Vivo Pamerkan Smartphone 5G Versi Konsumen, Kacamata AR, dan Teknologi Charging Generasi Terbaru

Ajang MWC Shanghai tahun ini mengambil tema “Intelligent Connectivity”, dan itu Vivo manfaatkan untuk mendemonstrasikan sejumlah inovasinya terkait konektivitas 5G. Yang pertama tentu saja adalah smartphone 5G yang siap menembus pasar komersial mulai kuartal ketiga nanti.

Vivo sejauh ini belum menamai smartphone tersebut, dan spesifikasinya pun juga sama sekali belum dirincikan. Vivo memilih menggunakan kesempatan ini untuk memberikan gambaran terkait faedah-faedah yang bisa konsumen nikmati dari teknologi 5G.

Yang paling menarik menurut saya adalah penggunaan 5G untuk konteks cloud gaming atau game streaming. Nantinya, smartphone 5G ini dapat menjalankan beragam game tanpa perlu mengunduh apa-apa. Semuanya berjalan di cloud (server) dan di-stream oleh smartphone dalam kecepatan sangat tinggi sekaligus latency yang amat rendah.

Vivo 5G smartphone for cloud gaming

Berhubung yang diandalkan hanya sebatas koneksi saja, tentunya game bisa berjalan dengan mulus tanpa harus terbatasi oleh performa smartphone itu sendiri. Menariknya kalau menurut saya, kita mungkin membayangkan bahwa konektivitas 5G yang begitu cepat bakal semakin memudahkan kita untuk mencoba banyak game, mengingat waktu download yang dibutuhkan sangat pendek.

Namun skenario yang lebih ideal justru adalah dengan metode streaming seperti ini, sebab kapasitas penyimpanan smartphone jadi bisa dimaksimalkan untuk hal lain, semisal koleksi foto dan video. Menurut saya ada korelasi yang cukup kuat antara dimulainya implementasi teknologi 5G dan maraknya layanan cloud gaming macam Google Stadia.

Vivo AR Glass

Produk kedua yang Vivo pamerkan adalah sebuah prototipe kacamata augmented reality yang dijuluki Vivo AR Glass. Perangkat ini mengemas sepasang display, serta teknologi tracking 6DoF (six degrees of freedom) yang sudah bisa dianggap sebagai standar di ranah ini.

Vivo tidak berbicara terlalu banyak soal perangkat ini, tapi yang pasti mereka memproyeksikan kegunaan kacamata AR-nya di lima skenario yang berbeda: mobile gaming, mobile office, “5G theatre”, facial recognition dan object recognition.

Vivo Super FlashCharge 120W

Terakhir, MWC Shanghai 2019 juga menjadi saksi atas pengungkapan teknologi Vivo Super FlashCharge 120W. Sesuai namanya, teknologi charging ini sanggup menghasilkan output sebesar 120 W (20V/6A) via sambungan USB-C yang telah dimodifikasi.

Dalam konteks sehari-hari, Vivo mengklaim teknologi charging ini mampu mengisi ulang 50% dari baterai smartphone berkapasitas 4.000 mAh dalam waktu 5 menit saja, atau 13 menit untuk charging hingga penuh. Jujur saya pribadi sama sekali tidak tertarik dengan wireless charging kalau memang proses pengisian ulang ponsel bisa dilakukan secepat ini.

Sumber: Vivo via Mashable.

Kacamata Audio Augmented Reality Bose Frames Siap Dipasarkan Januari 2019

Maret lalu, Bose membuat kejutan dengan memamerkan prototipe kacamata augmented reality yang sama sekali tidak mengedepankan aspek visual. Sebagai gantinya, pengalaman AR murni disajikan melalui suara.

Kedengarannya aneh memang, akan tetapi kalau mengacu pada makna harfiah AR yang berarti “realitas tertambah”, tidak ada salahnya apabila yang ditambahkan hanya sebatas audio. Anda boleh setuju boleh tidak, tapi yang pasti Bose sudah siap untuk memasarkannya dalam waktu dekat.

Perangkatnya pun kini sudah memiliki nama resmi, yaitu Bose Frames. Secara fisik Frames hampir tidak ada bedanya dari kacamata hitam biasa, kecuali bagian tangkainya memang agak lebih gemuk dari biasanya. Bose pun bakal menawarkan Frames dalam dua gaya desain yang berbeda: Alto yang mengotak dan besar, dan Rondo yang bulat tapi lebih kecil.

Bose Frames

Frames mengarahkan audio langsung ke kedua telinga pengguna, dan di bagian pelipis kanan ada sebuah tombol multi-fungsi beserta mikrofon, sehingga pengguna dapat memanggil Siri atau Google Assistant dengan mudah. Ya, untuk menggunakan Frames, Anda harus terlebih dulu menyambungkannya ke ponsel via Bluetooth.

Setelahnya, Frames akan mengambil data GPS yang direkam ponsel untuk menentukan lokasi pengguna dan memulai sajian AR-nya. Namun bukan hanya itu saja, Bose juga menyematkan sensor pada Frames yang dapat mendeteksi pergerakan kepala di 9 poros, sehingga pada akhirnya perangkat bisa paham ke arah mana pengguna menghadap.

Jadi semisal pengguna tengah berkunjung ke museum dan mengamati suatu objek, Frames bisa tahu dan langsung memberikan informasi lebih lengkapnya. Berhubung semuanya tersuguhkan via audio, pengguna tak perlu khawatir ada elemen visual yang menghalangi pandangannya.

Bose Frames

Dalam satu kali pengisian, baterai Frames bisa bertahan hanya sampai 3,5 jam pemakaian, atau 12 jam standby. Charging-nya sendiri memakan waktu kurang dari dua jam.

Gerbang pre-order Bose Frames saat ini telah dibuka di Amerika Serikat, dengan harga $199. Pemasarannya baru akan dimulai pada bulan Januari 2019, akan tetapi fitur-fitur AR-nya baru akan hadir pada bulan Maret, bertepatan dengan event SXSW 2019.

Sumber: VentureBeat dan Bose.

Snap Siap Rilis Spectacles Generasi Baru dengan Sepasang Kamera dan Kapabilitas AR

Ketika Snap merilis Spectacles generasi kedua pada bulan April lalu, banyak yang merasa kecewa karena pembaruan yang dibawanya kurang begitu signifikan. Dua varian baru yang dirilis belum lama ini memang berhasil membenahi aspek estetikanya, akan tetapi fungsionalitasnya tetap sama persis, dan masih lebih pantas disebut sebagai kacamata berkamera ketimbang kacamata pintar.

Namun Snap diam-diam ternyata sedang menggodok versi baru Spectacles yang lebih canggih, berdasarkan informasi yang diterima oleh Cheddar. Versi baru Spectacles ini kabarnya bakal mengusung desain anyar dengan frame aluminium, dan mengemas sepasang kamera dengan kapabilitas augmented reality (AR).

Kita tahu bahwa AR bukanlah bidang yang asing buat Snap, dan mereka juga dengan bangga menyebut dirinya sebagai perusahaan kamera. Perpaduan dua kamera ini pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk menempatkan filter AR dan menciptakan efek 3D pada foto-foto yang mereka ambil menggunakan Spectacles versi baru.

Meski kedengarannya menjanjikan, perangkat ini hanya akan diproduksi sekitar 24.000 unit dan harganya pun diperkirakan berkisar $350 saat dipasarkan pada akhir tahun nanti, jauh lebih mahal dari pendahulu-pendahulunya. Snap sejatinya tidak mau mengulangi kesalahannya dengan Spectacles generasi pertama. Kala itu, mereka memproduksi sekitar 800.000 unit, dan pada akhirnya banyak sekali sisa unit yang tidak terjual.

Kendati demikian, ini sama sekali bukan pertanda Snap sudah mulai menyerah di bidang hardware. Pada kenyataannya, Snap tidak segan merugi sampai tahun 2020 demi mengembangkan portofolio hardware-nya, sebab Evan Spiegel selaku CEO-nya yakin ini penting untuk strategi jangka panjang Snap.

Sumber: Cheddar.

Persis Kacamata Biasa, Focals Unggulkan Teknologi Retinal Projection dan Integrasi Alexa

Februari lalu, Intel memamerkan prototipe kacamata pintar buatannya yang bernama Vaunt. Namun sebelum perangkat itu sempat terealisasi, entah kenapa Intel memutuskan untuk menyetop pengembangannya.

Sangat disayangkan memang, mengingat Vaunt menyimpan teknologi retinal projection yang amat istimewa. Teknologi ini sangat berbeda dibanding yang diterapkan pada Google Glass, dan karena konten diproyeksikan langsung ke retina, semuanya akan selalu kelihatan fokus.

Kabar baiknya, Intel ternyata bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengimplementasikan teknologi retinal projection pada kacamata. Baru-baru ini, sebuah startup asal Kanada bernama North menyingkap kacamata augmented reality bernama Focals yang mengusung teknologi serupa.

North Focals

Seperti Vaunt, Focals juga memanfaatkan retinal projection sehingga konten hanya dapat dilihat oleh penggunanya saja, dan dari luar fisiknya kelihatan persis seperti kacamata biasa. Proyektor laser ini mengambil ruang kecil di pelipis sebelah kanan, bersamaan dengan komponen elektronik lainnya.

Kalau Anda bingung North ini datang dari mana kok tiba-tiba membuat terobosan secanggih ini? Well, mereka adalah Thalmic Labs yang sudah berganti nama.

Thalmic Labs adalah pengembang Myo Armband, yang baru-baru ini dihentikan pemasarannya, sebab Thalmic ingin berfokus sepenuhnya pada produk barunya. Produk baru yang dimaksud adalah Focals ini, yang ternyata juga sesuai dengan rumor yang beredar sebelumnya.

North Focals

Yang tidak banyak orang ketahui adalah, Intel merupakan salah satu investor North. Dua tahun lalu, North yang kala itu masih bernama Thalmic Labs meraih pendanaan senilai $120 juta dari Intel Capital, Amazon Alexa Fund, dan Fidelity Investments Canada. Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan mengapa Intel menyetop pengembangan Vaunt.

Melihat ada nama Amazon sebagai salah satu investornya, Anda tak perlu terkejut mengetahui Focals dibekali integrasi Alexa. Ya, kacamata ini dapat Anda operasikan dengan perintah suara layaknya Vuzix Blade, dan Alexa bakal merespon secara lisan (via speaker terintegrasi) atau menampilkan informasinya secara visual. Namun perintah suara bukan satu-satunya metode input yang ditawarkan Focals.

North Focals

Setiap paket penjualannya turut disertai semacam cincin kecil bernama Loop. Cincin ini mengemas joystick imut-imut yang bisa digerakkan ke empat arah sekaligus diklik. Jadi ketika Loop Anda pasang di telunjuk, Anda bisa mengoperasikan Focals dengan menggerakkan joystick-nya menggunakan ibu jari, tanpa sekalipun mengangkat tangan Anda.

Lalu apa saja yang bisa pengguna lakukan dengan Focals setelah perangkat tersambung ke ponsel Android atau iPhone via Bluetooth? Dari yang sederhana seperti membaca pesan teks sekaligus meresponnya, mengakses kalender dan reminder, memantau ramalan cuaca, sampai menerima panduan navigasi turn-by-turn maupun memesan Uber. North bilang bahwa Focals mampu menyajikan informasi-informasi ini secara proaktif sesuai konteks.

North Focals

Di samping Loop, paket penjualan Focals juga mencakup sebuah carrying case yang merangkap peran sebagai charger untuk Focals dan Loop sekaligus. Untuk pemakaian standar, baterai Focals diperkirakan bisa bertahan sampai sekitar 18 jam, sedangkan Loop sudah pasti lebih awet dari itu.

North berencana memasarkan Focals sebelum akhir tahun ini seharga $999. Focals bakal hadir dalam dua varian desain: Classic dan Round, dengan tiga pilihan warna (hitam, abu-abu dan tortoise).

Satu kekurangan Focals adalah ketersediaannya. Ia tak bisa dibeli secara online begitu saja. Konsumen diwajibkan datang ke showroom North di kota Toronto atau New York untuk melakukan pengukuran terlebih dulu, sebab North ingin produknya benar-benar nyaman dipakai oleh masing-masing konsumennya.

Sumber: VentureBeat dan North.

Intel Batal Realisasikan Prototipe Kacamata Pintarnya, Vaunt

Sungguh mengecewakan melihat prototipe gadget yang begitu berpotensi tidak jadi terealisasi, dan harus ‘dibunuh’ oleh penciptanya sendiri. Di tahun 2016, kita sempat mengalaminya dengan Project Ara. Sekarang, giliran Intel yang menidurkan prototipe kacamata pintarnya yang sangat istimewa.

Kacamata pintar yang dimaksud adalah Intel Vaunt, yang mereka demonstrasikan secara eksklusif di hadapan The Verge dua bulan lalu. Mengapa saya menyebutnya istimewa? Karena dari luar ia sama sekali tidak terlihat seperti gadget, meski pada kenyataannya ia merupakan kacamata augmented reality. Singkat cerita, menurut saya hingga kini belum ada smart glasses lain yang penampilannya semenarik Vaunt.

Sayangnya semua ini harus kita lupakan begitu saja, sebab Intel berencana menyetop pengembangannya dan menutup divisi yang mengerjakannya. Kabar ini pertama dilaporkan oleh The Information, dan alasan sederhananya dikarenakan prospeknya dinilai kurang cerah.

Pada awalnya Intel memang berencana untuk menggandeng mitra yang berpengalaman guna mewujudkan Vaunt. Namun sepertinya Intel tidak berhasil menemukan mitra yang tepat, atau bisa juga dikarenakan calon mitranya tidak tertarik dengan fungsionalitas Vaunt yang terkesan kurang wah, yang cuma sebatas menyajikan informasi kontekstual saja, dan bukan seputar AR yang kita kenal sekarang.

Ini memang bukan pertama kalinya Intel menghentikan pengembangan produknya, namun tetap saja rasa kecewa yang muncul amatlah dalam jika melihat potensi dari Vaunt. Setidaknya untuk sekarang dan dalam waktu dekat, konsumen masih harus tabah dengan kacamata pintar yang tidak sekeren Vaunt.

Sumber: The Verge.

Bose Pamerkan Prototipe Kacamata AR yang Berfokus Murni pada Audio

Augmented reality selama ini selalu berkaitan dengan visual, akan tetapi Bose percaya hal itu tidak selamanya benar. Di event SXSW 2018, produsen speaker dan headphone itu memamerkan sebuah kacamata AR yang berfokus murni pada audio.

AR tapi audio memang terdengar aneh, tapi beberapa skenario yang dijabarkan Bose terkesan cukup masuk akal. Salah satunya misalnya, saat sedang berkunjung ke sebuah lokasi bersejarah, kacamata AR ini bisa membantu menyimulasikan peristiwa yang terjadi di tempat itu.

Penggunanya bakal mendengar suara derapan kuda dari sisi kiri, lalu lanjut ke depan wajahnya sebelum akhirnya hilang secara perlahan. Contoh lain, ketika menghampiri patung seorang tokoh bersejarah, pengguna bisa mendengar salah satu pidatonya yang terkenal.

Bose AR glasses

Tim Engadget yang berkesempatan mencoba langsung punya cerita cukup menarik. Saat mengamati sebuah restoran bernama “El Naranjo” di kota Austin (tempat SXSW dihelat) dan menyentuh tangkai kacamata dua kali, perangkat langsung mengutarakan informasi lengkap mengenai restoran tersebut, mulai dari jam bukanya sampai siapa nama chef yang bertanggung jawab.

Dari mana kacamata bisa mengetahui lokasi penggunanya dan ke arah mana ia melihat? Dari perpaduan data lokasi yang ditangkap GPS milik ponsel (yang tersambung ke kacamata) dan sensor inersial yang tertanam di dalam kacamata. Suaranya sendiri berasal dari speaker super-tipis yang memproyeksikan suara langsung ke telinga, dan bukan mengandalkan teknologi bone conduction.

Bose AR glasses

Lalu kenapa harus kacamata? Sebenarnya tidak harus, mungkin Bose memilih wujud ini karena paling gampang diasosiasikan dengan AR. Teknologi yang sama sebenarnya juga bisa diimplementasikan pada beragam perangkat, termasuk headphone yang sudah menjadi keahlian Bose sendiri.

Untuk sekarang Bose belum punya rencana terkait komersialisasi produk ini. Mereka baru akan merilisnya ke kalangan developer guna memperkaya ekosistem kontennya. Kasusnya kurang lebih sama seperti kacamata AR buatan Intel, yang menurut saya sejauh ini punya penampilan paling menarik dibanding produk sejenis lainnya.

Sumber: 1, 2, 3.

Pakai Kacamata AR Mad Gaze Vader, Anda Bisa Memanipulasi Objek Virtual Seperti di Film Iron Man

Semenjak Google pertama kali mengungkap Glass untuk pertama kalinya, tidak sedikit pihak yang terinspirasi untuk mengembangkan kacamata AR-nya sendiri. Google Glass sendiri sudah bereinkarnasi menjadi perangkat untuk segmen enterprise, akan tetapi hal ini tidak mencegah ambisi sejumlah startup untuk merealisasikan fantasinya seperti yang tergambarkan di film Iron Man.

Kalau Anda pernah menonton film itu, Anda pastinya ingat dengan adegan di mana sang lakon, Tony Stark, bermain-main dengan hologram layaknya sedang berinteraksi dengan benda fisik. Teknologi semacam itu jelas masih belum eksis sampai sekarang, tapi setidaknya laju kita sudah semakin dekat.

Itulah yang hendak ditawarkan sebuah startup asal Hong Kong bernama Mad Gaze. Setelah bereksperimen dengan beragam prototipe perangkat selama beberapa tahun, mereka akhirnya menyingkap Mad Gaze Vader, sebuah kacamata augmented reality yang diharapkan bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia digital.

Mad Gaze Vader

Dari luar Vader kelihatan seperti kacamata biasa dengan bingkai yang cukup gemuk. Saya akui Google Glass memang tampak jauh lebih menarik, akan tetapi Vader dapat memproyeksikan layar yang hampir seukuran pandangan mata manusia, kurang lebih setara TV 90 inci yang dilihat dari jarak 3 meter.

Sudut pandangnya memang hanya terbatas di angka 45 derajat, akan tetapi resolusinya mencapai 1280 x 720. Karena ini kacamata AR, layarnya akan tampak agak transparan sehingga pengguna masih bisa memantau apa yang terjadi di sekitarnya dengan baik.

Mad Gaze Vader

Oke, layarnya lebih besar dari Google Glass, itu sajakah kelebihannya? Tidak, sebab Vader juga bisa membaca beragam gesture tangan seperti pinching atau drag-and-drop. Kapabilitas ini sejatinya memungkinkan kita untuk memanipulasi objek-objek virtual yang tampak pada layar layaknya Tony Stark di film Iron Man tadi, meski belum sekompleks dan sepresisi itu.

Berbekal Wi-Fi dan Bluetooth, Vader bisa disambungkan dengan smartphone Android atau iPhone, sehingga pengguna bisa langsung menerima panggilan telepon maupun notifikasi lain dari pandangannya. Vader bahkan bisa di-pair dengan keyboard Bluetooth, lalu dipakai untuk mengetik dokumen maupun email.

Mad Gaze Vader

Fungsi-fungsi ini sejatinya menjadikan Vader cukup ideal untuk kebutuhan hiburan sekaligus bekerja. Performanya sendiri ditunjang oleh prosesor quad-core 1,5 GHz, RAM 3 GB, penyimpanan internal 32 GB dan sistem operasi berbasis Android 6.0. Baterai 1.200 mAh-nya diperkirakan bisa bertahan selama 5 jam penggunaan.

Ke depannya Mad Gaze berjanji untuk menambahkan lebih banyak konten untuk Vader. Perangkat ini sendiri sekarang sedang dipasarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga AU$649, sudah termasuk keyboard Bluetooth. Memang termasuk mahal, tapi pada dasarnya konsumen bakal mendapatkan komputer mini yang bisa dipakai di wajahnya.

Sasar Segmen Enterprise, Produsen Kacamata AR Vuzix Gandeng BlackBerry

Meski sudah tidak lagi bermain di ranah smartphone – terkecuali di beberapa negara – BlackBerry belum lama ini malah mencoba mencicipi ranah wearable, spesifiknya untuk pasar kacamata pintar berteknologi AR. Debut ini tidak mereka lakukan secara langsung, melainkan melalui kerja sama dengan produsen kacamata pintar Vuzix.

Seperti yang kita tahu, tahun kemarin BlackBerry memutuskan untuk berhenti memproduksi hardware sendiri dan memilih untuk berfokus ke pengembangan software sekaligus solusi enterprise. Piranti lunak itu dilisensikan ke pihak yang tertarik, dan salah satunya adalah Vuzix dengan kacamata pintar M300 besutannya.

Kendati demikian, sama seperti Google Glass, Vuzix M300 dengan dukungan software BlackBerry ini ditujukan buat pasar enterprise sebagai pengganti tablet ataupun laptop ketika pekerja sedang berada di lapangan, memudahkan proses inspeksi karena pengguna dapat mengecek informasi sekaligus mengamati apa yang ada di hadapannya tanpa perlu membagi porsi fokusnya.

Ke depannya mungkin kita akan melihat kelanjutan dari kiprah BlackBerry di segmen wearable, namun kemungkinan besar juga melalui proyek-proyek kolaborasi seperti yang dilakukan dengan Vuzix ini.

Sumber: Wareable dan Vuzix.

Google Glass Resmi Berkiprah Kembali di Segmen Enterprise

Terakhir kali kita mendengar kabar mengenai Google Glass adalah di penghujung tahun 2015, dimana pada saat itu beredar foto versi kedua Google Glass yang ditujukan untuk kalangan enterprise. Kabar tersebut ternyata akurat, sebab Google baru saja mengumumkan ketersediaan Glass Enterprise Edition (EE) secara resmi.

Glass EE bukan lagi sekadar produk eksperimental, melainkan versi final yang sudah digunakan oleh lebih dari 50 perusahaan dari beragam industri (agrikultur, manufaktur, medis maupun logistik), yang mencakup nama-nama besar seperti Boeing, Volkswagen, General Electric serta DHL.

Google Glass Enterprise Edition

Versi baru Glass ini sepintas kelihatan mirip seperti yang dulu, akan tetapi sejatinya ada satu perubahan desain yang sangat signifikan: modul Glass EE bisa dilepas dan dipasangkan ke kacamata apapun, termasuk pelindung mata yang biasa digunakan di kawasan industri.

Jeroannya tentu juga ikut di-upgrade. Selain mengemas prosesor yang lebih kencang, koneksi Wi-Fi yang lebih cepat dan baterai yang lebih awet, kameranya juga naik kelas dari 5 megapixel ke 8 megapixel. Yang tidak kalah penting, sekarang akan ada indikator yang menyala ketika pengguna memakainya kameranya untuk merekam video – meski ini tak lagi relevan tanpa eksitensi Glass di segmen consumer.

Google Glass Enterprise Edition

Penggunaan Glass di bidang industri memang jauh lebih masuk akal ketimbang di tangan konsumen sehari-hari. Pekerja pabrik yang kedua tangannya selalu sibuk bisa bekerja secara lebih efisien tanpa harus berhenti sejenak untuk mencontek buku manual, semua instruksi yang diperlukan bisa langsung ditampilkan di hadapan matanya oleh Glass.

Sebagai produk enterprise, wajar apabila tidak ada banderol harga yang tercantum pada Glass EE. Google sendiri memilih untuk memasarkannya lewat jaringan mitranya, yang berarti Glass EE bakal dibundel bersama solusi bisnis yang spesifik yang dibutuhkan oleh para konsumennya.

Sumber: TechCrunch dan X.

Alpha Glass Suguhkan Konten Augmented Reality dalam Wujud Kacamata Biasa

Di titik ini, dunia semestinya sudah move on dari Google Glass. Meski sempat beredar kabar bahwa versi keduanya sedang dikerjakan, hype-nya tidak bisa seheboh dulu sebab versi keduanya ini cuma ditujukan buat kalangan enterprise. Dari situ pabrikan lain mencoba mengisi kekosongan dengan perangkat yang lebih menyerupai sebuah kacamata biasa, seperti Vuzix salah satunya.

Sekarang giliran sebuah startup asal Korea Selatan, Alpha Labs, yang mencoba mempersembahkan kacamata AR besutannya. Dijuluki Alpha Glass, wujudnya lebih mirip kacamata biasa ketimbang Google Glass, meski tangkainya agak lebih tebal dari biasanya karena harus menjadi rumah untuk hampir semua komponen elektroniknya.

Alpha Glass

Tidak seperti Google Glass yang memanfaatkan prisma untuk menyajikan konten AR, pada Alpha Glass semua kontennya akan langsung ditampilkan di lensa kacamata. Rahasianya terletak pada sebuah display micro OLED yang tertanam di bagian tangkai. Layar ini diposisikan menghadap ke lensa kolimator di bagian penopang hidung, yang bertugas memantulkan gambar ke lensa sehingga konten bisa langsung tampak di depan mata.

Kontennya sendiri bisa berupa panduan navigasi, informasi cuaca, notifikasi dan masih banyak lagi. Alpha Glass ditenagai oleh OS Android 5.1 yang telah dimodifikasi, dan ia turut dilengkapi integrasi asisten virtual yang dapat diajak berinteraksi via perintah suara macam Siri maupun Google Assistant.

Alpha Glass

Untuk bisa melakukan semua ini, Alpha Glass mengemas chipset dengan prosesor quad-core dan RAM 2 GB, plus kapasitas penyimpanan sebesar 16 GB. Konektivitas seperti Wi-Fi dan Bluetooth tidak dilupakan, demikian pula dengan speaker bone conduction, dan tentu saja, kamera 5 megapixel di ujung frame sebelah kiri.

Untuk mengoperasikan kameranya, pengguna hanya perlu menyentuh tangkai sebelah kiri, yang ternyata juga sudah dilengkapi dengan panel sentuh. Di sisi lain, tangkai kanannya didominasi oleh baterai yang diyakini sanggup bertahan selama 6 jam sebelum perlu di-charge kembali dengan kabel micro USB.

Alpha Glass

Alpha Glass sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 2014, dan kini pengembangnya sudah siap memasarkannya ke kalangan developer agar ekosistem kontennya bisa siap ketika perangkat dirilis ke publik. Di Kickstarter, Alpha Glass Developer Kit ini bisa dipesan dengan harga paling murah $720, sedangkan harga retail untuk konsumen nanti diperkirakan berkisar $1.000.

Sumber: Wareable.