Canon EOS R5 Sanggup Hasilkan Video Slow-Motion dalam Resolusi 4K

Meski belum diperkenalkan secara resmi, Canon EOS R5 sudah bisa mencuri perhatian di segmen kamera mirrorless. Bagaimana tidak, kamera ini menjanjikan sejumlah inovasi yang terbilang revolusioner, seperti misalnya perekaman video 8K 30 fps tanpa crop factor.

Andai kamera ini masuk lini EOS C yang memang diprioritaskan untuk video, mungkin hype-nya tidak akan setinggi sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian, EOS R5 adalah kamera still yang kebetulan sangat kapabel untuk merekam video, menjadikannya pantas untuk disebut sebagai penerus spiritual 5D Mark II.

Baru-baru ini, Canon kembali mengonfirmasi sejumlah keunggulan yang bakal dihadirkan EOS R5. Di samping perekaman video 8K dalam format RAW, perangkat juga siap dipakai untuk merekam video 8K dalam format HDR maupun C-Log dengan warna 10-bit 4:2:2. Semuanya menggunakan seluruh penampang sensor dan disimpan langsung ke memory card.

Canon EOS R5

Alternatifnya, EOS R5 sanggup merekam video 4K 120 fps secara internal, juga dalam format HDR ataupun C-Log. 120 fps berarti pada dasarnya kamera ini bisa menciptakan video slow-motion dalam resolusi 4K. Lebih lanjut, semua mode perekaman 8K maupun 4K-nya bisa dilangsungkan dengan fitur Dual Pixel AF menyala.

Hal lain yang dibanggakan oleh EOS R5 adalah perkara image stabilization. Sistem image stabilization 5-axis yang terdapat pada kamera ini dapat ditandemkan dengan stabilization bawaan lensa demi menghasilkan video yang lebih mulus lagi.

Semua itu tanpa melupakan kapabilitas fotografinya. Berbekal sensor full-frame dan kemampuan menjepret tanpa henti dalam kecepatan 12 fps menggunakan shutter mekanis, Canon EOS R5 semestinya bakal menjadi rival berat terhadap Sony a7 atau bahkan a9.

Sayang sampai saat ini Canon masih belum mengungkap jadwal peluncuran EOS R5. Semoga saja ini merupakan teaser terakhir sebelum ia dirilis secara resmi.

Sumber: PetaPixel.

5 Smartphone Flagship dengan Kamera Periskop

Belakangan smartphone flagship dengan kamera periskop terus bermunculan. Kalau sebelumnya kemampuan optical zoom pada smartphone hanya sebatas dua atau tiga kali, dengan teknologi periskop kemampuan perbesaran gambar secara optik bisa meningkat hingga lima kali.

Perbesaran optik dengan arsitektur periskop ini dilakukan dengan menyusun sensor dan lensa-lensa secara horizontal seperti terowongan berbentuk L. Singkatnya diujung lensa ditempatkan cermin untuk membelokkan 90 derajat cahaya agar masuk ke lensa dan berakhir di sensor gambar. Berikut beberapa smartphone yang dilengkapi dengan kamera periskop.

1. OPPO Reno 10X Zoom – Rp10 Juta

OPPO-Reno-10x-Zoom

OPPO Reno 10x Zoom merupakan smartphone pertama OPPO yang menggunakan struktur periskop di salah satu kameranya yang berjumlah tiga unit. Tentu saja, kemampuan memperbesar gambar menjadi nilai jual utama.

Di samping kamera utama beresolusi 48 MP f/1.7 dan 8 MP f/2.2 dengan lensa ultra wide 16mm. OPPO mengemas kamera periskop 13MP dengan lensa telephoto 130mm yang menyuguhkan kemampuan optical zoom 6x, hybrid zoom 10x, dan digital zoom hingga 60x.

Kamera periskop 13MP tersebut memiliki aperture f/3.0, serta didukung teknologi PDAF, laser AF, dan OIS. Meski begitu, sebaiknya tidak menggunakan perbesaran di atas 10x karena hasilnya mungkin akan pecah.

2. Huawei P30 Pro – Rp10 Juta

Huawei P30 Pro

Berikutnya Huawei P30 Pro, smartphone Huawei yang satu ini masih didukung dengan Google Mobile Service (GMS). Ia memiliki kamera periskop 8MP f/3.5 dengan lensa telephoto 125mm. Sensornya berukuran 1/4.0 inci dengan dukungan teknologi PDAF dan OIS.

Hasilnya Huawei P30 Pro menyuguhkan kemampuan optical zoom sebanyak 5x, hybrid zoom 10x, dan hingga 50x digital zoom. Kamera utamanya sendiri beresolusi 40MP f/1.6, 20MP f/2.2 dengan lensa ultra wide 16mm, dan TOF 3D sebagai depth sensor.

3. Samsung Galaxy S20 Ultra – Rp21 Juta

Samsung Galaxy S20 Ultra

Ada empat unit kamera belakang di Galaxy S20 Ultra. Kamera utamanya 108MP f/1.8 dengan sensor Samsung ISOCELL Bright HM1, 12MP f/2.2 dengan lensa ultra wide 13mm, TOF 3D, serta kamera periskop 48MP f/3.5 dengan lensa telephoto 103mm didukung teknologi PDAF dan OIS.

Lewat kombinasi tersebut Samsung menyuguhkan fitur ‘Space Zoom‘ yang menawarkan kemampuan memperbesar gambar sebanyak 100x digital zoom. Sementara, pada perbesaran 4x sampai 10x, disebut ‘lossless hybrid optic‘ yang mungkin tidak akan ada penurunan kualitas foto secara signifikan.

4. OPPO Find X2 Pro – Rp18 Juta

OPPO Find X2 Pro

Kamera periskop pada OPPO Find X2 Pro beresolusi 13MP f/3.0 dengan lensa telephoto 129mm. Sensornya berukuran 1/3.4 inci dengan piksel 1.0µm, didukung teknologi PDAF, laser AF, dan OIS.

Hasilnya OPPO Find X2 Pro memberikan kemampuan hybrid zoom 10X dan digital zoom 60X. Di samping itu, kamera utamanya mengandalkan sensor Sony IMX689 beresolusi 48MP f/1.7 dan 48MP f/2.2 dengan lensa ultra wide 17mm.

5. Huawei P40 Pro – Rp14.499.000

Huawei P40 Pro

Belum lama ini Huawei telah mengumumkan P40 series yang terdiri dari Huawei P40, P40 Pro, dan P40 Pro+. Sayangnya, hanya P40 Pro yang masuk Indonesia, padahal P40 Pro+ menawarkan optical zoom 10x dan digital zoom 100x .

Huawei P40 Pro memiliki kamera periskop 12MP dengan filter warna RYYB, aperture f/3.4, dan OIS yang menyuguhkan kemampuan optical zoom 5x. Sedangkan, kamera utamanya Ultra Vision Wide 50MP 23MM dengan filter warna RYYB, aperture f/1.9, dan OIS. Lalu, Ultra Wide Cine beresolusi 40MP 18mm dengan aperture f/1.8. Serta, satu lagi ToF camera sebagai depth sensor.

RED Komodo Bakal Menjadi Kamera Pertama RED yang Dibekali Phase-Detect Autofocus

Sekitar satu tahun yang lalu, RED menyingkap teaser kamera barunya yang dinamai Komodo. Berbeda dari kamera-kamera besutan RED lainnya, Komodo merupakan satu unit kamera utuh yang siap dipakai untuk merekam begitu dikeluarkan dari boks dan dipasangi lensa.

Dengan wujud seperti kubus, Komodo bakal menjadi kamera paling ringkas yang pernah RED produksi. Segmen yang dituju tetap kalangan profesional – harganya dipastikan di atas $5.000 – akan tetapi Komodo diciptakan untuk skenario penggunaan yang berbeda.

Kalau kamera-kamera lain RED umumnya selalu dipasangkan di atas tripod atau gimbal sekelas DJI Ronin, Komodo dengan wujud ringkasnya bakal ideal untuk teknik sinematografi run-and-gun. Anggap saja Komodo sebagai alternatif yang lebih kapabel dari kamera mirrorless atau DSLR, dan itulah mengapa Komodo juga akan menjadi kamera RED pertama yang dibekali sistem phase-detect autofocus (PDAF).


View this post on Instagram

A post shared by Jarred Land (@instajarred) on

Lewat sebuah video yang diunggah ke Instagram, Jarred Land selaku pimpinan RED baru-baru ini mendemonstrasikan sistem PDAF yang terdapat pada Komodo. Di video tersebut bisa kita lihat bahwa Komodo mendukung fitur tap to focus layaknya kamera smartphone, meski memang kinerjanya masih terkesan lambat, terutama jika dibandingkan dengan sistem serupa milik kamera mirrorless.

Jarred mengaku sistemnya masih jauh dari kata sempurna, dan tim RED akan terus menyempurnakannya. Sayang hingga kini masih belum ada informasi mengenai kapan RED Komodo bakal diluncurkan.

Unit prototipenya sudah diuji bersama sejumlah sineas ternama, tapi kalau melihat situasi seperti sekarang, sepertinya konsumen masih harus bersabar menunggu. RED punya riwayat jadwal perilisan yang kerap meleset dalam kondisi normal, apalagi di tengah pandemi.

Sumber: Engadget.

Perlengkapan Untuk Memulai Macro Still Life Photography

Buat yang hobi fotografi tak melulu harus street hunting atau traveling, apalagi kondisi saat ini sedang pandemi covid-19. Di rumah atau sekitar rumah, kita tetap dapat memotret misalnya foto macro atau macro still life. Pertanyaannya perlengkapan macro apa saja yang dibutuhkan untuk menggeluti dunia macro photography?

1. Lensa Macro

Sony-FE-90mm-F2.8-Macro-G-OSS

Mari mulai dari lensa macro, tiap sistem kamera punya andalan lensa macro yang berbeda. Sebagai contoh Sony punya Sony FE 90mm F2.8 Macro G OSS, Fujifilm dengan Fujifilm XF 80mm F2.8 R LM OIS WR Macro, dan lainnya termasuk lensa macro buatan pihak ketiga. Bagi pengguna kamera mirrorless Sony, saya merekomendasikan lima lensa macro ini.

Hal yang perlu diperhatikan adalah focal length dan harus memiliki rasio perbesaran setidaknya 1:1. Untuk foto still life, 30 atau 50mm masih cukup memadai. Namun untuk foto macro seperti binatang-binatang kecil atau serangga maka sebaiknya memilih focal length di atas 50mm.

Semakin panjang focal length, artinya kita tidak perlu terlalu dekat dengan objek foto. Namun ketajaman/fokus pada foto yang dihasilkan semakin sempit, sehingga perlu menggunakan aperture lebih kecil misalnya F5.6-F8 yang artinya bakal butuh lebih banyak cahaya.

2. Flash Eksternal

Godox-V350s

Penggunaan rentang aperture F5.6-F8 lebih kecil dan rasio pembesaran 1:1 membuat cahaya yang masuk ke sensor berkurang drastis. Sebagai informasi, saya menggunakan kombinasi Sony A6400 dan 7Artisans 60mm F2.8 Macro, bahkan saat matahari bersinar terang saya tetap perlu menggunakan ISO cukup tinggi antara 800-1600. Saya tidak bisa menggunakan shutter speed terlalu rendah karena lensa 7Artisans tidak mendukung SteadyShot.

Maka peran flash eksternal memang sangat dibutuhkan. Sebab macro berkaitan erat dengan detail dan untuk mendapatkan detail yang ideal perlu bantuan cahaya tambahan. Namun bagi yang belum punya flash eksternal, bisa menggunakan flash internal dengan diffuser buatan seperti tisu untuk memperlembut cahaya.

3. Tripod + Macro Focus Rail Slider

Macro-Focus-Rail-Slider

Tripod sangat membantu untuk foto macro atau macro still life, namun jangan bergantung sepenuhnya dengan tripod. Sebab, kita juga harus bereksperimen memotret dengan berbagai sudut dan angle yang berbeda.

Saat menggunakan tripod, kadang kita perlu maju dan mundurkan tripod untuk mendapatkan fokus yang tepat. Hal tersebut tentu sangat merepotkan, solusinya kita bisa menggunakan aksesori tambahan bernama macro focus rail slider, jadi tak perlu menggeser tripod.

4. Bikin Studio Mini + Background 

Studio-Mini

Foto macro still life di rumah juga sangat menantang, still life sendiri objek yang difoto adalah benda mati atau tidak bergerak. Di mana kita bisa membuat konsep, mengatur posisi objek sedemikian rupa, menetapkan background, hingga pencahayaannya secara bebas.

Nah kita juga bisa membuat studio mini sederhana sendiri, misalnya dari kardus bekas. Tutorialnya bisa ditemukan di internet atau membeli studio mini yang sudah jadi pun harganya relatif terjangkau. Lalu, bisa menggunakan kertas A4 sebagai background.

Objeknya sendiri sangat banyak, kalau saya membuat ilustrasi yang masih berhubungan dengan gadget. Namun, saya juga sedang mencoba foto berbagai bahan makanan, cemilan, dan banyak lagi. Itu dia perlengkapan macro yang dibutuhkan dan tetaplah berkarya.

[Battle] Aplikasi Kamera dari Sony, Canon, dan Fujifilm

Kamera mirrorless masa kini telah dilengkapi dengan konektivitas nirkabel seperti WiFi dan Bluetooth. Yang berguna untuk menghubungkan kamera dengan smartphone, baik mengirim hasil foto dan video secara instan, atau menggunakan fasilitas remote shooting.

Fitur tersebut bisa diakses melalui aplikasi yang disediakan oleh brand kamera masing-masing. Sony menyediakan aplikasi bernama Imaging Edge Mobile, Canon dengan Camera Connect, dan Fujifilm lewat Camera Remote.

Kebetulan saya sedang memegang Sony A6400, Canon EOS M200, dan Fujifilm X-A7. Jadi, saya bakal compare dan adu ketiga aplikasi kamera tersebut. Tiga aspek yang saya tekankan adalah kemudahan pairing, dukungan jenis file yang bisa dikirim, dan fasilitas remote shooting-nya.

Sony Imaging Edge Mobile

Sony-Imaging-Edge-Mobile

Untuk menghubungkan kamera untuk pertama kali dengan smartphone sangat mudah di aplikasi Imaging Edge Mobile, bisa lewat QR code, NFC, atau camera SSD/password.  Proses selanjutnya, tinggal pilih menu start di Imaging Edge Mobile.

Secara default foto yang ditransfer kamera beresolusi 2MP, tapi kita bisa mengubahnya menjadi original atau ukuran aslinya di pengaturan aplikasi. Sementara untuk file video, kita bisa memindahkan rekaman video 4K 24fps dengan bitrate 100Mbps dengan mudah ke smartphone. Tentu saja, sebaiknya hanya clip berdurasi singkat misalnya 10-30 detik.

Sekarang kita akan bahas antarmuka dan fitur remote shooting-nya. Buat saya tampilannya simpel dan mudah dimengerti. Pada mode foto manual, kita bisa menyesuaikan pengaturan seperti shutter speed, aperture, ISO, white balance, mode single/cont shooting, timer, dan opsi untuk zoom in dan zoom out meskipun sangat lambat.

Bila kita menggunakan ISO auto, maka akan muncul fitur exposure compensation. Lalu, di pengaturan remote shooting terdapat fitur mirror mode dan grip line yang terdiri dari rule of 3rds grid, square grid, dan diag.+ square grid. Sedangkan, pada mode video kita bisa mengatur file format dan record setting.

Kekurangan aplikasi Sony Imaging Edge Mobile adalah kita tidak bisa mengirim foto dalam format Raw. Saat memotret di mode Raw only, hanya preview dalam format jpeg 2MP yang dikirim.

Sementara, untuk remote shooting ini akan keluar bila kita membuka aplikasi lain atau multitasking. Lalu, tidak ada opsi untuk mengatur fokus secara manual atau touch focus.

Canon Camera Connect

Canon-Camera-Connect

Proses untuk menghubungkan kamera ke smartphone saat pertama kali di aplikasi Camera Connect sangat membingungkan. Yang saya tahu, saya harus pergi ke pengaturan network di kamera Canon EOS M200, lalu pilih menu WiFi/Bluetooth connection, terus pilih connect to smartphone, lalu add a device to, dan pilih Android atau iOS.

Kita bisa menghubungkan kamera dengan koneksi Bluetooth sekaligus WiFi atau salah satunya. Bila memilih WiFi, kita perlu pergi ke pengaturan WiFi di smartphone dan hubungkan secara manual ke kamera. Setelah itu buka aplikasi dan pilih kamera Canon EOS M200.

Setelah terhubung, fitur-fiturnya antara lain images on camera – kita bisa mengintip isi yang ada SD card. Lalu ada remote live shooting, dan auto transfer foto dengan opsi ukuran penuh.

Sayangnya, saat mengirim foto Raw yang akan diterima format jpg di smartphone. Lalu, untuk file video hanya mendukung sampai resolusi 1080p. Jadi, misalnya mengirim video 4K yang diterima di smartphone hanya 1080p.

Sekarang kita bahas fitur remote live shooting, Canon menyediakan mode foto dan video secara terpisah. Pada mode foto, kita dapat menyesuaikan shutter speed, aperture, exposure compensation bila menggunakan ISO auto, ISO, white balance, metode AF, dan drive mode.

Hal yang paling mengesankan pada aplikasi Camera Connect Canon ialah dukungan touch focus di mode foto maupun video, di mana kita bisa memilih fokus lewat smartphone.

Sementara, pada mode video kita bisa mengatur shutter speed, aperture, exposure compensation, ISO, white balance, metode AF, timer, video resolution, dan sound recording. Fitur lainnya yang tersedia pada kedua mode adalah lock screen orientation, live view ratation, mirror live view display, live view magnification, dan touch AF.

Menurut saya yang kurang dari aplikasi Canon Camera Connect adalah proses pairing ke smartphone agak membingungkan. Karena Canon EOS M200 tidak ada shortcut khusus, maka kita harus pergi ke pengaturan kamera tiap kali ingin menghubungkan kamera ke smartphone.

Fujifilm Camera Remote

Fujifilm-Camera-Remote

Setiap kali ingin menghubungkan Fujifilm X-A7 ke aplikasi Camera Remote, kita harus pergi ke menu shooting setting dan pilih Camera Remote. Fitur utama yang tersedia ialah single image transfer untuk mengirim satu foto yang dipilih lewat kamera, live view shooting, import image, dan remote release dengan koneksi Bluetooth.

Lewat fitur import image kita bisa mengirim beberapa foto sekaligus dan video 4K langsung ke smartphone. Namun, hanya foto dalam format jpg yang bisa dikirim.

Untuk fitur live view shooting, di sini kita bisa menyesuaikan shutter speed, aperture, exposure compensation, ISO, mode film simulation, white balance, flash, timer, dan mendukung touch AF di mode foto.

Menariknya ialah kita juga bisa dengan mudah beralih ke mode video. Sayang, saat live view shooting aktif kontrol kamera akan sepenuhnya beralih ke smartphone dan layar kamera akan gelap.

Hal yang menyebalkan di Camera Remote adalah setiap kali kita memilih salah satu fitur dan setelah selesai kamera akan disconnect dari smartphone. Artinya kita perlu lagi ke pengaturan kamera dan menghubungkan ulang. Solusi terbaiknya, kita harus menjadikan fungsi wireless communication menjadi shortcut di kamera kita.

Verdict

Sekarang mari kita tarik kesimpulan, aplikasi kamera yang menawarkan kemudahan pairing ialah Sony Imaging Edge. Sementara, kemampuan mengirim hasil foto dan video, Sony Imaging Edge dan Fujifilm Camera Remote bisa dibilang setara, keduanya sanggup mengirim rekaman video 4K langsung ke smartphone.

Sementara, untuk fitur remote shooting jawaranya adalah Canon Camera Connect karena mendukung touch focus di mode foto dan video yang tentu sangat berguna bagi para solo photografer/videografer. Satu hal yang sangat disayangkan dari ketiga aplikasi kamera ini adalah tidak ada dukungan untuk mentransfer foto Raw, padahal rekaman video 4K yang ukuran filenya lebih besar didukung.

[Rekomendasi] 3 Lensa Portrait (50mm) Terjangkau untuk Sony APS-C

Bagi yang baru membeli kamera dan punya minat serius untuk belajar fotografi. Setelah bisa mengoptimalkan lensa kit, rekomendasi lensa kedua yang cocok bagi pemula untuk membantu meningkatkan kemampuannya ialah lensa fix dengan focal length 50mm atau sekitarnya.

Kenapa? Sebab lensa fix atau prime ini memiliki aperture besar yang sanggup menghasilkan foto bokeh yang cantik dan dapat diandalkan dalam kondisi low light. Kualitas fotonya juga relatif lebih tajam dibanding lensa kit dan harganya cukup terjangkau.

Bagi pengguna kamera mirrorless Sony dengan sensor APS-C seperti A5xxx dan A6xxx series, berikut tiga rekomendasi lensa portrait dengan focal length sekitar 50mm untuk Sony E mount.

1. Sony E 50mm F1.8 OSS Rp3 – 3,5 Jutaan

Sony

Saat itu saya menggunakan Sony A5000 dengan lensa kit dan kebetulan ada teman yang menawarkan lensa Sony E 50mm F1.8 OSS second. Lalu, tak lama kemudian saya memutuskan upgrade kamera ke Sony A6000 dan Sony E 50mm F1.8 OSS menjadi satu-satunya lensa yang cukup lama saya gunakan.

Kelebihan lensa ini adalah memiliki stabilisasi OSS atau Optical SteadyShot yang cukup membatu menstabilkan kamera saat menggunakan shutter speed rendah dan rekaman video yang lebih mulus secara handheld. Kekurangannya menurut saya adalah manual fokusnya yang kurang presisi, butuh usaha ekstra saat menggunakan mode manual fokus.

2. 7Artisans 55mm F1.4 Rp1,5-1,7 Jutaan

7arisans

Yang satu ini opsi yang lebih terjangkau, tapi kualitasnya juga tajam dengan build quality lensa yang solid dari bahan aluminium untuk look exterior-nya dan bobotnya 272 gram. Desainnya juga tampil klasik, serta memiliki ring aperture dan fokus.

Keistimewaan lensa 7Artisans ini adalah ia memiliki 14-blade aperture. Namun, sebagai lensa dengan fokus manual yang terus terang bakal cukup merepotkan tapi sangat cocok untuk yang sedang belajar mendalami dunia fotografi.

3. Sigma 56mm F1.4 DC DN – Rp6,8 Juta

Sigma

Opsi terbaik yang bisa didapat di kamera Sony APS-C menurut saya adalah Sigma 56mm F1.4 DC DN. Lensa ini mampu menghasilkan foto yang sangat tajam dengan bokeh yang halus.

Saya menggunakan lensa ini dengan Sony A6400, sebagai lensa kedua berdampingan dengan Sony E 18-105mm F4 OSS. Namun ukuran body lensa yang lebih compact, saya lebih sering membawa Sigma 56mm F1.4 DC DN saat bepergian.

Harga barunya memang cukup tinggi, tapi second-nya bisa didapat sekitar Rp4,5-5 jutaan. Selain focal length 56mm, Sigma juga menawarkan 30mm, dan 16mm F1.4. Trio lensa fix premium ini tersedia untuk Canon EF-M, Micro Four Thirds, dan Sony E Mount.

Verdict

Itu adalah rekomendasi tiga lensa 50mm atau sekitarnya untuk Sony E Mount. Ketiganya sanggup menghasilkan efek bokeh yang cantik, tapi kekurangannya adalah cakupan bidikan kita cukup sempit. Ingat sensor Sony APS-C punya crop factor 1,5x yang artinya 50mm adalah ekuivalen 75mm.

 

Tamron 70-180mm F2.8 Di III VXD, Lensa Telephoto Ringkas Untuk Sony E Mount Hadir Bulan Mei

Lensa telephoto terutama untuk kamera dengan sensor berukuran full frame, kebanyakan memiliki dimensi bongsor, panjang, dan bobotnya cukup berat. Nah bagi para pengguna kamera mirrorless Sony A7 series dan mencari alternatif lensa telephoto yang lebih compact, maka lensa terbaru Tamron bisa menjawab kebutuhan tersebut.

Adalah Tamron 70-180mm F2.8 Di III VXD untuk Sony E Mount. Lensa telephoto generasi ketiga dari Tamron yang pertama kali diungkap pada bulan Oktober 2019 dan rencananya akan dikirim pada pertengahan bulan Mei 2020.

Lensa ini menawarkan rentang zoom sedikit lebih pendek dari pada lensa telephoto klasik 70-200mm. Justru hal ini yang membuat Tamron berhasil memperkecil 45 persen ukuran lensanya, panjangnya 149mm di focal length 70mm dengan bobot 810 gram.

Lensa ini mengadopsi mekanisme VXD (Voice-coil eXtreme-torque Drive) linear motor focus yang tak hanya cepat tapi juga tenang. Serta, sepenuhnya kompatibel dengan berbagai fitur spesifik dari Sony termasuk Fast Hybrid AF dan Eye AF.

Lens_Construction

Tamron 70-180mm F2.8 Di III VXD mengusung konstruksi optik 19 elemen dalam 14 grup dengan diameter filter 67mm. Fokus minimumnya saat menggunakan autofocus adalah 0,85mm. Namun bila beralih ke manual fokus akan berkurang menjadi hanya 0,27mm dan menawarkan perbesaran 1:2 untuk foto closeup yang cukup ekstrem. Soal harga, Tamron 70-180mm F/2.8 Di III VXD dibanderol US$1.199.

Sumber: DPreview

Feiyu Pocket Adalah Alternatif yang Lebih Terjangkau dari DJI Osmo Pocket

Bukan, gambar di atas bukanlah DJI Osmo Pocket, kamera 4K imut-imut yang duduk di atas gimbal 3-axis. Yang terpampang di atas adalah Feiyu Pocket, jiplakan Osmo Pocket yang berharga lebih terjangkau garapan FeiyuTech.

FeiyuTech bukanlah nama yang asing di industri teknologi, terutama bagi yang pernah berburu stabilizer atau gimbal kamera/smartphone. Terlepas dari itu, tidak bisa dipungkiri perangkat ini memang kelihatan seperti kembaran DJI Osmo Pocket.

Meski demikian, ada dua perbedaan fisik yang langsung kelihatan. Feiyu Pocket tidak dilengkapi konektor USB yang dapat dipakai untuk menyambungkan smartphone secara langsung. Layar milik Feiyu Pocket juga sedikit lebih besar ketimbang milik Osmo Pocket, 1,3 inci dibanding 1 inci.

Feiyu Pocket

Perbedaan antara keduanya semakin kentara saat membahas spesifikasinya. Feiyu Pocket menggunakan sensor CMOS yang berukuran lebih kecil (1/2,5 inci), sedangkan lensanya punya sudut pandang yang lebih luas (120°) meski bukaannya lebih kecil (f/2.8). Seperti Osmo Pocket, Feiyu Pocket siap merekam video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps, akan tetapi foto yang dapat dihasilkan cuma beresolusi 8,5 megapixel.

Kamera tersebut terpasang pada gimbal 3-axis, yang akan bekerja secara tandem dengan sistem electronic stabilization demi meredam guncangan secara lebih efektif lagi. Dalam sekali charge, baterai Feiyu Pocket sanggup bertahan selama 3,5 jam ketika dipakai untuk merekam video 4K 30 fps, atau sampai 4,5 jam untuk video 1080p 60 fps.

Feiyu Pocket bukanlah rival langsung DJI Osmo Pocket, tapi lebih pantas dilihat sebagai alternatif serupa yang lebih murah. Perangkat ini sekarang sudah dipasarkan seharga $249, sekitar $120 lebih terjangkau daripada DJI Osmo Pocket.

Sumber: DPReview.

Memotret Foto Raw di Smartphone dengan Lightroom Mobile

Bicara soal kamera di smartphone, kualitasnya terus membaik seiring waktu. Kini didukung setup multi kamera dengan lensa berbeda untuk fasilitas wide angle hingga zoom dan fitur-fitur berbasis kecerdasan buatan.

Meski begitu, masih ada satu fitur yang kurang dan belum tersedia di kebanyakan aplikasi kamera bawaan i saat ini yakni opsi untuk menyimpan foto dalam format Raw untuk fleksibilitas lebih saat post processing. Yang saya tahu, hanya smartphone Huawei dan OPPO Find X2 series yang menawarkan fitur Raw.

Alternatifnya kita bisa menggunakan aplikasi kamera pihak ketiga seperti Lightroom Mobile. Sebelumnya, saya telah membahas 5 fitur premium di Adobe Photoshop Lightroom Mobile dan menekankan pentingnya memotret di Raw, sekarang mari bahas fitur aplikasi kameranya.

Antarmuka Aplikasi Kamera Lightroom Mobile

DSC02724

Tampilan antarmuka aplikasi kamera Lightroom Mobile sangat sederhana dan minim fitur, hanya ada dua mode automatic atau proffesional dengan fitur utama auto exposure lock/unlock dan filter. Fitur pendukung lain yang tersedia antara lain crop ratio, timer, dan grip + level.

Sementara, pada mode proffesional kita bisa mengatur shutter speed, ISO, dan white balance. Tentu saja, suguhan utama pada aplikasi kamera Lightroom Mobile ada opsi untuk menyimpan foto dalam format Raw DNG dan foto tersebut bisa diedit langsung tanpa perlu berlangganan.

Ya, foto jpeg yang dihasilkan kebanyakan smartphone saat ini bisa dibilang sudah bagus tapi tidak bisa diedit sangat jauh. Sayangnya selain opsi foto Raw, fitur lain yang ditawarkan memang sangat dasar. Kita juga tidak bisa memilih kamera mana yang digunakan, sebagai contoh pada Huawei Nova 5T yang digunakan adalah kamera sekunder wide angle 16MP dan bukan kamera utama 48MP.

Sementara, pada ASUS Zenfone 6 yang digunakan adalah kamera utama 48MP dan hasilnya menggunakan resolusi penuh 48MP. Semoga saja, Adobe bisa memperbarui dengan fitur-fitur kamera Lightroom Mobile secara lebih lengkap.

4 Fitur Kamera Smartphone yang Penting & Cara Mengoptimalkannya

Memotret menggunakan smartphone memiliki banyak keuntungan. Sebagai contoh, banyak tempat yang melarang keras penggunaan kamera DSLR atau mirrorless, namun masih dipersilahkan bila menggunakan smartphone.

Apapun perangkatnya dan dimana pun kamera menempel, kamera tetaplah sebuah alat yang memungkinkan kita memproduksi konten. Di artikel ini saya ingin membahas fitur kamera penting yang ada di kamera smartphone dan cara mengoptimalkannya.

1. AI Camera

Smartphone OPPO punya AI Scene Recognition
Smartphone OPPO punya AI Scene Recognition

AI Camera, AI Scene Recognition, AI Scene Recognition, atau apa pun sebutan lainnya. Fitur berbasis artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan ini turut berkontribusi meningkatkan kemampuan kamera smartphone secara signifikan.

Ibaratnya seperti mode foto auto plus yang ditingkatkan dengan AI. Cara kerjanya kamera akan mengenali berbagai jenis pemandangan (scene) dan skenario, lalu menyesuaikan pengaturan yang paling ideal dengan kondisi pemotretan saat itu.

2. Mode Pro

Mode Pro di Huawei P30 Pro
Mode Pro di Huawei P30 Pro

Kebalikan dari mode AI Camera, mode Pro atau sistem kontrol manual memungkinkan kita mengulik pengaturan kamera dan memberi sentuhan lebih personal pada foto. Misalnya white balance, alih-alih tampak natural seperti aslinya kita bisa membuat foto lebih dramatis.

Kita memiliki kendali atas shutter speed, ISO, dan sejumlah fitur kamera lain seperti mode autofocus, metering focus, dan exposure compensation. Bila smartphone menyediakan fitur untuk menyimpan foto dalam format raw, maka aktifkan karena akan memberikan keleluasaan saat editing.

Lewat mode ini, kita juga bisa memotret di malam hari dengan teknik long exposure. Menggunakan shutter speed yang lambat untuk mendapatkan efek pergerakan atau jejak dari benda yang bergerak, tentunya dengan bantuan tripod.

3. Mode Wide Angle dan Zoom

Fitur 10x hybrid zoom OPPO Reno 10x Zoom
Fitur 10x hybrid zoom OPPO Reno 10x Zoom

Memotret dengan kamera utama akan memberikan kualitas foto terbaik. Namun kuantitas juga penting, maka bereksplorasi dengan mode wide angle dan zoom (diutamakan optical zoom) akan memberikan lebih banyak variasi.

Lewat fasilitas zoom, memungkinkan kita mendapatkan detail atau closeup. Sementara, pada mode wide angle kita bisa memasukkan lebih banyak elemen dan informasi. Sudut pengambilan gambar juga sanggup menyuguhkan perspektif yang berbeda, misalnya kalau kita memotret dari bawah akan menimbulkan kesan megah atau mewah.

4. Perekam Video 4K 30/60 fps

Merekam video dengan Samsung Galaxy A80
Merekam video dengan Samsung Galaxy A80

Bicara soal kamera smartphone tak melulu soal foto, karena kualitas videonya juga turut meningkat. Banyak smartphone kelas menengah sanggup merekam video 4K 30fps dan 60fps pada smartphone flagship, bahkan ada yang sanggup merekam video 8K.

Hal ini berarti bahwa smartphone adalah sebuah alat atau mesin powerful untuk membuat konten video dan setiap orang punya kesempatan untuk menjadi content creator misalnya di YouTube. Opsi lain kita bisa berburu stock footage dan di-monitize dengan melisensikannya.

Saat memilih smartphone untuk merekam video, hal yang perlu dipastikan adalah ketersediaan fitur video stabilization seperti kelengkapan sensor OIS, EIS, atau kombinasi keduanya. Hal ini cukup penting untuk mendapatkan pergerakan yang lebih mulus, kita juga mungkin akan membutuhkan bantuan tripod atau gimbal.

Itu sejumlah fitur kamera penting di smartphone, masih banyak lagi fasilitas yang bisa dioptimalkan seperti assistive grid, timer, dan audio control. Serta, beragam mode pengambilan gambar lain seperti portrait, night, panorama, AR sticker, dan lainnya. Mode video seperti time lapse dan slow motion juga harus dioptimalkan.