar 27 persen lebih ringan (125 gram). Perangkat menggunakan sambungan USB-A atau USB-C, serta dibekali indikator lampu berwarna merah di salah satu sisinya, yang akan menyala secara otomatis ketika pengguna sedang menerima panggilan, atau bisa juga dinyalakan secara manual untuk menandakan bahwa mereka sedang tidak ingin diganggu.

Saat ini Jabra Evolve2 30 sudah tersedia di sejumlah mitra resmi Jabra. Harganya dibanderol Rp1.939.999 sebelum dikenai pajak.

Bang & Olufsen Luncurkan Gaming Headset Pertamanya, Harganya Setara Xbox Series X

Apa jadinya ketika brand audiophile sekelas Bang & Olufsen memberanikan diri untuk terjun ke ranah gaming headset? Jawabannya adalah sebuah headset nirkabel bernama Beoplay Portal. Ya, ini merupakan gaming headset perdana B&O sejak perusahaan tersebut didirikan oleh Camillo Bang dan Svend Olufsen di tahun 1925.

Kalau saya tidak bilang, saya yakin Anda tidak akan menyangka bahwa perangkat ini merupakan sebuah headset yang ditujukan untuk kalangan gamer. Desainnya sama sekali tidak ada kesan gaming-nya, dan sepintas memang langsung kelihatan sama mewahnya seperti deretan headphone lain besutan B&O.

Mulai dari konstruksi berbahan aluminium sampai kulit domba asli yang membalut bantalan memory foam-nya, hampir semua bagian dari perangkat ini tampak sekaligus terkesan premium. Di saat yang sama, B&O juga tetap memperhatikan faktor kenyamanan; bagian headband-nya dilapisi kain yang terbuat dari serat bambu, dan bobot keseluruhan perangkat juga tidak lebih dari 282 gram — termasuk ringan untuk ukuran gaming headset.

Beoplay Portal dikembangkan sebagai bagian dari program “Designed for Xbox”. Itu berarti ia harus bisa disambungkan ke console Xbox secara seamless menggunakan protokol Xbox Wireless (2,4 GHz). Kalau punya adaptor Xbox Wireless, headset ini juga dapat dihubungkan secara nirkabel ke PC.

Alternatifnya, Beoplay Portal juga menawarkan konektivitas Bluetooth 5.1, lengkap dengan dukungan codec aptX Adaptive. Koneksi via kabel pun juga didukung, baik menggunakan kabel audio 3,5 mm maupun kabel USB-C. Kalau disambungkan ke PC via USB-C, otomatis baterainya juga akan terisi.

Di balik masing-masing earcup-nya, bernaung dynamic driver dengan diameter sebesar 40 mm. Headset ini juga mengunggulkan teknologi active noise cancellation (ANC) yang bersifat adaptif, tidak ketinggalan juga dukungan Dolby Atmos demi menyajikan efek suara surround secara virtual. Untuk mengoperasikan headset ini, pengguna bisa memanfaatkan perpaduan panel sentuh di sisi luar earcup beserta sejumlah tombol dan tuas.

Satu hal yang cukup unik dari Beoplay Portal adalah fitur bernama Own Voice, yang menurut B&O memungkinkan pengguna untuk mendengar suaranya sendiri dengan jelas ketika sedang berbicara. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah fakta bahwa headset ini mengandalkan mikrofon beam-forming yang terintegrasi ketimbang boom mic.

Dalam sekali pengecasan, baterai Beoplay Portal diperkirakan bisa bertahan selama 12 jam pemakaian kalau terhubung via Xbox Wireless dan ANC-nya menyala terus. Kalau cuma terhubung via Bluetooth, daya tahan baterainya bisa dilipatgandakan menjadi 24 jam, setara dengan yang ditawarkan kebanyakan headphone noise-cancelling — kecuali bikinan B&O yang berada di kelas tersendiri soal ini.

Di Amerika Serikat, Beoplay Portal rencananya akan dijual dengan harga $499 — ya, harga yang sama persis seperti banderol Xbox Series X itu sendiri. Gaming headset mungkin tidak seharusnya semahal ini. Namun dengan desain semewah ini, ditambah lagi konektivitas Bluetooth, mungkin Beoplay Portal lebih pantas dikelompokkan sebagai headphone noise-cancelling berkonektivitas wireless yang kebetulan juga sangat kapabel untuk keperluan gaming.

Sumber: What Hi-Fi.

VZR Model One Andalkan Manipulasi Akustik untuk Menyajikan Audio 3D Secara Akurat

Tidak setiap hari Anda mendengar istilah “audiophile gaming headset“, apalagi yang berasal dari perusahaan tidak dikenal. Sentimen itulah yang saya dapatkan ketika mendengar soal headset bernama VZR Model One berikut ini.

Sepintas, kelihatannya memang tidak ada yang istimewa dari headset ini. Kelebihan utamanya terletak pada teknologi CrossWave yang pengembangnya patenkan. Dari perspektif sederhana, CrossWave pada dasarnya dirancang untuk mengemulasikan efek audio 3D yang lebih akurat ketimbang yang dihasilkan oleh bermacam teknik lain.

Untuk mewujudkannya, VZR rupanya tidak mau bergantung pada software. Teknologi CrossWave ini melibatkan semacam filter yang VZR sebut dengan istilah “acoustic lens” untuk membentuk ulang gelombang suara yang keluar dari unit driver. Hasil akhirnya, kalau kata VZR, adalah efek yang sangat mendekati cara kerja indera pendengaran yang sebenarnya.

Manipulasi akustik semacam ini tentu akan lebih relevan dalam jangka panjang ketimbang mengandalkan chip DSP (digital signal processing) yang kemungkinan bakal terasa ketinggalan zaman hanya dalam beberapa tahun saja. Fokus pada aspek akustik juga bisa jadi jaminan atas performa headset saat dipakai untuk mendengarkan musik atau menonton film.

Semua itu mungkin terdengar kelewat ambisius, terutama untuk perusahaan yang belum punya nama seperti VZR. Namun kepercayaan diri itu rupanya didasari oleh pengalaman panjang pendirinya di industri audio. Co-founder VZR adalah Vic Tiscareno, sosok yang dulunya sempat menjabat sebagai Senior Acoustics and Audio Engineer di Apple selama 7 tahun.

Kontribusi terbesarnya buat Apple adalah membantu mengembangkan laboratorium pengujian akustik pertama milik Apple. Namun Vic bilang bahwa teknologi CrossWave ini sama inovatifnya seperti banyak teknologi yang pernah ia garap buat Apple selama ini.

Bagi sebagian besar orang, audio 3D mungkin terkesan sebatas gimmick. Namun kalau melihat perkembangannya, sepertinya trennya memang mengarah ke sana. Kalau perlu bukti, coba lihat Sony, yang merilis PlayStation 5 bersama dengan headset baru demi berfokus pada penyajian audio 3D.

Rencananya, VZR Model One bakal dipasarkan mulai kuartal kedua tahun ini dengan banderol $349. Bukan harga yang murah, tapi paling tidak masih lebih terjangkau daripada produk serupa macam Audeze Mobius.

Sumber: TechRadar dan Digital Trends.

Headset Wireless Razer Kaira Pro Diciptakan untuk Xbox Sekaligus Perangkat Mobile

Menjelang kedatangan console next-gen tidak lama lagi, produsen periferal seperti Razer langsung tanggap merilis sejumlah produk baru. Kali ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming wireless baru yang didedikasikan buat para konsumen Xbox Series X dan Series S, yaitu Razer Kaira dan Razer Kaira Pro.

Kedua headset ini tentu saja mengandalkan konektivitas Xbox Wireless sehingga dapat disambungkan ke console Xbox secara nirkabel tanpa bantuan dongle, atau ke PC dengan bantuan dongle Xbox Wireless Adapter. Namun khusus untuk Kaira Pro, tersedia pula opsi untuk menghubungkannya ke berbagai perangkat via Bluetooth 5.0.

Juga unik buat Kaira Pro adalah, mikrofonnya dapat dilepas-pasang, dan ketika dilepas, ada mikrofon internal yang mengambil alih secara otomatis sehingga ia dapat berfungsi layaknya headphone Bluetooth pada umumnya.

Belakangan ini memang semakin banyak headset gaming yang turut menawarkan konektivitas Bluetooth. Idenya adalah, konsumen hanya memerlukan satu headset saja untuk menemani sesi gaming sekaligus rutinitasnya yang lain (kecuali mungkin saat berolahraga), dan Kaira Pro sejatinya merupakan jawaban Razer terhadap tren tersebut.

Dalam sekali pengisian, baterai milik Kaira Pro diyakini mampu bertahan hingga 15 jam, atau sampai 20 jam kalau pencahayaan RGB-nya dimatikan. Kaira di sisi lain tidak punya lampu warna-warni sama sekali.

Di luar konektivitas, mikrofon dan pencahayaan RGB, Kaira dan Kaira Pro ibarat pinang dibelah dua. Keduanya sama-sama mengemas rangka berbahan stainless steel dan dilengkapi sederet tombol pengoperasian di earcup sebelah kiri sekaligus kanannya. Masing-masing earcup-nya yang dapat berputar juga dibekali bantalan memory foam yang dilapisi kain breathable demi mencegah telinga kepanasan meski perangkat dipakai cukup lama.

Terkait kualitas suaranya, Kaira dan Kaira Pro mengunggulkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama persis seperti milik Razer BlackShark V2. Satu hal yang mungkin agak disayangkan adalah absennya active noise cancellation (ANC), termasuk pada Kaira Pro, meskipun ia sebenarnya cukup ideal untuk konteks mobile.

Di Amerika Serikat, Razer Kaira dan Kaira Pro saat ini sudah dipasarkan masing-masing dengan harga $100 dan $150.

Sumber: Razer.

Razer Rilis Trio Periferal Wireless Baru: DeathAdder V2 Pro, BlackShark V2 Pro, dan BlackWidow V3 Pro

Seorang gamer kompetitif pada umumnya akan menghindari periferal wireless dengan alasan performanya kurang bisa diandalkan, terutama perihal latency. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sudah melihat satu demi satu produsen periferal sibuk mengembangkan teknologi wireless-nya sendiri, semua dengan tujuan mengurangi latency sebanyak mungkin sehingga perangkat dapat diandalkan di ranah kompetitif.

Di saat suatu produsen sudah siap dengan teknologi wireless besutannya sendiri, kita tidak perlu heran apabila mereka langsung menerapkan teknologi tersebut pada produk-produk andalannya. Razer adalah salah satunya. Sejauh ini, sejumlah periferal bikinan mereka yang populer sudah dibuatkan versi wireless-nya yang mengemas teknologi Razer HyperSpeed, dan hari ini mereka menambah lagi anggota keluarga gaming gear nirkabelnya.

Tidak tanggung-tanggung, Razer memperkenalkan tiga periferal wireless baru sekaligus: Razer DeathAdder V2 Pro, Razer BlackShark V2 Pro, dan Razer BlackWidow V3 Pro. Namun ketimbang sebatas menyematkan konektivitas wireless begitu saja ke perangkat yang sudah ada, Razer turut merevisi sejumlah aspek dari masing-masing produk.

Razer DeathAdder V2 Pro

Untuk DeathAdder V2 Pro, bisa kita lihat bahwa desainnya nyaris identik dengan DeathAdder V2. Namun kalau kita amati lebih lanjut, samping kiri dan kanannya kini dilapisi karet bertekstur yang jauh lebih luas daripada milik versi berkabelnya. Bobotnya memang bertambah sedikit dari 82 gram menjadi 88 gram, tapi ini tetap sangat ringan untuk ukuran mouse wireless yang mengemas baterai rechargeable, dan yang tidak mengadopsi desain bolong-bolong.

Bicara soal baterai, DeathAdder V2 Pro sanggup beroperasi hingga 70 jam sebelum perlu diisi ulang. Untuk pemakaian kasual dengan koneksi Bluetooth, daya tahan baterainya malah bisa mencapai angka 120 jam. Selagi tersambung kabel, perangkat tetap bisa digunakan seperti biasa.

Sensor yang digunakan DeathAdder V2 Pro sama persis seperti versi standarnya, yakni sensor Focus+ dengan sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Yang berubah adalah optical switch-nya, yang Razer bilang merupakan generasi kedua, walaupun ketahanannya tetap tercatat di angka 70 juta klik.

Razer DeathAdder V2 Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $130, nyaris dua kali lipat versi standarnya. Satu hal yang membuat saya penasaran adalah, kenapa namanya bukan “DeathAdder V2 Ultimate”? Well, bisa jadi karena ia hadir setelah Razer Naga Pro.

Razer BlackShark V2 Pro

 

Sesuai namanya, perangkat ini merupakan versi nirkabel dari headset gaming bernama sama yang Razer luncurkan Agustus lalu. Saya tidak melihat ada perubahan dari segi desain, tapi lagi-lagi Razer sudah merevisi jeroannya. Driver yang digunakan tetap driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm, akan tetapi BlackShark V2 Pro turut mengemas satu speaker chamber ekstra.

Bukan cuma itu, mikrofon milik BlackShark V2 Pro juga lebih besar (9,9 mm) daripada milik versi berkabelnya, dan Razer mengklaim ini dapat meningkatkan kemampuannya mengabaikan suara-suara di sekitar yang mengganggu. Sama seperti di versi standarnya, mikrofonnya dapat dilepas saat sedang tidak dibutuhkan.

Hal lain yang mungkin juga bakal terasa berbeda adalah terkait kenyamanannya. BlackShark V2 Pro lebih berat 58 gram daripada BlackShark V2. Tidak mengejutkan mengingat ia harus mengusung modul baterai, dan kabar baiknya, baterai ini bisa tahan sampai 24 jam pemakaian.

Razer BlackShark V2 Pro sekarang telah dijual dengan banderol $180, selisih $70 dibanding versi standarnya. Harga yang cukup masuk akal untuk headset gaming pertama yang dibekali konektivitas Razer HyperSpeed, yang secara teknis mendukung transmisi audio dengan kualitas lossless.

Razer BlackWidow V3 Pro

Namanya mungkin agak menipu, akan tetapi BlackWidow V3 Pro merupakan versi wireless dari BlackWidow Elite yang dirilis dua tahun silam. Satu fakta yang agak mengejutkan adalah, ini merupakan keyboard gaming wireless pertama dari Razer – kecuali Anda menghitung Razer Turret, yang secara spesifik ditujukan bagi pengguna Xbox One.

Layout yang digunakan oleh BlackWidow V3 Pro sama persis seperti BlackWidow Elite, dengan tiga tombol multimedia dan kenop untuk mengatur volume. Kendati demikian, pencahayaan RGB di BlackWidow V3 Pro bisa menyala lebih terang berkat kemasan switch yang transparan. Masing-masing keycap-nya juga diklaim lebih tangguh berkat penggunaan material Doubleshot ABS.

Switch-nya sendiri merupakan switch mekanis dengan dua varian yang berbeda – Green yang clicky, atau Yellow yang linear – bukan optical switch seperti milik seri Razer Huntsman. Seperti halnya DeathAdder V2 Pro tadi, keyboard ini juga dapat disambungkan via dongle Razer HyperSpeed atau Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya tahan sampai 200 jam, tapi ini tentu tergantung seberapa terang lampu RGB-nya menyala.

Buat yang tertarik meminang Razer BlackWidow V3 Pro, silakan siapkan modal sebesar $230. Agak mahal memang, tapi setidaknya Anda masih dapat wrist rest yang empuk demi kenyamanan ekstra.

Sumber: Razer.

Turtle Beach Luncurkan Generasi Baru Headset Gaming Wireless-nya

Sekitar tiga tahun yang lalu, Turtle Beach meluncurkan headset wireless pertama yang berlisensi resmi Xbox dan PlayStation, yaitu Stealth 700 dan 600. Keduanya sekarang sudah punya penerus, yakni Stealth 700 Gen 2 dan Stealth 600 Gen 2.

Timing peluncurannya tentu tidak mengejutkan. Microsoft telah mengumumkan bahwa Xbox Series X akan tersedia mulai bulan November 2020, dan kedua headset gaming baru ini memang dirancang supaya kompatibel dengan console next-gen tersebut. Seperti generasi sebelumnya, baik Stealth 700 Gen 2 maupun Stealth 600 Gen 2 juga tersedia dalam varian lain yang kompatibel dengan PS4 ataupun PS5.

Lalu apa saja yang baru dari kedua headset ini? Desainnya baru, meski memang tidak terlalu jauh berbeda dari generasi pertamanya. Mikrofon yang terpasang di earcup sebelah kiri lagi-lagi dapat dilipat kalau sedang tidak digunakan (dan otomatis di-mute dalam posisi terlipat). Bedanya mikrofonnya kini terlipat mengikuti kontur bodi sehingga kelihatan lebih seamless.

Deretan tombol pengoperasiannya kini diposisikan semua di earcup sebelah kiri, demikian pula port USB-C, yang tentu saja absen pada generasi pertamanya. Kedua perangkat sama-sama mengandalkan driver berdiameter 50 mm, akan tetapi driver milik Stealth 700 Gen 2 punya respon frekuensi sedikit lebih tinggi (20 – 22.000 Hz).

Perbedaan selanjutnya berkaitan dengan aspek kenyamanan. Stealth 700 Gen 2 datang membawa bantalan memory foam yang dilengkapi gel pendingin, sedangkan Stealth 600 Gen 2 hanya mengandalkan lapisan kain yang breathable. Konstruksi headband milik Stealth 700 Gen 2 juga melibatkan bahan logam demi menyajikan ketahanan yang lebih baik.

Buat yang berencana memakai headset gaming-nya untuk mendengarkan musik di smartphone, Stealth 700 Gen 2 juga merupakan pilihan yang lebih pas mengingat model inilah yang dibekali konektivitas Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini cukup untuk 20 jam pemakaian, sedangkan Stealth 600 Gen 2 sampai 15 jam.

Meski membawa sejumlah penyempurnaan, harga kedua headset rupanya sama persis seperti pendahulunya: Stealth 700 Gen 2 dibanderol $150, sedangkan Stealth 600 Gen seharga $100. Khusus untuk varian yang kompatibel dengan PlayStation, konsumen juga bisa memakainya dengan Nintendo Switch.

Sumber: Turtle Beach.