Cerita Pengalaman SmarTernak Ikuti “Google Demo Day Asia” di Shanghai

Menjadi satu-satunya startup asal Indonesia yang dipilih Google Asia Pacific untuk acara Demo Day Asia merupakan pengalaman yang berharga buat DycodeX. Melalui SmarTernak, perusahaan pengembang software asal Bandung ini, mendapatkan kesempatan untuk bersaing dengan 9 startup dari negara lainnya di Asia dalam acara Demo Day Asia di Shanghai bulan September 2018 lalu.

Kepada DailySocial, CEO DycodeX Andri Yadi mengungkapkan, dipilihnya SmarTernak mewakili Indonesia mengikuti acara Google Demo Day Asia 2018, merupakan validasi dan justifikasi tersendiri buat DycodeX yang membuktikan bahwa teknologi yang dikembangkan telah diakui dan memberikan impact untuk orang banyak.

“Sesuai dengan misi kami, ketika mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari kegiatan ini, adalah untuk bisa melakukan scale up dengan bantuan dari mentor dan sumber daya dari Google,” kata Andri.

Bersaing dengan 9 startup lainnya di Asia, tim SmarTernak mendapatkan kesempatan bertemu dengan para founder startup lainnya dan bertemu secara langsung dengan mentor Google. Selain kesempatan untuk memberikan pitching kepada para juri, SmarTernak juga mendapatkan masukan menarik untuk produk yang dikembangkan.

Potensi scale up SmarTernak

Andri mencatat terdapat sekitar 16 juta ternak di Indonesia, namun faktanya Indonesia masih melakukan impor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tanah air. Menurut Andri, persoalan ini terjadi karena adanya mismanagement, yang ternyata juga di-highlight para mentor Google Demo Day Asia.

“Dalam kegiatan pitching tersebut, kami dari SmarTernak diminta untuk melihat peluang dan potensi yang ada. Intinya adalah bagaimana SmarTernak bisa melakukan scale up dari sisi cakupan produk dan layanan juga negara,” kata Andri.

Lanjut Andri, tidak hanya teknologi untuk ternak saja yang bisa dikembangkan DycodeX. Para mentor juga melihat perlindungan dan pengawasan terhadap satwa liar juga bisa dijadikan peluang untuk dikembangkan secara teknologi.

“Saat ini negara lain sudah banyak menerapkan teknologi hingga sensor untuk ternak hingga hewan. Di Indonesia sendiri masih belum banyak startup yang mengembangkan teknologi tersebut,” kata Andri.

Masih dalam proses penjajakan bertemu dengan investor lokal dan asing, Andri dan tim sempat bertemu dengan beberapa perusahaan venture capital. Kesempatan tersebut dimanfaatkan memperluas jaringan dan melakukan diskusi dengan VC yang tertarik untuk berinvestasi.

“Sesuai dengan target kita, hingga akhir tahun 2018 diharapkan kita sudah memiliki pendanaan baru tahapan Seri A agar bisa dimanfaatkan untuk scale up dan ekspansi ke negara lainnya,” ujar Andri.

Tips mengikuti kegiatan Demo Day

Setelah mengikuti acara Google Demo Day pertama di Asia (sebelumnya di Amerika Serikat dan Eropa), Andri melihat kesempatan yang diberikan Google kepada DycodeX, sejalan dengan rencana perusahaan, yaitu fokus scale up dan memberikan layanan yang berguna untuk orang banyak.

“Saya melihat startup yang siap melanjutkan ke tahap scale up, telah memiliki revenue, dan telah melakukan fundraising bisa menjadi bagian dari Demo Day Asia selanjutnya. Fokus kepada layanan yang berguna untuk orang banyak,” kata Andri.

 

Fortinet: Cryptojacking Perangkat IoT Mulai Jadi Salah Satu Fokus Ancaman Keamanan Siber

Kejahatan siber senantiasa menjadi momok bagi industri digital. Fortinet, sebuah perusahaan penyedia jasa dan solusi keamanan, meluncurkan laporan bertajuk “Fortinet Threat Landscape Report Q2 2018”. Dalam laporan tersebut Fortinet menyoroti beberapa hal secara khusus, seperti serangan Cryptojacking yang mulai menyerang IoT untuk perangkat rumahan hingga botnet yang mulai berevolusi.

Laporan Fortinet ini menyoroti beberapa aspek keamanan digital, mulai dari exploit, malware, botnet, hingga prediksi tren ancaman ke depan. Semua perusahaan yang memiliki layanan digital dan infrastruktur IT disebut punya risiko yang sama dalam serangan siber, hanya antisipasi dan tindakan pencegahan yang membedakannya.

Untuk exploit, Forninet mendeteksi ada 7.230 exploit yang ditemukan dengan rata-rata 811 temuan per perusahaan. Bahkan Fortinet menyebutkan hampir 96% perusahaan mengalami setidaknya satu eksploitasi besar.

“Analisis berfokus pada deteksi kritis dan tingkat keparahan yang tinggi menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dengan 96% perusahaan mengalami setidaknya satu eksploitasi hebat,” tulis Fortinet dalam rilisnya.

Temuan lain yang dilaporkan dan menjadi sorotan adalah adanya exploit atau cryptojacking yang mulai menyasar ke perangkat IoT untuk rumahan. Cryptojacking adalah istilah yang diberikan kepada perangkat lunak yang menggunakan sumber daya perangkat keras target atau korban untuk melakukan minning cryptocurrency. Perangkat keras yang terinfeksi akan menjadi “mesin tambang” bagi penyerang.

Cryptojacking sempat booming beberapa waktu lalu lantaran disematkan dalam situs web dan membuat pengguna yang membuka web bertindak sebagai minner yang tentunya membuat performa komputer menurun. Dalam kasus yang ditemui Fortinet, serangan cryptojacking sudah mengarah ke perangkat IoT yang sudah diimplementasikan di rumah-rumah, seperti lampu, CCTV, alarm, dan perangkat lainnya.

“Penyerang mengambi keuntungan dari mereka dengan memuat malware yang terus menambang karena perangkat ini selalu aktif dan terhubung. Selain itu, antarmuka untuk perangkat ini sedang dieksploitasi sebagai peramban web yang dimodifikasi, yang memperluas kerentanan dan mengeksploitasi vektor di dalamnya. Segmentasi akan semakin penting untuk perangkat yang terhubung ke jaringan perusahaan karena tren ini terus berlanjut,” tulis pihak Fortinet.

Fortinet menemukan 23.945 varian malware dengan deteksi harian mencapai 13 untuk setiap perusahaan. Untuk cryptojacking, Fortinet mendeteksi kemunculan malware mencapai 23,3%. Fortinet juga mendeteksi adanya serangan botnet unik mencapai 265 kali dengan botnet aktif rata-rata 1,8 untuk setiap perusahaan. Botnet sendiri adalah istilah untuk perangkat yang terinfeksi malware dan difungsikan sebagai “robot” yang bisa dikendalikan untuk serangan seperti spam hingga serangan DDoS (Distributed Denial-of-Service).

Fortinet juga menggarisbawahi bahwa malware terus berkembang dan berevolusi. Menghindari deteksi dan pencegahan sehingga memiliki banyak cara untuk menginfeksi komputer atau jaringan.

“Musuh siber tidak pernah berhenti. Semakin banyak, mereka mengotomatisasi alat-alat mereka dan menciptakan variasi dari eksploitasi yang diketahui. Akhir-akhir ini, mereka juga semakin lebih tepat dalam penargetan mereka, tidak bergantung pada upaya selimut untuk menemukan korban yang bisa dieksploitasi,” terang Chief Information Security Officer (CISO) Fortinet Phil Quade.

Ministry Regulation Regarding IoT to be Issued by the End of this Year, Connectivity as the Main Focus

The government, through the Ministry of Communication and Information (Kemkominfo), targeting the regulation regarding Internet of Things (IoT) industry to be issued by the end of 2018. It was meant to give legal guarantee for IoT industry players in the future.

However, IoT’s regulation draft is currently on its way to the Kemkominfo’s Legal Department and waiting for the government to make public trial to collect opinions from related stakeholders.

“Regarding public trial, we haven’t decided yet. However, the regulation to be issued will be in the form of Ministry Regulation (Permen),” I Ketut Prihadi Kresna, Indonesia’s Telecommunication Regulatory Department, said in a short statement to DailySocial.

IoT regulation will be focused on the connectivity element. There are three main points to regulate, technology, frequency, and standardization of IoT devices. Those are considered to be the most fundamentals in determining the objective of Indonesia’s IoT ecosystem development in the future.

M. Hadiyana, Kemkominfo’s SDPPI Director General, said that they will hold a trial in unlicensed frequencies to ensure no interference with telco operator’s frequency.

It’s the most awaited moment of IoT industry players in Indonesia using Low Power Wide Area (LPWA) technology, such as DycodeX. In fact, the government will control the kinds of technology to support IoT devices in Indonesia, either using 3GPP, non-3GPP, and non-satellite.

In terms of 3GPP-based devices, the supporting technologies are 2G/3G/4G/5G/NB-IoT. For non-2GPP and non-satellite devices, there are LPWA using LoRa and Sigfox technology, also Short Range Devices (SDR), such as Bluetooth, WiFi, and Zigbee.

The spectrum allocation for IoT device connection will be set based on licensed and unlicensed frequencies. The licensed ones consist of; Band 1 (2.100MHz), Band 3 (1.800MHz), Band 5 (800MHz), Band 8 (900mHz), Band 31 (450mhZ), and Band 40 (2.300MHz). In the unlicensed category, we have 2,4GHz and 5,8GHz.

TKDN is not yet a concern in IoT policies

The government doesn’t want to include a policy on Domestic Components (TKDN) in IoT Regulation. The thing is, the device market value as predicted of IDR 56 trillion is far less than the estimated content and application market value of IDR 192,1 trillion by 2022 according to Indonesia’s IoT Forum research.

“TKDN will not be regulated because the IoT devices market value in Indonesia is still lower than its app market. Later, when domestic device industry has developed and ready to take an opportunity in the Indonesian market, we can apply the TKDM policy,” he added.

Once it’s being regulated, the government ensures TKDN will not be applied to the manufacturing process but also from the product designing. TKDN percentage will be upgraded according to the industrial condition, therefore the domestic component industry will grow along.

While waiting for the industry to develop, the government encouraged for the rise of IoT maker in the area through the development of IoT lab facility in 2019. It’ll be a place for the makers to develop products and facilitate its commercialization in the future.

In the IoT roadmap presentation, this facility will be attached with 2G/3G/LTE/NB-IoT/LoRa technology with trial equipment for IoT solution. In the program development and implementation, the government expects a collaboration of relevant stakeholders, from telecommunication companies, universities, and communities.

Specifically, there are many activities to do in IoT lab. The maker can do prototyping, IoT device trials, exchanging insights, training, and incubation, including meetings between producers and customers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peraturan Menteri tentang IoT Terbit Akhir Tahun, Konektivitas Jadi Fokus Utama

Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), menargetkan aturan terkait industri Internet of Things (IoT) segera terbit pada akhir 2018. Kebijakan ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum terhadap pelaku industri IoT di masa depan.

Adapun, saat ini draf regulasi IoT telah diserahkan ke Bagian Hukum Kemkominfo dan tinggal menunggu pemerintah membuka uji publik untuk meminta berbagai masukan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.

“Soal uji publik, kami belum tahu kapan akan dilakukan. Tapi, aturan IoT yang diterbitkan nanti dalam bentuk Peraturan Menteri [Permen],” kata anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Regulasi IoT sendiri akan fokus terhadap elemen konektivitas. Ada tiga poin utama yang akan diatur di dalamnya, yaitu teknologi, frekuensi, dan standardisasi perangkat IoT. Ketiganya dianggap menjadi fundamental utama dalam menentukan arah pengembangan ekosistem IoT Indonesia di masa depan.

Dirjen Standardisasi Perangkat dan Pos Informatika Kemkominfo M. Hadiyana menambahkan, pihaknya juga akan menggelar uji coba (trial) di frekuensi tak berlisensi untuk memastikan tidak adanya interferensi dengan frekuensi milik operator telekomunikasi.

Hal ini paling ditunggu pelaku bisnis IoT di Indonesia yang menggunakan teknologi Low Power Wide Area (LPWA), seperti DycodeX. Sebagaimana diketahui, pemerintah akan mengatur jenis teknologi yang dapat mendukung perangkat IoT di Indonesia, baik yang memanfaatkan 3GPP, non-3GPP, dan non-satelit.

Untuk perangkat berbasis 3GPP, teknologi yang mendukung antara lain 2G/3G/4G/5G/NB-IoT. Sementara non-3GPP dan non-satelit yakni LPWA dengan teknologi LoRa dan Sigfox, serta Short Range Device (SDR), seperti Bluetooth, WiFi, dan Zigbee.

Alokasi spektrum untuk koneksi perangkat IoT juga akan diatur berdasarkan frekuensi berlisensi maupun tidak berlisensi. Frekuensi berlisensi terdiri dari; Band 1 (2.100MHz), Band 3 (1.800MHz), Band 5 (800MHz), Band 8 (900mHz), Band 31 (450mhZ), dan Band 40 (2.300MHz). Di kategori tidak berlisensi, terdapat frekuensi 2,4GHz dan 5,8GHz.

“Untuk layanan IoT dengan teknologi Low Power Wide Area, kami akan lakukan trial pada frekuensi 919MHz-925MHz pekan depan,” tutur Hadiyana kepada DailySocial.

TKDN belum akan diatur dalam kebijakan IoT

Pemerintah belum mau menyertakan kebijakan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam Permen IoT. Alasannya, nilai pasar perangkat yang diprediksi Rp56 triliun kalah jauh dari estimasi nilai pasar konten dan aplikasi yang sebesar Rp192,1 triliun menurut riset Indonesia IoT Forum di 2022.

“TKDN tidak akan diatur karena nilai pasar perangkat IoT di Indonesia masih kecil jika dibandingkan nilai pasar aplikasi. Nanti ketika industri perangkat dalam negeri sudah berkembang dan siap memanfaatkan peluang pasar Indonesia, kami bisa saja memberlakukan kebijakan TKDN,” jelas Hadiyana.

Apabila diatur, pemerintah memastikan TKDN dihitung tak hanya proses manufaktur saja, tetapi juga sejak proses perancangan produk terjadi. Persentase TKDN juga akan dinaikkan sesuai dengan kondisi industri agar industri komponen dalam negeri juga tumbuh.

Sambil menunggu industrinya berkembang, pemerintah mendorong inisiasi lahirnya lebih banyak maker IoT di Tanah Air melalui pembangunan fasilitas laboratorium IoT di 2019. Lab IoT ini akan menjadi wadah bagi maker untuk melakukan pengembangan produk sehingga mempermudah komersialisasi produknya di masa depan.

Dalam paparan roadmap IoT, fasilitas ini akan dilengkapi teknologi 2G/3G/LTE/NB-Iot/LoRa beserta perangkat uji coba solusi IoT. Dalam pembangunan dan pelaksanaan program di dalamnya, pemerintah mengharapkan kolaborasi pemangku kepentingan terkait, mulai dari perusahaan telekomunikasi, universitas, dan komunitas.

Secara spesifik, banyak kegiatan yang dapat dilakukan di lab IoT. Maker dapat melakukan prototyping, pengujian perangkat IoT, pertukaran ilmu, pelatihan dan inkubasi, termasuk terciptanya pertemuan antara produsen dan pengguna.

Mengenal Mertani, Penyedia Solusi IoT dan Analitik untuk Bidang Pertanian

PT Merapi Tani Instrumen (Mertani) merupakan perusahaan yang bergerak dalam penyediaan solusi IoT (Internet of Things) dan analitik untuk perusahaan perkebunan atau pertanian. Mertani memiliki platform Airi yang memadukan solusi IoT, big data dan sistem otomasi.

Mertani merupakan layanan yang berbasis di Yogyakarta, didirikan oleh Yustafat Fawzi dan Dualim Atma Dewangga, dua orang alumni UGM yang pernah mengenyam pengalaman bekerja di perusahan sawit.  Diawali dari riset dan percobaan sejak tahun 2016, Mertani akhirnya digarap serius sebagai bisnis sejak awal tahun ini.

Menurut Yustafat, Mertani saat ini mengembangkan sebuah solusi IoT, baik hardware maupun software yang didesain untuk memecahkan permasalahan perusahaan di sektor pertanian. Produk dari Mertani ini adalah Airi, sebuah produk precission agriculture yang memadukan teknologi sensor, IoT, big data analityc, otomasi.

Airi siapkan untuk membantu petani atau perusahaan perkebunan mengetahui secara langsung dan detail kondisi tanaman sehingga mereka bisa mencapai efisiensi dalam operasional, mengambil keputusan dan meningkatkan produktivitas taman. Platform Airi terdiri dari Airi Sensor, Airi Software (mobile dan dekstop) dan sistem otomasi (irigasi otomatis).

Peran Airi sensor dalam platform Airi berfungsi sebagai perangkat data akuisisi iklim mikro yang dapat bekerja atau melakukan pengukuran secara statis maupun dinamis berkenaan dengan data-data kadar air tanah, kadar nutrisi tanah, PH, suhu tanah, suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya dan data lainnya.

“[Nantinya] informasi tersebut ter-upload secara reguler ke cloud. Manajer perkebunan bisa membaca analisis kondisi lahan dari software Airi yang telah disediakan. Airi bisa bekerja di pelosok-pelosok yang tidak ada sambungan listrik maupun jaringan internet yang terbatas,” jelas Yustafat.

Lebih jauh Yustafat menjelaskan bahwa pihaknya juga memberikan pilihan sebuah sistem irigasi otomatis yang terhubung secara wireless dengan Airi sensor. Sistem irigasi tersebut bisa memberikan air secara otomatis berdasarkan rekomendasi dari sensor Airi sehingga pemberian air bisa lebih akurat dan sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Saat ini Mertani tengah fokus pada segmen perusahaan perkebunan dan pertanian dan belum fokus pada petani atau perkebunan secara langsung.

“Kami optimis karena perusahaan-perusahaan di sektor pertanian kurang optimal dan efektif dalam membuat keputusan berkenaan dengan lahan karena data akuisisi yang sangat manual, mahal, dan lamban,” imbuh Yustafat.

DycodeX Cari Pendanaan Baru Seri A dan “Scale Up” SMARTernak

DycodeX, startup pengembang hardware berbasis Internet of Things (IoT), tengah mencari pendanaan baru untuk mendukung rencana pengembangan bisnisnya di tahun depan.

Hal ini diungkapkan CEO DycodeX Andri Yadi saat DailySocial menyambangi kantornya di Bandung beberapa waktu lalu. Ia mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini nantinya akan mendukung segala fokus bisnis DycodeX ke depan.

“Akhir tahun ini kami mau raise (pendanaan) lagi dari venture capital. Investor potensial sudah ada, dari lokal. Dengan (rencana cari pendanaan) ini, kami mencari fokus produk dan thankfully sudah ada,” ujar Andri.

Fokus produk yang dimaksud adalah pengembangan produk IoT untuk lima kategori, antara lain Asset Tracking, Agriculture Livestock Farming, Safety and Security, Custom Hardware Design, dan Industrial.

Sebelumnya DycodeX telah mengantongi pendanaan dengan nilai yang tidak diketahui dari angel investor bernama Edo Okandar. Di awal tahun ini, startup bermarkas di Bandung ini kembali memperoleh pendanaan dari angel investor berbeda.

“Pendanaan awal tahun ini tidak bisa saya sebutkan nilainya, tetapi valuasinya sampai satu juta dollar (per Januari 2018). Bisa dikatakan pendanaan ini pra-seri A,” ujarnya.

Incar nilai pasar 233 miliar Rupiah

Andri mengungkap sejumlah pengembangan produk baru di masa depan. Namun, rencana tersebut belum dapat dirilis kepada publik. Untuk saat ini, SMARTernak menjadi salah satu fokus pengembangannya di masa depan.

Solusi peternakan SMARTernak sendiri telah mendapat dukungan penuh dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pertanian.

SMARTernak menawarkan solusi peternakan berbasis IoT secara end-to-end. Tak sekadar hardware, SMARTernak menyediakan layanan untuk memantau hewan ternak, mulai dari melacak, mendeteksi aktivitas hewan ternak, estimasi kesehatan.

“Model bisnisnya sudah jelas, pasarnya ada, dan mau scale up juga. Bahkan kami sudah siapkan target yang ingin kami incar. Saat ini ada sekitar 16 juta sapi di Indonesia, kami mau incar 1 persen atau 160 ribu sapi dalam dua tahun. Nilai dari 160 ribu itu sebesar 16 juta dollar (Rp233 miliar),” ungkap Andri.

Menurut Andri, nilai bisnis yang dipatok cukup besar karena produk yang ditawarkan DycodeX tak hanya berupa perangkatnya saja, tetapi layanan secara end-to-end.

Ia mengaku optimistis dapat mencapai target karena hingga akhir tahun ini SMARTernak bakal mendapat 10.000 sapi. Diungkapkan Andri, 10.000 sapi ini diperoleh dari peternakan milik anak usaha Astra Group.

“Hingga akhir tahun kita sudah dapat 10.000, itu saja tanpa marketing dan funding baru. Artinya dengan effort lebih banyak, dengan funding dan marketing bagus, sebetulnya target 160.000 sapi itu sudah di depan mata,” katanya.

Andri menambahkan, peternakan sapi yang dikelola korporasi itu hanya 1,6 juta atau 10 persen dari total 16 juta sapi di Indonesia. Bicara perusahaan berskala menengah hingga besar, ada belasan ribu sapi yang dikelola. Artinya, masih ada peluang besar di level peternakan daerah.

“Makanya, kami nanti mau tambah resource lagi untuk fokus pada pengembangan ini,” katanya.

Menuju Revolusi Indonesia 4.0 Lewat Pusat Inovasi IoT

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto membuka sambutannya pada ajang Telkomsel Innovation Center (TINC) Conference & Exhibition di Balai Kartini Rabu (25/7), lewat paparan bertajuk “Making Indonesia 4.0”. Sebuah visi masa depan pemerintah untuk mewujudkan revolusi digital industri 4.0.

Dalam paparan tersebut, ia menyebutkan industri 4.0 dapat menjadi enabler untuk mendorong kemajuan bangsa dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. “Bangsa kita adalah negara terbesar di Asia dan demografi kita luas. Teknologi dapat jadi enabler agar negara kita lebih maju,” ungkapnya.

Maka itu, lanjut Airlangga, pemerintah mengajak setiap stakeholder terkait untuk berpartisipasi dalam mendorong pengembangan dan ekosistem Internet of Things (IoT) di Indonesia sebagai pilar industri 4.0.

Salah satunya melalui Telkomsel Innovation Center (TINC) yang menjadi upaya Telkomsel untuk fokus di industri IoT. TINC merupakan serangkaian program yang akan mempertemukan para startup, developer, hingga investor di industri IoT.

Program ini merangkum berbagai kegiatan untuk membentuk ekosistem IoT di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah fasilitas laboratorium IoT, kegiatan mentoring dan bootcamp, hingga akses networking bagi para startup, developer, maupun system integrator dengan pelaku bisnis terkait.

Tak hanya itu, anak usaha Telkom ini juga memperkenalkan Narrowband Internet of Things (NB-IoT) Lab pertama di Indonesia yang dapat dimanfaatkan para inovator TINC untuk melakukan uji coba produk IoT yang dikembangkannya. Lab ini berlokasi di Bandung, Jawa Barat.

Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah menyebutkan dorongan untuk memperkuat komitmennya di ranah IoT muncul karena banyak sekali masalah unik yang terjadi di Indonesia dan tak dapat diselesaikan dengan mengandalkan bantuan pihak luar. Ia menilai Indonesia harus mengembangkan ekosistem IoT sendiri.

“Implementasi aplikasi IoT itu sangat luas. Untuk membatasi imajinasi, makanya kita harus (mewujudkannya) lewat kolaborasi. Kita bisa dorong pengembangan IoT lebih luas lagi, tak hanya untuk pelaku usaha tetapi juga untuk negara,” ungkap Ririek dalam sambutannya.

Ririek berharap dalam beberapa tahun mendatang bisa mengantongi 1 miliar pelanggan produk IoT. Untuk saat ini, Telkomsel lebih fokus terhadap penyediaan solusi untuk kegiatan sehari-hari.

Diharapkan pula, TINC dapat kembali melahirkan lebih banyak solusi IoT dan kolaborasi lainnya dengan para inovator. Beberapa layanan IoT yang sudah melewati masa inkubasi antara lain kolaborasi dengan Banopolis (bike sharing di Universitas Indonesia) dan kolaborasi dengan eFishery (pemberi makan otomatis ternak ikan).

5G optimalkan adopsi IoT

Selain merangkul multi stakeholder untuk membentuk ekosistem, Telkomsel juga akan membangun jaringan 5G di masa depan untuk memperkuat adopsi IoT lebih masif lagi. Saat ini teknologi seluler generasi ke-5 ini belum komersial di dunia, namun akan diuji coba di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Dalam presentasinya, Director Planning & Transformation Telkomsel, Edward Ying mengatakan pemanfaatan IoT akan lebih optimal dengan mengandalkan koneksi 5G karena jaringannya mampu menghadirkan kecepatan 100 kali lebih tinggi dari 4G dengan latensi rendah.

“5G bagus untuk major improvement karena punya kecepatan tinggi dan lebih efisien. Kami yakin ini dapat menciptakan tools paling powerful untuk industri telekomunikasi di masa depan. Ekosistem bisa support banyak hal, seperti smart city,” ujar Ying.

Pihaknya juga akan meningkatkan jangkauan jaringan LTE dengan NB-IoT di sejumlah area pada 2019. Saat ini, jaringan Telkomsel telah didukung sebanyak 167 ribu unit BTS dengan 80 persen merupakan BTS di jaringan 4G.

IoT Forum sebagai katalisator

Tahun 2020, menurut riset Cisco, diprediksi ada 7,6 miliar orang yang menggunakan sebanyak 50 miliar perangkat yang saling terhubung dengan jaringan internet.

Sementara, riset McKinsey mengestimasi potensi pasar IoT di Indonesia mencapai $3 miliar pada 2020. Dari nilai tersebut, ada empat kategori yang bakal mendominasi pasar IoT di Indonesia, yakni kendaraan, industri, smart city, dan ritel.

Di balik potensi pasar yang sedemikian besar, masih ada sejumlah hal yang menghambat pertumbuhan industri IoT di Indonesia. Padahal ekosistem IoT di Indonesia dinilai mulai berkembang dan cukup siap untuk menghadapi tren IoT di global.

“Ekonomi akan jalan kalau ada demand dan supply. Kita menjadi katalisator supaya kita bisa menggerakkan pihak supply. Tetapi, belum tentu pihak demand tahu produk ini ada. Makanya, kedua pihak harus dipertemukan dalam satu komunitas,” ungkap Founder Indonesia IoT Forum, Teguh Prasetya pada kesempatan sama.

Teguh menilai IoT Forum berperan penting dalam mempertemukan dan mengenali kebutuhan dengan end user. Dengan begitu, pengguna jaringan dan produsen perangkat dapat saling terhubung untuk menentukan siapa yang menciptakan layanannya.

Sementara itu, CEO eFishery, Gibran Huzaifah justru menilai salah satu penghambat industri IoT di Indonesia adalah kurangnya relevansi use case yang diterapkan dengan masalah yang dihadapi di Indonesia. Contohnya adalah produk smart home. Padahal, kebutuhan smart home di Indonesia belum terlalu besar.

“Relevansi pada use case itu penting karena tidak semua yang dikembangkan di barat berkaitan dengan masalah yang ada di Indonesia. Intinya, di barat belum tentu paham masalah yang ada di sini,” tutur Gibran yang juga menjadi pembicara di TINC Conference & Exhibition.

Di eFishery, Gibran menerapkan use case berdasarkan hal-hal yang terjadi pada budidaya peternak ikan, yakni pemberian makanan ikan. Ia kemudian menciptakan mesin pemberi makan ikan secara otomatis.

Disclosure: DailySocial adalah media partner untuk kegiatan Telkomsel Innovation Center IoT Forum 2018 Convention & Exhibition.

5 Inovasi Startup Internet of Things di Indonesia yang Layak untuk Disimak

Tren Internet of Things di Indonesia bertumbuh sehat. Kendati pertumbuhan di sektor consumer masih belum begitu memuaskan, pemanfaatan di ranah industri tampak menunjukkan keseriusan. Efisiensi perputaran roda bisnis dalam tubuh perusahaan adalah satu alasan kuat yang mendasarinya.

Ditinjau secara umum, ekosistem IoT di Indonesia setidaknya telah unjuk gigi dengan beberapa jagoan inovasi yang berpotensi besar untuk menjadi lebih besar; inilah lima inisiasi di antaranya.

HARA

HARA adalah produk IoT yang dikembangkan untuk menangani permasalahan di sektor pertanian dan pangan. Produk dari Dattabot ini disiapkan untuk menanggulangi masalah potensi lahan, optimasi pertanian, dan mencegah pertumbuhan hama dan penyakit tanaman. Fitur utama dari produk berbasis blockchain ini antara lain ialah aplikasi smartphone untuk mengambil data, web-based analytic, dan prediksi hasil panen yang disertai rekomendasi untuk para petani (misalnya, pupuk seperti apa yang perlu digunakan). Blockchain yang terdesentralisasi dinilai dapat menciptakan dampak sosial. Dattabot memulai dari sektor pangan dan pertanian, berikutnya menjalar ke sektor lainnya yang paling berdampak bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan hiburan.

Qlue

Salah satu cita-cita startup pengembang layanan yang menghubungkan antara pemerintah dengan masyarakat ini adalah ingin berinovasi mengembangkan produk smart city berbasis IoT, khususnya untuk diterapkan di wilayah perkotaan. Disampaikan oleh CEO Qlue Rama Raditya, bahwa saat ini sudah mulai terdesain beberapa inisiatif IoT untuk smart city, misalnya pengembangan traffic lamp yang terhubung ke sebuah command center, kotak sampah pintar, dan juga air pollution detector. Berbagai otomatisasi ini dinilai akan menjadi makin “viral” ketika smart city menjadi sebuah kebutuhan di perkotaan.

Spekun

Telkomsel bekerja sama dengan Banopolis mengembangkan bike sharing pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi NB-IoT lewat aplikasi Spekun. Bike sharing adalah sebuah konsep layanan peminjaman sepeda kepada publik dalam jangka waktu tertentu dari satu titik lokasi ke titik lokasi lainnya. Teknologi yang diterapkan pada ekosistem sepeda kuning (Spekun) di kampus UI Depok tersebut adalah peminjaman sepeda berbasis aplikasi smartphone, dengan didampingi penyediaan tiang atau dock parkir berbasis radio-frequency identification (RFID) sehingga sepeda hanya bisa diparkirkan pada dock parkir tersebut.

Upaya Telkomsel menciptakan dalam menciptakan gebrakan tidak sebatas di Spekun saja; Telkomsel juga menunjukkan keseriusannya dengan menyelenggarakan program Telkomsel Innovation Center (TINC) dengan Forum IoT sebagai bagian dari payung besarnya, dan semua developer, startup, maupun orang-orang yang punya ketertarikan lebih di bidang IoT dapat secara gratis mengikuti kegiatan convention dan exhibition pada hari Kamis, 26 Juli 2018.

eFishery

eFishery adalah alat pemberi pakan ikan otomatis. Alat ini tidak hanya mengotomatisasi pemberian pakan secara terjadwal dengan dosis yang tepat, tetapi juga mencatat setiap pemberian pakan secara real-time. Pengguna dapat mengakses data pemberian pakan kapan pun dan di mana pun. Tidak ada lagi masalah over-feeding, pemberian pakan ikan yang tidak teratur atau pakan yang diselewengkan. Secara spesifik, eFishery berusaha membantu peternak ikan dan udang, karena biasanya pemberian makan ikan menguasai antara 50 hingga 80 persen biaya operasi peternakan ikan.

eFishery juga dikenal sebagai startup yang sering memenangkan berbagai kompetisi startup tingkat global. Bekerja sama dengan TINC, eFishery akan mengeksplorasi pemanfaatan modul NarrowBand IoT (NB-IoT) untuk konektivitas yang lebih efektif. Hal ini sejalan dengan ekspansi pasar dengan model bisnis yang lebih matang dan validasi pasar baru akan memanfaatkan kompetensi dan jaringan konsumen luas Telkomsel. Sedikit informasi, Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah juga akan mengisi kelas di TINC 2018 Forum IoT.

Nodeflux

Nodeflux adalah platform dengan kemampuan komputasi terdistribusi dan juga kemampuan menyebarkan “brain”, komputasi dan kecerdasan buatan secara scalable. Di sini “brain” yang dimaksud dapat digunakan untuk implementasi pada pengolahan seperti Big Data, IoT dan Machine Learning.

Memadukan antara teknologi Artificial Intelligence, Machine Learning dan Deep Learning di area Computer Vision, Nodeflux dianggap dapat diimplementasikan untuk beberapa sektor bisnis, seperti pemantauan persediaan barang di sektor retail dan pengelolaan sistem parkir pada bisnis properti.

Lima produk dan startup di atas adalah contoh karya unggulan kreator Indonesia di bidang IoT. Sejalan dengan ekosistem yang mulai terbentuk mendewasa dan masih banyak ruang yang bisa diisi dari aspek bisnis dan pemasaran, kreator IoT perlu lebih banyak menunjukkan tajinya dalam mengembangkan produk IoT.

Anda yang menyukai inovasi, teknologi, dan segala hal yang beririsan di antara keduanya, dapat mengikuti working class di TINC 2018 dengan insight dari pelaku industri teknologi dan IoT. Pemanfaatan platform IoT akan dipaparkan detail oleh dari pakar dari IBM dan Microsoft, dan implementasi bisnis IoT akan dijelaskan oleh Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah. Anda juga dapat mengikut kelas praktikal mengenai pengembangan produk di kelas Device Makers IoT.

TINC 2018 akan berlangsung di Balai Kartini, pada hari Kamis, 26 Juli 2018. Pendaftaran untuk setiap kelas gratis dan terbatas. Info mengenai kelas-kelas yang bisa diikuti dan cara mendaftar bisa diakses di dly.social/tinc2018.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari kegiatan Telkomsel Innovation Center IoT Forum 2018.

Softbank and First Media Announce Partnership for IoT Solution Development

Softbank Corp. and Lippo Group’s subsidiary, PT Link Net (First Media), announce partnership for the Internet of Things (IoT) development and implementation as solution for all property ecosystem, health services, and mobility in Indonesia, includes the megaprojects in Meikarta, Lippo Malls, and Siloam Hospitals.
The partnership was done through the signing of an agreement which took place on June 29, 2018 in Jakarta, attended by Marlo Budiman, CEO of First Media, and Hidebumi Kitahara, VP Global Business Strategy Division Softbank Corp.
On the occasion, Kitahara said the global mobile industry is entering the 5G era, where IoT will be the main focus of innovation. He thought this partnership confirms Softbank’s commitment to continue driving technological innovation in the global market and improve the ICT development in Indonesia.
Budiman mentioned the early stage initiative would involve IoT devices implementation along with video analysis of housing, commercial buildings, malls, offices, public roads and other areas within Lippo Group’s property scope.
“The technology initiative is consistent and in accordance with the vision of making Indonesia as the leading digital economy in ASEAN,” he explained.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian