Selleri Ingin Berdayakan Peranan Reseller dan Dropshiper di Kota Tier 2 dan 3

Besarnya permintaan dari kota tier 2 dan 3 akan produk fashion lokal, menjadi alasan kuat platform Selleri di luncurkan. Didirikan pada bulan Juni tahun 2021 lalu, fokusnya pada pemberdayaan reseller dan dropshiper. Sellerri menawarkan pilihan untuk semua orang bisa berjualan secara online dan offline.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Selleri Jayant Kumar mengungkapkan, memanfaatkan kemitraan strategis dengan supplier, memudahkan mereka untuk menambah kanal  penjualan memanfaatkan reseller. Selain Jayant, co-founder lainnya yang mendukung pendirian startup ini di antaranya Najmuddin Husein (COO) dan Firman Hasan (CCO).

“Saat ini kami sudah memiliki sekitar 1000 supplier, 45 ribu reseller, dan kurang lebih 120 ribu SKU dalam platform. Dengan menggunakan aplikasi Selleri, mereka yang ingin berjualan tidak perlu khawatir akan modal usaha, risiko menjalankan usaha dan juga tidak perlu memikirkan gudang untuk menyimpan barang. Semua Selleri yang kelola mulai dari transaksi awal hingga proses akhir ke pembeli,” kata Jayant.

Menargetkan mompreneur atau ibu rumah tangga yang sudah memiliki komunitas dan pertemanan yang kuat di masing-masing wilayah, Selleri hadir untuk membantu supplier memasarkan produk lebih luas sekaligus memberikan penghasilan tambahan kepada reseller. Konsep reseller dan dropship sendiri sebenarnya sudah lama diterapkan oleh marketplace, namun Selleri mencatat beberapa tahun terakhir, potensinya semakin berkembang dilihat dari permintaan yang ada.

Semua akses yang ditawarkan oleh Selleri untuk calon reseller bisa dinikmati secara gratis. Dalam hal ini Selleri mendapatkan komisi langsung dari supplier. Kebanyakan supplier-nya saat ini adalah produk fesyen lokal, yang ternyata memang membutuhkan kanal penjualan tambahan.

“Untuk pembayaran meskipun telah menyediakan bank transfer hingga QRIS, namun Selleri mencatat sebanyak 95% pilihan Cash on Delivery (COD) lebih banyak digunakan oleh pembeli untuk opsi pembayaran,” kata Jayant.

Konsep bisnis semacam ini sebenarnya sudah dikenal dengan istilah “social commerce”. Mengandalkan jaringan reseller, beberapa startup juga menyasar segmen pasar yang sama di daerah-daerah. Beberapa aplikasi yang sudah ada sebelumnya seperti RateS, Evermos, CrediMart, Dagangan, Borzo, dan sebagainya.

Pemasaran melalui media sosial

Selain di Jabodetabek, saat ini layanan Selleri juga sudah menjangkau sampai kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan wilayah tersebut adalah kota tier 2 dan 3, yang tengah mengalami peningkatan minat untuk melakukan pembelian memanfaatkan reseller.

Meskipun saat ini aplikasi seperti marketpalce dan e-commerce sudah banyak dimanfaatkan, namun untuk Selleri pilihan terbanyak para penjual untuk memasarkan produk mereka adalah memanfaatkan Facebook Marketplace hingga Facebook Live.

Fenomena ini yang diklaim membedakan Selleri dengan platform lainnya. Selain itu Selleri juga memberikan opsi pembuatan situs, bagi penjual yang ingin menggunakan pilihan tersebut. Namun kegiatan pemasaran terbanyak yang mereka gunakan adalah melalui media sosial.

Memanfaatkan data yang mereka miliki dari reseller dan dropship, kemudian bisa ditentukan produk mana yang dibutuhkan dan dicari oleh pembeli. Sehingga membantu supplier yang menawarkan fesyen lokal seperti dengan brand kecil hingga menengah bisa memasarkan produk mereka secara akurat. Hal ini diklaim oleh mereka bisa menjadi opsi bagi supplier kecil yang kesulitan untuk bersaing dengan brand lebih besar di marketplace.

Saat ini sudah ada 500 kota di 24 kecamatan yang memanfaatkan reseller dan dropship dari Selleri. Masyarakat yang tinggal di kota seperti Semarang, Banyuwangi, Bukittinggi mulai memanfaatkan konsep ini, karena masih banyak dari mereka yang kurang percaya dengan layanan e-commercre dan marketplace.

“Kami juga melihat berdasarkan pembelian dari pelanggan yang dijual dari reseller, pembeli kebanyakan tidak loyal kepada brand, marketplace dan lainnya. Namun mereka loyal kepada komunitas atau orang yang terpercaya. Karena itu konsep yang kita tawarkan cocok untuk kota di tier 2 dan 3,” kata Jayant.

Tahun lalu Selleri telah berhasil mengantongi pendanaan tahap awal dari investor senilai $610 ribu atau setara 8,7 miliar Rupiah. Venture capital yang terlibat di antaranya adalah Kejora-SBI Orbit. Jika sebelumnya perusahaan memiliki target bisa memberikan penghasilan tambahan sekitar 5 juta rupiah kepada 100 reseller, maka usai mendapatkan dana segar targetnya bertambah hingga ke 1000 reseller.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Mengenal Kejora – SBI Orbit Fund dan Perannya Menggairahkan Industri Startup Indonesia

DailySocial bersama Richie Wirjan dari Kejora – SBI Orbit Fund membahas tentang seperti apa perusahaannya dalam mengatur pilihan investasi untuk startup Indonesia dan bagaimana teknik pendekatan yang beradab dan efektif dalam upaya penggalangan dana oleh bisnis startup.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Kejora-SBI Orbit Fund Invests on Bicycle Electric Motorcycle Battery Developer

In order to encourage the growth of electric motor users in the country, PT SWAP Energi Indonesia launched the “SWAP Battery System” innovation. Was founded in 2019, the SWAP Smart System intends to answer the needs of motorcyclists with high mobility who want to switch to electric motorbikes but are reluctant to spend hours charging their motorbike batteries.

In particular, the SWAP Battery System offers a 9-second battery-swapping innovation that has been distributed across hundreds of strategic points in Jakarta. Users no longer need to experience queuing processes such as filling up at gas stations; simply open the SWAP application (with a claimed savings of around 25% compared to gasoline) and immediately exchange batteries at the nearest SWAPPoin. This technology has been adapted by PT Smoot Motor Indonesia through the output of its newest smart electric motor called SMOOT Tempur.

“By switching to SMOOT motorcycles that are environmentally friendly and integrated with the SWAP Battery System, riders don’t have to worry when they have to travel long distances on electric motorcycles; they can enjoy savings in daily transportation costs while making a positive contribution through reducing air pollution,” PT Smooth Motor Indonesia’s Founder and CEO, Irwan Tjahaja said.

Claiming to have a significant difference with other similar service providers, SMOOT is referred to as a “smart” electric motor because it starts from a motor, battery, battery exchange place (SWAPPoin); everything is connected in a SWAP application. SMOOT users can always monitor the latest battery status and also the location of the motor. Nevertheless, for user’s convenience and security, SMOOT is equipped with an anti-theft system that can also be accessed through the application when the vehicle is lost or stolen.

Battery can be ordered through the application / SWAP

Investment from Kejora-SBI Orbit Fund

SWAP has received seed funding from Kejora-SBI Orbit Fund, which is a venture capital funding collaboration between Kejora Capital and SBI Holdings. In particular, since its initial launch, Kejora-SBI Orbit Fund intends to invest in startups that focus on the Indonesian market. In its debut, Kejora-SBI Orbit Fund committed to disburse $30 million.

Kejora-SBI Orbit’s Executive VP, Richie Wirjan revealed to DailySocial, in the future this SWAP will not only provide solutions for batteries, but also as an energy distribution company.

“We see that the electric vehicle currently used as one use case, then we will also look at logistics related to education and MSMEs. Therefore, we see that SWAP is more than just a battery for motorcycles. This will be the first trial for electric vehicles. In the future, we will see the use cases in several other logistics companies,” Richie said.

Electric vehicles is one of the SWAP use cases, which in the future will continue to develop into other sectors such as logistics, education and also support for MSME players,” Richie said.

His expectation on this innovation, two-wheeled EV players don’t have to create other infrastructure. They simply adopt the 9-second battery swap system from SWAP, therefore, a sharing economy can be achieved between fellow EV players in this ecosystem.

Currently, SWAP continues to communicate with several leading logistics companies in Indonesia, expecting to continue intensifying the adoption of SMOOT smart electric motors in the next 4th quarter.

Electric vehicle growth potential

Although there are still many Indonesian motorcycle users who choose gasoline based over electric ones, it is predicted that electric motorcycles will have positive growth in the future. According to BPS data in 2019, around 112,000,000 motorcycles have made Indonesia the world’s 3rd largest motorcycle market, and directly contributed to the high level of air pollution and its impact on public health.

Data statistik BPS pengguna sepda motor / Sumber : BPS
BPS statistics on motorcycle users / Source: BPS

With new electric motorcycle brands continue to emerge, the battery capacity is still relatively small and the performance is minimal, resulting in shorter mileage.

The 9-second battery swap concept offered by SWAP Energy allows drivers to always use the best performing battery without waiting for hours to charge like other electric batteries. PT Swap Energi Indonesia has conducted in-depth research for the development of battery and electric motor technology since 2019.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kejora-SBI Orbit Fund Berinvestasi ke Pengembang Baterai Sepeda Motor Listrik

Bertujuan untuk mendorong pertumbuhan pengguna motor listrik di tanah air, PT SWAP Energi Indonesia meluncurkan inovasi “SWAP Battery System”. Didirikan tahun 2019 lalu, SWAP Smart System mencoba untuk menjawab kebutuhan para pengendara motor bermobilitas tinggi yang ingin beralih ke motor listrik namun enggan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencas baterai motornya.

Secara khusus SWAP Battery System menawarkan inovasi 9 detik tukar-baterai (battery-swapping) yang sudah tersebar di ratusan titik strategis di Jakarta. Para Pengguna tidak perlu lagi mengalami proses antre seperti pengisian bensin di SPBU; cukup membuka aplikasi SWAP (dengan klaim penghematan sekitar 25% daripada bensin) dan langsung melakukan tukar baterai di SWAPPoin terdekat. Adapun teknologi ini sudah diadaptasi oleh PT Smoot Motor Indonesia lewat keluaran motor listrik pintar terbarunya bernama SMOOT Tempur.

“Dengan beralih ke SMOOT motor yang ramah lingkungan dan terintegrasi dengan SWAP Battery System, para pengendara tidak perlu khawatir saat harus bepergian jauh dengan motor listrik; Mereka dapat menikmati penghematan biaya transportasi sehari-hari sekaligus memberikan kontribusi positif lewat pengurangan polusi udara,” kata pendiri dan CEO PT Smoot Motor Indonesia, Irwan Tjahaja.

Mengklaim memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan penyedia layanan serupa lainnya, SMOOT disebut sebagai motor listrik “pintar” karena mulai dari motor, baterai, tempat penukaran baterai (SWAPPoin); semuanya terkoneksi di dalam sebuah aplikasi SWAP. Para pengguna SMOOT dapat selalu memantau status baterai terakhir dan juga titik lokasi motornya. Tidak kalah penting, demi kenyamanan dan keamanan pengguna, SMOOT dilengkapi dengan sistem anti-pencurian yang juga dapat diakses melalui aplikasi ketika kendaraan hilang atau dicuri.

Pemesanan penukaran baterai dapat dilakukan melalui aplikasi / SWAP

Terima pendanaan dari Kejora-SBI Orbit Fund

SWAP telah menerima pendanaan awal dari Kejora-SBI Orbit Fund, yang merupakan kolaborasi pendanaan modal ventura antara Kejora Capital dan SBI Holdings. Secara khusus sejak awal diluncurkan, Kejora-SBI Orbit Fund hadir untuk berinvestasi kepada startup yang berfokus pada pasar Indonesia. Dalam debutnya Kejora-SBI Orbit Fund berkomitmen untuk menggelontorkan dana $30 juta.

Kepada DailySocial Executive VP of Kejora-SBI Orbit Richie Wirjan mengungkapkan, ke depannya SWAP ini bukan hanya meyediakan solusti untuk baterai, namun juga sebagai energy distribution company.

“Kita melihat electric vehicle yang digunakan saat ini baru salah satu use case saja, kemudian kita juga akan lihat logistic related hingga edukasi dan UMKM. Jadi kita lihat SWAP ini lebih dari sekedar baterai untuk motor. Ini akan menjadi percobaan pertama untuk electric vehicle, ke depannya kita akan lihat use case-nya di beberapa perusahaan logistik lainnya,” kata Richie.

Electric vehicle adalah salah satu use case SWAP, yang kedepannya akan terus berkembang ke sektor lain seperti logistik, pendidikan dan juga dukungan ke pelaku UMKM,” kata Richie.

Ekspektasinya dengan inovasi ini, pemain EV roda dua tidak harus menciptakan infrastruktur lain. Mereka cukup mengadopsi sistem 9 detik tukar baterai dari SWAP sehingga bisa tercapai sharing economy antar sesama pemain EV di dalam ekosistem ini.

Saat ini pun SWAP terus berkomunikasi dengan beberapa perusahaan logistik terkemuka di Indonesia, dengan harapan dapat terus menggencarkan adopsi motor listrik pintar SMOOT pada kuartal 4 mendatang.

Potensi pertumbuhan motor listrik

Meskipun masih banyak pengguna sepeda motor di Indonesia yang memilih motor bensin dibandingkan dengan motor listrik, namun diprediksi motor listrik memiliki pertumbuhan positif ke depannya. Tercatat menurut data BPS tahun 2019, sekitar 112,000,000 motor telah menjadikan Indonesia sebagai pasar motor terbesar ke-3 dunia, dan secara langsung menyumbang tingginya tingkat polusi udara serta dampaknya pada kesehatan masyarakat.

Data statistik BPS pengguna sepda motor / Sumber : BPS
Data statistik BPS pengguna sepda motor / Sumber : BPS

Walaupun terus bermunculan merek-merek motor listrik yang baru, namun dikarenakan kapasitas baterainya yang masih tergolong kecil dan minim performa sehingga mengakibatkan jarak tempuh yang lebih singkat.

Konsep tukar- baterai 9 detik yang ditawarkan oleh SWAP Energy menjadikan para pengendara selalu menggunakan baterai dengan performa terbaik tanpa perlu menunggu cas baterai berjam-jam seperti baterai listrik lainnya. PT Swap Energi Indonesia telah melakukan penelitian yang mendalam untuk pengembangan teknologi baterai dan motor listrik sejak tahun 2019.

Application Information Will Show Up Here

Venture Capital Initiatives to Support Portfolios Amid Pandemic

The pandemic situation has forced some fundraising to postpone activities performed by foreign and local venture capital in Indonesia. Nevertheless, there are still some VCs that continue to carry out these activities, by implementing a more rigorous and focused startup curation process, adjusting the current conditions.

In the Startup Clinic session in collaboration with Ventura Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia and Alpha Momentum Indonesia, several VCs shared their portfolio management tips and stories, and how a pandemic can be the most relevant momentum, to see the powerful and potential of startups.

The right time to slow down

Previously, it was possible that most VCs had a target of how many startups to join the portfolio, according to Monk’s Hill Ventures Senior Investment Analyst, RJ Balmater, now is the right time for VCs to loosen their belts while focusing on the right and best business vertical for investment. On the other hand, RJ also saw that startups could also take advantage of this condition to re-examine the advantages of the company along with its business model.

“Eventually, VC wants to invest in startups with healthy businesses, not just to survive in the current conditions,” RJ said.

Kejora-SBI Orbit Fund‘s VP Investment, Richie Wirjan said to not looking solely at the key market, investment delays that currently performed can also be utilized by the VC to dig further on the key feature, both within the portfolio or those with a certain potential.

Meanwhile, Prasetia Dwidharma’s CEO, Arya Setiadharma, utilizing existing data, a more in-depth analysis must be done to see the potential that exists today. Make sure the business model that is owned has adjusted to the current conditions, seen from an uncertain market so that the possibility of the company cannot survive. On the other hand, Arya sees services such as groceries and delivery can grow positively utilizing the current moment.

“For the early-stage startup, I see that there is still a good future for fundraising, but when the pandemic starts to recede within the next two years,” Arya said.

Moral support and VC network

Another thing that later became the VC’s priority during the pandemic was moral support to the extensive network to help startups and founders. For Arya, all founders who are members of his portfolio are entitled to get one-on-one consultation by a psychologist. It was to ensure their mental health, who often pressured to cope up with issues during the pandemic.

“We are also trying to help our portfolio to develop some solutions. One of them is Ride Jakarta, founded by Gita Sjahrir. Utilizing online services, users can now enjoy direct training with coaches easily, at an affordable price. Not only users in Indonesia, those who live in Singapore, also use these online services,” Arya said.

Meanwhile for Kejora and SBI who have been doing business more than just VCs, are to provide support to the ecosystem. Not only to new investments but also those who have entered into the pipeline.

“We do not want to leave them, the best way is to connect them to our ecosystem. Whether through the pilot project, we do this to ensure they can continue with the business. Later, we will discuss again whether there are further investment steps or not,” said Richie.

Utilizing the right technology and tools, all portfolios at Monk’s Hill can utilize communication networks between fellow founders for consultation and possibilities for collaboration. The VC is also ready to help all startups to continue to be able to provide support. Monk’s Hill also conducts a data organization that aims to see the overall portfolio and KPI of each startup.

Diversification and decision to shut down business

When the pandemic began, many startups diversified by presenting new services or pivoting to adapt to current conditions and to remain relevant. According to Richie, this is fine to do, as long as startups can ensure that when the pandemic ends, the new business that is presented can continue. Not just using momentum.

“In my opinion, everything should go back to the core business. If they are not sure that it is better not to do a pivot, even though now is the right time to conduct a trial. When the crisis is focused on revenue rather than starting to explore new services,” Arya said.

He added, currently in Indonesia, most companies imitate other companies, when they want to present new services. Make sure all the right decisions, not just take advantage of the conditions and opportunities that exist.

Meanwhile, according to Arya, an important thing is that the new services or businesses presented can disrupt the business. If a startup has the ability, tools, and resources to build new services, it is possible.

Regarding the decision of startups to terminate their business, as a result of the pandemic, each VC claims to have experienced a number of failures from its portfolio. This condition is undeniable, the right way that can then be done is whether startups can implement lean methods or actually stop their startups.

“Eventually, when employee reductions or other decisions must be taken it is wise to do so. If the process or step can help startups to survive,” RJ said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Dukungan Venture Capital kepada Portofolio di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan terpaksa harus menunda kegiatan penggalangan dana yang biasanya secara aktif dilakukan oleh venture capital asing dan lokal di Indonesia. Meskipun demikian masih ada beberapa VC yang tetap melakukan kegiatan tersebut, dengan menerapkan proses kurasi startup yang lebih ketat dan fokus, menyesuaikan kondisi saat ini.

Dalam sesi Startup Clinic kolaborasi antara Venturra Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia dan Alpha Momentum Indonesia, beberapa VC turut membagikan tips dan cerita manajemen portofolio mereka, dan bagaimana pandemi bisa menjadi momentum yang paling relevan, untuk melihat kekuatan dan potensi startup.

Waktu yang tepat untuk slow down

Jika sebelumnya mungkin kebanyakan VC memiliki target berapa startup yang diincar untuk bergabung dalam portofolio, menurut Senior Investment Analyst Monk’s Hill Ventures RJ Balmater, saat ini menjadi waktu yang tepat bagi VC untuk melonggarkan ikat pinggang sekaligus fokus kepada vertikal bisnis yang tepat dan terbaik untuk investasi. Di sisi lain RJ juga melihat bagi startup juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menyimak kembali keunggulan dari perusahaan dan tentunya model bisnis yang dimiliki.

“Pada akhirnya VC ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki bisnis yang sehat bukan sekadar apakah mereka bisa survive di kondisi saat ini,” kata RJ.

Hal senada juga diungkapkan oleh VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan, bukan hanya melihat key market, penundaan investasi yang sekarang banyak dilakukan juga bisa dimanfaatkan VC untuk melihat lebih mendalam, kekuatan yang dimiliki oleh startup, baik yang ada dalam portofolio atau mereka yang sebelumnya sudah dilirik dan memiliki potensi.

Sementara itu menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, memanfaatkan data yang ada, harus dilakukan analisis lebih mendalam untuk melihat potensi yang ada saat ini. Pastikan model bisnis yang dimiliki sudah menyesuaikan kondisi saat ini, dilihat dari pasar yang tidak pasti hingga kemungkinan perusahaan tidak bisa survive. Di sisi lain Arya melihat layanan seperti groceries dan delivery bisa tumbuh secara positif memanfaatkan momen saat ini.

“Untuk early stage startup saya melihat masih ada masa depan yang baik untuk melakukan penggalangan dana, namun ketika pandemi sudah mulai surut dalam waktu dua tahun ke depan,” kata Arya.

Dukungan moral dan jaringan VC

Hal lain yang kemudian menjadi prioritas VC saat pandemi adalah, dukungan moral hingga jaringan luas yang dimiliki, guna membantu startup hingga founder. Untuk Arya, semua founder yang tergabung dalam portofolio miliknya berhak untuk mendapatkan dukungan konsultasi secara one-on-one hingga konsultasi khusus oleh psikolog. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesehatan mental para founder, yang kerap tertekan mengurusi startup saat pandemi berlangsung.

“Kami juga mencoba membantu portofolio kami untuk mengembangkan cara baru yang bisa bermanfaat. Salah satunya adalah Ride Jakarta yang didirikan oleh Gita Sjahrir. Memanfaatkan layanan secara online, kini pengguna bisa menikmati pelatihan langsung dari para coach secara mudah dan dengan harga yang terjangkau. Bukan hanya pengguna di Indonesia, mereka yang tinggal di Singapura juga banyak yang mencoba layanan online tersebut,” kata Arya.

Sementara itu bagi Kejora dan SBI yang selama ini sudah menjalankan bisnis lebih dari sekedar VC, memastikan untuk terus memberikan dukungan kepada ekosistem. Bukan hanya kepada investasi baru namun juga mereka yang sudah masuk ke dalam pipe line.

“Kita tidak mau meninggalkan mereka, cara terbaik adalah menghubungkan mereka dengan ekosistem kita. Apakah melalui pengerjaan pilot project, hal ini kami lakukan untuk memastikan mereka bisa tetap menjalankan bisnis. Dari situ nantinya kita akan bicarakan kembali apakah ada langkah investasi lanjutan atau tidak,” kata Richie.

Memanfaatkan teknologi dan tools yang tepat, semua portofolio di Monk’s Hill bisa memanfaatkan jaringan komunikasi antar sesama founder untuk melakukan konsultasi dan kemungkinan untuk kolaborasi. Pihak VC juga siap untuk membantu semua startup agar terus bisa memberikan dukungan. Monk’s Hill juga melakukan organisasi data yang bertujuan untuk melihat secara keseluruhan portofolio yang dimiliki dan KPI dari masing-masing startup.

Diversifikasi dan keputusan untuk menutup bisnis

Saat pandemi mulai banyak startup yang melakukan diversifikasi dengan menghadirkan layanan baru atau melakukan pivoting menyesuaikan kondisi saat ini dan agar tetap bisa relevan. Menurut Richie, hal ini sah-sah saja dilakukan, asal startup bisa memastikan ketika pada akhirnya pandemi berakhir, bisnis baru yang dihadirkan bisa terus berjalan. Bukan sekedar memanfaatkan momentum saja.

“Menurut saya semua harus kembali kepada bisnis yang dimiliki. Jika tidak yakin melakukan pivot lebih baik tidak dilakukan, meskipun saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan uji coba. Saat krisis ini fokus kepada revenue dari pada mulai eksplorasi layanan baru,” kata Arya.

Di tambahkan olehnya, saat ini di Indonesia kebanyakan perusahaan mencontoh perusahaan lain, ketika ingin menghadirkan layanan baru. Pastikan semua merupakan keputusan yang tepat, bukan hanya memanfaatkan kondisi dan kesempatan yang ada.

Sementara itu menurut Arya hal penting yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai layanan atau bisnis baru yang dihadirkan bisa mengganggu jalannya bisnis. Jika memang startup memiliki kemampuan, tools hingga sumber daya untuk membangun layanan baru, bisa saja dilakukan.

Terkait dengan keputusan dari startup untuk memberhentikan bisnis mereka, akibat dari pandemi, masing-masing VC mengklaim mengalami beberapa kegagalan dari portofolio yang dimiliki. Kondisi ini memang tidak bisa dipungkiri, cara tepat yang kemudian bisa dilakukan adalah, apakah startup bisa menerapkan cara yang lean atau kemudian benar-benar memberhentikan startup mereka.

“Pada akhirnya ketika pengurangan pegawai atau keputusan lainnya yang harus diambil menjadi bijaksana untuk dilakukan. Jika proses atau langkah tersebut bisa membantu startup untuk bisa survive,” kata RJ.