Jalan Panjang Waste4Change Perangi Sampah Sekali Pakai

Sebagai salah satu negara berpenduduk terpadat di dunia, Indonesia berada dalam posisi darurat sampah. Negara ini masih berjuang melawan polusi plastik dan sampah laut akibat sistem pengelolaan sampah yang tidak tepat. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia hanya mampu mengelola 14,58% sampahnya, sedangkan sebagian besar sampah yang dihasilkan tidak terkumpul atau dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di 2019.

Bank Dunia (2021) menyatakan Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahun dan sebagian besar sampah yang dihasilkan salah kelola. Alias masih bertumpu pada pengelolaan sampah kumpul, angkut, buang, yang akhirnya membebani kondisi TPA, padahal banyak material yang seharusnya dapat diolah kembali.

Sebagai contoh, 70% sampah di perkotaan langsung dibuang ke TPA, yang mengakibatkan kelebihan kapasitas. TPA/TPST Bantar Gebang, Bekasi, misalnya yang seluas 110,3 hektar dengan ketinggian gundukan sampah sampai 30 meter hanya mampu menampung masuknya 7.000-7.500 ton sampah penduduk DKI Jakarta hingga maksimal tiga tahun lagi. TPA lainnya juga bernasib sama, seperti TPA Suwung di Bali dan TPA Piyugan di Yogyakarta.

Kecilnya jumlah sampah yang didaur ulang dan tingginya jumlah sampah yang menumpuk di TPA menimbulkan banyak masalah sosial maupun lingkungan. Dengan latar belakang masalah yang kompleks ini, mendorong Mohammad Bijaksana Junerosano untuk mendirikan Waste4Change pada 2014.

“Dengan mengadopsi pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan bertanggung jawab, Waste4Change berupaya meningkatkan tingkat daur ulang dengan menetapkan standardisasi dalam pengumpulan dan prosedur daur ulang sampah, serta meningkatkan kesejahteraan dan keselamatan operator,” kata dia saat dihubungi DailySocial.id.

Sano, panggilan akrabnya, merupakan pribadi yang peduli dengan pengelolaan sampah di Indonesia. Menurutnya, masalah pengelolaan sampah di negara ini merupakan masalah kompleks yang perlu ditangani dengan pendekatan holistik, tidak bisa hanya pada aspek teknis saja. Tak hanya sistem daur ulang dan pengumpulan sampah yang perlu diperbaiki, tapi mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat tentang sampah juga sangat penting.

“Fasilitas pengelolaan sampah yang tidak memadai juga menyebabkan masalah keamanan dan buruknya kesejahteraan pemulung. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dan kerja sama yang kuat untuk mengatasi permasalahan tersebut.”

Banyak masyarakat yang masih mengelola sampahnya tanpa berpikir panjang. Mereka mengumpulkan sampah mereka dan kemudian memindahkannya ke TPA atau tempat pembuangan sampah terdekat. Minimal atau hampir tidak ada pemilahan sampah, atau upaya daur ulang. Paradigma lama pengelolaan sampah ini menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, lingkungan, dan ekonomi.

Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia, banyak pemangku kepentingan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat telah memperkenalkan Circular Economy dan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Dengan menerapkan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, diharapkan masyarakat Indonesia dapat mengubah perilaku dan pola pikir pengelolaan sampah.

Di sisi lain, sektor informal memiliki peran penting dalam mendukung pengelolaan sampah yang bertanggung jawab di Indonesia. Namun mereka cenderung sangat selektif dalam mengumpulkan sampah dari lingkungan. Mereka biasanya hanya mengumpulkan bahan daur ulang yang paling berharga seperti Botol PET, Karton, dan Kaca. Sementara itu, material lain yang kurang menguntungkan seperti plastik PP, kemasan multilayer, dan styrofoam masih menjadi tantangan untuk didaur ulang dan mencemari lingkungan.

Didukung oleh teknologi dan kemitraan masyarakat, Waste4Change fokus untuk menawarkan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab secara holistik untuk rumah tangga dan perusahaan domestik. Dalam mempercepat pelaksanaan pengelolaan sampah, pihaknya melibatkan sektor informal dalam banyak hal, seperti platform perdagangan sampah.

“Hingga tahun 2021, Waste4Change telah mengumpulkan 9.237 ton sampah dan mengurangi 53% sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.”

Model bisnis dan proses memperkenalkan teknologi

Pada hakikatnya, teknologi berguna untuk meningkatkan efisiensi, namun tidak semua orang dapat dengan cepat beradaptasi dengan teknologi. Sano pun menyadari betul kondisi tersebut, apalagi ini diterapkan untuk pengelolaan sampah. Oleh karenanya, pihaknya cenderung mengintegrasikan teknologi secara bertahap, terutama untuk sektor informal dan operator sampah.

Dicontohkan, integrasi teknologi juga tergantung pada kondisi lokasi dan jenis sampah yang ditangani. Sebagai contoh, salah satu proyek Waste4Change, BRIC (Bekasi River Cleanup Project) pada November 2021, bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah di Kali Bekasi dengan menggunakan See Hamster, sebuah produk buatan Jerman, yakni PreZero/Schwarz Group dan One Earth One Ocean (OEOO).

Tiga perahu See Hamster memiliki mekanisme yang berbeda. Perahu pertama memiliki ramp yang berfungsi untuk menarik sampah dari badan air dan batas sungai. Perahu kedua dilengkapi dengan keranjang yang dapat naik-turun dan berfungsi untuk menahan dan mengumpulkan sampah saat perahu berjalan. Perahu terakhir memiliki conveyor belt yang dapat menarik sampah secara otomatis dari badan air.

Ketiganya bekerja secara sinergi dan saling melengkapi. Perahu ini ditenagai dengan daya panel surya, sehingga sistem yang ramah lingkungan dan bebas emisi karbon. See Hamster ini memiliki kapasitas pengumpulan 50-300 kg sampah per hari dan dapat mengurangi jumlah timbunan sampah di sungai. Untuk fasilitas pengelolaan sampah dilengkapi dengan tempat pemilahan dan penyimpanan sampah sementara, serta charging station untuk mengisi daya.

“Pada tahap awal implementasi BRIC, kami menemukan bahwa diperlukan beberapa penyesuaian dengan teknologi See Hamster karena jenis limbah yang unik dan kondisi terkini di Kali Bekasi. Keterlibatan merupakan kunci utama keberhasilan implementasi teknologi.”

Dari sisi hilir, untuk pengumpulan sampah, perusahaan menyediakan situs bernama Send Your Waste untuk permudah individu mendaur ulang sampah anorganik secara bertanggung jawab. Seluruh sampah yang sudah dibersihkan ini dikirim melalui kurir ke titik drop terdekat lokasi. Perusahaan bekerja sama dengan sejumlah mitra, yang kini lokasinya tersebar, di Jakarta, Bogor, Bekasi, Semarang, dan Sidoarjo.

Di luar itu, perusahaan juga menggiatkan kerja sama dengan pihak swasta dan pemerintah demi menciptakan efek domino yang lebih besar agar pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab.

Sano melanjutkan, Waste4Change memperkenalkan konsep 4C yang merepresentasikan Consult, Campaign, Collection, dan Create, dalam menawarkan solusi pengelolaan sampah secara end-to-end. 4C adalah komitmen Waste4Change untuk menyediakan solusi pengelolaan sampah yang berkelanjutan kepada klien kami. Komitmen tersebut selaras dengan visi yang dicanangkan perusahaan.

Consult, untuk penelitian dan kajian terkait persampahan; Campaign, berbentuk peningkatan kapasitas, pendidikan, dan pendampingan; Collect, mengangkut dan pengolahan sampah setiap hari untuk zero waste ke TPA; Create, program daur ulang sampah dan EPR (Extended Producer Responsibility).

Untuk layanan ketiga ini, Waste4Change menjadi pengelola manajemen sampah untuk gedung, perusahaan, dan pelaku bisnis. Solusinya dinamai Reduce Waste to Landfill dengan model berlangganan. Penggunanya mencapai 70 institusi, yakni Sekolah Seniman Pangan, Wisma Barito, Institute Francais Indonesia, Binus School Bekasi, Javara, Mang Kabayan, dan Vide Bekasi.

Solusinya tersebut sudah bisa tersebar di 17 kota, yakni Jabodetabek, Bandung, Solo, Medan, Palembang, Makassar, Manado, hingga Denpasar. Sebanyak lebih dari 7,4 juta kg sampah telah terdaur ulang.

“Semua layanan Waste4Change dirancang dengan pendekatan ekonomi sirkular dan menargetkan bisnis dan rumah tangga untuk mengadopsi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dalam operasi sehari-hari mereka. Kami bermitra dengan sektor informal, pemasok sampah, pemerintah, dan sektor swasta serta mewujudkan visi zero waste di Indonesia.”

Perusahaan sudah mengantongi pendanaan tahap awal dari Agaeti Ventures, East Ventures, dan SMDV pada Maret 2022. Dana dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah di Rumah Pemulihan Material (Material Recovery Facility) Waste4Change menuju kapasitas 2 ribu ton per hari di 2024 dan pengembangan solusi tata kelola sampah kota menggunakan teknologi IT berupa platform smart city.

Menurut sumber DailySocial.id, perusahaan kembali mengantongi investasi baru sebesar $570 ribu dari ecoBali Recycling, AC Ventures, SMDV, Paloma Capital, Urban Gateway Fund, dan lainnya. Sehingga, total yang terkumpul untuk putaran terakhir sejauh ini menjadi $1,4 juta. Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Sano belum bersedia mengungkapnya lebih lanjut.

Ramai pemain

Sano turut senang sekarang makin banyak pemain sejenisnya yang mulai menaruh perhatian pada pengelolaan sampah di Indonesia. Selain Waste4Change, ada Rekosistem, Gurita, OCTOPUS,  Pusat Daur Ulang Kertabumi, Xaviera, Mall Sampah, Universal Eco, dan masih banyak lagi. “Kami berharap dapat melihat lebih banyak perusahaan dan inisiatif bekerja sama dalam memecahkan masalah kompleks pengelolaan sampah di Indonesia.”

Pasalnya, menurut dia, semua pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengimplementasikan solusi yang tepat untuk masalah sampah di Indonesia. Untuk berkontribusi secara aktif, produsen dan perusahaan dapat menerapkan Extended Producer Responsibility dengan mengumpulkan kembali sampahnya, terutama kemasan PP, kemasan multilayer, dan styrofoam, yang dikategorikan sebagai Bahan daur ulang bernilai rendah.

Di samping itu, kemitraan dengan masyarakat adalah salah satu strategi bisnis utama karena pihaknya memahami bahwa masyarakat dan sektor informal berperan penting dalam pengelolaan sampah di Indonesia. “Di masa depan, kami ingin memiliki kemitraan yang lebih kuat dan lebih banyak inisiatif untuk membantu masyarakat memiliki akses yang lebih baik ke fasilitas pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.”

Waste4Change akan melanjutkan visinya sebagai perusahaan pengelolaan sampah terbesar di Indonesia yang mengumpulkan sampah dengan cara yang paling bertanggung jawab. Pada tahun depan rencananya ingin perluas kemitraan dengan sektor informal dan meningkatkan pengumpulan sampah harian di semua fasilitas daur ulang Waste4Change.

“Kami telah mencapai pertumbuhan yang luar biasa setiap tahun. Namun saat ini, kami sedang mengupayakan pembenahan pelaku pengelolaan sampah informal. Beberapa proyek kami dengan klien kami berfokus pada masalah ini. Kami percaya bahwa dengan meningkatkan jumlah sampah yang didaur ulang, kami dapat membantu membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan di Indonesia.”

Proyek lain yang sedang dikerjakan adalah untuk mendukung kesadaran dan realisasi program pengelolaan sampah pemerintah Indonesia. Sano memastikan, seluruh layanannya selalu menaati peraturan pemerintah, di antaranya Indonesia Bersih Sampah 2025 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75/2019 yang mewajibkan produsen untuk menyediakan peta jalan pengurangan sampah.

“Kami senang melihat pasar yang lebih matang pada tahun 2022. Orang-orang mulai lebih peduli dengan limbah mereka dan pendekatan holistik kami masih diminati akhir-akhir ini. Menyambut hari jadi kami yang ke-8 di November 2022, kami bertujuan untuk menjadi penyedia, mitra, dan penasihat layanan pengelolaan sampah yang lebih baik bagi semua pemangku kepentingan,” pungkasnya.

Agridesa Kembangkan Ekosistem Digital, Dorong Modernisasi Petani Skala Kecil

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi yang sangat cerah untuk sektor agrikultur. Namun, di tengah limpahan lahan dan kesempatan, masih banyak petani kecil yang tidak memiliki akses ke modal dan kesejahteraan secara umum. Hal ini menjadi salah satu yang menginspirasi hadirnya platform Agridesa.

Didirikan pada awal tahun 2022, Agridesa memiliki tiga punggawa yaitu Allen D. Nicolas sebagai CEO profesional, Luqman Arif sebagai COO, dan Kristian Harahap sebagai Interim CTO/CPO. Perusahaan memiliki misi untuk memodernisasi para petani berskala kecil di Indonesia melalui ekosistem digital end-to-end.

CEO Agridesa, Allen D. Nicolas mengungkapkan, “Kami melihat masih banyak petani kecil yang hidupnya belum sejahtera. Melalui platform Agridesa, Kami berharap para petani bisa mendapat akses yang lebih layak dan transparansi harga guna menghasilkan profit yang lebih besar. Di samping itu, bisa memenuhi kebutuhan supply dari hulu untuk para pembeli mitra.”

Perusahaan ini merupakan joint portofolio pertama dari Katalys Partners yang digawangi oleh Rama Manusama, Peter Witkamp dan Edbert Mauritius dan Muhammad Iqbal dari Capital Commerce. Katalys Partners sendiri adalah sebuah Pembangun Ventura (venture builder) yang fokus membantu impact startup. Saat ini, perusahaan juga telah didukung oleh PT Triputra Agro Persada, yang juga berinvestasi di startup KedaiSayur dan Aria.

Agridesa memiliki tiga skema bisnis, yaitu: (1) Skema Budidaya, dengan membantu para petani mitra untuk membudidayakan lahan mereka guna menghasilkan panen yang akan diserap oleh pembeli mitra;  (2) Skema Trading, untuk membantu memenuhi kebutuhan supply para pembeli mitra melalui skema perdagangan; (3) Skema Pascapanen, guna meningkatkan kualitas hasil panen agar dapat memenuhi standar yang ditetapkan pembeli mitra.

Salah satu misi utama Agridesa adalah untuk memberdayakan petani skala kecil melalui pertanian berbasis data dan solusi digital terintegrasi. Dengan jumlah tim yang masih terbatas, pihaknya mencoba memberikan solusi yang maksimal dengan menyediakan ekosistem pertanian yang menyeluruh. Solusi berbasis aplikasi digital dari Agridesa didesain dengan fitur yang lengkap untuk membantu monitoring, efisiensi dan mitigasi risiko petani.

Petani skala kecil dan pemilik lahan di bawah kelompok tani yang telah bergabung bisa memanfaatkan solusi Agridesa untuk membangun skor kredit (credit scoring) yang nantinya bisa digunakan untuk akses yang lebih luas ke permodalan. Saat ini perusahaan sudah bekerja sama dengan Bank BRI untuk menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Sebagai nilai tambah, Agridesa menawarkan akses dengan pembeli terjamin. Perusahaan juga membangun kemitraan dengan bank dan institusi finansial non-bank untuk membuka akses keuangan bagi petani skala kecil. Selain itu, platform ini juga menyediakan fungsi pengelolaan seperti perkebunan untuk ekosistem yang masih terfragmentasi, serta menyalurkan keahlian agronomi melalui perangkat digital dan kemitraan dengan instruktur lokal di lapangan.

Digitalisasi sektor pertanian

Pada tahun 2020, Bank Dunia menyatakan bahwa kehadiran teknologi digital dapat meningkatkan pengetahuan teknis petani; memungkinkan perhitungan penggunaan pupuk, bibit, atau input pertanian lain secara lebih efisien; dan meningkatkan pengambilan keputusan petani melalui informasi mengenai cuaca, pengelolaan tanaman, kondisi pasar, ataupun data ternak.

Faktanya, hanya segelintir petani yang dapat menikmati manfaat tersebut. Kebanyakan teknologi digital pertanian memiliki pengguna kurang dari 10.000 pengguna. Artinya, jutaan petani masih belum memiliki akses terhadap teknologi digital pertanian. Hal ini dikarenakan masih banyaknya tantangan mendasar yang menghalangi petani untuk menggunakan teknologi digital pertanian yang mutakhir.

Modernisasi dalam sektor pertanian bukanlah hal baru. Sebelum Agridesa, sudah ada beberapa pemain yang berfokus pada digitalisasi sektor pertanian, seperti Agriaku, Tanihub, dan Eratani yang menawarkan ekosistem pertanian kuat dengan layanan mulai dari pembiayaan, pengadaan barang, pengolahan, hingga distribusi hasil panen.

Sebagai pemain yang relatif baru di sektor pertanian, Agridesa menawarkan solusi yang tidak jauh berbeda dengan pemain sebelumnya. Meskipun begitu, pihaknya mengungkap telah berhasil mencetak revenue senilai 2 miliar Rupiah per bulan selama kurang dari satu tahun beroperasi. Hal ini didukung oleh skema perdagangan yang dilakukan dengan memfasilitasi sekitar 30 petani mitra, bekerja sama dengan Kedai Sayur dan Pangan Sari Utama (PSU) sebagai pembeli mitra utama.

Allen turut mengungkapkan bahwa pihaknya sangat serius dalam memetakan jalur menuju profitabilitas perusahaan. Disinggung mengenai target, Agridesa mematok angka yang cukup besar yaitu untuk bisa mencapai Rp 10 miliar revenue per bulan pada Agustus 2023. Saat ini, perusahaan juga mengaku berencana menggalang dana untuk bisa mencapai target yang telah ditetapkan.

SIRCLO Gandeng MallSampah untuk Daur Ulang Sampah UMKM

SIRCLO mengumumkan kolaborasi dengan MallSampah, platform end-to-end pengelolaan sampah/limbah menjadi barang daur ulang yang produktif dan bernilai ekonomi. Inisiasi tersebut muncul karena munculnya urgensi pengelolaan sampah seiring meningkatnya laju ekonomi di sektor UMKM, seiring ditandai masuknya SIRCLO ke ekonomi sirkular.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, sebanyak 60% sampah berakhir di tempat pembuangan akhir, kemudian 30% tidak terkelola, dan hanya 10% yang berhasil di daur ulang. Sampah yang tidak berhasil di daur ulang dan menumpuk di udara terbuka berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global. Dengan jumlah UMKM yang ditargetkan mencapai 14,5 juta tahun ini, kegiatan bisnis sektor UMKM tentunya berkolerasi emisi dan sampah yang dihasilkan.

“Sebagai perusahaan teknologi yang menyediakan ekosistem bisnis terpadu, kolaborasi strategis dengan MallSampah ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak pelaku usaha untuk menerapkan sustainability dan strategi inovatif dalam prosesnya. Inisiatif ini hanyalah langkah awal SIRCLO untuk berkontribusi dalam terciptanya sistem ekonomi sirkular yang baik, dimulai dari pelaku UMKM hingga komunitas akar rumput,” ucap Impact Manager SIRCLO Jiwo Damar Anarkie dalam keterangan resmi, Senin (18/7).

Dia melanjutkan, mengutip dari Bank Dunia, 40% penduduk kota di Indonesia belum memiliki akses pengumpulan sampah dasar. Hal ini akan menyebabkan kenaikan produksi sampah di perkotaan per harinya dari 105 ribu ton per hari menjadi 150 ribu ton per hari, angka ini meningkat 42%.

Studi internal SIRCLO juga menyebutkan, bahwa 1 UMKM di sektor perdagangan menghasilkan 2 kg sampah setiap harinya atau 60 kg per bulan. Angka tersebut belum dihitung dari jumlah sampah rumah tangga pelaku UMKM yang rata-rata menyumbangkan 1 kg sampah per hari. Dengan kondisi ekosistem SIRCLO saat ini, ada setidaknya 500 kg – 1 ton sampah dapat dihasilkan setiap harinya.

Data di atas semakin menggambarkan urgensi program edukasi pengelolaan sampah terhadap pelaku UMKM dan memulai ekonomi sirkular dari sektor UMKM. Melalui inisiatif yang juga merupakan pilot project dalam skala yang terbatas ini, SIRCLO ingin melihat minat dari UMKM dalam mendukung pelestarian lingkungan hidup.

Inisiatif awal ditandai dengan pelaksanaan webinar yang sudah berlangsung pada akhir Juni 2022. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan sampah per kategori, pengambilan sampah oleh mitra MallSampah, sampai kegiatan daur ulang hingga Agustus 2022, diharapkan kegiatan diikuti secara aktif oleh 100 mitra UMKM SIRCLO.

“Teknologi MallSampah digunakan untuk mengetahui jejak pengelolaan sampah, kapan dan di mana pengambilannya, berapa lama proses daur ulang, hingga hasil dari daur ulang sampah tersebut. Diharapkan dengan digitalisasi inisiatif ekonomi sirkular ini, SIRCLO dapat memantau jejak sampah yang dihasilkan dan menjadi apa sampah yang dihasilkan tersebut.”

UMKM rekanan SIRCLO nantinya akan mendapat insentif menarik dengan menukarkan sampah hasil usaha, baik itu plastik, kardus, botol, kertas lainnya. Setelah pilot project ini selesai, insiatif ekonomi sirkular akan dikelola menjadi gerakan green economy. Kapasitasnya diperluas dengan menjangkau gudang SIRCLO, brand prinsipal, serta distributor yang bekerja sama dengan perusahaan.

“Dengan digitalisasi ekonomi sirkular, SIRCLO dan brand-distributor juga dapat memantau pergerakan sampah/carbon footprint hingga produk daur ulang yang dihasilkan. Besar harapan kami agar inisiatif ini berlangsung secara jangka panjang dengan berlandaskan nilai-nilai untuk melestarikan lingkungan hidup,” tutup Jiwo.

Kerja sama B2B bagi MallSampah

Founder & CEO MallSampah Adi Saifullah Putra menuturkan, perusahaan sebagai circular economy platform tidak hanya memfasilitas masyarakat secara individu atau B2C saja, tapi juga mencakup B2B melalui penyediaan teknologi pada sektor-sektor strategis, khususnya FMCG, F&B, e-commerce, dan lainnya.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kesadaran terhadap pengumpulan dan pendaurulangan sampah yang bertanggung jawab membutuhkan solusi hand-in-hand pada semua pemangku kepentingan, termasuk UMKM agar terampil dan konsisten dalam memulihkan produk pasca-konsumsi.

“Sebagai inovasi digital yang mengoptimalkan implementasi sistem manajemen persampahan berbasis ekonomi sirkular, MallSampah berkolaborasi dengan SIRCLO untuk memperkenalkan sistem daur ulang sampah yang real-time dan efisien secara masif dengan pendekatan bottom-up dan berdampak ekonomis serta tetap menjaga keberlangsungan lingkungan,” ucap Adi.

Untuk B2B, salah satu inisiatif yang dilakukan bersama Kopi Soe dengan merilis MallSampah Reverse Machine (RVM) atau disebut dengan Ms Box. Inovasi yang diresmikan pada akhir tahun lalu ini merupakan alternatif dari fitur drop off di aplikasi MallSampah yang memungkinkan konsumen dapat mendaur ulang mulai dari satu cup plastik.

Setelah melalui riset yang cukup matang yang selama ini ditemukan di negara maju, Ms Box yang dikembangkan perusahaan dapat diadopsi oleh UMKM dan mudah diakses oleh masyarakat. Pada umumnya, RVM menggunakan mesin sensor dan sumber daya listrik, namun Ms Box menggantinya dengan fitur Ms Box dan teknologi di aplikasi MallSampah.

“Hal ini membuat RVM dari MallSampah 50%-70% lebih terjangkau dari RVM pada umumnya. Strategi ini sengaja kami ciptakan agar RVM dapat diadopsi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Setiap botol yang ditukar oleh user terkonversi menjadi Ms Point yang dapat di-redeem dengan berbagai voucher menarik di merchant partners, termasuk menukarnya menjadi e-wallet,” ucap Adi secara terpisah dikutip dari blog perusahaan.

Botol yang telah ditampung di dalam box akan dijemput oleh mitra kolektor Mallsampah dan dipastikan berakhir di industri daur ulang untuk diproses kembali menjadi bahan baku dan barang baru. Sistem Ms Box ini dapat berjalan dengan baik karena adanya pihak yang bekerja sama, dalam hal ini Kopi Soe. Mallsampah akan melakukan monitoring secara berkala pada boks percontohan ini agar dapat hasil yang maksimal dalam pengimplementasiannya.

Adapun jenis sampah yang dapat dimasukkan ke dalam Ms Box adalah seluruh jenis PET dan PP, atau lebih sering dikenal dengan botol bekas air minum kemasan dan cup plastik boba. Masyarakat hanya perlu mengunduh aplikasi Mallsampah di Play Store atau App Store.

Adapun untuk implementasi manajemen pendaurulangan sampah yang dilakukan oleh MallSampah terbagi menjadi tiga model, yakni MallSampah App, MallSampah for Brands, dan MallSampah for Government. Hingga kuartal III 2022, diklaim perusahaan telah menjangkau lebih dari 50.000 recycler users dan telah digunakan oleh berbagai brand ternama seperti Coca Cola, Nutrifood, Tokopedia, Gojek, The Body Shop, Sociolla, PUPR, Le Minerale, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kopi Soe, dan lainnya.

Sementara itu, perusahaan telah memberdayakan dan mendigitalisasi pekerjaan lebih dari 600 kolektor lokal, 100 ton sampah terdaur ulang, dan mengurangi 45.000 emisi karbondioksida setiap bulannya.

Di Indonesia sendiri, semakin banyak startup yang mencoba menyelesaikan isu pengelolaan sampah, ada Gringgo, Waste4Change, OCTOPUS, Duitin, Jangjo, Rekosistem, dan masih banyak lagi.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Rekosistem Menjadi Startup Berdampak yang Berkelanjutan

Perusahaan rintisan berbasis impact kian banyak ditemui di tengah masyarakat. Salah satunya adalah Rekosistem, startup cleantech yang menawarkan jasa pengelolaan sampah, termasuk di dalamnya pengumpulan, pemilahan, serta daur ulang.

Dimulai sebagai UMKM hingga akhirnya mendirikan badan hukum dan merek perusahaan sendiri, startup yang didirikan oleh Ernest Layman dan Joshua Valentino pada 2019 ini menyediakan produk dan jasa inovatif untuk mengatasi masalah pengelolaan sampah di Indonesia.

Sesuai dengan tema diskusi #SelasaStartup pekan lalu, terkait bisnis berdampak yang berkelanjutan, Ernest mengungkapkan bahwa model bisnis yang sustainable menurutnya tidak hanya memikirkan profit, melainkan juga people dan planet.

Rekosistem sendiri tidak hanya bertujuan menjadi perusahaan yang berkelanjutan tetapi juga membantu perusahaan lain untuk bisa menerapkan model bisnis yang berkelanjutan.

Dalam menjalankan model bisnis berdampak, ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan selain sampah, misalnya misi terkait keanekaragaman hayati, perubahan iklim, energi terbarukan dan lainnya. Dalam hal ini, Rekosistem memilih untuk memosisikan diri sebagai perusahaan teknologi yang ingin membantu menjembatani setiap aktivitas dari pemangku kepentingan yang ada dalam ekosistem pengolahan sampah di Indonesia.

Beroperasi untuk layanan B2B sekaligus B2C, Rekosistem menawarkan jasa jemput dan setor sampah sesuai kebutuhan. Layanan ini memiliki tiga produk utama yaitu Repickup Service, Repickup Rumah, dan Redrop (Setor Sampah). Misi utama Rekosistem adalah untuk berkontribusi dalam meningkatkan penyerapan sampah daur ulang sekaligus memperkenalkan tren pola hidup ramah lingkungan di Indonesia.

CEO Rekosistem Ernest Layman mengungkapkan, “Zero waste itu bukan tentang tidak menciptakan sampah atau menghilangkan sampah. Namun, keadaan itu akan tercipta ketika kita bisa bertanggung jawab dengan sampah yang kita ciptakan sehingga tidak menimbun masalah.”

Menyederhanakan proses

Ernest juga mengaku bahwa di masa awalnya sangat sulit untuk bisa meyakinkan orang bahwa pengelolaan sampah yang baik dan benar itu esensial dalam kehidupan. Mengurus sampah bukan hanya tentang mengumpulkan dan membuang sampah ke tempatnya. Lebih dari itu, mengurus sampah artinya bertanggungjawab akan sampah kita.

Sampah kita tidak semuanya harus berhenti di tempat pembuangan akhir. Ada sampah yang masih bisa dikelola untuk kembali digunakan dan dikelola untuk didaur ulang. Dari sini, pihaknya berinisiatif membuat produk yang tepat guna sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.

Dalam proses pengelolaan itu sendiri, ada banyak hal yang sering kali membuat orang menjadi urung untuk memilah sampahnya. Rekosistem ingin menyederhanakan proses baik dari sisi penghasil sampah, pengelola sampah, hingga pada hasil akhirnya. Pada 21 Februari 2021, Rekosistem meluncurkan aplikasi yang berguna untuk menukarkan sampah dengan reward point bagi pengguna.

Manfaatnya sendiri bisa dirasakan oleh masing-masing stakeholder. Ada nilai ekonomis yang bisa dirasakan oleh para pengguna layanan baik supplier atau pendaur ulang. Selain itu, para pekerja di lapangan juga dimudahkan dengan rute atau jadwal pengambilan sampah yang lebih tertata. Selain itu, untuk supplier/perusahaan daur ulang juga dimudahkan dengan mendapat pasokan sampah yang sudah terpilah.

Sebagai perusahaan teknologi, Rekosistem mengaku tidak berusaha untuk memonopoli pasar. Perusahaan memosisikan diri sebagai jembatan yang bisa menghubungkan semua stakeholder. “Kita berharap bisa meningkatkan produktivitas setiap layanan turunan dari pengelolaan sampah ini,” tambah Ernest.

Mengedepankan kolaborasi

Dalam menjalankan misinya, Rekosistem mengaku tidak berusaha untuk menggantikan ekosistem pengelolaan sampah yang sudah ada. Melainkan, pihaknya ingin menjembatani para pemangku kepentingan yang terlibat di sektor ini dengan dibantu oleh teknologi. Perusahaan menjalankan model bisnis yang mengedepankan kolaborasi.

Salah satu alasannya adalah efisiensi dari sisi operasional. Sebagai perusahaan teknologi yang menjalankan platform di tengah masyarakat, kolaborasi bisa memperluas jaringan perusahaan. Selain itu, edukasi terkait pengelolaan sampah yang baik dan benar juga tidak bisa berjalan sendiri, harus diiringi dengan pemeliharaan yang baik.

“Kita sebagai startup posisinya eksekutor untuk solusi. Perannya jadi penting untuk bisa mengakselerasi target-target yang dibuat secara global maupun lokal. Untuk produk akhir, kita punya mitra. Kita sebagai platform teknologi. Sebenarnya saat ini kita akhirnya bisa berkolaborasi adalah kita bukan mengganti, karena kita empower masing-masing stakeholder-nya,” ungkap Ernest

Rekosistem menjalin kerja sama dengan semua pihak yang memiliki visi dan misi yang sejalan untuk pengelolaan sampah yang lebih baik. Selama beroperasi, Rekosistem sudah menjalin kerja sama dengan beberapa institusi dengan tujuan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang lebih baik. Bersama PT Pupuk Indonesia (Persero), perusahaan berkomitmen mengurangi peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui program pengelolaan sampah.

Sebelumnya, perusahaan juga sudah menjalin kerja sama dengan Lion Parcel (PT Lion Express), sebagai komitmen untuk terus menerapkan praktik bisnis yang lebih berkelanjutan. Melalui kerja sama ini, Rekosistem akan membantu Lion Parcel dalam proses pengelolaan sampah di industri logistik secara end-to-end, mulai dari pengumpulan sampah, pemilahan, hingga proses daur ulangnya.

“Kalau sudah memutuskan untuk membangun bisnis yang sustainable,  sudah pasti harus berbanding lurus dengan dampak sosial dan lingkungan. Tinggal memikirkan nilai ekonominya saja,” ujar Ernest.

Salah satu kunci keberlangsungan bisnis berdampak adalah ketika pertumbuhan bisnis bisa selaras dengan dampak yang diciptakan. Dalam wawancara bersama Dondi Hananto, Partner dari Patamar Capital, perusahaan modal ventura global yang fokus mendanai startup berbasis impact, ia mengungkapkan bahwa dalam menjalankan model finansial berdampak, tidak disarankan untuk menciptakan dampak yang cost-structured, di mana dampak menciptakan cost baru di dalam bisnis.

Semangat Plepah Kurangi Konsumsi Plastik dengan Berdayakan Petani Lokal

Dalam Pertemuan Tahuan Forum Ekonomi Dunia 2020, Indonesia mengumumkan rencana untuk mengatasi polusi plastik dengan menargetkan mengurangi sampah plastik laut hingga 70% dalam waktu lima tahun. Kemudian pada 2040, berencana untuk sepenuhnya bebas polusi plastik.

Indonesia berada di posisi dilema di tengah target tersebut karena negara ini adalah pencemar plastik kedua tertinggi di lautan setelah Tiongkok. Jumlah sampah plastik yang dihasilkan di Indonesia setiap tahun tumbuh pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Biota laut Indonesia terancam tercemar, diestimasi pada 2025, jumlah sampah plastik yang bocor ke lautan kita dapat meningkat menjadi 800.000 ton – jika tidak ada tindakan yang diambil.

Adapun, sektor swasta memainkan peran penting dalam mengurangi atau mengganti penggunaan plastik, mendesain ulang produk dan kemasan plastik, menggandakan pengumpulan dan daur ulang sampah plastik, dan membangun atau memperluas fasilitas pembuangan sampah. Perhatian ini pulalah yang menarik Rengkuh Banyu (CEO) dan Almira Fikrani (COO) pada awal 2018 untuk mulai memikirkan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi sampah plastik.

Inspirasi awal datang saat mereka berdua mengikuti program pendampingan untuk memberikan edukasi dan pelatihan terkait ekonomi kreatif di daerah tertinggal. Hingga akhirnya, mereka sampai di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menjadi titik awal bahwa masalah sampah ini harus diselesaikan segera, bukan sekadar mengajak saja. Hal inilah yang melandasi lahirnya Plepah.

“Masalah ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dari situ, kami mencari cara bagaimana bisa kasih solusi yang sesuai dengan latar belakang kami, sebagai orang produk desainer, jadi kami mulai dari desain,” terang Rengkuh saat dihubungi DailySocial.id.

Proses perjalanan riset hingga Plepah resmi beroperasi, setidaknya butuh waktu hingga satu tahun. Rengkuh sampai harus studi banding ke negara berkembang lainnya dan negara maju, melihat bagaimana mereka mengelola limbah sampah.

Satu hal yang ditarik kesimpulan saat mengunjungi India adalah kesamaan kondisi dengan Indonesia. Selain densitas populasinya yang mirip, tingkat kepeduliannya terhadap pengelolaan limbah sampah juga rendah. Berangkat dari situ, tim melakukan riset potensi material limbah apa saja yang bisa dioptimalkan di Indonesia.

“Di sini kami melihat bahwa Indonesia itu kekurangan pengetahuan yang dalam untuk mengadakan riset. Ditambah ada pengaruh dari sisi adopsi teknologi yang terlambat, makanya inovasi di bidang pengelolaan limbah ini minim.”

CEO Plepah Rengkuh Banyu / Plepah

Rengkuh akhirnya menemukan potensi yang tersimpan dari limbah pelepah pinang sebagai bahan dasar membuat produk alat makan ramah lingkungan. Selama ini, para petani melihat pelepah ini hanyalah limbah karena komoditasnya dari buah pohon pinang itu sendiri yang bisa dijual.

Sedangkan, pelepah pinang biasanya akan berakhir menjadi sampah-sampah hasil pembersihan kebun yang akhirnya dibakar. Tak jarang, bila kejadian ini dilakukan saat musim kemarau, bisa memicu kebakaran hutan yang risikonya jauh lebih besar bagi ekosistem hutan.

Hasil ini didapat setelah melakukan riset bersama dengan badan NGO dari Inggris, Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB (LPIK-ITB), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Keinginan untuk melanjutkan riset ini akhirnya dilanjutkan dengan membuat pusat riset dan pengembangan sendiri setahun setelah Plepah resmi berdiri.

“Kita mau lebih serius buat divisi yang ada R&D internal untuk pengembangan material dan produk, juga untuk manufakturnya buat mesin-mesin yang bisa diimplementasikan seperti apa ruang produknya agar bisa mendekati suplai.”

Produk dan komunitas Plepah

Pelepah pinang yang alami dari petani dibentuk sedemikian rupa menjadi wadah makanan yang diolah dengan tepat, sehingga tahan panas, air, dan minyak, sehingga dapat menggantikan styrofoam. Sebagai catatan, styrofoam itu butuh waktu 5 abad untuk benar-benar terurai oleh tanah, sementara wadah pelepah hanya 60 hari.

Adapun berdasarkan riset yang dilakukan oleh komunitas Plepah, kontribusi sampah styrofoam ke laut Indonesia dari 18 kota selama Januari 2018 mencapai 0,27-0,59 ton. Angka tersebut bisa dipastikan terus meningkat untuk saat ini.

Plepah menggunakan dua pabrik. Satu pabrik untuk pra-produksi berlokasi di Desa Mendis, Sumatera Selatan dan satu pabrik di Cibinong, Bogor untuk proses finishing produk dan menjadi titik awal distribusi ke pasar. Sumatera Selatan dipilih karena di Sumatera sendiri memiliki komoditas pohon pinang seluas 150 ribu hektar. Rata-rata kebun pinang ini adalah milik masyarakat sekitar.

Satu hal yang ditekankan Plepah dalam proses pengumpulan suplai limbah adalah membentuk komunitas petani. Karena Rengkuh tidak ingin sekadar membawa peluang tambahan penghasilan saja untuk mereka, tapi juga bagaimana kesejahteraan, kemampuan, akses keuangan, dan lainnya bisa tersampaikan dengan baik setelah petani bergabung untuk menciptakan dampak.

Dalam visi jangka panjangnya, ia ingin menjadikan Plepah bukan sebagai produsen kemasan makanan ramah lingkungan, justru sebagai ekosistem sirkular yang holistik. Pada tahap awal, Rengkuh mengaku proses edukasi masyarakat di desa tidak bisa dilakukan sekali dua kali saja, tapi harus berkesinambungan. Mereka dulu melihat pelepah pinang ini sampah karena tidak ada nilainya.

“Bagaimana kami meyakinkan ini bisa menjadi komoditas, harus ada economic ecosystem-nya, sebab ini kan enggak ada satuan harga. Ini jadi benda asing buat mereka, sampai saat ini pun tim kami terus edukasi.”

Komunitas petani di Desa Mendis menjadi pusat suplai dikumpulkan hingga akhirnya diolah lebih lanjut di Cibinong. Dalam proses edukasi, tim Plepah juga mengedukasi masyarakat sekitar bagaimana mengelola sampah pelepah menjadi komoditas yang bernilai karena Plepah ingin menjadikan komunitasnya bagian penting dari perjalanan mengurangi sampah. Dari komunitas, ada yang anggotanya semakin serius hingga akhirnya membangun koperasi sendiri.

“Satu koperasi ini sudah memiliki lebih dari 60 kepala keluarga, sisanya masih dalam bentuk kelompok dengan jumlah sekitar 100 sampai 200 kepala keluarga. Mereka ada yang berada di Jambi dan Sumatera Selatan. Semua kelompok ini kami perlahan bangun tanpa ada disrupsi secara langsung, tapi pendekatan secara persuasif.”

Masing-masing kepala keluarga juga diarahkan memiliki tugas masing-masing. Para suami bertugas untuk mengambil limbah di kebun, sementara para istri bertugas di pabrik untuk memilah kualitas pelepah sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan. “Bahkan para ibu ini secara naluriah lebih ahli dalam proses kontrol kualitas melebihi SOP kami.”

Adapun untuk model bisnis Plepah didominasi oleh B2B dengan target pengguna adalah pengusaha kuliner dari berbagai skala usaha. Sejauh ini konsumen terbesar Plepah berlokasi di Jakarta dan Bali.

Rengkuh menjelaskan, ada tiga target usaha kuliner yang dibidik. Pertama, pengusaha early adopter yang belum memiliki cabang tapi punya perhatian khusus terhadap produk ramah lingkungan, entah produk yang mereka jual adalah vegan based, community based, atau plant based. Kedua, restoran multi-chain dengan cabang di mana-mana, dan terakhir, ekspor produk Plepah.

Negara pertama yang akan disasar adalah Jepang untuk merek makanan bernama Mos Burger. Rencananya ekspor akan dimulai pada Agustus mendatang. “Kami sedang mempersiapkan suplainya karena permintaannya cukup tinggi di sana. Kami mendapat dukungan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk ekspor ke sana.”

Rencana berikutnya

Sebagai bagian dari startup impact, Plepah juga turut memerhatikan bagaimana peranannya dalam mengurangi jejak karbon di lingkungan. Dalam proses manufakturnya, Plepah berambisi akan mengimplementasikan skema decentralized manufacturing. Orientasi yang dipakai bukan terpusat produksi di satu titik, tapi perbanyak titik agar semakin mendekati suplai. Dengan demikian, pelepasan karbon di satu titik tidak terlalu tinggi.

“Kami sedang mendorong traceability untuk mengetahui siapa yang punya pohon, siapa yang punya petani, dari mana titiknya, dan sebagainya. Data-data ini akan kami kumpulkan dan jadi indikator carbon footprint.”

Rengkuh memastikan pihaknya akan terus berinovasi mencari alternatif energi hemat daya dan proses logistik yang paling efisien. Produksi Plepah tergolong ramah lingkungan karena menggunakan sumber listrik dari panel surya, turbin air, dan tenaga hemat daya lainnya.

Untuk mewujudkan itu, rencananya perusahaan akan mencari potensi-potensi limbah di tiap daerah yang bisa diproduksi untuk jawab masalah lokal. Sebab, isu sampah plastik ini tidak terjadi di kota besar saja, tapi juga di pedesaan. Alternatif limbah yang saat ini sedang di dalami juga masih banyak. Disebutkan ada limbah kopi, gabah padi, jagung, dan batang sorgum sebagai alternatif pengganti plastik.

Tak hanya itu, perusahaan juga berencana untuk membuat kemasan ramah lingkungan untuk produk kosmetik. Salah satu yang akan terlaksana bersama dengan Paragon Technology and Innovation, induk kosmetik dari merek Wardah, Make Over, Kahf, dan Emina.

“Harapannya kami bukan hanya jadi startup yang dikenal sebagai produsen kemasan makanan ramah lingkungan. Kami ingin buka ruang kemungkinan menjadi ekosistem sirkular, yang meliputi aspek-aspek yang berkaitan dengan sustainability, pengelolaan kadar karbon, komoditas, logistik, manufaktur dan edukasi. Akhirnya akan jadi semacam pengelolaan waste agar yang kami lakukan holistik juga sirkular menyelesaikan isu 3P.”

Ia pun meyakini dengan dukungan pendanaan dari BRI Ventures, menjadi stimulus yang baik untuk meneruskan inisiasi yang baik tersebut. Ekosistem impact yang semakin ramai menandai bahwa tidak selamanya startup harus digital-based, tapi juga bisa solution-based yang lebih konvensional yang berbasis lingkungan, ESG, dan sebagainya, membuka ruang untuk dikembangkan lebih jauh.

“Masalah permodalan untuk R&D bisa di-handle karena kepercayaan orang terhadap isu lingkungan semakin tinggi. Investor mulai melirik potensi yang ditawarkan. Terlebih karena narasi target pengurangan karbon semakin pendek di tiap negara, jadi langkah bagus, pasarnya pun semakin aware,” tutup dia.

Saat ini tim Plepah didukung oleh empat orang tim inti, 20 orang lainnya untuk divisi rantai pasok dan 15 orang lainnya untuk pabrik di Cibinong.

Startup Pengembang Kemasan Ramah Lingkungan “Plepah” Terima Pendanaan dari BRI Ventures

BRI Ventures, melalui Dana Ventura Sembrani Kiqani, melakukan investasi tahap awal untuk startup produsen kemasan ramah lingkungan “Plepah” dengan nominal dirahasiakan. Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk memvalidasi konsep sustainable business yang mampu bertumbuh, dengan cara meningkatkan kapasitas demi mengurangi harga, penguatan tim, dan mempersiapkan ekosistem bisnis yang menerapkan ESG (Environmental, Social, and Governance) mengacu pada SDG (Sustainable Development Goals).

Plepah didirikan pada 2018 oleh Rengkuh Banyu Mahandaru bersama rekan-rekannya yang berfokus sebagai produsen kemasan alat makan ramah lingkungan berbasis organik nonkayu hutan (NTFP) yang menggunakan bahan mentah limbah komoditas pohon pinang. Startup ini juga mengedepankan konsep komunitas yang memberdayakan desa dan masyarakat di Sumatera Selatan dan Jambi dengan memanfaatkan tenaga kerjanya untuk mengolah limbah sebagai pendapatan ekonomi alternatif.

Sembrani Kiqani merupakan kendaraan investasi yang dirintis BRI Ventures pada November 2021 ditugaskan untuk menyutikkan pendanaan tahap awal kepada startup yang bergerak di sektor D2C dan consumer platform. Salah satu portofolionya adalah Yield Guild Games Southeast Asia (YGG SEA), perusahaan game berbasis blockchain.

Dalam keterangan resmi, CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, selama dua tahun belakangan sektor D2C menunjukkan pertumbuhan yang sangat masif. Negara ini membutuhkan inisiatif pendanaan yang ditujukan pada merek lokal di bidang fesyen, kuliner, dan kecantikan yang berkembang pesat saat ini.

“Ini dapat menjadi awal Indonesia sebagai creative economy powerhouse. Brand yang berasal dari Indonesia kita harapkan bisa menjadi pemenang di negara ini, sehingga mampu berkompetisi dengan brand global yang semakin banyak masuk ke tanah air. Hal ini menjadi semangat kami dalam menjalankan inisiatif Sembrani Kiqani,” ujar Nicko dalam keterangan resmi, Senin (30/5).

Direktur Investasi BRI Ventures Markus Liman Rahardja menambahkan, investasi yang diberikan BRI Ventures ini diharapkan dapat mendorong Plepah untuk tetap mengembangkan bisnis dan produknya. Serta, berkontribusi pada percepatan adopsi produk ramah lingkungan di Indonesia.

“Investasi kepada perusahaan ramah lingkungan ini sekaligus menegaskan posisi BRI Ventures sebagai salah satu venture capital yang melihat sebuah startup tidak hanya financially healthy but also environmentally friendly,” kata Markus.

Plepah

Bicara potensi Plepah, sepanjang pandemi membuat layanan pesan-antar di Jabodetabek meningkat sebesar 47%. kondisi tersebut membuat jumlah sampah plastik sekali pakai melambung tinggi. Dengan potensi industri ini terbesar di Asia Tenggara, Indonesia turut menyumbang sampah kemasan plastik sekali pakai sebanyak 561 juta unit setiap bulannya.

Di saat yang bersamaan, kesadaran masyarakat kalangan muda terhadap perubahan iklim diklaim kian meningkat. Hal ini ditandai dengan statistik sebanyak 13,48 juta masyarakat kelompok tersebut yang lebih memilih merek ramah lingkungan. Oleh karenanya, Plepah berkomitmen untuk mengurangi jumlah sampah plastik sekali pakai hingga 15 juta unit mulai tahun depan.

Co-founder & CEO Plepah Rengkuh Banyu Mahandaru menuturkan, startupnya menggunakan operasional berbasis komunitas, dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan perkebunan, khususnya di pulau Sumatera dengan memberikan mereka pendapatan alternatif dalam proses pengolahan bahan mentah pelepah pinang. Hal ini dilakukan dengan mengedepankan tiga SDG dari PBB sebagai acuannya.

“Sepanjang proses, Plepah menyatukan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak di Indonesia, serta bersama-sama menjalankan berbagai kegiatan untuk merancang dan menghasilkan sistem yang berkelanjutan dan menyeluruh demi menjawab tantangan masalah lingkungan dan sosial di Indonesia,” kata Rengkuh.

CMO Plepah Almira turut menambahkan, penyebab tingginya sampah plastik di Indonesia juga diakibatkan oleh pengelolaan sampah plastik yang kurang baik. Jumlah sampai plastik mencapai angka total 68,5 juta ton pada 2021. “Tren ini juga diprediksi akan terus naik hingga 5% setiap tahunnya, jika pengelolaan sampah dan produk alternatif seperti kemasan ramah lingkungan tidak digiatkan dari sekarang,” ujarnya.

Saat ini, perusahaan bekerja sama dengan beberapa merek kosmetik, fesyen, dan makanan, baik dari lokal maupun global untuk menggunakan produk sustainable packaging Plepah sebagai produk substitusi yang lebih ramah lingkungan dan eco-friendly.

Solusi serupa juga ditawarkan oleh Evo & Co yang menawarkan produk substitusi alat makan dan kantong plastik yang terbuat dari bahan ramah lingkungan, seperti rumput laut, singkong, tebu, dan sebagainya. Startup ini juga memperoleh pendanaan tahap awal dari ANGO Ventures pada Agustus 2021.

Mengamati Kolaborasi Evo & Co dengan Rumput Laut Demi Kurangi Sampah Plastik

Polusi plastik adalah masalah global. Menurut riset yang banyak dikutip berbagai artikel, diperkirakan pada 2025 ada sebanyak 100 juta hingga 250 juta metrik ton sampah plastik dapat masuk ke laut setiap tahunnya. Studi lain memproyeksikan, jika tanpa perubahan pada praktik saat ini, mungkin ada lebih banyak plastik menurut beratnya daripada ikan di lautan pada 2050.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, tantangan dalam mengelola krisis ini cukup besar. Sekitar 160 juta orang Indonesia masih belum memiliki akses ke pengumpulan sampah reguler di rumah. Indonesia National Plastic Action Partnership memperkirakan negara ini menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun – sebagian besar tidak diolah dan tidak dikelola, berakhir di saluran air dan lautan.

Negara ini menjadi pencemar plastik kedua tertinggi di lautan setelah Tiongkok, sekaligus ditantang untuk mencari solusi memerangi konsumsi plastik sekali pakai yang terus meningkat. Polemik klasik ini justru menjadi potensi bisnis yang menjanjikan bagi Evoware, startup yang menawarkan alternatif plastik untuk produk kemasan dengan bahan dasar alami.

Kepulangan David Christian ke tanah air setelah menyelesaikan kuliah di Kanada, menyisakan keprihatinan yang mendalam mengenai polusi dan sampah yang belum bisa terkelola dengan baik. Kondisinya begitu kontras dengan Kanada. Berawal dari situ, ia pun menyadari masalahnya selalu ada di sana, tapi tidak terlintas di benaknya.

“Itu adalah masalah. Saya menyadari bahwa saya ingin membuat sesuatu yang unik dan belum pernah ada agar dapat perhatian dari orang. Produknya harus bisa menyelesaikan masalah lingkungan,” ucap David saat dihubungi DailySocial.id.

Inovasi produk Evo & Co

Setelah melakukan beberapa penelitian dimulai di 2015, ia terinspirasi untuk menciptakan gelas yang dapat dimakan untuk menggantikan gelas plastik sekali pakai. Edwin Tan turut menunjukkan ketertarikannya dengan isu tersebut dan bergabung dengan David untuk merintis Evoware. Edwin menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bisnis, keuangan, investasi, dan dampak sosial.

Produk pertama dari Evoware adalah “Ello Jello” pada bulan April 2016. Ello Jello adalah gelas yang bisa dimakan karena bahan dasar laut, teksturnya mirip dengan bentuk jeli yang lebih padat, terbuat dari rumput laut dan tanpa pengawet, pemanis buatan, gluten, atau gelatin. Bahan dasar ini ia dapatkan langsung dari petani rumput laut lokal.

Ello Jello / Evoware

Gelas ini tersedia dalam beberapa rasa yang berbeda, termasuk oranye, leci, teh hijau dan peppermint, dan dapat bertahan hingga tujuh hari ketika disimpan di lemari es. Tidak hanya gelas, ada pula packaging yang biasanya digunakan untuk kopi sachet hingga biskuit satuan. Menariknya, packaging ini dapat larut dalam air hangat.

Packaging ini bisa bertahan hingga dua tahun, dapat dimakan atau diubah menjadi pupuk karena dapat terurai dari satu hingga dua bulan. Rumput laut dipilih karena merupakan zat hemat energi dan ekonomis untuk tumbuh, tidak diperlukan pembebasan lahan atau deforestasi. Rumput laut juga bertindak sebagai salah satu penyerapan karbon alami, secara permanen mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer.

Indonesia sendiri merupakan eksportir terkemuka untuk komoditas rumput laut. Diperkirakan tiap tahun lebih dari 10 juta ton rumput laut diekspor.

Sejak itu, perusahaan telah memperluas produk dan Evoware sekarang menjadi salah satu merek di bawah Evo & Co, bersama dengan Evoworld. Evoworld menyediakan varian produk kantong plastik berbagai ukuran, berbahan dasar singkong yang dapat diurai dan dapat dikompos. Produk turunan dari bahan dasar tersebut, berupa plastik roll yang biasa digunakan untuk membungkus sayuran, styrofoam (gabus) untuk membungkus makanan. Ada juga produk yang terbuat dari tebu berwarna putih dan daun pinang berwarna cokelat.

Selanjutnya, membuat sedotan bahan kertas yang dapat hancur dalam waktu dua jam setelah dipakai dan sedotan berbahan beras yang dapat dimakan atau disimpan kembali. Evoworld juga memproduksi alat makan makan, seperti sendok garpu, pisau, sedotan yang terbuat dari bambu yang bisa dipakai lagi.

“Setelah produk pertama launch di 2016, setahun berikutnya kami launch produk kedua yang terbuat dari rumput laut seperti packaging sachet pengganti plastik. Kemudian di 2019, kami buat diferensiasi produk pengganti plastik dari bahan lainnya, seperti singkong, beras, ampas tebu, dan lainnya. Di tahun itu pula kami fokus ke bisnis, mengembangkan produk, serta mulai kampanye Rethink.”

Rethink menjalankan kampanye di seluruh dunia yang bekerja dengan pemerintah dan bisnis untuk mempromosikan kehidupan berkelanjutan.

Model bisnis

Seluruh produk yang dirilis perusahaan, kecuali Ello Jello, merupakan hasil trading (jual-beli) dengan produsen yang digaet perusahaan. “Jadi Evo & Co sediakan produk-produk pengganti plastik, orang lain yang produksi, kita yang jualkan.”

Kendati begitu, saat ini perusahaan mulai mengembangkan pusat riset dan inovasi sendiri agar lebih masif dalam berinovasi produk-produk ramah lingkungan. David sayangnya masih menutup rapat-rapat terkait hal ini.

Kontributor bisnis perusahaan terbesar datang dari penjualan produk ke luar negeri. Mayoritas skema bisnis dilakukan secara B2B dengan klien kebanyakan datang dari industri horeca. Evo & Co menyediakan opsi kostumisasi untuk klien B2B, misalnya melekatkan merek mereka ke kantong plastik atau sebagainya. Kanal B2C juga tersedia, namun sejauh ini hanya mengandalkan platform marketplace.

Diklaim, perbandingan bisnis dari dalam dan luar negeri cukup imbang 50:50. Bila dijumlah, ada Evo & Co telah mendistribusikan produknya ke lebih dari 50 negara. Adapun, negara terbesar yang banyak membeli produk Evo & Co adalah Malaysia, Australia, dan Jepang. Di ketiga negara tersebut, ada distributor besar yang siap menyuplai kebutuhan industri horeca dengan produk ramah lingkungan buatan Evo & Co.

David menyebut, pada tahun ini pihaknya akan memperluas ekspansi lebih jauh ke kawasan Eropa. “Bisnis ke luar ini baru dimulai tahun ini. Secara intensitas belum besar, tapi secara kuantitas sekali kirim jumlahnya besar. Tapi sebaliknya di Indonesia. Kami mau genjot bisnis ke Eropa karena market-nya besar, enggak cuma di Indonesia saja.”

Tidak hanya menyasar klien besar, baru-baru ini perusahaan mulai menyasar UKM untuk ikut beralih ke produk ramah lingkungan. Saat ini masih dalam tahap uji coba, ada 10 warung makan di Jakarta yang bergabung. David menceritakan, dalam mengedukasi pemilik warung makan harus melakukan banyak penyesuaian.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan pengurangan sedotan plastik. Jika konsumen tidak meminta sedotan, sebaiknya tidak diberikan. Tapi jika minta, maka diberikan sedotan dari Evo & Co yang bisa dimakan. Selanjutnya, diadakan pembinaan sampah yang dapat dipilah dan dijual untuk mendapat uang tambahan.

“Uang tambahan ini bisa digunakan untuk membeli sedotan yang harganya sudah kami subsidi semurah mungkin. Ini adalah bagian dari movement kami karena biasanya produk ramah lingkungan itu dipakai oleh usaha kelas menengah ke atas yang ada di mal-mal.”

Diklaim, sejak dua tahun belakangan, perusahaan telah berhasil mengurangi 3,96 juta sampah, 32.260 limbah sachet, 11.417 limbah cangkir, 109.843 limbah sendok garpu, dan sebagainya.

Dari seluruh inisiatifnya, Evoware juga sempat menyabet berbagai penghargaan. Di antaranya memenangkan kategori “Redesigning Sachet” di Circular Design Challenge di Malta pada 2017 –kompetisi internasional yang diselenggarakan oleh The New Plastics Economy (dipimpin oleh Ellen MacArthur Foundation.) Kompetisi ini berfokus pada barang-barang plastik seperti sachet dan tutup, yang seringkali terlalu kecil atau rumit untuk didaur ulang.

Evo & Co memperoleh dana hibah sebesar $1 juta, satu-satunya perusahaan dari Asia yang berhasil menduduki posisi enam besar bersama dengan perusahaan lainnya. Selanjutnya, pada Agustus 2021, memperoleh pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasikan dari ANGO Ventures, VC tahap awal yang dipimpin oleh salah satu klien ANGIN, yakni Mariko Asmara.

David menyebut, untuk mendukung seluruh rencana perusahaan dalam memerangi sampah plastik, saat ini sedang melakukan penggalangan putaran dana terbaru. Tim Evo & Co saat ini berjumlah 12 orang dan berkantor pusat di Jakarta.

Utilisasi Data Bantu Chickin Efisiensikan Peternak Unggas

Meski banyak tantangan, sektor agrikultur menjadi area potensial berikutnya yang belakangan ini mulai digenjot dengan berbagai inovasi baru berbasis teknologi. Pada umumnya, dengan merangkul teknologi digital bakal berdampak pada upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi, profitabilitas, serta mengurangi risiko penyakit.

Adopsi teknologi baru harus dilakukan secara masif dan menjadi kebiasaan baru bagi para petani/peternak misalnya, jika mereka ingin tetap bertahan hidup, tetap relevan, dan kompetitif di industri yang menantang, yang mana harga input melonjak dan penyakit terus mengancam bisnis mereka. Chickin menjadi salah satu pemain agritech yang mencoba menyelesaikan isu tersebut, dimulai dari industri budidaya unggas.

Tiga orang kawan, yang terdiri dari Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh, memantapkan diri sebagai peternak unggas sebelum akhirnya merintis Chickin pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah.

“Kami memahami betul permasalahan di industri ini. Dari situ kita mencari pain point dari upstream hingga downstream. Berniat sekali untuk membantu menjaga ketahanan pangan di Indonesia yang masih mengonsumsi daging dengan indeks protein hewani terendah di Asia Tenggara dan masalah supply demand yang highly fragmented,” terang Co-founder & CEO Chickin Tubagus Syailendra.

Menurutnya, bagi semua pembudidaya, data adalah isu terpenting yang membantu mengatasi permasalahan di lapangan. Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand.”

Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.

“Ini jadi masalah besar. Di Indonesia potensinya besar tapi masyarakatnya tidak bisa makan dengan harga dan kualitas yang oke. Lalu masih centralize juga, di luar Pulau Jawa banyak orang belum bisa makai daging karena aksesnya sulit. Di lihat dari uniqueness, daging certified terbesar itu adalah ayam. Banyak yang jual ayam di sini dan yang terpenting banyak momentum hari raya yang membuat ayam jadi komoditas di acara tertentu mendadak tinggi.”

Solusi Chickin

Dalam menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B. Dengan teknologi digitalnya, Chickin menawarkan solusi untuk peternak unggas di Indonesia tentang cara mengurangi kesalahan manusia, limbah pakan, dan biaya listrik. Solusi membantu mereka berubah dari manajemen tradisional hingga manajemen berbasis digital.

Pihaknya akan matchmaking data permintaan ayam, ukuran, harga, grade, dan dicocokkan data yang ada di kandang peternak. Adapun untuk perangkat IoT, untuk meningkatkan produktivitas peternak dengan menekan ongkos pakan FCR (feed coversion ratio). Sebab, keberhasilan panen itu soal seberapa banyak pakan yang dikonversi menjadi daging dengan maksimal, sehingga energi tidak sia-sia terbuang.

Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI support, Chickin memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.

Mereka tidak perlu khawatir lagi soal kondisi cuaca di dalam kandang karena suhu dan kelembaban bisa diatur secara manual melalui Chickin App yang tersambung pada smartphone. Adanya IoT dan AI support memungkinkan terjadinya budidaya jarak jauh karena proses kontrolnya semakin mudah, sekaligus dapat memaksimalkan efisiensi dan kualitas produksi dengan tingkat mortalitas yang rendah.

Aplikasi Chickin membantu peternak memiliki data real-time. Diklaim, proses integrasi dari teknologi Chickin dapat meningkatkan tingkat keberhasilan panen sebesar 97% dan laba sebesar 300-400%.

“Kita bisa tekan data AI untuk adjust kebutuhan suhu ayam, sebab cost pakan itu mahal. IoT itu untuk kontrol suhu kebutuhan ayam, berapa temperatur, kelembapan, sehingga mitra bisa dapat hasil yang optimal dari segi pendapatannya,” papar Tubagus.

Dia melanjutkan, “Sejauh ini bisa mengurangi ongkos sampai 15% atau sekitar Rp2 ribu-Rp3 ribu per satu ekor ayam. Ini potensi maksimal, tergantung seberapa baik performance-nya. Selanjutnya, listrik bisa turun 50% dari ongkos, satu ekornya Rp500 untuk unit economics-nya, kita bisa tekan Rp250 per ekor. Terakhir, antibiotic cost meski masih riset, bisa turun sekitar 50% sekitar Rp250 juga. Impact-nya besar yang bisa didapat.”

Dalam menciptakan solusi tersebut, ia mengaku telah melakukan riset ilmiah selama tahun, sembari melakukan tes percobaan di beberapa kandang di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. “Pembuatan alatnya simpel, tambah sensor untuk tahu suhu dalam kandang dan AI Logic untuk kebutuhan suhu seekor ayam. Tapi yang buat lama itu proses kesuksesannya seberapa jauh persentasenya menurunkan ongkos pakan dan listrik. Setelah punya data yang solid kita bisa produksi lebih cepat lagi.”

Adapun untuk model bisnisnya, Chickin menyediakan suplai daging ayam berkualitas ke konsumen B2B (Chickin Fresh). Ibaratnya seperti e-commerce B2B untuk daging ayam saja, seperti Aruna yang menjadi B2B untuk ikan. Kemudian, monetisasi terjadi di sektor hilirnya. Para mitra bisnis Chickin datang dari beragam vertikal, ada e-grocery, retail, kuliner, korporasi, hingga jaringan waralaba.

“Kalau IoT device sebenarnya adalah cara kami acquire suplai saja, akuisisi banyak peternak untuk jadi mitra suplai. Dan alat-alat ini kita pakai gratis tidak monetize sama sekali.”

Diklaim, solusi Chickin Fresh telah menjual lebih dari 2,1 juta kilogram ayam untuk 10 mitra industri. Sementara, untuk Chickin Smart Farm telah memproduksi lebih dari 1 juta ekor ayam, menghemat Rp1,7 miliar pakan dihemat, dan Rp397 juta listrik dihemat.

Sumber: Chickin Indonesia

Optimistis di budidaya unggas

Tubagus meyakini, ke depannya pertanian cerdas dengan penerapan kecerdasan buatan (AI) akan diterima secara masif di negara ini. Oleh karenanya, sosialisasi manfaat dari teknologi itu penting. Untuk bisa diadopsi secara luas, diklaim bahwa teknologi ini ramah pengguna dan menciptakan efisiensi yang signifikan.

Sebenarnya para peternak di Indonesia pada umumnya sudah paham dengan konsep climate control. Makanya, target pengguna solusi Chickin adalah peternak full house yang sudah punya kipas, blower, dan cooling pad. Selanjutnya, Chickin hanya memberikan pembaruan perangkat temptron yang ada di dalam kandang dengan sensor suhu ayam dalam kandang secara real time.

Meski begitu, perusahaan tetap menempatkan tim lapangan dan konsultan yang bisa membantu peternak saat mengoperasikan perangkatnya. “Dan yang paling penting, jika kita dapat menghasilkan hasil yang baik, akan lebih mudah untuk meyakinkan peternak untuk berinvestasi.”

Solusi Chickin sebenarnya dapat diimplementasikan tidak hanya untuk unggas, tapi juga ke hewan ternak lainnya, seperti sapi dan kambing, sebab pada intinya iklim menentukan keberhasilan panen. Inovasi tersebut sudah sukses dikerjakan oleh startup sejenis dari Israel, AgroLogic. Startup ini mengembangkan temptron, seperti Chickin, yang diaplikasikan untuk babi, sapi, dan hewan lifestock lainnya.

Hal ini menginspirasi perusahaan untuk melakukan aksi serupa. Langkah Chickin selanjutnya adalah bidik pertumbuhan dari bisnis vertikal, lewat akuisisi dari hulu ke hilir. Kemudian, masuk ke downstream dengan menguasai demand agregasi ayam. Selanjutnya masuk ke midstream (rumah potong), ke upstream (kandang ayam).

“Tujuannya agar kami bisa supply farm input, seperti pakan dan bisnis, sembari masuk ke sektor horizonal di luar ayam. Sebab kami rencananya mau leading meat e-commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.

Saat ini Chickin telah merampungkan pendanaan tahap awal. Namun informasi detail lebih lanjut masih ditutup rapat-rapat.

Application Information Will Show Up Here