SerMorpheus Raih Pendanaan 37 Miliar Rupiah, Jembatani Brand Lokal Masuk ke Ekosistem Web3

SerMorpheus, platform web3 enabler lokal, mengumumkan pendanaan tahap awal senilai $2,5 juta atau lebih dari 37 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Intudo Ventures, diikuti oleh 500 Global, Febe Ventures, AlphaLab Capital, BRI Ventures, dan Caballeros Capital.

Dengan putaran pendanaan ini, SerMorpheus akan fokus pada pengembangan infrastruktur teknologi agar dapat menjembatani kesenjangan antara web3 dan kebutuhan merek/konsumen Indonesia; dan merekrut talenta terbaik di semua fungsi.

Diluncurkan pada Januari 2022, SerMorpheus adalah platform yang fokus menjembatani brand dan peritel ke ekonomi digital baru. Perusahaan mengembangkan NFT dan mengelola utilitas yang memungkinkan mereka terhubung langsung dengan pengguna dan komunitas. Serta menciptakan nilai melalui pengalaman belanja yang dipersonalisasi.

Melalui mekanisme onlinetooffline yang disediakan, pemegang NFT bisa menikmati keuntungan secara nyata melalui acara yang diadakan oleh brand dan peritel. Pengguna bisa mengklaim NFT bermerek tertentu untuk mengikuti berbagai aktivitas offline, seperti konser, permutaran film, dan acara lainnya.

Saat ini perusahaan tengah membangun infrastruktur untuk brand dan kreator konten  yang menghubungkan produk dan layanan web3 dengan pengguna web2, menghilangkan hambatan teknis dan mengurangi gesekan.

Co-Founder SerMorpheus Kenneth Tali mengungkapkan, “Kami membayangkan web3 akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kami di masa depan dan NFT memiliki potensi besar untuk menjangkau audiens yang lebih besar daripada yang dimiliki kripto.”

Ia turut menambahkan bahwa Web3 telah memperoleh daya tarik yang signifikan di Indonesia. “Kami sangat antusias untuk membawa NFT ke pasar massal Indonesia sebagai pintu gerbang ke dunia web3 yang lebih besar.” tegasnya.

“Web3 menjadi wujud iterasi terbaru dari penggunaan internet yang menjanjikan—sebuah dunia di mana pengguna dapat menjadi kreator dan pemilik secara bersamaan. Namun, di antara lima miliar pengguna internet di dunia, hanya sekitar 400 juta orang yang merupakan pengguna kripto, dengan proyeksi miliaran lainnya akan online dalam beberapa tahun ke depan. Karena SerMorpheus melayani Indonesia, apa yang mereka bangun juga merupakan kunci untuk internet yang benar-benar inklusif, di luar Indonesia,” ungkap Managing Partner 500 Global Khailee Ng.

Tentang SerMorpheus

SerMorpheus didirikan oleh Kenneth Tali dan Budi Sukmana. Keduanya sudah cukup aktif di industri blockchain dan aset kripto sejak 2016; serta terlibat sebagai anggota pendiri dan pejabat Jaringan Blockchain Indonesia. Sebelumnya, Kenneth juga pernah mendirikan platform crowdfunding Likuid, yang telah rebranding menjadi ekuid. Saat ini ia menempati posisi komisaris di perusahaan.

Timnya menyadari bahwa ada permintaan cukup besar dari brand dan kreator untuk NFT dan aset digital lainnya, agar bisa terlibat langsung dengan pengguna dan basis penggemar mereka. Selain itu ada kebutuhan akan mitra lokal yang tidak hanya memahami aspek teknis web3, tetapi juga memiliki pemahaman mendalam terkait preferensi dan kebiasaan konsumen Indonesia.

Salah satu proposisi nilai yang ditawarkan SerMorpheus adalah menghilangkan gesekan onboarding dengan menghubungkan kreator langsung dengan pasar NFT global atas nama mereka sendiri, serta memungkinkan transaksi dilakukan dalam Rupiah (IDR) hanya dengan alamat email dan nomor telepon. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan proses dalam memasuki ekonomi digital baru.

Perusahaan membangun permintaan yang kuat oleh brand untuk terlibat dengan pemirsa Indonesia, SerMorpheus akan mempercepat upaya untuk memasukkan lebih banyak merek ke dalam ekonomi digital baru, termasuk NFT yang menyertai pembelian tiket film, kehadiran acara, dan kampanye aktivasi online-ke-offline lainnya.

SerMorpheus debut dengan proyek penjualan tiket Jazz Goes to Campus (JGTC) bekerja sama dengan Tokocrypto. Dengan tiket berbasis NFT, pengguna bisa menikmati pengalaman yang meneluruh mulai dari sebelum, selama, hingga setelah acara berakhir. Tiket tersebut juga dapat diperdagangkan dengan transparan di pasar sekunder, yang memungkinkan promotor untuk tetap mendapatkan royalti.

Selain itu, beberapa klien yang sudah mempercayai SerMorpheus untuk mengembangkan dan mendistribusikan NFT yang disesuaikan seperti Indonesia Comic Con, klub sepak bola profesional PERSITA Tangerang, festival musik Jogjarockarta, aktris dan penyanyi Indonesia Prilly Latuconsina, serta film yang diproduksi Visinema Pictures Mencuri Raden Saleh.

Rencana ke depan

Saat ini, perusahaan tengah mengembangkan platform untuk kreator, termasuk penciptaan NFT mandiri, yang memungkinkan pengguna untuk mencetak dan mengeluarkan NFT dengan ringkas tanpa memerlukan pengetahuan teknis. SerMorpheus juga berencana menyediakan fitur analisis untuk membantu kreator konten melacak koleksi dan basis pengguna mereka.

Disinggung mengenai proses kurasi, Kenneth menjelaskan dalam wawancara terpisah dengan DailySocial.id bahwa tidak ada kriteria spesifik untuk kreator atau IP yang ingin meluncurkan NFT-nya. Namun, timnya menyaring secara kualitatif dan sangat selektif. “Harus benar-benar serius dan memiliki value,” tegasnya.

Olivier Raussin, Co-founder & Managing Partner Febe Ventures mengungkapkan, “Teknologi blockchain menciptakan cara baru bagi kreator dan brand untuk berinteraksi langsung dengan penggemar dan konsumen mereka, termasuk kasus di dunia nyata seperti menghargai loyalitas pelanggan. SerMorpheus adalah pilihan mitra teknis untuk bisnis Indonesia yang ingin mendorong keterlibatan dalam ekonomi digital baru.”

Di tengah maraknya kiprah NFT di Indonesia, terdapat beberapa platform yang menawarkan layanan serupa. Salah satunya adalah Bolafy yang fokus menawarkan koleksi digital resmi dari kolaborasinya dengan partner di bidang sepak bola lokal. Selain itu juga ada platform marketplace NFT seperti Kolektibel, Artpedia serta Tokomall milik Tokocrypto.

Application Information Will Show Up Here

Skema “Project Financing” untuk Pengembang Game di Indonesia

Belum lama ini startup fintech yang fokus pada pembiayaan proyek (project financing) mengumumkan dukungannya untuk Touchten dalam pengembangan game bernama “Capsa Susun”. Game tersebut rencananya dirilis pada 31 Mei 2020 secara serentak untuk di Indonesia dan Vietnam melalui platform Hago; dan akan dipasarkan di seluruh Asia Tenggara.

Founder & CEO Likuid Projects Kenneth Tali mengatakan, mekanisme project financing untuk proyek game seperti ini menjadi pertama kalinya di Indonesia (dengan platform lokal). Menurutnya, pengembang game tanah air saat ini sebagian besar masih mengandalkan modal dari bootstrapping atau institusi saja.

Seperti diketahui sebelumnya, platform Likuid Projects memungkinkan masyarakat dapat turut berkontribusi pada pembiayaan sebuah proyek – atau dikenal dengan istilah crowdfunding. Model serupa sebenarnya sudah berjalan dengan cukup mulus di platform internasional seperti Kickstarter.

Dana total yang ditargetkan untuk proyek Touchten senilai 780 juta Rupiah. Hingga tulisan ini diterbitkan, sudah terkumpul sekitar 309 juta Rupiah dari 32 pemberi dana, atau yang disebut dengan “kolaborator”.

Co-Founder & CEO Touchten Rokimas Soeharyo mengungkapkan, “Permainan kartu Capsa Susun ini sudah tidak asing lagi bagi orang Indonesia dan juga masyarakat Vietnam, Malaysia, serta  Singapura. Oleh karena itu kami yakin untuk mengajak publik berkolaborasi di proyek ini dan mewujudkan mobile game asli buatan anak Indonesia ini.”

Mekanisme bagi hasil

Kampanye pembiayaan akan dibuka dalam waktu 60 hari atau dua bulan. Apabila dana yang ditargetkan tidak terkumpul, Likuid Projects akan mengembalikan 100% dana yang sudah masuk kepada kolaborator.  Adapun sumber revenue bagi kolaborator adalah 30% pendapatan Touchten dari in-app purchase dan pemasangan iklan.

Porsi ini kemudian setara dengan 15% imbal hasil pembiayaan per tahun. Kolaborator berhak mendapatkan revenue hingga satu tahun ke depan setelah kampanye pembiayaan ditutup, dengan periode pembagian revenue setiap tiga bulan sekali. Selain kesempatan ROI, para kolaborator juga akan mendapatkan konten eksklusif dan berbagai promo – menyesuaikan besaran investasi yang diberikan.

Dana yang terkumpul nantinya juga akan dialokasikan untuk 3 hal, yakni pengembangan game (10%), pemasaran (20%), dan iterasi pemeliharaan selama satu tahun (70%).

Pengembang game indie cukup akrab dengan konsep tersebut

Dari data yang dikumpulkan Imanitas Game, setidaknya dari tahun 2013 hingga awal tahun 2020 ini sudah ada sekitar 21 proyek game pengembang lokal yang didanai melalui crowdfunding, khususnya di Kickstarter (17) dan Indiegogo (4). Total dana yang dikumpulkan mencapai 7,1 miliar Rupiah dengan pendanaan tertinggi mencapai 860 juta Rupiah ditorehkan Semisoft melalui “Legrand Legacy” pada tahun 2017 lalu.

Jumlah proyek crowdfuniding yang dilakukan studio game lokal di Kickstarter dan Indiegogo / Imanitasgame
Jumlah proyek crowdfuniding yang dilakukan studio game lokal di Kickstarter dan Indiegogo / Imanitasgame

Model seperti ini memang menjadi angin segar, khususnya bagi para pengembang game indie, alih-alih model pendanaan melalui angel investor atau venture capital yang melibatkan entitas perusahaan secara penuh. Apalagi jika ada platform lokal, tentu akan jauh lebih memudahkan.

Namun pertanyaannya mungkin bakalan soal: “apakah penikmat game di Indonesia bisa mengapresiasi karya dengan cara itu?”, “apakah model investasi seperti ini bisa diterima di sini?”.

Kami menghubungi Everidea Interactive sebagai salah satu pengembang game lokal lulusan “Google Indie Games Accelerator 2018“. CEO Hendra Araji menyampaikan opininya, model project financing ini sangat cocok untuk validasi produk. Ketika pengembang memasang sebuah kampanye dengan “pitching” yang dibuat, pengguna akan mendapatkan akses awal dari game tersebut.

“Jadi memang yang utama tujuan utamanya, selain mendapatkan uang, adalah mendapatkan validasi pasar. Nah hasilnya udah di-build nih, pasar udah ada; mereka akan melakukan crowdfunding, nyumbang buat publisher buat mengembangkan game itu. Namun sejujurnya banyak pengembang yang emang punya problem mengenai dana yang dibutuhkan (ternyata lebih besar) ataupun bagaimana mengelola dana yang sudah didapat dari crowdfunding,” ujarnya.

Hendra mengungkapkan, di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa contoh sukses menggalang melalui platform crowdfunding. Namun satu tahun terakhir sudah lebih jarang studio yang melakukannya, menurutnya mereka mulai tertarik untuk galang investasi dari perusahaan (venture capital). Terkait adanya platform penggalangan dana lokal ia juga mengapresiasi, karena akan lebih mempermudah dari sisi pembayaran, pemberlakuan aturan (misal pajak), dan lain-lain.

“Sekarang kan industri game lagi naik banget karena pandemi ini, jadi seharusnya para platform crowdfunding lokal bisa melihat peluang ini. Menjadikan ini jadi kesempatan untuk bisa menjalin kerja sama dengan indie game developer. Terutama mungkin memang yang sudah terbukti itu kebanyakan indie game yang memang merilis gamenya untuk pasar luar negeri ya, dibandingkan pasar market Indonesia,” imbuh Hendra.

Juga dilakukan institusi ventura

Sebelumnya mekanisme project financing di Indonesia juga sudah berjalan untuk industri kreatif lain, salah satunya perfilman. Ideosource Entertainment menjadi salah satu pemodal ventura yang sudah mempraktikkan skema tersebut. Kebetulan Ideosource juga merupakan salah satu investor di balik Touchten.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Andi Boediman berpendapat, model tersebut sangat mungkin direplikasi untuk pembiayaan proyek game di Indonesia. Karena model bisnisnya hampir serupa dengan konten kreatif lain seperti film. Pihaknya pun mengaku, punya ketertarikan untuk berinvestasi ke berbagai proyek-proyek game. Rencana ini paling cepat direalisasikan tahun depan, menanti pandemi Covid-19 berlalu.

Likuid Tawarkan Skema “Crowdfunding” untuk Pendanaan Startup dan Industri Kreatif

Masih terbatasnya pendanaan yang bisa diperoleh perusahaan rintisan, menjadi alasan utama mengapa platform crowdfunding Likuid didirikan. Kepada DailySocial, CEO Likuid Kenneth Tali mengungkapkan bahwa sampai saat ini pendanaan untuk industri startup dan industri kreatif hanya dapat diakses oleh kalangan high net worth individuals, pada umumnya hanya sedikit orang yang mempunyai akses sana.

“Kita mendirikan Likuid untuk membuka akses pendanaan di industri ini ke lingkup masyarakat yang lebih besar, sehingga selain dapat didanai oleh venture capital atau business angel, sekarang proyek para entrepreneur juga dapat didanai oleh banyak orang, termasuk pengguna, pelanggan, dan juga komunitas mereka.”

Didirikan pada tahun 2018, Likuid memiliki latar belakang para pendirinya yang cukup beragam. Mereka adalah Budi Sukmana (COO) dan tiga orang advisor yaitu Felicitas Hakso, Soni Boedihardjo, dan Frans Kurniawan yang berpengalaman di bidang perbankan, pasar modal, dan teknologi.

“Likuid mencoba untuk memecahkan permasalahan pendanaan yang dialami entrepreneur, dari startup teknologi sampai industri kreatif seperti perfilman, musik, dan juga F&B. Kita mulai beroperasi di bulan Juli 2019 setelah mendapat status tercatat di regulatory sandbox OJK untuk cluster project financing crowdfunding,” kata Kenneth.

Tawarkan skema menarik untuk investor dan pencari dana

Sebagai platform crowdfunding, Likuid mencoba untuk menjembatani kebutuhan fundraiser untuk proyek mereka agar dapat didanai oleh investor besar dan kecil. Hingga saat ini Likuid telah memiliki lebih dari 100 High Networth Individuals (angels) yang bekerja sama dan mempercayai Likuid sebagai partner investasi mereka.

Likuid memiliki 3 proyek yang sedang dipersiapkan untuk public launch, 6 proyek yang masih dalam proses due diligence. Saat ini untuk investor, perusahaan baru membuka akses pendaftaran melalui situs dan juga akun media sosial Instagram. Sementara untuk akses investasi akan dibuka saat public launch.

Pencari dana (fundraiser) dapat terdaftar di Likuid setelah melewati proses due diligence, mereka dapat memuat profil proyek agar dapat diakses oleh para investor. Jangka waktu pendanaan maksimum 60 hari setelah profil proyek mereka dapat diakses oleh para investor.

Sementara untuk investor, setelah terverifikasi dapat memilih proyek mulai berinvestasi dari Rp250.000,00. Investor nantinya akan mendapatkan keuntungan setiap 3 atau 6 bulan, melalui skema bagi hasil. Model bisnis yang ditawarkan Likuid adalah melalui success fee sebesar 5%-7%.

“Saat ini, terus terang banyak dari proyek entrepreneur masih berbasis di Jabodetabek. Tapi kita juga sedang membangun kerja sama dengan beberapa instansi dan program inkubasi, untuk mempunyai akses ke para entrepreneur di luar Jabodetabek. Untuk investor, layanan kami dapat diakses oleh siapa pun dari seluruh penjuru nusantara,” kata Kenneth.

Target tahun 2020

Di tahun 2020 mendatang, selain pendanaan proyek, Likuid memiliki rencana untuk mendapatkan lisensi dari OJK sebagai penyelenggara layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi (equity crowdfunding). Dengan demikian diharapkan perusahaan dapat membuka akses pendanaan dalam bentuk saham untuk para entrepreneur.

Terdapat tiga kunci utama yang bakal diimplementasikan oleh Likuid tahun 2020 mendatang, di antaranya memperluas jaringan entrepreneur di bidang startup dan industri kreatif, bekerja sama dengan institusi pendanaan konvensional dan komunitas investor, dan bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk menciptakan iklim investasi alternatif yang lebih aman.

“Bagi kami, entrepreneur dan pelaku industri kreatif adalah kunci dari perkembangan inovasi dan kreativitas. Tugas kami memberi solusi pendanaan apa pun bentuknya,” kata Kenneth.

Sebelumnya ada juga Santara, tawarkan platform serupa untuk pendanaan UKM dan startup. Santara menjadi pemain platform equity crowdfunding (ECF) pertama yang mendapat izin untuk beroperasi secara penuh dari OJK tepat tanggal 18 September 2019.