Pendanaan Pra-Seri A PrivyID Jadi Langkah Awal Mantapkan Debut yang Lebih Besar

Startup pengembang tanda tangan digital PrivyID mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh MDI Ventures dan Mandiri Capital Indonesia. Gunung Sewu dan Mahanusa Capital juga terlibat dalam pendanaan ini.

Nilai pendanaan yang diperoleh tidak disebutkan angkanya. Meskipun demikian, menurut pemaparan CEO PrivyID Marshall Pribadi, pendanaan selanjutnya (Seri A) awal tahun depan akan segera menyusul dengan nilai yang cukup signifikan.

“Pendanaan [Pra-Seri A] ini tidak ditujukan untuk ekspansi besar-besaran, akan tetapi dioptimalkan untuk membangun di dalam terlebih dulu,” ungkap Marshall.

Secara spesifik, pendanaan kali ini akan difokuskan PrivyID untuk pembelanjaan infrastruktur perangkat keras dan perangkat lunak. Menurut Marshall, setidaknya sebagian pendanaan tersebut dialokasikan untuk perangkat keamanan seperti HSM (Hardware Security Module) dan Transparent Encryption System. Sisanya akan digunakan untuk pengadaan ruang kantor baru di Jakarta dan Yogyakarta, serta melakukan perekrutan ke tim security dan teknologi.

“Sinergi menjadi tesis utama kita. Kami telah menjalin kemitraan dengan PrivyID melalui program Indigo sejak tahun 2015. Sejak saat itu PrivyID telah bekerja dengan berbagai proyek untuk Telkom Group. Kami akan terus bekerja sama dengan para startup terkemuka di berbagai vertikal untuk mengkatalisis pertumbuhan dengan sumber daya dan jaringan kami. Singkatnya, kami membawa skala melalui basis pelanggan dan sumber daya kami untuk memberi nilai penting bagi perusahaan seperti PrivyID,” sambut CEO MDI Ventures Nicko Widjaja.

Di Telkom Group disebutkan teknologi PrivyID telah digunakan di IndiHome dan T-Money.

“Pengguna kami sangat terbantu dengan terhematnya waktu dan biaya dari menghilangkan kertas dan pengiriman kurir untuk menandatangani dokumen. Penandatanganan dapat dilakukan di smartphone maupun PC di mana pun. Selain itu kami juga sedang dalam proses untuk mendapatkan ISO 21188 on Public Key Infrastructure for Financial Services,” lanjut Marshall.

PrivyID didirikan Marshall Pribadi dan Guritno Adisaputro, sebelumnya mendapatkan seed funding dari program Indigo Incubator besutan Telkom. Sepak terjangnya berhasil membukukan sekurangnya 300.000 pengguna dengan rekanan korporasi sudah mencapai 31 entitas. Termasuk penguatan jaringan kerja sama dengan institusi perbankan dan non-perbankan untuk memverifikasi pengguna. Dari sisi teknologi, PrivyID kini juga sudah menyediakan aplikasi di platform Android dan iOS untuk penggunanya.

“Kami ingin mewujudkan pure digital offering bagi industri fintech, di mana pengguna yang sudah memiliki akun di lembaga keuangan yang sudah menjadi mitra kami dan telah melalui proses Customer Due Dilligence sesuai Peraturan OJK tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris. Tidak perlu melalui proses tersebut lagi saat ingin menjadi pelanggan institusi lain,” ujar Marshall.

Secara sederhana, apa yang ditawarkan oleh PrivyID kepada konsumen ialah teknologi verifikasi identitas digital yang akuntabel, dengan satu nomor induk kependudukan satu identitas digital.

Dengan adanya identitas digital ini, pengguna dapat memberikan persetujuan dalam bentuk tanda tangan digital saat menggunakan beragam jenis layanan (terutama di lembaga finansial). Seperti diketahui bahwa legalitas tanda tangan digital sudah diatur dalam UU Pasal 52 PP 82/2012 di Indonesia.

“PrivyID bertujuan untuk membangun fondasi ekosistem transaksi elektronik yang sehat, yakni dengan memberikan identitas terpercaya di dunia maya dan tanda tangan digital yang mengikat secara hukum. Saya percaya apa yang kami lakukan sejalan dengan ambisi pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi digital,” jelas Marshall.

Karena digunakan pada sektor krusial, standar khusus pun diikuti, salah satunya yang mengacu pada aturan terbitan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Termasuk dari sisi teknologi, tanda tangan digital PrivyID didukung oleh sertifikat digital menggunakan kriptografi asimetris dan infrastruktur kunci publik untuk memudahkan proses verifikasi pendandatanganan dan setiap perubahan yang dilakukan pada dokumen yang ditandatangani dapat diidentifikasi.

“Model bisnis PrivyID dapat meningkatkan efisiensi bisnis korporasi karena memberikan solusi bagi perusahaan untuk mengirim dan menerima dokumen dengan tanda tangan elektronik secara online, sehingga kedua belah pihak tidak harus berada di tempat yang sama atau bahkan memerlukan jasa kurir,” ujar Direktur Utama Mandiri Capital Eddi Danusaputro selaku rekanan strategis PrivyID.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Layanan PrivyID dan Kekuatan Hukum Identitas Digital

Berkembangnya dunia digital hingga titik sekarang ini bukan tanpa resiko sama sekalai. Kemudahan untuk melakukan berbagai aktivitas hanya bermodalkan email, akun media sosial, atau nomor telepon sebagai identitas, sebenarnya menyimpan potensi untuk dimanfaatkan dalam tindak kejahatan. Kekuatan hukumnya pun lemah. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang lahirnya PrivyID untuk menyediakan layanan tanda tangan digital yang dapat digunakan sebagai identitas perorangan dalam beraktivitas di dunia maya.

PrivyID memiliki motto untuk menjadi DNA digital yang pada dasarnya menjadi penyelenggara identitas elektronik dengan subyek hukum yang akuntabel untuk melindungi data pribadi dan kepentingan pengguna ketika melakukan transaksi digital. Melalui integrasi dengan PrivyID, penyedia layanan digital bisa mencegah para pengguna jasanya membuat lebih dari satu akun. Di sisi pengguna, mereka juga menjadi memiliki kekuatan hukum yang lebih jelas.

Layanan PrivyID sendiri baru berdiri pada tahun 2016 ini. Meski usianya masih belum genap satu tahun, PrivyID mengklaim telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan besar di industri lain seperti telekomunikasi, multifinance, dan pusat perbelanjaan. Marshal Pribadi yang kini menjabat sebagai CEO dan Guritno Adi Saputra yang kini menjabat sebagai CTO adalah dua orang yang berperan di balik kehadiran layanan PrivyID.

Marshall menjelaskan bahwa visi besar PrivyID adalah agar semua orang, minimal di Indonesia terlebih dahulu, memiliki akun PrivyID. Namun, tidak hanya sampai di situ saja. Ia juga ingin PrivyID menjadi DNA digital seseorang karena melalui PriviID juga Marshall ingin mepromosikan perilaku orang-orang yang bsia bertanggung jawab di dunia maya.

“Satu akun PrivyId hanya untuk satu NIK [Nomor Induk Kependudukan], jadi saya [atau orang-orang yang memiliki akun PrivyID] akan lebih berhati-hati di dunia digital, karen ini [akun PrivyID] yang akan saya pakai nanti untuk mengajukan kredit, mendaftar layanan Telkom, dan sebagainya. Jadi, orang-orang akan lebih bertanggung jawab,” ujar Marshall lebih jauh.

Kekuatan hukum yang dimiliki

Tandang tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Tanda tangan elektronik sendiri memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnyan yang memiliki kekuatan dan akibat humum. Ini dijelaskan pada Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara Penanda Tangan yang menjadi subjek hukum yang terasosiasikan dengan tanda tangan elektronik dasar hukumnya dijelaskan pada pasal 1 angka 12 dan 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Bagaimana PrivyID bekerja?

Untuk menjadi pengguna PrivyID dan memastikan bahwa setiap orang yang mendaftar hanya mempunyai sebuah PrivyID, pengguna diharuskan untuk mengunggah foto dari KTP. Di samping itu, berbagai jenis data pribadi seperti alamat email, nomor telepon, tanda tangan, hingga informasi tempat bekerja dan riwayat pendidikan.

Data-data tersebut juga akan diverifikasi dan dipetakan kembali secara unik oleh PrivyID. Contohnya, data NIK pengguna akan langsung di match-kan dengan data yang ada di pemerintah. Satu-satunya kekurangan dalam hal verifikasi data ini menurut Marshall adalah, bila calon pengguna ternyata memiliki dua NIK yang terdaftar, maka dia bisa membuat lebih dari satu akun PrivyID.

Untuk menjamin privasi, Marshall menjelaskan bahwa data-data pengguna yang terdapat dalam PrivyID tidak akan dibagikan begitu saja ke pihak lain. Perlu persetujuan pengguna agar pihak lain dapat mengakses data-data pengguna PrivyID.

Analoginya, sama dengan ketika pengguna memakai fitur Facebook login untuk mendaftar ke aplikasi baru, akan terdapat data-data apa saja yang diizinkan oleh pengguna untuk bisa diakses oleh aplikasi tersebut.

Security by Design PrivyID / PrivyID
Security by Design PrivyID / PrivyID

Dari sisi penggunaan tanda tangan digital untuk dokumen, jauh lebih sederhana lagi. Setelah menerima dokumen yang perlu ditandatangani, pengguna hanya perlu mengklik pada dokumen tersebut untuk membubuhkan tanda tangan yang sebelumnya dimasukkan ketika mendaftar. Pihak pengirim dokumen juga dapat memantau dari dashboard miliknya, apakah dokumen yang dikirim sudah ditandatangani atau belum.

Sementara dari sisi keamanan, Marshall menjelaskan bahwa Privy sudah menerapkan AES (Advance Encryption Standard) 256-bit untuk setiap dokumen yang ditandangani. Bila ada perubahan yang tidak dilakukan oleh pengguna, maka dokumen yang ditandangani bisa dideteksi menjadi tidak valid – baik itu dari PrivyID atau vendor lain.

Tantangan dan rencana ke depan PrivyID

Salah satu tantangan yang masih dihadapi oleh PrivyID saat ini adalah dari sisi awareness dan edukasi ke pengguna. Di Indonesia sendiri, khususnya pengguna perorangan, masih belum begitu peduli dengan identitas digital. Namun, lain ceritanya jika sudah dibawa ke ranah perusahaan.

Marshall menjelaskan bahwa dia bisa mengelompokkan konsumen perusahaan menjadi dua, yaitu startup dan perusahaan konvensional yang memang banyak melakukan aktivitas tanda tangan dokumen di atas kertas.

“Untuk mendekati perusahaan besar [konvensional] itu mudah. Cukup tawarkan manfaat dari penghematan biaya dan waktu, dijamin sudah dapat. Namun, untuk startup teknologi pendekatannya lain lagi karena sejak awal mereka sudah menghemat biaya dan waktu,” kata Marshall.

Lebih jauh, Marshall menjelaskan bahwa untuk mendekati perusahaan startup, yang ditawarkan adalah sisi keamanan. Contohnya untuk perusahaan startup teknologi yang bergerak di sektor finansial. Mereka dapat mengetahui calon konsumen mana saja nantinya yang akan mengajukan pinjaman namun memiliki riwayat kredit macet di layanan sejenis.

Beberapa perusahaan yang saat ini sudah menjalin kerja sama dengan PrivyID adalah BAF, GudangVoucher, Indihome, Divisi Enterprise Service Telkom, dan SewaKamera. Sebagai informasi, PrivyID sendiri adalah startup jebolan inkubator milik Telkom, Indigo yang beberapa waktu lalu berhasil keluar sebagai salah satu pemenang dalam ajang Finspire.

Marshall mengungkapkan bahwa saat ini PrivyID sendiri sedang dalam masa fundraising. Rencananya, dana investasi tersebut akan digunakan untuk meningkatkan keamanan platform PrivyID. Bukan dari sisi perangkat lunak, tetapi dari sisi perangkat keras. Ke depannya, Marshall sendiri ingin PrivyID tidak hanya menjadi perushaan issuer saja, tetapi juga sebagai principal layaknya Visa dan MasterCard.

Start-FWD Unika Atma Jaya: Mengenal Lebih Dekat Dunia Startup Social Entrepreneurship

Kamis (8/9) kemarin DailySocial bekerja sama dengan Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya menggelar acara Start-FWD. Acara yang bertempat di Auditorium Gedung Yustinus Unika Atma Jaya ini  menghadirkan sembilan pembicara berpengalaman dari sisi akademis dan praktisi untuk berbagi wawasan seputar dunia startup di sektor social entrepreneurship. Harapannya melalui Start FWD para peserta yang hadir dapat terinspirasi untuk menjadi agen perubahan dan menjadi salah satu pemain di ranah social entrepreneurship.

Sembilan pembicara yang hadir dalam acara Start-FWD kemarin adalah Dr. Agustinus Prasetyantoko (Rektor Unika Atma Jaya), Rosdiana Sijabat, Ph. D. (Dosen Unika Atma Jaya), Aria Widyanto (Amartha), Rama Raditya (Qlue), Calvin Kizana (PicMix), Razi Thalib (Setipe), Marshall Pribadi (PrivyID) dan Temmy Chi (KitongBisa).

Acara dibuka dengan kata sambutan dari Rektor Unika Atma Jaya Dr. Agustinus Prasetyantoko. Beliau menyampaikan mengenai latar belakang digelarnya acara Start-FWD yang pada dasarnya ingin mempertemukan sisi visi sebuah universitas untuk berkontribusi pada negara dan anak muda yang lekat dengan dunia inovasi dan teknologi. Social entrepreneurship dianggap sebagai salah satu titik temu dari keduanya.

Head of Product Amartha Aria Widiyanto di acara Start-FWD / DailySocial
Head of Product Amartha Aria Widiyanto di acara Start-FWD / DailySocial

Sesi selanjutnya dibawakan oleh Head of Product Amartha Aria Widyanto yang memberi pemaparan dari sisi pelaku startup. Amartha sendiri adalah startup yang bergerak di sektor finansial yang memberikan bantuan pendanaan pada para pelaku UKM di Indonesia. Aria menyampaikan bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Amartha adalah untuk dapat merubah mindset masyarakat terhadap uang yang selama ini hanya dihabiskan untuk konsumsi produk.

“Indonesia sebenarnya banyak ditopang oleh sektor-sektor bisnis informal. Tapi ketika mereka ingin upgrade, mereka kerap kesulitan karena akses finansial yang kurang. […] Kami mengembangkan P2P lending ini untuk bantu mempermudah investor, badan hukum atau individual, agar bisa berpartisipasi membantu sektor-sektor informal yang sudah siap untuk didanai,” jelasnya.

Pun begitu, sektor social entrepreneurship sendiri bukannya tidak memiliki tantangan di Indonesia. Dalam sesi diskusi yang dibawakan Ibu Rosdiana Sijabat, disampaikan bahwa saat ini ada dua tantangan bagi para pelaku bisnis social entrepreneurship di Indonesia.

Pertama yaitu dari sisi payung hukum. Menurut Rosdiana saat ini di Indonesia masih belum ada payung hukum yang mengatur secara spesifik bagaimana sebuah social entrepreneurship berjalan karena tidak ada yang benar benar memahami keunikan dari bisnisnya. Kedua, terkait dengan maslah keterbatasan akses pendanaan, talenta yang memahami dunia social entrepreneurship, hingga keterbatasan untuk mengukur dan menelusuri sejauh mana dampak sosial yang diberikannya.

Rosdianan mengatakan, “Pada intinya kita memerlukan social entrepreneurship karena dua hal, yaitu karena terjadinya government failure [untuk mengatasi masalah sosial] dan market failure. Kita tidak bisa berharap kepada pemerintah saja atau kekuatan pasar [swasta], harus ada kekuatan lain yang dimunculkan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi dan sosial.”

Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi panel yang dimoderatori Reporter DailySocial Yenny Yusra. Di sesi ini, Calvin Kizana, Razi Thalib, dan Temmy Chi berdiskusi mengenai bagaimana membangun sebuah startup yang berkelanjutan dan memberikan dampak ke masyarakat. Mulai dari bagaimana memahami sebuah masalah yang ingin dipecahkan, memasarkan produk, hingga mencari model bisnis yang tepat untuk startup.

Setelah coffee break, diskusi dilanjutkan dengan presentasi CEO Qlue Rama Raditya. Rama berbagai perspektif social entrepreneurship dari sisi pemanfaatan informasi sebuah aplikasi untuk mendukung perekonomian dan tata kota. Qlue, produk yang dibangun Rama dan rekannya, saat ini menjadi salah satu aplikasi yang digunakan untuk mendukung program smart city Jakarta dengan memanfatkan fungsi aplikasi sebagai platform pelaporan keluhan masyarakat kepada pihak berwajib.

Dosen Unika Atma Jaya Rosdiana Sijabat di acara Start-FWD / DailySocial
Dosen Unika Atma Jaya Rosdiana Sijabat di acara Start-FWD / DailySocial

Di sesi terakhir ada CEO PrivyID Marshall Pribadi yang berbagi wawasan mengenai potensi bisnis dengan pemanfaatan teknologi. Menurut Marshall, teknologi ke depannya akan menjadi alat untuk melahirkan inovasi yang bisa memudahkan kegiatan masyarakat dan potensinya pun masih luas untuk digali.

Direktur Atma Jaya Venture Ferdian Suprata mengatakan, “Variasi perusahaan berbasis teknologi itu bukan semata-mata hanya untuk e-commerce saja. […] Melalui acara ini kami berharap bisa membuka sebuah pemikiran baru bahwa […] bentuk-bentuk lain dari startup juga akan diapresiasi.”

“Ke depannya kami berharap kalian [anak muda/mahasiswa] untuk bisa mendukung program-progam yang memiliki pendekatan berbasia teknologi yang bisa memecahkan masalah-masalah sosial di Indonesia karena itu yang masih kurang,” tandas Ferdian.