Pelopor Industrialisasi Larva BSF, Magalarva Reduksi Sampah Organik Jadi Makanan Super untuk Hewan

Rendria Arsyan Labde tidak menyangka, terekspos dengan hal-hal berbau sustainable farming membawanya jadi pelopor larva black soldier fly (BSF) di Indonesia, lewat Magalarva. Dulu ia buta soal BSF, namun kini mampu menemukan formula yang tepat dan efisien untuk produksi larva bahkan diekspor ke berbagai negara.

Sempat ia terjun ke bisnis properti sebagai pengembang perumahan yang berkelanjutan. Setelah dijalani, ternyata dampak yang bisa eskalasi tidak semasif dari yang ia prediksi. Rendria menggali lebih jauh dimulai dari isu di perkotaan, bertemulah dengan isu sampah yang makin parah.

Gerakan kesadaran sampah yang digalakkan sejauh ini hanya berkutat pada sampah non-organik. Padahal sampah organik jumlahnya jauh lebih banyak, sekitar 70% dari data yang ia temukan. Dari serangkaian riset yang dilakukan, ia bertemu pertama kali dengan larva BSF di Jawa Tengah. Belatung jenis ini berbeda dari yang ia ketahui selama ini karena saat makan begitu geragas melahapnya.

Selanjutnya, membaca jurnal ilmiah hingga belajar ke perusahaan di luar negeri untuk mencari tahu apakah ini ada nilai ekonominya. “Saya validasi lagi ini bener scalable dan visible gak sih. Di negara maju sudah ada perusahaannya dan memang bisa. Saya percaya kalau ini ditekuni bisa jadi solusi di Indonesia,” ujar Rendria kepada DailySocial.id.

Co-founder dan CEO Magalarva Rendria Arsyan Labde / Magalarva

Sebagai catatan, Magalarva adalah satu dari perusahaan bioteknologi yang menggeluti bisnis pengolahan limbah makanan menjadi pakan ternak dan pupuk organik berbahan dasar larva BSF.

Saat berdiri di 2017, Rendria mengaku belum ada pengusaha budidaya ini yang sudah masuk tahap industrialisasi. Untuk belajar dari ahli BSF di Indonesia saja belum ada yang benar-benar kuat, beda halnya kalau mau belajar budidaya udang atau jenis ikan lainnya sudah banyak ahlinya.

Sambil menyelam minum air, tak terhitung berapa banyak penelitian dan uji coba untuk menemukan formula budidaya BSF yang tepat. Layaknya makhluk hidup, seringkali BSF atau larva atau belatung ini tidak cocok dengan suhu atau makanan tertentu, maka harus dipelajari lebih dalam agar hasilnya terbaik.

“Sekarang sudah jalan lima tahun, kita percaya bahwa kita ini terbaik di Indonesia karena bisa dapat efisiensi cost paling tinggi.”

BSF dianggap sebagai senjata paling efektif dalam mengurai volume sampah makanan. Binatang ini tidak punya mulut dan organ pencerna. Mereka hanya makan saat masih jadi larva dan hanya memakan sisa hewan atau tumbuhan yang membusuk. Satu larva BSF bisa makan empat kali dari berat badannya, waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan makanan dalam volume kakap sekitar 2-3 hari saja.

Setelah itu, larva akan mengeluarkan kotoran apa yang dimakan menjadi pupuk. Sebagian larva ada yang diternakkan hingga jadi lalat, sebagian lagi dikeringkan menjadi pakan ternak. BSF yang dikeringkan, biasanya digunakan untuk kebutuhan ekspor. Selain bisa diberikan langsung untuk hewan, belatung kering yang telah diperoses lebih lanjut menjadi tepung dan minyak dapat dijadikan sebagai pelengkap pakan.

Siklus metamorfosis dimulai dari telur lalat hingga BSF kawin memakan waktu kurang lebih 41 hari. “Kita panen hidup-hidup belatungnya. Kita proses di pabrik untuk dicuci dan dikeringkan. Hasil belatung kering ini sumber protein tinggi yang sangat dibutuhkan untuk makanan hewan, baik ikan, ayam, udang, bisa dipakai langsung atau jadi bahan campuran.”

Pada tahun pertama, Magalarva mengelola sampah sebanyak 50 kilogram dalam sehari. Kini angkanya sudah berlipat-lipat ganda jadi 200 ton dalam sebulan, semuanya diproses langsung di pabrik pengolahan limbah makanan yang berlokasi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.

Pabrik pengolahan Magalarva di Gunung Sindur / Magalarva

Akumulasi sampah yang telah diolah sejak 2018 hingga sekarang mencapai 5 ribu ton. Yang terpenting meningkatnya kapasitas ini mampu membuat ongkos produksi Magalarva jauh lebih efisien turun jadi 70% dan bisa menjual BSF dengan harga lebih terjangkau.

Sumber sampah diambil dari mitra perusahaan, seperti produsen susu (Cimory, Indolakto), Dinas Lingkungan Hidup, startup waste management (Rekosistem, Waste4Change), hingga pengelola pasar tradisional (Pasar Induk Kramat Jati). “Beauty-nya di sini. Instead bersaing, kita jadi solusi untuk mereka karena food waste yang dikumpulkan, kita olah. Kita menawarkan service dan value kita ke mereka.”

“Ini sesuai dengan misi kita reduksi sampah sebesar-besarnya, walau angka ini masih belum bisa berikan impact yang besar. Tapi kita sudah melakukan sesuatu yang nyata.”

Rencana perusahaan

Penjualan panen dilakukan oleh tim Magalarva dalam berbagai bentuk, baik itu B2B maupun B2C. Perusahaan bekerja sama dengan pengusaha lokal untuk menjadi distributor/reseller. Biasanya mereka adalah pemilik toko makanan hewan, entah itu untuk penghobi ikan koi, burung, dan ayam.

Di samping itu, juga sudah ekspor ke Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Rendria membidik ke depannya dapat rutin ekspor hingga dua kontainer, masing-masing berkapasitas 15 ton per kontainernya. Negara yang akan disasar, yakni Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara.

Rendria mengaku pihaknya sedang menggalang pendanaan putaran baru untuk beli alat baru dan menambah luas pabrik. “Sekarang kita kebanjiran order tapi kita butuh capital untuk tambah kapasitas karena yang sekarang sudah mentok.”

Selain tambah ekspor, perusahaan berencana untuk masuk ke industri lainnya, seperti tambak udang dan unggas agar penyerapan hasil panen dapat lebih masif. Kedua industri ini juga tak kalah besar potensi pasarnya.

Sebagai catatan, Magalarva telah didukung dengan sejumlah pendanaan dari investor. Pertama kali diperoleh pada Juni 2019 dari Innovation Factory milik Salim Group dan Gree Venture, nominal yang diterima sebesar $500 ribu. Kemudian pada akhir 2022, mendapat tambahan suntikan dari Bali Investment Club.

Pekerjaan rumah Magalarva dan teman-teman sejenisnya masih begitu besar.

Data Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) menyebutkan volume sisa makanan atau food waste mencapai 28,5 juta ton atau 40,6% dari seluruh total timbunan sampah di tanah air pada 2022. Sampah dari rumah tangga jadi penyumbang terbesar dengan persentase sebesar 38,3%.

Data pendukung lainnya dari Bappenas menyebutkan Indonesia membuang 23-48 juta ton sampah makanan per tahun sepanjang periode 2000-2019. Food waste tersebut menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp231 triliun-Rp551 triliun per tahun. Padahal secara sosial, sebetulnya kerugian ini dapat memberi makan kepada 61-215 juta orang per tahun.

Dari dampak lingkungan, sampah organik merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas metan. Gas ini memiliki potensi pemanasan global yang efeknya dahsyat, yakni mencapai 28 kali lipat lebih besar dari karbondioksida.

Wavemaker Impact dan Tesis 100×100, Formulasi Percepat Lahirnya Startup Berdampak

Meningkatnya krisis iklim global membuat Asia Tenggara menghadapi kerentanan yang lebih besar, terutama terhadap kenaikan permukaan air laut. Studi menunjukkan bahwa lebih dari 100 juta orang, atau 15% dari populasi di kawasan ini, menghuni daerah yang diperkirakan akan berada di bawah air pada tahun 2050.

Di sisi lain, kawasan ini juga menawarkan beberapa habitat alami dan wastafel karbon terbesar di dunia, seperti hutan hujan yang luas di Papua dan Kalimantan, depositoal lahan gambut yang signifikan di Indonesia, dan beberapa cadangan bakau terbesar di dunia.

Sebanyak 50% dari emisi kawasan ini berasal dari produksi pangan dan perubahan penggunaan lahan, terutama ditandai oleh pertanian petani kecil, maka dari itu solusi lokal sangat penting. Semangat ini yang ingin diteruskan oleh Wavemaker Impact, bagian dari VC asal Asia Tenggara Wavemaker Partners, yang didirikan pada 2021.

DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang lebih jauh dengan Founding Partner Wavemaker Impact Marie Cheong secara tertulis.

Tesis 100×100

Cheong menuturkan Wavemaker Impact (WMi) merupakan bagian dari strategi Wavemaker Partners yang sedang bertransisi dari dana kelolaan strategi tunggal ke multi-strategi. WMi berfokus pada teknologi iklim dan pengembangan usaha yang diklaim telah menarik berbagai LP dan dana kelolaan berdampak memiliki proses dan struktur investasi yang berbeda dengan dana kelolaan di Wavemaker Partners.

“Kedua strategi ini berkontribusi pada visi Wavemaker untuk menjadi VC tahap awal yang paling tepercaya di Asia Tenggara dan misinya untuk berinvestasi pada wirausahawan terbaik di kawasan ini, serta memimpin komunitas terpercaya untuk membantu mereka sukses dan memberikan dampak positif pada dunia,” ucapnya.

Dia melanjutkan, misi yang diemban WMi adalah membangun portofolio perusahaan teknologi iklim yang dapat mengurangi 10% anggaran karbon global. Untuk itu, pihaknya bermitra dengan wirausahawan berpengalaman untuk membuat konsep dan berinvestasi di 100×100 perusahaan – perusahaan yang skalabel dengan kemampuan mengurangi 100 juta ton setara karbon dioksida dan menghasilkan bisnis dengan pendapatan sebesar $100 juta.

Tim WMi / WMi

Ia dan tim berfokus pada inovasi model bisnis – mengembangkan insentif yang mendorong adopsi teknologi ramah lingkungan yang tersedia secara komersial atau mengubah perilaku. Setiap bisnis yang dibangun diamanatkan untuk meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya bagi pelanggan melalui teknologi ramah lingkungan.

“Karena kami tidak fokus pada risiko teknologi, perusahaan-perusahaan ini memiliki kemampuan untuk mencapai skala dalam jangka waktu dana VC yang umumnya 10 tahun. Dengan demikian, kami menargetkan pengembalian 3-5x untuk LP kami,” ucap Cheong.

Proses yang dilakukan WMi, sebagai venture builder, dimulai dengan mencari pengusaha berpengalaman yang terdorong untuk memecahkan masalah besar secara mendesak dan meluncurkan bisnis baru yang berdampak. Setiap pendiri dalam portofolio WMi sebelumnya telah terbukti memiliki rekam jejak exit yang berhasil. Dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka tahu cara menciptakan nilai, membangun tim, mengembangkan produk, membangun jaringan pelanggan, dan meningkatkan modal.

Setelah orang tersebut menunjukkan komitmennya untuk bekerja sama, WMi akan menyediakan tim yang terdiri dari tiga venture builders untuk bekerja bersama dengan sang pendiri selama tiga hingga enam bulan untuk menemukan peluang 100×100 yang sesuai dengan ambisi dan keahlian mereka.

Telah disusun pula pedomannya, dimulai dengan menemukan founder-problem fit: sebuah ruang permasalahan yang cukup besar dari sudut pandang ‘pasar total yang dapat diatasi’ dari sudut pandang karbon dan nilai (dalam dolar) yang ingin ditangani oleh para pendiri.

Cara ini merupakan hasil diskusi dengan 80-200 pelanggan potensial, pakar di bidang ini, dan mitra ekosistem untuk mencari wawasan dan insentif yang menghubungkan kantong nilai karbon dan dolar.

“Setelah memiliki [playbook], kami mengembangkan model bisnis dan mengujinya di pasar. Pada titik ini kami yakin bahwa ini adalah peluang 100×100 dan yang lebih penting, sang pendiri bersemangat membangun bisnisnya. WMi berinvestasi dan sang pendiri meluncurkan perusahaannya. Kami bekerja dengan para pendiri secara individual, bukan secara kelompok.”

Dicontohkan, kemitraan dengan salah satu pengusaha Indonesia, Benny Batara, untuk meluncurkan BumiBaru yang memulihkan lahan terdegradasi di Indonesia dengan mengubahnya menjadi kawasan pertanian yang menguntungkan.

Karena berfokus pada inovasi model bisnis dibandingkan teknologi mendalam, lewat tesis 100×100 ini para pendiri tidak perlu memiliki latar belakang bidang tersebut atau keahlian di bidang tertentu. Sebaliknya, WMi melihat bagaimana mereka dapat mengatasi inefisiensi pasar melalui penerapan teknologi ramah lingkungan.

Misalnya, salah satu portfolionya, Rize, merupakan perusahaan patungan antara Temasek, Breakthrough Energy Ventures, dan GenZero. Rize melakukan dekarbonisasi budidaya padi -pendorong emisi pertanian terbesar kedua secara global− dengan menawarkan input yang lebih murah (pupuk, benih, dan lainnya) demi menciptakan insentif bagi petani untuk mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan.

Portofolio lainnya, Helios, berambisi ingin mempercepat penerapan energi surya untuk perumahan, melalui penciptaan hipotek tenaga surya pertama di Asia Tenggara. Helios memberikan pelanggan akses terhadap hipotek yang lebih murah dengan memasang panel surya di atap rumah mereka.

Tutup fund pertama

Pada Desember 2023, WMi mengumumkan telah mengumpulkan fund pertama sebesar $60 juta. Raihan ini disebutkan melampaui target awal sebesar $25 juta. Modal tambahan ini akan memungkinkan perusahaan untuk memperluas portofolio perusahaannya dan terus melakukan investasi lanjutan pada usaha dengan kinerja terbaik hingga putaran pendanaan Seri B.

LP yang bergabung dalam fund ini, yakni United States Development Finance Corporation (DFC), British International Investment (BII), dan Triple Jump / DGGF, Beacon Capital, lengan ventura KBank, dan Autodesk Foundation, perusahaan filantropi Autodesk Inc.,

Hingga saat ini, WMi telah meluncurkan dan berinvestasi di enam perusahaan, ada tambahan empat lainnya sedang dalam pengembangan, serta dalam proses meluncurkan perusahaan pertamanya di India dan Australia. Portofolionya saat ini meliputi:

  • Agros – platform pertanian berkelanjutan untuk petani hortikultura
  • WasteX – perusahaan teknologi biochar terdistribusi yang menyerap emisi limbah pertanian
  • Rize – sebuah platform bagi petani untuk mengurangi emisi metana dalam budidaya padi
  • Helios – perusahaan hipotek tenaga surya residensial pertama di Asia Tenggara
  • BumiBaru – perusahaan pembalikan lahan terdegradasi di Indonesia
  • RegenX – platform pertanian regeneratif yang berfokus pada komoditas tanaman seperti kopi dan kakao

Portofolio awal WMi telah mengumpulkan pendanaan dari investor terkemuka, seperti Norinchukin Bank, Schneider Electric, dan Gaia Impact Fund, sementara sebagian besar portofolionya bersiap untuk mengumpulkan putaran Seed dan Seri A selama 12 bulan ke depan.

“Kami fokus berinvestasi pada para pendiri yang telah melalui proses venture build bersama kami.”

Cheong berpendapat startup berdampak di Asia Tenggara masih dalam tahap pertumbuhan, sehingga sebagian besar mereka berfokus pada skalabilitas komersial dengan dampak sebagai pertimbangan sekunder atau dampak dengan pertumbuhan yang lebih lambat.

Hanya saja, ada beberapa pengecualian, seperti eFishery di Indonesia yang telah memberikan dampak luar biasa terhadap penghidupan para petani ikan di Indonesia sembari membangun unicorn dari agritech.

“Tesis kami adalah membangun startup yang sangat skalabel dan memiliki dampak signifikan terhadap iklim adalah hal yang mungkin dilakukan,” pungkas dia.

Mengenal Rebricks, Sulap Sampah Plastik Sekali Pakai Jadi Bahan Bangunan

Sampah plastik selalu jadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan karena sifatnya yang tidak mudah terurai, proses pengolahannya menimbulkan toksit dan bersifat karsinogenik, dan butuh waktu sampai ratusan tahun bila terurai secara alami. Indonesia termasuk negara yang masih berusaha menyelesaikan masalah yang pelik ini.

Novita Tan dan Ovy Sabrina, dua sekawan yang peduli soal isu ini, memutuskan untuk merintis Rebricks, startup impact yang mendaur ulang sampah plastik sekali pakai menjadi bahan bangunan. Inisiasi ini dimulai pada 2018.

Solusi yang ditawarkan Rebricks berhasil memboyong sejumlah penghargaan, seperti Circular Innovation Jam 2020, Green Award 2022, ICLIF Leadership Energy Awards (ILEA) 2022, dan Tempo Circular Economy Award 2023. Produknya juga sudah lulus Combusting Test British Standard 476: Fire test in building material and structure, Uji Kuat Tekanan Kementerian Perindustrian dan dikategorikan dalam kriteria SNI kelas B yang cocok untuk pelataran parkir, jalur pejalan kaki, dan taman.

Perjalanan Rebricks

Sumber: Rebricks

Mencapai sejumlah penghargaan dan sertifikasi di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ovy dan Sabrina harus jatuh bangun melakukan riset selama 1,5 tahun dalam mendaur ulang sampah kemasan plastik multilayer atau biasa disebut Multi-Layered Packaging (MLP). Sampah jenis ini sulit didaur ulang karena terdiri dari beberapa lapisan plastik dan material lain. Kemasan ini biasanya ditemui pada produk kebutuhan sehari-hari, seperti bungkus mi instan atau sampo dan kopi sachet.

Laporan Greenpeace di tahun 2019 berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions” menyampaikan sebanyak 855 miliar kemasan sachet beredar di pasar global di kala itu. Asia Tenggara sendiri memegang pangsa pasar sekitar 50%. Diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 triliun pada 2027 nanti.

Permasalahan sampai MLP ini jadi tantangan tersendiri dalam upaya daur ulang sampah, lantaran masih sedikit pihak yang menerima dan mengelola sampah tersebut.

“Misi awal kita adalah mau menciptakan produk yang bukan sekali pakai. Karena suplainya banyak, kebetulan co-founder kita [Ovy] punya kemampuan di bidang konstruksi bahan bangunan jadinya kita punya akses untuk explore ke sana,” ucap Co-Founder Rebricks Novita Tan kepada DailySocial.id.

Sumber: Rebricks

Dalam proses R&D pun tidak mudah menemukan formulasi yang tepat karena harus bolak balik riset demi riset demi mendapat hasil yang diinginkan. Untuk prosesnya sendiri, sampah plastik yang dicacah, dicampur dengan bahan lain, dipadatkan (press), baru kemudian dicetak.

“Menariknya kita pakai metode hijau, jadi di setiap proses kita tidak ada melting. Biasanya pengolahan sampah banyak yang harus dibakar duli, tapi kalau kita dari awal sampai akhir tidak ada proses itu.”

Produk pertama Rebricks adalah paving block. Produk kedua adalah batako yang dirilis setahun kemudian, dan terakhir roaster. Paving block buatan Rebricks dapat bertahan antara 10-20 tahun, mampu menahan beban hingga 250 kg/cm2, dan berat lebih ringan 2,2 kg dibandingkan yang konvensional sebesar 2,5 kg.

Dari tampak luar, paving block yang dibuat perusahaan sama seperti pada umumnya, tujuannya agar pekerja mudah menggunakannya. Namun jika diperhatikan dari dekat, akan terlihat serpihan-serpihan kecil plastik. Meski begitu, secara fungsi sebenarnya sama saja bisa dipakai untuk parkiran dan jalanan.

Seluruh proses ini dilakukan di workshop Rebricks yang terletak di Jalan Ciputat Raya No. 79, Jakarta Selatan. Di sana terdapat tiga mesin yang mampu memproduksi 80 meter paving block dari 80 kg limbah plastik untuk hitungan kapasitas penuh. Adapun, tim Rebricks terdiri dari 15 orang.

Dalam mengumpulkan suplai limbah plastik, Rebricks memanfaatkan komunitas yang dibangun sendiri disebut Rebrickers. Kebanyakan mereka adalah rumah tangga yang sudah sadar untuk memilah sampah plastik sendiri, tapi bingung setelah mau diapakan limbah tersebut dan secara sukarela mau mengirimnya ke drop point Rebricks.

“Dari data kita, mereka enggak cuma dari Jakarta, tapi ada dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, yang rela kirim sendiri walau ongkos kirimnya lebih maha. Mereka itu sudah aware tapi bingung habis itu [limbahnya] mau diapakan.”

Antusiasme yang tinggi dari Rebrickers membuat perusahaan kelebihan suplai karena terus-menerus dikirim. Membludaknya ini tak lain juga karena tidak ada lagi tempat yang menerima kiriman sampah sekali pakai. Untuk mengatasi ini, perusahaan pun akhirnya membatasi limbah yang bisa kirim maksimal 5 kg dalam sebulan untuk satu rumah tangga.

“Setiap hari kami terima 50 kg limbah yang masuk. Tantangannya karena belum banyak pelaku [yang bisa terima] jadi mereka [Rebrickers] kirim terus, sementara kami harus sesuaikan dengan demand juga karena di mana-mana pasti supply pasti lebih dari demand.”

Untuk mengatasi isu demand, perusahaan memanfaatkan model B2C dan B2B. Perusahaan menjual produk-produknya dengan harga yang kompetitif. Pembeliannya juga relatif mudah, cukup menghubungi nomor WhatsApp yang tertera di katalog situs Rebricks.

Sumber: Rebricks

Terhitung sejak berdiri di 2018, per hari ini (3/2) perusahaan telah mengolah 10 ribu kg sampah plastik menjadi paving block dari 17,5 ribu kg sampah yang diterima dari komunitas.

Novi mengaku para pembelinya juga datang dari luar Jakarta, seperti Merak, Surabaya, dan Bandung. Mereka rela membayar ongkos kirim yang lebih mahal karena menilai lebih apa yang ditawarkan Rebricks itu ramah lingkungan, bukan sekadar paving blocks biasa. Kontribusi bisnis dari B2C dan B2B dianggap imbang mampu membuat perusahaan tetap dapat menjalankan operasional, kendati ia merinci lebih detil dengan angka.

Kolaborasi dengan B2B

Salah satu kerja sama B2B yang baru diumumkan adalah bersama Hokben. Untuk pertama kalinya, Rebricks akan mengolah plastik mika atau PVC (Polyvinylchloride). Jenis ini sulit untuk didaur ulang karena mengeluarkan zat berbahaya jika salah mengolahnya. Hasil daur ulang dari kolaborasi ini adalah roster untuk memperindah interior gerai HokBen.

Roster merupakan komponen dinding yang berfungsi sebagai lubang angin yang membantu sirkulasi udara, mempercantik dinding rumah untuk menambahkan ornamen-ornamen di dinding rumah dan memperbaiki tata cahaya ruangan untuk menghemat penggunaan lampu sehingga membantu menghemat penggunaan listrik.

Pengumuman kolaborasi HokBen dengan Rebricks / HokBen

Pada umumnya roster terbuat dari tanah liat, batako, dan beton. HokBen dan Rebricks membuat roster dengan salah satu komposisinya adalah sampah kemasan makanan HokBen yang terbuat dari mika, 1 roster yang dibuat mengandung 10 buah sampah plastik mika bekas HokBen.

Kolaborasi yang akan berlangsung selama satu tahun ini menargetkan dapat mengolah satu ton sampah plastik mika bekas HokBen. Tidak hanya roster, kedua perusahaan akan terus menambah target pengolahan sampahnya dan akan terus berkembang untuk membuat variasi produk lainnya.

Sebelum diresmikan pada Selasa (31/1), Hokben sudah melakukan pilot project selama 1,5 bulan sebelumnya. Dari situ terkumpul 300 kg sampah plastik mika yang telah digunakan di 11 gerai HokBen sebagai bagian dari disain ruangan. Total keseluruhan sampah yang digunakan mencapai 16.380 plastik mika bekas yang sudah terolah atau setara 128 kg.

Direktur Operasional PT Eka Bogainti (HokBen) Sugiri Willim menuturkan, “Kami mengajak seluruh masyarakat, khususnya pelanggan setia HokBen untuk turut mengembalikan sampah plastik mika bekas HokBen yang sudah dibersihkan ke seluruh gerai HokBen di Indonesia.”

Sebelumnya, beberapa kolaborasi B2B juga sudah dilakukan Rebricks. Salah satunya dengan Novo Nordisk untuk bangun dua kamar mandi dan dua toilet di Kampung Pemulung, kemudian Hush Puppies Indonesia membangun dua kamar mandi, satu area untuk mencuci, sumur, pipa untuk mengaliri air, dan septic tank di Kampung Panagan, Bogor.

Rencana berikutnya

Di masa mendatang, Novi ingin menyempurnakan produk Rebricks, di antaranya meningkatkan kuat tekan. Kuat tekan Rebricks saat ini berada di angka 250 kg/cm2, sehingga belum cukup untuk masuk ke kriteria material bangunan SNI kelas A. Di samping itu, perusahaan akan menambah variasi produk bahan bangunan agar hasil daur ulang bisa dimanfaatkan secara lebih masif.

Saat ini perusahaan sudah beberapa kali memperoleh dana hibah dari Malaysia dan organisasi nirlaba. Tahun ini, Novi mengungkapkan rencananya untuk menggalang pendanaan dari modal ventura.

“Tiga tahun kemarin kami membangun diri sendiri, menyiapkan produknya agar bisa ajak investor yang punya visi yang sama. Tahun ini pelan-pelan akan buka diri [ke investor],” pungkasnya.

Startup Teknologi Iklim “Fairatmos” Dapat Pendanaan Awal 69 Miliar Rupiah

Fairatmos, startup teknologi karbon lokal, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $4,5 juta (lebih dari 69 miliar Rupiah) dipimpin Go-Ventures dan Kreasi Terbarukan TBS, lengan investasi dari perusahaan energi lokal Toba Bara Sejahtera. Vertex Ventures SEA and India dan angel investor terkemuka turut serta dalam putaran tersebut.

Dana segar bakal digunakan untuk memperkuat platform dengan menyediakan inovasi digital baru di pasar karbon, menjangkau lebih banyak komunitas dan pengembang proyek, serta memperluas tim di berbagai fungsi, termasuk pakar analitik penginderaan jauh, produk, dan engineer.

Startup yang baru didirikan pada tahun ini berambisi  mendemokratisasi akses ke pasar karbon melalui platform yang mendukung pengembangan proyek penyerapan karbon bagi komunitas, korporasi, dan pihak lain. Selain itu, membantu pengembang proyek dalam aspek pendanaan bersama entitas komersial dan individu.

Di bawah Perjanjian Paris 2015, sebanyak 196 negara mendukung tujuan global untuk mempertahankan kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius, yang berarti mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50% pada tahun 2030. 702 perusahaan di seluruh dunia telah menjanjikan nol bersih mereka sasaran, yaitu pertumbuhan yang sangat pesat pada tahun sebelumnya, termasuk di Indonesia.

“Salah satu cara bagi perusahaan untuk memenuhi targetnya adalah dengan mengimbangi emisi mereka melalui kredit karbon,” jelas Founder dan CEO Fairatmos Natalia Rialucky dalam keterangan resmi, Senin (5/12).

Produk Fairatmos

Natalia melanjutkan, mengembangkan proyek penyerapan karbon yang berkualitas tinggi dan terukur bukanlah tugas yang mudah. Terlepas dari potensi yang melimpah bagi Indonesia untuk menjadi penyerap karbon dunia, secara historis hanya ada sedikit proyek di Indonesia, karena ada banyak hambatan teknis dan biaya di muka yang mempersulit masyarakat dan organisasi untuk berpartisipasi.

Fairatmos bertujuan untuk mendemokratisasi akses ke pasar karbon. Misi perusahaan adalah meningkatkan mata pencaharian masyarakat petani kecil melalui pendapatan tambahan dari keterlibatan dalam proyek karbon dan mengurangi degradasi ekosistem di sekitarnya. Fairatmos sedang membangun solusi inovatif yang membantu masyarakat, pemilik aset, dan pengembang proyek untuk merancang dan memverifikasi proyek karbon, selain itu memberikan panduan teknis dan studi pra-kelayakan digital gratis.

Produk pertamanya adalah Digital Pre-Feasibility Study (Pre-FS) untuk penyerapan karbon melalui konservasi mangrove. Platform tersebut membantu proses verifkasi karbon dengan ringkas yang mencakup identifikasi, standardisasi, dan pemilihan metodologi, hingga pengecekan kelayakan proyek berdasarkan metodologis.

Menurut Natalia, dengan proses biasa dapat memakan waktu 60 hari sehingga memerlukan biaya yang tinggi. Sementara dengan platform Pre-FS ini dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari secara gratis.

Platform Pre-FS dibangun dengan teknologi Remote Sensing dan Machine Learning yang diklaim dapat memprediksi potensi proyek penyerapan karbon secara tepat. Dalam pengembangan, Fairatmos selalu merujuk pada basis data yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti National Forest Reference Emission Level for Forest Deforestation and Forest Degradation yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Beberapa proyek Digital Pre-FS yang sedang dijalankan oleh Fairatmos termasuk di antaranya program restorasi bakau di Muara Badak Ulu, pedesaan Handil Terusan di Kalimantan Timur, dan program restorasi bakau di Cilacap, Desa Ujungalang di Jawa Barat.

“Seluruh proyek ini mengikutsertakan komunitas petani dan inisiatif bisnis lokal. Tujuan untuk memperbaiki ekosistem lingkungan seperti wanatani dan bakau, melestarikan habitat natural seperti pohon bakau, membuat peluang turisme dengan ekoturisme, dan memfasilitasi inisiatif bisnis lokal dalam produk bakau,” tutur Natalia seperti dikutip secara terpisah dari SWA.

Di masa mendatang, Fairatmos berencana untuk menghubungkan pengembang dengan perusahaan dan individu yang ingin mengimbangi mereka emisi karbon sebagai bagian dari tujuan net-zero mereka. Dalam waktu kurang dari satu tahun beroperasi, Fairatmos telah mendapatkan daya tarik yang kuat dan bekerja dengan lebih dari 40 pengembang proyek di beberapa proyek penyerapan karbon di hutan bakau, hutan dan pertanian.

“Dengan tutupan hutan lebih dari 126 juta hektar, Indonesia secara global dikenal sebagai ‘paru-paru dunia’. Potensi pasar karbon di Indonesia sangat besar, dengan nilai $565 miliar nilai ekonomi karbon,” kata Partner Go-Ventures Aditya Kamath.

Sebelumnya hubungan bisnis antara Go-Ventures (dalam hal ini GoTo Group) dengan Kreasi Terbarukan TBS di bidang energi terbarukan sudah terjalin sejak pembentukan perusahaan patungan PT Energi Kreasi Bersama, bersama PT Rekan Anak Bangsa. Perusahaan ini bergerak kendaraan motor listrik, termasuk perakitan, perdagangan, pembiayaan, perakitan baterai hingga menyediakan stasiun penukaran baterai.

Fairatmos telah bermitra erat dengan pemerintah Indonesia untuk mengikuti panduan peraturan dalam mengembangkan proyek karbon. Perusahaan terpilih sebagai mitra resmi inisiatif netral karbon pada KTT B20 baru-baru ini pada November 2022, forum dialog resmi komunitas bisnis global G20.

Fairatmos dipimpin oleh tim pendiri yang kuat, dengan pengalaman  dan rekam jejak yang terbukti dalam iklim dan keberlanjutan. Natalia Rialucky, memiliki lebih dari 10 tahun pengalaman memimpin inisiatif keberlanjutan untuk berbagai proyek pertanian dan iklim. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Chief Strategy and Social Impact Officer di TaniHub dan Head of Social Impact di Boston Consulting Group.

Perusahaan baru-baru ini mengangkat Karida Niode sebagai Head of Climate Solutions, yang sebelumnya adalah Konsultan di sebuah perusahaan ESG  berbasis di New York dan perusahaan multinasional lainnya untuk manajemen ESG; Aruna Pradipta sebagai VP of Growth and Partnerships, sebelumnya bekerja di Systemiq memimpin berbagai proyek dalam pengelolaan hutan dan masyarakat; Fredric Tanuwijoyo, sebagai VP of Strategy and Project Development, sebelumnya menjadi konsultan di McKinsey.

“Ke depan, kami bertujuan untuk terus mendobrak hambatan dan mengembangkan inovasi teknologi untuk platform kami yang akan memungkinkan akses yang lebih besar ke modal dan keahlian teknis untuk proyek penyerapan karbon,” tutupnya.

Laporan Google Trends: Peningkatan Jumlah Penelusuran Cara Daur Ulang dan Cara Berbelanja Berkelanjutan

Data Google Trends sepanjang bulan September 2020 hingga September 2022 mendeteksi sejumlah perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia selama pandemi. Kondisi ini telah mempengaruhi kebiasaan masyarakat dan mendorong mereka untuk mulai berpikir melakukan gaya hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Penelusuran daur ulang dan definisi efek rumah kaca

Persoalan daur ulang ternyata menjadi salah satu topik yang banyak dicari  masyarakat Indonesia melalui mesin pencari Google. Tercatat 2 dari 5 provinsi yang memiliki minat tinggi terhadap penelusuran seputar daur ulang terdapat di Pulau Jawa. Jawa Timur sebagai provinsi dengan minat tertinggi, diikuti Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi lain yang menunjukkan minat tinggi adalah Bali, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau.

Masyarakat Indonesia juga semakin peduli terhadap pentingnya keberlanjutan. Terbukti dari penelusuran terkait “organisasi amal dan “daur ulang” tercatat mencapai frekuensi tertinggi di tahun 2022. Google Trends juga mencatat, selama dua tahun terakhir, konten seputar keberlanjutan yang ditelusuri masyarakat Indonesia berkembang menjadi sangat variatif mulai dari bagaimana cara berbelanja secara berkelanjutan hingga bagaimana tanaman teh dapat menahan erosi.

Terkait kegiatan belanja online dan offline, Google Trends juga mencatat adanya penelusuran dalam jumlah yang cukup tinggi terkait dengan kata kunci charity shop atau organisasi amal dan daur ulang yang mengalami peningkatan di titik tertinggi di tahun 2022. Pakaian, kemasan, perabot rumah, produk perawatan kulit, dan sepatu menempati posisi lima besar produk berkelanjutan yang paling dicari masyarakat Indonesia.

Sementara itu, definisi terkait perubahan iklim juga banyak ditelusuri, termasuk di antaranya: definisi hidroponik, efek rumah kaca, cuaca, tanaman musiman, hingga definisi pencemaran menurut UU nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Penelusuran juga memperlihatkan komputer tua, sobekan kertas, kaleng logam, buku usang, dan bola sepak kerap menjadi barang yang ingin diketahui masyarakat Indonesia perihal bagaimana proses daur ulangnya.

Tidak hanya barang-barang, bahkan makanan menjadi kata kunci yang sering ditelusuri terutama resep vegetarian seperti nasi goreng, burger, roti pisang, pizza, dan pasta.

Hibah Google.org kepada Edufarmers dan World Food Programme

Bertujuan untuk mendukung penelitian dan peningkatan awareness tentang cara meningkatkan hasil produksi di sektor pertanian, serta mengajarkan bisnis dan soft-skill kepada calon-calon pemimpin di bidang pertanian, Google.org mengumumkan pemberian hibah sebesar US$724.490 kepada Edu Farmers International Foundation.

Edufarmers akan menggunakan dana dari Google.org untuk bekerja sama dengan petani dalam mengadopsi praktik dan teknologi inovatif untuk memaksimalkan hasil produksi, melalui koordinasi yang erat dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Kementerian Pertanian.

“Melalui hibah ini, Edufarmers akan berusaha meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia melalui R&D untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pengembangan modul dan video pelatihan tentang keterampilan teknis pertanian dan soft-skill, pelatihan dan program pengembangan untuk petani dan pemuda, serta konferensi agri-innovation untuk mendukung regenerasi petani ke pemuda dan mengakselerasi penggunaan teknologi agrikultur,” kata COO Edufarmers Amri Ilmma.

Google.org juga menyediakan hibah sebesar US$500.000 untuk World Food Program USA untuk mendukung upaya United Nations World Food Programme (WFP) di Indonesia. WFP mengurangi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia dengan memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat agar dapat merespons peristiwa cuaca ekstrem dan kendala terkait iklim dengan lebih baik.

WFP mengurangi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia dengan memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat agar dapat merespons peristiwa cuaca ekstrem dan kendala terkait iklim dengan lebih baik. Menggunakan metodologi inovatif dan set data baru untuk meningkatkan kemampuan prediksi, WFP bersama Pemerintah mengerjakan PRISM (Platform for Real-Time Impact Situation Monitoring). PRISM menggunakan pencitraan satelit dan sensor lainnya untuk memberi informasi iklim dengan cepat kepada pemerintah dan sektor kemanusiaan untuk ditindaklanjuti.

“Kami berharap inisiatif ini dapat memperkuat ketahanan ekosistem pertanian di Indonesia dan kami tidak sabar ingin melihat peran teknologi dalam mewujudkan sistem pangan yang lebih berkelanjutan,” kata Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf.

Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus Terpilih Mengikuti Program Akselerator NINJA JICA 2022

Program akselerator NINJA JICA 2022 bermitra dengan ANGIN telah memilih 3 startup berdampak asal Indonesia yang berhak untuk mengikuti program akselerasi. Tiga startup tersebut adalah Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus. Mereka berhasil lolos setelah melalui proses kurasi, total ada 200 startup yang terdaftar.

Bertujuan untuk meningkatkan ekosistem kewirausahaan yang berdampak di Indonesia, program akselerasi yang diinisiasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) ini melakukan proses pemilihan secara selektif dan ketat. Mereka ingin mendukung dan melengkapi perusahaan rintisan Indonesia yang berpengaruh untuk menghadapi daftar investor yang dikurasi, memperluas peluang kemitraan, dan meraih dukungan finansial.

Selanjutnya ketiga startup terebut akan menerima sesi mentoring mulai bulan November 2022 dan menghadiri Demo Day untuk investor lokal, regional, dan Jepang pada Februari 2023 di Jakarta dan Jepang. Startup terpilih tersebut nantinya dapat berkontribusi pada pengelolaan limbah dan area emisi rendah karbon.

Startup berdampak

Salah satu persamaan yang dimiliki oleh tiga startup terpilih tersebut adalah, fokus mereka yang menyasar kepada impact. Kategori startup berdampak saat ini mulai banyak bermunculan, mulai climate tech, waste management, renewable energy, hingga energy efficiency.

CarbonEthics misalnya, mendukung institusi dan individu dalam aksi iklim melalui perhitungan karbon dan penyerapan karbon melalui konservasi mangrove berbasis masyarakat. CarbonEthics berencana untuk memasuki pasar kredit karbon global dengan menyediakan proyek karbon terverifikasi dan memperluas cakupannya dari hanya ekosistem karbon biru ke solusi iklim berbasis alam yang lebih luas.

Sementara Bell Society mengembangkan dan memproduksi kulit biomaterial dengan mengubah limbah kulit kopi, sekam, dan ampas kopi. Kulit digunakan sebagai bahan tas, sepatu, waller. Bell Society memperoleh kopi dan sampah organik dari kafe, restoran, dan langsung dari koperasi petani kopi. Rencana pertumbuhan mereka akan mencakup skala dan distribusi global untuk menjadi merek global dan memiliki kolaborasi di seluruh dunia dalam 2 tahun ke depan.

Startup lainnya yang berfokus kepada food waste management adalah Surplus. Tercatat saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Yogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Disclosure: DailySocial.id merupakan media partner ANGIN untuk peliputan startup berdampak di Indonesia