Survei APJII: Penetrasi Internet di Indonesia Capai 73,7 Persen

Survei terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan jumlah pengguna internet di Tanah Air kembali naik. Selain kehadiran infrastruktur broadband yang makin merata, faktor pandemi yang mengharuskan orang-orang berkegiatan di rumah turut berkontribusi pada meningkatnya penetrasi internet.

Survei APJII untuk 2019 hingga kuartal kedua 2020 menemukan jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta atau 73,7 persen dari total populasi di Indonesia. Angka penetrasi itu naik 8,9% dibanding jumlah pengguna sebelumnya. Kendati begitu, tingkat pertumbuhan 2019 – Q2 2020 ini masih lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan pada 2018 yang mencapai 10,12 persen.

“Jika dibandingkan dengan riset pada 2018, kenaikan dari tahun sebelumnya adalah 10,12 persen atau 27,9 juta jiwa. Artinya tahun ini agak menurun secara absolut,” jelas Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi.

Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar pengguna internet di Indonesia dengan 55,7 persen. Sumatera berada di posisi kedua dengan sumbangan 21,6 persen. Sulawesi (7%), Kalimantan (6,3%), Bali & Nusa Tenggara (5,2%), dan Maluku & Papua (3%) menyusul di belakang.

Internet rumah masih rendah

Salah satu temuan yang jadi sorotan dalam survei APJII kali ini adalah penggunaan ponsel cerdas untuk berinternet yang makin kuat. Survei memperoleh 73,2% responden sudah tidak menggunakan komputer pribadi (PC) untuk berselancar internet.

Sementara itu, mereka yang menggunakan laptop untuk berinternet hanya 15,4% saja. Kedua perangkat tadi kalah jauh dari smartphone yang digunakan oleh 95,4% responden.

Penggunaan smartphone yang dominan itu tentu berpengaruh pada jenis koneksi yang dipakai untuk berinternet. Itu sebabnya paket data dari operator seluler menjadi pilihan utama bagi 97,1% responden untuk terhubung ke internet. Dari survei diketahui hanya 14,5% responden pengguna internet yang berlangganan internet tetap di rumah.

“Sebanyak 97,1% mengakses internet dengan membeli paket data dari operator seluler. Ini tantangan bagi kita semua untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband ke depan. Untuk itu, APJII siap bekerja sama dengan para pihak terkait,” ucap Ketua Umum APJII Jamalul Izza.

Survei juga mendalami efek pandemi terhadap gaya hidup berinternet responden. APJII menemukan ada sedikit pergeseran konsumsi konten hiburan internet di masa pandemi ini. Jamal menyebut menonton streaming video (49,3%), game online (16,5%), streaming musik (15,3%) sebagai kegiatan paling banyak dilakukan para responden.

“Sebanyak 61 persen responden sering mengakses YouTube untuk menonton konten film, musik, dan olahraga,” ujar Jamal.

Survei APJII 2019 – Q2 2020 ini digelar pada 2 – 25 Juni 2020. Biasanya survei digelar tiap awal tahun untuk menghitung penetrasi internet di tahun sebelumnya. Namun wabah Covid-19 memaksa APJII mengundur aktivitasnya hingga tengah tahun.

Metode survei menggunakan probability sampling, multistage random sampling, dan varian area random sampling. Adapun jumlah sampel yang mereka gunakan mencapai 7.000 responden di semua provinsi Indonesia dengan margin of error 1,27% dan level of confidence 95%.

“Karena itu wawancara dengan bantuan kuesioner dilakukan di kuartal II, pada 2-25 Juni, sehingga hasil survei ini dapat menggambarkan pengguna intenet di pertengahan 2020,” pungkas Jamal.

Strategi ISP Mengatasi Layanan OTT “Rakus Bandwidth”

Kisah Telkom dan Netflix memasuki babak baru. Membuka blokir layanan setelah 4,5 tahun, kali ini akar permasalahannya adalah klaim biaya yang dikeluarkan ISP / operator untuk menyediakan pipa-pipa jaringan yang dianggap tidak sebanding dengan effort yang diberikan layanan OTT asing.

Telkom berharap ada kesepakatan bisnis lebih jauh dengan layanan OTT, agar mereka tidak hanya menjadi dump pipe layanan “rakus bandwidth“. Proposal dari Telkom untuk Netflix adalah terhubung dengan Content Delivery Service (CDN) milik Telkom yang dijalankan anak usahanya, Telin, yang bekerja sama dengan pemain CDN global Akamai.

Skema yang diharapkan muncul adalah kerja sama penawaran produk bersama, misalnya antara Telkomsel dan Disney Plus, atau pembayaran biaya akses premium agar konsumen OTT bisa menikmati bandwidth prioritas.

Netflix sendiri sudah membuat CDN sendiri yang dinamai Open Connect. Program ini memberikan peluang bagi mitra ISP meningkatkan pengalaman Netflix untuk pelanggan mereka dengan melokalkan trafik Netflix dan meminimalkan pengiriman trafik yang dilayani melalui penyedia transit.

Cara ini terbilang efisien karena biaya uplink WAN untuk memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna sangat mahal. ISP akan melakukan peer dengan Netflix di lokasi IXP, tetapi untuk mempermudah proses, disediakan OCA (Open Connect Appliance) untuk hosting secara lokal.

Menurut laporan S&P Global, sesungguhnya Netflix termasuk di jajaran layanan OTT yang gencar melakukan kemitraan di berbagai negara Asia Pasifik. Di Singapura, Netflix memiliki paket bundling dengan StarHub dan Singtel. Di Sri Lanka, mereka bekerja sama dengan provider lokal Dialog. Sebelumnya India mereka menggaet kesepakatan dengan Atria Convergence Technologies dan ACT Fibernet.

Di Indonesia sendiri, meskipun menjadi salah satu layanan OTT terpopuler, gerak kemitraan Netflix tergolong lambat. Netflix hingga saat ini belum mengakomodir pembayaran selain kartu debit/kredit. Sementara dengan ISP, mereka pernah melakukan promo bersama XL dan XL Home.

Keluhan Telkom terhadap fenomena layanan rakus bandwidth atau bandwith hog sebenarnya tidak baru dan tidak unik. Menurut laporan “2019 Global Internet Phenomena Report” yang disusun perusahaan peralatan jaringan Sandvine, layanan streaming adalah penyumbang terbesar downstream traffic di seluruh dunia. Netflix dan YouTube dinobatkan sebagai kontributor terbesarnya.

Aplikasi streaming video memakan 60% dari total volume downstream traffic di internet. Netflix mengambil porsi 12,6% dari total volume downstream traffic di seluruh internet dan 11,44% dari semua traffic internet. Hal ini disusul Google sebesar 12% dari keseluruhan traffic internet, yang didorong YouTube, mesin pencari, dan ekosistem Android.

Di negara asalnya, Netflix termasuk salah satu penggagas netralitas jaringan (net-neutrality). Namun di perjalanannya, Netflix membayar biaya premium ke empat pemain ISP dan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat, yaitu Comcast, Time Warner Cable, Verizon, dan AT&T.

Pada Maret ini, Uni Eropa mendesak Netflix menurunkan kualitas video ke format standar untuk mengantisipasi potensi bandwidth overload. Sebagai gambaran, untuk streaming video selama satu jam dengan format standar di Netflix memakan kapasitas 1 GB, sementara format HD naik hingga 3 GB.

Seperti kebanyakan aplikasi streaming lainnya, Netflix menggunakan metode adaptive bit rate (ABR) sebagai standar pengaturannya. Setiap layanan streaming secara otomatis akan menyesuaikan berdasarkan koneksi internet pelanggan pada saat itu, demi memberikan pengalaman terbaik. Pelanggan juga dapat mengatur kualitas video secara manual ke level yang lebih rendah untuk menghemat bandwidth.

Sikap operator

Dalam diskusi virtual yang digelar Sobat Cyber Indonesia Official pada Jumat, (25/9), Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan menganggap layanan OTT asing tidak pernah membayar ongkos infrastruktur, bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.

Di sisi lain, Dian mengklaim regulasi saat ini asimetris. Operator jaringan diatur ketat, sementara pesaing digital tidak memiliki kewajiban regulasi apapun karena sifatnya yang sangat cair dan global.

“OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO). Saat ini, mereka hanya dikenakan kewajiban memungut pajak PPN yang sebenarnya dibayar oleh pelanggan. Pemerintah belum bisa mendapatkan pajak penghasilan dari kegiatan bisnis di Indonesia,” paparnya.

Karena absennya regulasi layanan OTT, langkah percobaan yang dipilih Telkom untuk menerima keberadaan layanan OTT ada empat cara, yakni memblokir layanan OTT, bundling dengan layanan OTT (membuat paket data khusus), bermitra secara komersial dengan layanan OTT, dan mengembangkan layanan OTT sendiri.

Telkom memilih langkah blokir pada tahun 2016 terhadap Netlix dan mengombinasikan tiga cara lainnya terhadap layanan OTT asing.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Tiga operator lokal lain saat dihubungi DailySocial memiliki pandangan yang berbeda. Sinergi direct peering disebut menjadi kunci. Di dunia ISP, peering adalah proses dua jaringan internet yang terhubung dan bertukar trafik di IXP (International eXchange Point).

Ini memungkinkan mereka saling terhubung secara langsung untuk menyerahkan lalu lintas di antara pelanggan satu sama lain, tanpa harus membayar pihak ketiga untuk membawa lalu lintas tersebut ke jaringan internet mereka.

Tanpa IXP, menyeberang dari satu jaringan ke jaringan lain akan bergantung pada penyedia transit yang seringkali memiliki dampak kinerja negatif. Dengan IXP, suatu jaringan dapat melakukan peer dengan beberapa jaringan lain melalui satu koneksi dan dapat memberikan trafik tanpa masuknya penyedia transit.

ISP yang terhubung dengan IXP biasanya membuat perjanjian peering dan membayar sebagian dari pemeliharaan infrastruktur fisik di lokasi tersebut.

Indosat Ooredoo, misalnya, menyatakan layanan OTT merupakan salah satu layanan yang diakses pelanggan dengan menggunakan fasilitas internet. Oleh karena itu, perusahaan sudah memiliki kerja sama komersial dengan hampir semua layanan OTT besar yang beroperasi di Indonesia. Tujuannya untuk menjaga agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan baik itu dari sisi pelanggan, operator, maupun penyedia layanan OTT sendiri.

“Tentunya sudah menjadi kewajiban kami sebagai penyedia jasa telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan digital pelanggan dengan berbagai pilihan paket yang bisa dipilih sesuai kebutuhan masing-masing pelanggan,” terang SVP / Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Turina Farouk.

Direct peering dibutuhkan operator karena tujuannya memberikan layanan ke pelanggan yang lebih karena sifatnya yang langsung terhubung ke penyedia konten. Dengan demikian, latensi dan kendala ketidakpastian koneksi melalui “provider transit” dapat dihilangkan.

Dalam praktiknya, Indosat menerapkan direct peering dengan topologi di bawah ini.

Sumber: Indosat Ooredoo
Sumber: Indosat Ooredoo

Sementara itu, Terry Williams, VP Product & Marketing MyRepublic, menjelaskan, di satu sisi layanan OTT asing merupakan kontributor terbesar dari trafik internasional yang secara signifikan lebih mahal ongkosnya daripada trafik lokal.

Namun di sisi lain, OTT asing ini menjadi salah satu pendorong utama di balik akselerasi pertumbuhan bisnis ISP, terutama di masa-masa sulit ini. Solusi yang bisa dilakukan ISP adalah melakukan direct peering dengan pemain OTT dan menempatkan server-nya di seluruh Sumatera dan Jawa agar konsumen mendapat pengalaman streaming terbaik.

“Cara ini juga mampu menurunkan biaya bandwith internasional yang memungkinkan kami menawarkan internet berkecepatan tinggi yang benar-benar tidak terbatas [tanpa fair usage policy] di Indonesia,” kata Williams.

Hanya XL Axiata yang setuju terhadap pernyataan Telkom. Group Head Corporate Communication Tri Wahyuningsih (Ayu) mengatakan, asumsi tersebut bisa dibenarkan karena memang kondisinya saat ini banyak OTT yang belum memiliki infrastruktur lokal di Indonesia.

Alhasil, trafik akan langsung menggunakan bandwith internasional yang cukup besar. Menurutnya, ada dua kondisi yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, jumlah pelanggan OTT tersebut belum besar sehingga mereka belum merasa perlu untuk membuat infrastruktur di Indonesia.

“Dalam hal ini tentu saja akan ber-impact pada customer experience, apabila ISP tidak memiliki cukup bandwith maka experience pasti terganggu,” kata Ayu.

Kedua, layanan OTT besar yang biasanya melihat experience sebagai value terpenting pasti akan memikirkan untuk mulai membangun infrastruktur lokal untuk meningkatkan pengalaman konsumen.

Sama seperti Indosat dan MyRepublic, XL Axiata melakukan kesepakatan direct peering untuk mengurangi latensi di jaringan dengan memiliki akses langsung ke OTT bersangkutan. Beberapa layanan yang sudah terhubung adalah yang memiliki trafik tinggi, seperti Netflix, YouTube, dan Facebook.

“Secara topologi mudahnya adalah semua pelanggan XL akan memiliki hop routing yang lebih kecil apabila dibandingkan menggunakan open network.”

Ia juga membenarkan bahwa OTT perlu memberikan kontribusi yang lebih banyak, tidak hanya sekadar promosi pemasaran. Pasalnya, investasi membangun infrastruktur jaringan adalah sesuatu yang mahal, terutama di Indonesia yang wilayahnya luas dan terdiri dari banyak kepulauan.

Perusahaan selalu melakukan analisis trafik penggunaan OTT vs jumlah pelanggan untuk mendorong OTT memiliki infrastruktur lokal.

“Hal ini akan cukup membantu bagi kita untuk meningkatkan value dan customer experience. Selain itu, kita selalu mengharapkan OTT juga bisa berkontribusi. Tidak hanya dalam hal promosi marketing, tetapi juga memberikan fair sharing contribution.”

Dia mencontohkan, kontribusi dari sisi infrastruktur pendukung sebagai salah satu cara untuk melakukan balancing terhadap cost infrastruktur dan mengakuisisi pelanggan.

Belanja bandwith internasional mulai turun

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengatakan, saat ini pengakses internet melalui smartphone mencapai 171 juta orang, naik 317% dari 2015. Dari angka tersebut sebanyak 80% di antaranya adalah pengguna OTT. Di industri perangkat smartphone, banyak layanan OTT yang sudah tertanam sebagai pre-install dari pabrikan karena diyakini dapat memberikan daya saing di mata konsumen.

Layanan OTT mendorong pertumbuhan eksponensial untuk trafik jaringan. Sejak OTT mulai ramai lima tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah trafik IIX (Internet Indonesia Internet eXchange) dari 30 Gbps di 2015 menjadi lebih dari 800 Gbps di tahun ini.

“Sekarang trafik lokal sudah naik karena banyak OTT asing yang menaruh CDN ke dalam negeri dan beberapa sudah terkoneksi dengan IIX. Keuntungannya buat kita belanja dollar akhirnya turun dan otomatis trafik internasional semakin menurun,” kata Jamalul.

Beberapa layanan OTT asing telah masuk dalam jaringan IIX, seperti Facebook, Alibaba, dan Akamai. Kondisi tersebut berdampak pada menurunnya defisit transaksi berjalan (current account deficit) karena kebutuhan akan mata uang dollar Amerika Serikat menurun untuk belanja bandwith internasional.

Rekomendasi APJII terhadap OTT asing
Rekomendasi APJII terhadap OTT asing

Masuknya Facebook ke dalam IIX sangat berdampak pada penurunan belanja bandwith internasional. Google dan Facebook adalah raksasa teknologi yang layanannya banyak digunakan di seluruh dunia.

IIX sendiri berfungsi untuk mempercepat akses internet lokal di daerah tersebut. Ia dilalui oleh lalu-lintas internet protocol, baik dari luar maupun domestik, untuk kemudian diarahkan ke pengguna internet, baik individu maupun organisasi.

Saat ini ada 14 IIX yang tersebar di Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Balikpapan, Sulawesi, Manado, Banten, dan pusatnya ada di Jakarta.

Jamalul melihat layanan OTT asing mulai menyadari bahwa Indonesia adalah pasar yang bagus buat mereka. Menempatkan server ke dalam negeri akan membawa dampak yang bagus saat berinternet. “Sekarang mereka [layanan OTT asing] yang mulai mendekati karena kalau taruh di luar pengalamannya akan jauh berbeda.”

Kenaikan trafik lokal adalah sesungguhnya yang paling dibutuhkan buat industri karena tidak perlu dipungkiri lagi peran layanan OTT asing cukup krusial dan memiliki trafik yang tinggi.

“Ini bentuk kontribusi OTT yang bisa diberikan ke teman-teman APJII yang bangun infrastruktur. Maka dari itu kita perlu regulasi yang jelas terhadap OTT asing yang ada bisnis di Indonesia.”

Tidak hanya menaruh server di dalam negeri, APJII menilai kondisi layanan OTT yang ideal itu mengandung empat unsur, yakni fair revenue distribution, menguntungkan semua pihak, level playing field yang sama, dan kedaulatan data karena data ada di Indonesia dan wajib tersambung dengan IIX.

“Mimpi asosiasi adalah bagaimana Indonesia bisa jadi internet hub di dunia. Sekarang kan ada di Singapura atau enggak Hong Kong. Untuk itu, sekarang yang kita kerjakan bagaimana meningkatkan trafik lokal agar jangan semua trafik lari ke luar,” tutupnya.

APJII Ingin Migrasi IPv6 di Indonesia Selesai dalam Lima Tahun

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memasang target untuk bisa menyelesaikan migrasi IPv6 di Indonesia dalam jangka waktu lima tahun. Pun begitu, ada dua hal yang bisa menghambat target APJII ini. Hal pertama datang dari sisi regulasi yang belum matang dan yang kedua datang dari sisi operator yang dinilai masih banyak yang enggan untuk melakukan migrasi.

[Baca juga: Kemenkominfo Optimis 2019 Seluruh Kabupaten Kota Akan Terhubung Internet Cepat]

IPv6 adalah Internet Protocol (IP) generasi baru yang dibuat untuk menggantikan protokol versi sebelumnya (IPv4) yang memiliki keterbatasan ruang alamat (32 bit). IPv6 sendiri dikembangkan oleh Internet Engineering Task Force (IETF) dan memiliki ruang alamat mencapai 128 bit. Sederhananya, IPv6 mampu menyediakan lebih dari 340 undecillion alamat untuk pengguna internet global untuk menggantikan 4,3 miliar alamat IPv4 yang kini mulai kehabisan ruang.

Dikutip dari Jakarta Post, Ketua Umum APJII Jamalul Izza mengatakan, “Kami bertujuan untuk menyelesaikan migrasi ke IPv6 dalam lima tahun (2021). Namun, itu akan sulit karena pemerintah belum memberlakukan peraturan yang ketat di atasnya. […] Dengan [adanya] peraturan tertentu, siapa saja yang menolak untuk mengikuti aturan dapat dihukum.”

Di sisi lain Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kemkominfo Benyamin Sura menyebutkan bahwa masih banyak operator yang enggan bermigrasi ke IPv6. Menurut Benyamin, hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat mengenai masalah ini. Benyamin juga menambahkan bahwa kementerian sebenarnya telah membentuk Satuan Tugas IPv6 Indonesia pada tahun 2008 yang bertugas merumuskan peta jalan untuk migrasi dari IPv4 ke IPv6.

[Baca juga: Pemerintah Optimis Tahun 2019 Penetrasi Internet Indonesia Masuk Ranking Terbaik di Asia Tenggara]

Sebagai informasi, APJII juga tidak sendirian untuk mendorong percepatan migrasi IPv6 di Indonesia. Pada Mei 2016 lalu, APJII telah menggandeng Internet Society Indonesia (ISOC) untuk bersama-sama mendorong percepatan adopsi IPv6 di Indonesia. Target utama dari migrasi ini adalah untuk peningkatan trafik Internet di Indonesia.

APJII Ajukan Uji Materi Undang-Undang Telekomunikasi

Melanjutkan perkara putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus yang menimpa mantan Direktur IM2 Indar Atmanto, APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) akan segera mengajukan uji materi Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999.

“Kami pastikan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Jika nantinya UU 36 Tahun 1999 itu dirombak karena permasalahan ini,” kata Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza, dikutip dari Suara Pembaruan (29/11).

Menurut Jamalul, UU tersebut dianggap tidak menjamin kepastian dan perlindungan hukum untuk seluruh pihak yang berusaha di bidang industri telekomunikasi dengan skema serupa yang dijalankan IM2 di bawah kepemimpinan Indar Atmanto saat itu.

Tak hanya APJII, sebelumnya para Asosiasi Industri Telekomunikasi Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara melayangkan rasa prihatin terhadap putusan MA tersebut.

Asosiasi Industri Telekomunikasi mengungkapkan kekecewaannya dengan mengedarkan petisi dukungan untuk Indar beberapa minggu silam. Pihak-pihak yang terlibat juga mendorong keterlibatan Kemenkominfo demi upaya nyata agar ada kepastian hukum yang dipercaya akan sangat merugikan negara, karena dianggap sebagai infrastruktur inti penggerak ekonomi nasional.

“Kami ingin agar Presiden segera turun tangan, karena kondisi industri sudah genting. Tunggu apa lagi,” kata Jamalul yang meramalkan kasus ini akan berimbas pada keterbatasan akses Internet bagi masyarakat.

Berdasarkan pemberitaan Republika (29/11), publik bakal berpikir bahwa semua pihak yang ingin memakai Internet, harus menyewa dan mengikuti lelang jaringan seperti provider telekomunikasi. Pandangan yang persis disampaikan Kejaksaan Agung pada IM2 saat menyoal kerja sama IM2 dengan PT Indosat. IM2 sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi diputuskan salah karena  menyewa jaringan pada Indosat.

Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin mengapresiasi sikap Jaksa Agung HM Prasetyo terkait kasus Indosat-IM2. Jaksa Agung meminta semua pihak melihat dampak dan manfaat dari kasus yang tengah berlangsung.

“Saya pikir pernyataan Jaksa Agung itu sangat tepat, pertama untuk tidak terburu-buru melakukan eksekusi, kedua, jujur, peluang PK Indar yang kedua ini sudah sepantasnya dan perlu diapresiasi,” ujarnya.