Peliknya Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi

Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pada pertengahan Maret lalu, sebagian besar kegiatan hingga lalu lintas informasi terpaksa dilakukan secara online. Yang terjadi adalah tren konsumsi data berubah. Kawasan residensial kini bergeser menjadi pusat segala aktivitas di masa pandemi.

Fenomena tersebut tercermin dari riset yang dirilis MarkPlus Inc beberapa waktu lalu. Riset ini diikuti oleh sebanyak 111 responden yang terbagi atas wilayah Jabodetabek (57%) dan non-Jabodetabek (43%).

Dalam webinarnya, MarkPlus Inc melaporkan sebanyak 31,7 persen pengguna internet di Jabodetabek menghabiskan kuota internet seluler 5-10GB sebelum pandemi. Sementara pemakaian internet seluler di non-Jabodetabek lebih besar sebelum pandemi, dengan 22,9 persen responden menghabiskan kuota di atas 30GB.

Saat pandemi, sebanyak 63,5 persen pengguna di Jabodetabek mengaku tidak menambah/mengurangi kuota internet selama WFH dan SFH. Hal ini karena penetrasi fixed broadband (personal WiFi) di wilayah ini cukup besar dibandingkan non-Jabodetabek. Kebalikannya, 52,1 persen pengguna non-Jabodetabek harus menambah kuota karena 68,8 persen di antaranya belum memasang fixed broadband dan bergantung pada kuota seluler.

Dari jenis pemakaian, kegiatan telepon/video konferensi online menghabiskan kuota internet paling besar (36%). Tak heran mengingat pemerintah memberlakukan kebijakan WFH dan SFH yang mengharuskan interaksi online selama bekerja dan sekolah.

Lebih lanjut, sebanyak 57,1 persen pengguna fixed broadband dari kelas ekonomi atas memiliki tingkat ketidakpuasan tertinggi selama pandemi. Kebutuhan akan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

Apa artinya tren pergeseran ini terhadap industri telekomunikasi?

Imbas terhadap industri telekomunikasi

Operator telekomunikasi panen trafik pada masa awal pemberlakuan WFH dan SFH. Beberapa di antaranya melaporkan kenaikan trafik yang didominasi pada pemakaian platform online learning. Misalnya, Telkomsel mencatat kenaikan sebesar 16 persen. Kemudian, Tri Indonesia mengalami kenaikan trafik pada platform Zenius (73%), Ruangguru (78%), dan Quipper (196%).

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengakui ada pergeseran trafik data dari kawasan bisnis ke residensial sebesar 12-30 persen secara industri.

“Karena semua sekarang serba online, kami meyakini rumah bakal jadi sentral aktivitas. Maka itu, operator perlu menambah produk terjangkau dan memperkuat jaringan, terutama di area residensial dan pedesaan,” ujarnya saat webinar MarkPlus Inc awal September ini.

Data ATSI mencatat trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ia mengungkap kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan sebesar 9,9 persen pada periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun. Pendapatan industri minus pada periode Maret sampai April (-1,9%), diikuti periode April-mei (-4,9%), dan Mei-Juni (-5%).

Menurut Marwan, operator mengakomodasi pergeseran konsumsi internet dengan memindahkan dan menambah kapasitas jaringan. Namun, upaya ini berujung pada peningkatan biaya. Bahkan ia menilai biaya ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap kegiatan kerja dan sekolah di rumah dan kualitas layanan.

Dalam kesempatan sama, menurut Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Kristiono, paparan di atas menjadi momentum refleksi betapa tidak seimbangnya penetrasi fixed broadband dan mobile broadband di Indonesia.

Ketidakseimbangan penetrasi jaringan ini salah satunya tercermin pada perilaku pemakaian internet di Jabodetabek dan non-Jabodetabek, sebagaimana dilaporkan pada riset MarkPlus di atas. Sementara, data di bawah ini menampilkan rendahnya penetrasi pasar fixed broadband di Indonesia.

Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial

Karena ketimpangan ini, ada banyak kasus di mana penyelenggaraan kegiatan sekolah dan kerja menjadi tidak efektif. Padahal, ujar Kristiono, akselerasi digital sangat diperlukan di situasi sekarang. Dengan kata lain, konektivitas menjadi ujung tombak yang perlu dibenahi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Momentum dan urgensi untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda

Melihat tren dan data di atas, Marwan menilai akan sulit bagi industri telekomunikasi untuk bertumbuh ke depan. Operator bahkan tidak dapat berekspektasi untuk memulihkan kinerjanya dalam waktu dekat. Ditambah lagi, ujarnya, persaingan industri telekomunikasi bakal menguat sejalan dengan prediksi melemahnya daya beli masyarakat di semester II 2020.

Di sisi lain, pandemi dinilai menjadi waktu yang tepat bagi stakeholder terkait untuk merealisasikan wacana usang. Wacana yang dimaksud adalah sejumlah kebijakan yang telah diusulkan dan dibahas selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada lampu terangnya. Misalnya, kebijakan OTT, infrastructure sharing, dan M&A.

Menurut Marwan, kebijakan-kebijakan ini dapat mengakomodasi gaya hidup dan pola orang bekerja dan sekolah ke depannya, yakni “The Post Normal” di mana rumah sebagai sentral aktivitas dan konektivitas. Maka itu, ia berharap pemerintah dapat melihat urgensi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibahas sejak dulu.

“Ini sebetulnya isu lama, tetapi tidak ada bargain position yang bisa diambil. Tapi, agenda ini harus diselesaikan, sudah tidak bisa ditunda. Rencana kebijakan soal OTT saja sudah empat tahun dibahas, tapi tidak ada ada penyelesaian berujung. Begitu juga kebijakan soal M&A. Semua inisiatif ini kan untuk mengurangi opex,” ujar Marwan.

Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial

Kristiono menilai pemerintah juga perlu menurunkan ekspektasi terhadap industri telekomunikasi di situasi sekarang. Dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin demanding, apalagi harus tinggal di rumah, kondisi ini memunculkan perubahan pada supply chain. Namun, Indonesia dinilai belum siap mengakselerasi digital karena konektivitasnya tidak merata.

Hal ini diamini CEO Biznet Adi Kusuma. Menurutnya, pandemi mengubah jauh ekspektasi pelanggan terhadap koneksi internet. “Apabila dulu orang berpikir broadband hanya untuk kebutuhan besar, sekarang semua perlu karena aktivitas kerja dan sekolah dirumahkan,” ujarnya.

Pagelaran “MarkPlus Conference” Hadir Kembali, Ajak Pemasar Optimis Sambut 2020

Acara “MarkPlus Conference 2020” akan diselenggarakan pada 4-5 Desember 2019 mendatang di The Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta. Membawakan berbagai sesi untuk mendiskusikan tren dan isu seputar bisnis dan pemasaran. Pagelaran ini telah rutin digelar tahunan sejak 2006 lalu.

Membawakan tema utama “Rediscovering Growth: Finding the Momentum”, konferensi ini akan diisi oleh narasumber dari berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia. Sebut saja Head of Marketing Google Veronica Sari Utami, CEO Ideoworks Andy S. Boediman, Creative Director Rollover Reaction Dinar Amanda, dan masih banyak lagi.

“Kalau di 2019 banyak bisnis lebih memilih wait and see. Menahan amunisi mereka karena ada pemilihan presiden yang menyebabkan ketidakpastian sehingga pertumbuhan tidak maksimal. Dengan sudah kondusifnya politik, pemerintahan baru sudah terbentuk, maka 2020 harus menjadi tahun untuk tumbuh kembali. Menemukan kembali pertumbuhan dengan memanfaatkan momentum yang tepat,” ujar Founder & Chairman MarkPlus, Inc. Hermawan Kartajaya.

Namun walau momennya tepat untuk tumbuh, Hermawan berharap pebisnis bisa tetap cermat. Karena pertumbuhan ada bermacam-macam bentuknya, mulai dari profit, skala bisnis, pemasukan, dan lainnya sehingga harus ada momentum tepat untuk mengeksekusinya.

Konferensi ini juga akan dimeriahkan ajang penghargaan bagi para petinggi brand, perusahaan, atau institusi yang sepanjang 2019 berhasil membawa namanya melambung, baik itu profit, menjadi market leader, bertahan di tengah persaingan ketat industri, sampai membawa perusahaannya minus menjadi profit.

Selain itu masih banyak lagi rangkaian acara selama dua hari MarkPlus Conference 2020, mulai dari forum Innovation Network of Asia (INA) yang akan menghadirkan para pembicara dari luar negeri, penghargaan bagi para kepala daerah berprestasi Regional Leader Entrepreneur Award 2019, yang semuanya ditutup oleh Marketeers WOW Concert 2019 dengan menghadirkan Kahitna.

Untuk informasi lebih lanjut dan pemesanan tiket dapat melalui situs resmi MarkPlus Conference 2020 http://markplusconference.com.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner MarkPlus Conference 2020

Survei MarkPlus: Shopee Jadi Platform E-commerce Paling Populer Saat ini

Kendati tidak sedinamis beberapa tahun sebelumnya, industri e-commerce di Indonesia tetap menarik untuk diikuti. Potensi pangsa pasar yang besar, membuat para pemain berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin pasar. Berbagai strategi dan dukungan modal besar menghiasi persaingan bisnis jual beli online tersebut. Di Indonesia saja, dua “unicorn” hadir dari kategori e-commerce.

Untuk melihat tren terkini, MarkPlus Inc mengadakan sebuah survei terkait brand awareness pemain e-commerce di Indonesia. Daru responden yang mengaku menggunakan e-commerce minimal 4x dalam 3 bulan terakhir, didapatkan data bahwa Shopee (31%) menjadi top of mind brand. Disusul oleh Lazada (20,3%) dan Tokopedia (17,9%). Temuan ini tidak jauh berbeda dengan hasil riset DailySocial yang diterbitkan beberapa waktu lalu.

Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan utama oleh responden saat memilih layanan e-commerce. Pertama ialah promo yang disajikan (61,3%), kedua terkait dengan harga produk yang lebih murah, dan ketiga reputasi dari brand e-commerce tersebut (53,8%). Sementara itu hampir seluruh responden (91,3%) lebih suka mengakses platform melalui ponsel pintarnya.

“Strategi seperti banyak promo, harga murah, reputasi baik, sampai gratis biaya kirim adalah alasan mengapa konsumen memilih berbelanja di platform e-commerce. Ini juga yang membuat brand-brand ternama bertahan,” ungkap Associate of High Tech, Property and Consumer Industry of MarkPlus, Irfan Setiawan.

Dalam survei turut memaparkan bagaimana popularitas e-commerce di tiap daerah. Tokopedia menjadi yang paling sering diakses di Jakarta. Sementara Shopee menjadi yang paling sering diakses di Bandung, Surabaya, Semarang dan Makassar. Lazada mendapatkan tempat pertama di konsumen Medan.

“Pemain-pemain seperti Shopee, Tokopedia, Lazada, dan Bukalapak adalah nama-nama pemain e-commerce yang paling sering disebut responden. Shopee, yang menjadi e-commerce paling banyak diakses oleh responden dalam tiga bulan terakhir,” sebut Irfan.

MarkPlus Insight: Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Capai 61 Juta Orang

Seperti tahun lalu (dan tahun sebelumnya), MarkPlus Insight merilis data tentang penggunaan Internet di Indonesia. Kesimpulan yang diambil oleh laporan ini adalah jumlah pengguna Internet di Indonesia per akhir tahun 2012 mencapai 61,08 juta orang. Angka tersebut naik sekitar 10% ketimbang tahun 2011. Dibanding total populasi, penetrasi pengguna Internet mencapai 23,5%.

Continue reading MarkPlus Insight: Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Capai 61 Juta Orang

MarkPlus Insight Survey: Indonesia Has 55 million Internet Users

How many internet users are there in Indonesia? 30 million? 40 million? We might never know the exact number of it, but the newest survey done by MarkPlus Insight stated that the internet users in Indonesia in 2011 reached 55 million people. Compared to the population of the country which is about 240 million people, that means 23% Indonesia has a 23% Internet penetration rate and it is dominated by big cities—only 4.1% located in rural area. Last year, MarkPlus Insight noted that internet users in Indonesia reached 42 million.

It is mentioned in the survey that the number of people who use mobile devices reached 29 million people. It means that more than 50% internet users in Indonesia use mobile devices to browse on the internet. Since Indonesia is an archipelago with non-flat contour, mobile internet is more commonly found than landline connections.

Continue reading MarkPlus Insight Survey: Indonesia Has 55 million Internet Users

Survei MarkPlus Insight: Pengguna Internet di Indonesia 55 Juta

Berapakah jumlah pengguna Internet di Indonesia? 30 juta? 40 juta? Mungkin kita tidak akan pernah tahu pasti berapa jumlahnya, tapi survei terbaru yang dilakukan oleh MarkPlus Insight menyebutkan bahwa pengguna Internet di Indonesia di tahun 2011 mencapai 55 juta orang. Dibanding penduduk Indonesia yang diperkirakan sekitar 240 juta jiwa, 23% sudah terpenetrasi koneksi Internet yang kebanyakan berpusat di kota-kota besar — hanya 4.1% yang berada rural area. Setahun yang lalu, MarkPlus Insight mencatat pengguna Internet di sini sudah mencapai 42 juta.

Disebutkan pula dalam survei bahwa yang mengakses menggunakan perangkat mobile mencapai 29 juta orang. Itu berarti lebih dari 50% pengguna Internet di Indonesia memanfaatkan mobile untuk berselancar di dunia maya. Dengan kond, isi negara kepulauan dan kontur yang tidak rata, adalah lumrah jika mobile Internet menjadi pionir.

Continue reading Survei MarkPlus Insight: Pengguna Internet di Indonesia 55 Juta