Perbandingan Fitur Duitku dan Midtrans, Mana Yang Lebih Baik?

Sebelum Anda menentukan untuk menggunakan salah satu jasa dari Duitku dan Midtrans, Anda tentu perlu melakukan perbandingan fitur mana yang lebih baik antara Duitku dan Midtrans. Artikel ini akan membantu Anda untuk melakukan perbandingan tersebut.

Sebelum membandingkan fitur antara keduanya, mari ketahui terlebih dahulu apa itu Duitku dan Midtrans.

Apa Itu Duitku dan Midtrans?

 

perbandingan fitur duitku dan midtrans

 

Duitku dan Midtrans adalah dua perusahaan teknologi penyedia payment gateway. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan lokal yang menyediakan solusi pembayaran untuk bisnis berskala kecil hingga besar.

Meski fokus keduanya sama. Namun, Duitku dan Midtrans memiliki perbedaan fitur yang bisa menjadi pertimbangan Anda ketika hendak memilih salah satu dari dua penyedia payment gateway ini.

Perbandingan Fitur Duitku dan Midtrans

Duitku memiliki dua fitur utama, yaitu fitur Solusi Pembayaran dan Disbursement. Solusi Pembayaran adalah fitur Duitku yang membantu Anda mengakumulasikan transaksi dari merchant lain di Duitku, sehingga dapat mengurangi beban per transaksi yang harus Anda keluarkan.

Lalu, Disbursement adalah fitur dalam Duitku yang dapat membantu memudahkan pengiriman dana ke rekening bank atau e-wallet secara massal, cepat, dengan kesalahan minim.

 

perbandingan fitur duitku dan midtrans

 

Sedangkan Midtrans memiliki lima fitur, diantaranya fitur Metode Pembayaran, Pembayaran Berkala/Berulang, Deteksi Anomali, Asisten Logistik dan Admin, dan Payment Link.

Fitur pertama adalah Metode Pembayaran. Fitur ini membantu Anda menerima pembayaran dari pelanggan dengan berbagai metode pembayaran. Selanjutnya adalah Recurring Payment atau Pembayaran Berkala yang dapat membantu Anda melancarkan pendapatan dari langganan Anda.

Berikutnya, Midtrans juga menyediakan fitur Deteksi Anomali yang mengamankan proses pembayaran dan penerimaan pembayaran Anda. Lalu, terdapat pula fitur Selly yang merupakan fitur asisten chat dan logistik untuk penjual online.

Terakhir, Midtrans juga memiliki fitur Payment Link. Fitur ini memungkinkan Anda untuk menerima pembayaran dengan mudah hanya dengan membagikan link tanpa perlu media sosial atau website toko.

 

perbandingan fitur duitku dan midtrans

 

Setelah melihat perbandingan fitur yang ada pada Duitku dan Midtrans, mana yang menurut Anda lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan Anda? Semoga informasi di atas dapat membantu Anda untuk menentukannya.

Mengenal Moka dan GoStore, Solusi Dari GoTo Financial Bantu Wujudkan Strategi O2O Bagi Pelaku Usaha

Pandemi mendorong perubahan di semua sektor. Salah satunya tentu saja mempengaruhi perkembangan cara menjalankan usaha. Semua pelaku usaha perlu beradaptasi dengan laju percepatan adaptasi digital. Tak ayal, strategi O2O (online-to-offline) patut dipertimbangkan sebagai upaya mendorong usaha di tengah ketidakpastian ekonomi.

Saat ini, berbagai sektor lini usaha memandang strategi O2O menjadi langkah pengembangan yang esensial, tak terkecuali bagi sektor UMKM. Laporan DSInnovate beberapa waktu lalu mengemukakan, seperti dari kutipan yang bersumber dari Mckinsey & Company, sektor UMKM di ranah digital diperkirakan bakal mampu menyumbang PDB Indonesia sebesar US$ 140 miliar pada tahun 2030. Bahkan, survei We Are Social di tahun ini menempatkan pasar Indonesia sebagai pangsa pengguna eCommerce tertinggi di dunia.

Untungnya, di era penetrasi internet yang kian menyeluruh, merealisasikan langkah O2O saat ini bukan lagi menjadi perkara yang menyulitkan. Solusi bisnis lengkap yang meliputi layanan untuk bisnis online maupun offline ini juga ditawarkan oleh ekosistem GoTo Financial.

GoTo Financial merupakan grup teknologi bagian dari GoTo, yang memiliki layanan untuk mendukung aktivitas keuangan masyarakat melalui GoPay dan GoPaylater, serta menyediakan solusi bisnis untuk pelaku usaha mulai dari UMKM sampai dengan perusahaan besar. Solusi bisnis ini meliputi Midtrans (payment gateway terkemuka), Moka dan GoBiz Plus (jaringan point of sales terbesar di Indonesia), GoStore (website toko online pribadi), hingga platform GoBiz, GoStore, dan Selly yang dapat meningkatkan efisiensi usaha online.

Strategi O2O sejatinya bukan lagi jadi hal baru dalam ranah bisnis. Pada 2015 silam, DailySocial sempat membahas potensi dan masa depan O2O di tanah air. Potensinya yang pesat tersebut didukung oleh pertumbuhan industri eCommerce yang tak terbendung – seiring penetrasi internet yang kian masif di masyarakat.

Strategi O2O ini berkembang menjadi layanan omnichannel retailing sehingga bisa dijadikan solusi alternatif logistik dan memperluas jangkauan bisnis. Pelanggan dapat memesan dari mana saja baik dari saluran online, perangkat mobile, media sosial, dan lain sebagainya di manapun dan kapanpun.

Pelaku usaha pun tak perlu khawatir bagaimana mengimplementasikan strategi O2O ini. Sudah banyak startup di Indonesia yang hadir membantu menyediakan layanan ini. Seperti layanan yang ditawarkan dari ekosistem GoTo Financial yakni; Moka dan GoStore.

Secara singkat, Moka menawarkan solusi praktis berbasis teknologi yang memudahkan pengusaha untuk mempersingkat segala proses administratif dan tata kelola keuangan, demi menciptakan efisiensi bisnis yang optimal.

Moka hadir sebagai aplikasi kasir yang memudahkan penjualan dan proses operasional usaha. Pelaku usaha dimudahkan dengan adanya dashboard yang memungkinkan untuk mengelola stok barang secara mudah serta mendapatkan laporan aktivitas bisnis yang real-time. Sistem pembayaran Moka terintegrasi dengan berbagai metode pembayaran digital, mulai dari pembayaran lewat kartu, QRIS, maupun uang elektronik seperti GoPay, memudahkan konsumen untuk membayar di toko offline. Beberapa gerai seperti Kokumi, Kopi Chuseyo, Eatlah, Utama Spice, hingga Hair Nerds adalah contoh usaha yang telah memanfaatkan layanan Moka.

Untuk melengkapi kebutuhan usaha offline yang perlu merambah ke online, Moka terintegrasi dengan GoStore, layanan untuk membuat website toko online yang membantu pelaku bisnis menerima orderan secara praktis dari pembayaran hingga pengiriman, serta dapat mempermudah promosi ke berbagai kanal dengan menghubungkan langsung ke Facebook Shops, Instagram Shop, dan Google Shopping.

GoStore juga sudah terintegrasi dengan layanan pengiriman instan GoSend, serta fitur ‘nationwide shipping’ (pengiriman yang mencakup seluruh nusantara) yang memungkinkan para pelanggan untuk dapat menerima produk yang dipesan dengan lebih cepat dan praktis. Untuk mendukung pembayaran nontunai, GoStore pun juga sudah terintegrasi dengan GoPay, serta kartu debit/kredit

Alternatif layanan yang memfasilitasi penjualan di berbagai channel seperti Moka dan GoStore ini cocok dicoba oleh pelaku bisnis yang ingin fokus pada pelayanan pelanggan yang maksimal dan memperluas bisnis, baik di ranah luring maupun daring. Selain mempermudah pelaku bisnis mengelola usaha lebih efisien, solusi bisnis seperti ini dapat mengefisiensikan proses penjualan di berbagai kanal, baik itu di gerai toko maupun lewat media sosial.

Artikel ini didukung oleh Midtrans

GoTo Financial Anak usaha Grup GoTo jadi Gerbang Inklusi Keuangan Indonesia

Sebagai negara berkembang, salah satu tolok ukur kesejahteraan ekonomi dan masyarakat bisa diukur melalui tingkat literasi dan inklusi keuangan. Sayangnya, hal itu masih menjadi pekerjaan rumah, tatkala target pemerintah mematok inklusi keuangan untuk bisa mencapai angka 90% diprediksi hanya baru bisa tercapai di tahun 2024.

Lebih spesifik lagi, menurut Presiden Joko Widodo, literasi keuangan digital di masyarakat RI saat ini baru mencapai 35,5%. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Pada 2019, indeks inklusi keuangan di Indonesia mencapai 76%, lebih rendah dibandingkan Singapura sebesar 86%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%.

Ketertinggalan itu bisa digenjot oleh berbagai cara. Dari sisi regulator, OJK telah menerbitkan roadmap yang berfokus pada percepatan akses keuangan daerah pada periode 2021-2025. Cara lain yang juga patut diperhitungkan adalah inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh para pemain industri teknologi melalui implementasi solusi keuangan berbasis digital yang sanggup menjangkau masyarakat luas secara efisien dan optimal. Seperti halnya GoTo Financial yang mampu tampil sebagai ekosistem pendorong inklusi keuangan tanah air.

GoTo Financial merupakan grup teknologi bagian dari GoTo, yang memiliki layanan untuk mendukung aktivitas keuangan masyarakat melalui GoPay dan GoPaylater, serta menyediakan solusi bisnis untuk pelaku usaha mulai dari UMKM sampai dengan perusahaan besar. Solusi bisnis ini meliputi Midtrans (payment gateway terkemuka), Moka dan GoBiz Plus (jaringan point of sales terbesar di Indonesia), hingga platform GoBiz dan Selly yang dapat meningkatkan efisiensi usaha online.

Perkembangan layanan finansial teknologi mendorong inklusi keuangan

Sejatinya, evolusi layanan keuangan selalu mengikuti perkembangan zaman dan kehidupan masyarakat. Seiring dengan evolusi itu, tantangan demi tantangan yang terjadi di sekitar kita menjadi hal “lumrah” yang biasanya kerap terselesaikan dengan perkembangan teknologi. Salah satu contoh tantangan yang ada yakni masih ditemuinya perilaku terbiasa dengan uang tunai, dan “asingnya” fasilitas perbankan bagi masyarakat rural maupun berpenghasilan rendah.

Kondisi tersebut kemudian mendorong perlu adanya langkah komprehensif nan inovatif dari berbagai pihak, seperti yang dilakukan oleh para pemain fintech yang berupaya menelurkan inovasi yang memudahkan masyarakat, untuk dapat memanfaatkan pembayaran digital sebagai gerbang awal bagi layanan keuangan lainnya.

Sebagai penyedia pembayaran digital, GoPay turut hadir untuk mengakselerasi hal tersebut. Terlebih dalam waktu dekat, GoPay akan mengintegrasikan layanan dengan Bank Jago. Rencana integrasi itu menjadi contoh riil GoPay yang dimulai dari pembayaran ‘mikro’ menjadi gerbang awal masyarakat untuk masuk ke layanan keuangan ‘makro’ atau layanan keuangan formal yang diusung oleh Bank Jago.

Kiprah GoTo Financial mematangkan inklusi keuangan

Kembali lagi membahas GoTo Financial, dalam riset yang dirilis Lembaga Demografi FEB UI menyatakan, GoTo Financial dipandang sebagai salah satu ekosistem keuangan digital yang paling komprehensif dalam menggenjot inklusi keuangan.

Data survey menunjukkan, platform e-wallet GoPay diklaim sebagai gerbang pertama masyarakat dalam mengenal pembayaran non-tunai berbasis digital, atau dalam persentase, sebanyak 46% konsumen mengandalkan GoPay sebagai transaksi pembayaran non-tunai pertamanya.

Lebih lanjut, GoPay membantu masyarakat yang sebelumnya belum pernah terekspos ke produk dan layanan perbankan dan non-perbankan (unbanked & underbanked society) untuk dapat mengakses layanan keuangan formal. Berdasarkan riset, 1 dari 5 konsumen GoPay tidak memiliki atau tidak menggunakan rekening bank secara aktif.

Tak hanya itu, GoPay juga berhasil mengedukasi mendorong inklusi ke layanan finansial bagi komunitas yang sebelumnya tak terjangkau perbankan, terlihat dari ketertarikan pengguna untuk membuka rekening bank melalui GoPay (unbanked to banked society). Survey dari LD-FEB UI tersebut menyatakan bahwa 1 dari 4 konsumen ingin membuka akun bank lewat GoPay.

Lebih jauh lagi, survey LD-FEB UI mengemukakan, GoPay berhasil menjadi pintu awal konsumen dalam memanfaatkan layanan keuangan lainnya. Dikatakan, pengguna memanfaatkan GoPay untuk berbagai hal mulai dari pengatur keuangan hingga investasi digital.

Konsumen dari berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan dan pemasukan secara merata menggunakan GoPay untuk investasi digital, seperti reksa dana dan emas. Hal ini mematahkan persepsi bahwa investasi hanya dapat diakses oleh masyarakat dengan pemasukan dan pendidikan tinggi.

Melihat pergerakan intensif di atas dalam menumbuhkan inklusi keuangan yang signifikan —seperti yang dilakukan oleh GoTo Financial — untuk mencapai target yang diharapkan pemerintah tadi bukanlah perkara yang sulit.

Setelah ini, hal terpenting adalah menjaga komitmen dan sinergi yang jauh lebih apik lagi di antara pemangku kepentingan untuk mewujudkan masyarakat yang melek keuangan secara menyeluruh. Bila tercapai, tidak menutup kemungkinan perkembangan yang dibangun dari kolaborasi ini dapat memajukan potensi pemulihan ekonomi bagi masyarakat Indonesia.

Artikel ini didukung oleh Midtrans.

Perjalanan Satu Dekade Startup Indonesia: Kian Beragam dan Inovatif

Istilah “Roma tidak dibangun dalam semalam” mungkin tepat disematkan pada perjalanan industri startup teknologi tanah air. Betapa tidak? Di balik besarnya industri yang saat ini telah diisi oleh jajaran startup dengan valuasi raksasa, dalam satu dekade ke belakang, rupanya banyak kisah dan momen menarik nan penting yang bisa kita simak, sekaligus memahami perjalanan satu dekade startup Indonesia yang beragam dan inovatif. Seperti apa?

Perkembangan awal era 2010-an: Pecahnya gelembung dotcom dan lahirnya ekosistem e-commerce

Pasca dotcom bubble, industri digital Indonesia mencoba bermain di ranah konsumer dan juga sosial. Beberapa nama startup yang lahir di era ini masih dapat kita temui saat ini seperti misalnya; Bhinneka (e-commerce fase awal), Kaskus (social commerce), classified ads (Tokobagus, Berniaga, OLX), hingga platform group buying seperti Disdus dan juga Groupon.

Kendati ekonomi digital masih terbilang “belia”, beberapa startup lokal di era ini diketahui mulai berani unjuk gigi di mata pemodal dan entitas teknologi global. Hal itu ditunjukkan lewat beberapa momen penting yang mungkin masih Anda ingat dengan baik. Sebut saja raihan pendanaan signifikan situs komunitas lokal terbesar yakni Kaskus oleh Global Digital Prima (GDP) Ventures. Belum lagi kisah “mesra” antara Koprol dengan Yahoo! (meski dengan usia yang pendek), dan juga gurihnya bisnis Disdus di mata East Ventures, yang juga berujung dengan pengakuisisian Disdus oleh Groupon (pemimpin pasar online shopping deals global pada masanya).

Semua kisah manis itu membawa kita memasuki era yang disebut dengan “the new era of e-commerce”, di mana di tahun-tahun ini para pemain e-commerce baru mulai berlahiran satu per satu. Mulai dari kehadiran jaringan grup Rocket Internet (Zalora dan Lazada), serta berdirinya Tokopedia dan Bukalapak yang mulai membangun reputasi dan traksi yang menjanjikan.

Perjalanan sepuluh tahun industri startup Indonesia. Dok: Midtrans

Situasi tersebut akhirnya mendorong beberapa startup yang mendukung ekosistem e-commerce (dan juga pendukung bisnis digital lainnya) seperti halnya layanan payment gateway yang dipelopori oleh Veritrans (sekarang Midtrans), hingga kehadiran layanan pembanding harga (e-commerce aggregator) seperti Telunjuk turut meramaikan ekosistem.

Pertengahan era 2010-an : Keragaman bisnis startup yang semakin kaya inovasi

Memasuki pertengahan era 2010-an, industri startup lokal kian ramai diisi oleh berbagai startup baru yang berfokus menghadirkan berbagai platform layanan, mulai dari layanan on-demand, fintech, OTA, hingga SaaS.

Gojek menjadi salah satu startup pionir di ranah on-demand. Pertumbuhannya yang pesat membuat Gojek meraih status “unicorn” di tahun 2016. Seiring transaksi daring bertumbuh, layanan keuangan berbasis digital juga mulai bermunculan satu per satu dengan bisnis model yang bervariasi, mulai dari e-wallet, microlending, sampai financial service aggregator.

Di era ini gaya hidup berplesiran melonjak tajam. Situasi tersebut berhasil menjadi momentum para pemain kunci di platform OTA seperti Traveloka (bervaluasi unicorn di 2017), dan Tiket.com untuk menancapkan kuku di kancah perekonomian digital Indonesia.

Tak ketinggalan, inovasi lain dari platform SaaS juga bermunculan di era ini. Setelah sebelumnya platform SaaS identik dengan pasar enterprise (B2B), startup-startup seperti Moka, Talenta, dan juga MTarget diketahui menyasar sektor UMKM.

Memasuki era 2020-an: Ekosistem yang semakin matang dan “kebutuhan” transformasi digital

Di penghujung era 2010-an, ekosistem startup lokal kian kokoh dan mulai berperan menjadi fasilitator bagi kepentingan transformasi digital. Seperti misalnya, mulai banyak startup yang hadir mendukung O2O (offline to online) yang diyakini memberi peluang bagi para pelaku bisnis untuk menjangkau pasar yang lebih luas, seperti yang dilakukan oleh Moka, WarungPintar dan juga Wahyoo.

Belum lagi mulai munculnya startup di kelas “new economy” yang lekat dengan pendekatan teknologi seperti Fore Coffee, Kopi Kenangan, HAUS!, dan sejenisnya. Beberapa bahkan berhasil menarik perhatian pemodal kapital dengan nilai pendanaan yang tidak sedikit.

Pergeseran ranah konvensional ke arah digital juga diwakili oleh startup-startup yang mengusung layanan EdTech. Di era ini banyak startup yang muncul mengusung solusi dunia pendidikan melalui teknologi seperti RuangGuru, Zenius, HarukaEdu, dll. Kehadiran startup yang bervariasi juga seiring mewarnai tatkala di era 2020-an, industri startup tanah air telah memiliki 1 startup bervaluasi “decacorn”, 5 “unicorn”, dan 27 startup berlabel “centaur”.

Di awal 2020, ekosistem startup Indonesia turut terkena dampak pandemi Covid-19. Tantangan yang dihadapi beragam. Tak sedikit beberapa startup menutup layanan atau pivot. Namun banyak pula startup yang berhasil beradaptasi menemukan peluang baru atau bahkan memperoleh kemajuan di tengah situasi ekonomi yang serba tidak pasti.

Keperluan langkah transformasi digital kian esensial sejak pandemi bergulir. Sebagai inovator di bidang teknologi, startup lokal mampu membawa langkah digitalisasi kepada berbagai jenis usaha di berbagai sektor ekonomi. Seperti kolaborasi yang dilakukan oleh Gojek dan Tokopedia yang menghasilkan GoTo, dengan salah satu entitas grupnya yakni, GoTo Financial yang membantu para pelaku bisnis UMKM beradaptasi dan bertumbuh melalui layanan pembayaran dan solusi bisnis digital.

Seperti apa satu dekade berikutnya?

Selain industri e-commerce, on-demand services, dan juga fintech yang bakal terus melejit, solusi teknologi untuk beberapa bidang lain memiliki potensi menarik yang patut diperhitungkan.

Education Technology (EdTech) memiliki potensi pertumbuhan yang menjanjikan, tatkala pandemi menjadi momentum akselerasi bisnis EdTech. DSResearch melaporkan, ekosistem EdTech di Indonesia sudah dilengkapi oleh puluhan lebih startup yang menawarkan berbagai layanan mulai dari platform e-learning, direktori, SaaS, sampai fintech dengan spesialisasi pendanaan pendidikan. Di samping itu, PropTech (property technology) juga memiliki kesempatan yang sama yang kini telah diisi oleh berbagai startup yang fokus melayani solusi properti mulai dari jual-beli, sampai investasi.

InsurTech (Insurance Technology) turut memiliki kans yang besar di dekade mendatang. Laporan DSInnovate sempat mengemukakan, ukuran pasar bisnis asuransi tanah air yang masif dengan nilai total premi tertulis secara kasar bernilai lebih dari US$ 20 miliar (tahun 2020) membuktikan lahan potensi yang bisa digarap para pemain InsurTech terbuka lebar. Hingga tulisan ini dibuat, sudah ada 14 startup InsurTech dengan model bisnis yang bervariasi.

Dengan demikian, selama satu dekade terakhir, perkembangan startup Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pun dengan adanya pandemi Covid-19 turut memacu laju startup untuk terus berinovasi dan memberikan solusi. Perjalanan sejauh ini menjadi pembuktian startup lokal mampu bertahan dan bahkan mampu menarik perhatian dunia global.

Artikel ini didukung oleh Midtrans.

GoTo Financial, Bagian dari Grup GoTo, Pulihkan Ekonomi Lewat Digitalisasi Sektor UMKM

Sejak pandemi bergulir, pemulihan ekonomi secara menyeluruh menjadi agenda nasional, terutama lewat pemberdayaan sektor UMKM. Menurut survei yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), sebanyak 87.5% UMKM Indonesia terdampak pandemi, dengan salah satu aspek yang paling terdampak yakni dari sisi pendapatan dan laba. Teknologi diyakini memiliki peran esensial dalam membantu pemulihan sektor UMKM. Penerapan transformasi digital yang menyeluruh, bagi para pelaku bisnis UMKM tidak hanya menjadi fokus pemerintah, tapi juga sektor swasta seperti GoTo Financial.

GoTo Financial merupakan grup teknologi bagian dari GoTo, yang memiliki layanan untuk mendukung aktivitas keuangan masyarakat melalui GoPay dan GoPaylater, serta menyediakan solusi bisnis untuk pelaku usaha mulai dari UMKM sampai dengan perusahaan besar. Solusi bisnis ini meliputi Midtrans (payment gateway terkemuka), Moka dan GoBiz Plus (jaringan point of sales terbesar di Indonesia), hingga platform GoBiz dan Selly yang dapat meningkatkan efisiensi usaha online.

GoTo Financial mendorong pengadopsian teknologi lewat pembayaran dan solusi digital bagi mitra usahanya. Selain membantu pelaku UMKM untuk dapat menerima pembayaran di ranah online, melalui salah satu produk bisnisnya yakni Midtrans, GoTo Financial juga mendorong pertumbuhan optimal bagi berbagai macam lini usaha, mulai dari kecantikan, kriya, fesyen, jasa bengkel, hingga pedagang eceran.

Kisah Batik Nayara bertahan di pandemi lewat transformasi digital

Sebelum pandemi tiba, Batik Nayara merupakan salah satu pelaku bisnis UMKM yang bergerak di bisnis ritel. Tatkala pandemi menerjang, usaha yang digawangi oleh Andrina merasakan dampak negatif yang berpengaruh pada omzet dan juga laba. Namun, di balik kesulitan yang ada, Andrina dan segenap tim mencoba mencari peluang melalui pengadopsian teknologi dengan melakukan inovasi produk. Selain itu, Andrina juga mengaktivasi dan menggencarkan kanal penjualan online melalui website, yang diperkuat dengan sistem payment gateway dari Midtrans yang merupakan bagian dari GoTo Financial.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini adalah berusaha tetap kompetitif dan inovatif dalam berkarya sesuai dengan kebutuhan market, salah satunya dengan adaptasi ke era digital. Selain berinovasi dengan lini produk kami dengan membuat homewear hingga APD, kami juga bekerja sama dengan Midtrans sebagai payment gateway untuk mempermudah proses pembayaran konsumen di website,” ujar Andrina.

Midtrans menyediakan layanan pemrosesan pembayaran online agar pelaku usaha dapat menerima lebih dari 20 jenis pembayaran non-tunai. Fitur lain yang tak kalah menarik dari Midtrans yakni ‘Payment Link’ juga disediakan untuk membantu online seller dan juga toko offline membuka fasilitas pembayaran non-tunai yang bisa dilakukan via aplikasi pesan instan maupun email.

Andrina menambahkan, sejak bergabung bersama Midtrans di masa pandemi, omzet Batik Nayara justru meningkat hingga 10 kali lipat, dengan fokus perusahaan yang juga terjaga tatkala solusi pembayaran digital diakuinya mampu memangkas tingkat efisiensi operasional.

“Dengan kemudahan pembayaran pada website online Nayara yang sudah menggunakan teknologi dari Midtrans, konfirmasi pembayaran dapat dilakukan secara otomatis sehingga tim Nayara dapat lebih fokus pada penyusunan strategi bisnis jangka panjang untuk mendorong penjualan di masa pandemi,” tambahnya.

Riset LD-FEB UI: GoTo Financial dukung pemulihan ekonomi dan inklusi keuangan

Dalam riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD-FEB UI) yang berjudul “Peran GoTo Financial terhadap Inklusi Keuangan Indonesia Tahun 2021”, platform GoTo Financial dianggap mampu memberikan dukungan akselerasi pemulihan ekonomi melalui layanan keuangan dan solusi bisnis yang komprehensif. Selain itu, Riset LD-FEB UI juga mengemukakan beberapa temuan menarik terkait peran GoTo Finansial dalam menjadi gerbang akselerasi inklusi keuangan, terutama dalam mendukung pemulihan ekonomi.

Riset LD-FEB UI juga mengemukakan temuan terkait peran GoTo Finansial dalam menjadi gerbang akselerasi inklusi keuangan. Selain itu, riset juga menjabarkan dampak ekosistem GoTo Financial secara keseluruhan dalam membantu UMKM untuk tidak hanya bertahan, namun juga meraih pertumbuhan saat pandemi. Ini termasuk peningkatan omzet dan juga peningkatan efisiensi operasional.

Omzet mitra UMKM GoTo Financial di akhir tahun ini diperkirakan akan meningkat 37%. Peningkatan pendapatan ini membuat tersebut membuat kontribusi ekonomi ekosistem digital Gojek dan GoTo Financial diperkirakan menjadi 1,6% dari PDB Indonesia, atau sekitar Rp 249 triliun di tahun 2021.

Ekosistem GoTo Financial yang terdiri dari berbagai macam produk dan layanan, seperti; GoPay, GoPayLater, Gobiz Plus, GoStore, Midtrans, Moka, Selly, dan juga Mapan. Dalam riset tersebut, mayoritas pelaku UMKM (60%) menggunakan GoPay sebagai metode layanan pembayaran digital pertama yang digunakan di bisnisnya. Selain itu, hampir setengah (49%) merchant UMKM mengaku bahwa platform GoTo Financial menjadi platform digital yang pertama kali mereka adaptasi untuk menjalankan usahanya secara online.

Pandemi juga mengakibatkan pergeseran interaksi dan juga pola perilaku belanja masyarakat. Kondisi itu kian menegaskan transformasi digital penting adanya – terutama bagi pebisnis pemula. dikatakan, 3 dari 10 merchant GoTo Financial merupakan pebisnis pemula yang justru baru memulai usaha saat pandemi tiba. Riset tersebut juga membuktikan bahwa 4 dari 5 mitra UMKM GoTo Financial justru terdorong melakukan ekspansi usaha setelah menggunakan layanan GoTo Financial, meski situasi dan iklim ekonomi masih rentan dengan ketidakpastian.

Digitalisasi masih disepakati menjadi kunci utama dalam membantu pertumbuhan sektor UMKM. Dalam hal ini, inovasi dari entitas teknologi seperti GoTo Financial juga berperan penting dalam mewujudkan perekonomian bangsa yang kian kokoh, salah satunya lewat digitalisasi sektor UMKM. Tidak hanya berhenti di sini, menarik untuk dinanti inovasi lain dari berbagai pemain di industri teknologi yang harapannya juga dapat mempercepat pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.

Artikel ini didukung oleh Midtrans.

Bagaimana Payment Gateway Bantu Bisnis Lokal Bertahan

Pandemi yang masih berlangsung, ditambah dengan penerapan aturan PPKM, membuat seluruh lini bisnis harus lebih sigap meresponsnya dengan menyusun strategi agar dapat bertahan lebih lama. Memanfaatkan layanan digital pun menjadi jawaban termutlak yang perlu diambil pelaku bisnis.

Bagi korporasi, migrasi ke digital bukanlah hal yang sulit karena sudah memiliki sumber daya yang dapat membantu prosesnya lebih cepat. Beda halnya buat UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi negara, dengan segala keterbatasannya merekalah yang paling membutuhkan bantuan solusi teknologi.

Salah satu aspek penting yang dibutuhkan untuk bisnis dapat bertahan adalah memanfaatkan payment gateway. Midtrans adalah salah satu pemain di sektor ini yang ingin berbagi rangkaian inovasi solusi pembayaran yang mereka kembangkan semenjak pandemi.

Berkaitan dengan itu, sesi #SelasaStartup kali ini mengundang Head of Marketing Midtrans Rezki J. Warni dan Chief of Business & Operational Gramedia Digital George M. Souisa sebagai pembicaranya. Berikut rangkumannya:

Adaptif terhadap kebutuhan pasar

Rezki menyadari bahwa tantangan terbesar untuk transformasi digital adalah mengubah kebiasaan. Pandemi memaksa semua pihak, baik itu perusahaan maupun konsumen, untuk mengadopsi produk digital.

“Tantangan bagi pelaku bisnis adalah harus manuver dengan cepat, namun tetap efisien dari sisi development dan hemat pengeluaran. Kita lihat ada potensi yang bisa dilakukan Midtrans untuk bantu itu,” ucapnya.

Satu inovasi yang dirilis Midtrans sejak pandemi adalah Payment Link. Ini adalah link sederhana yang bisa pelaku bisnis buat melalui web dashboard atau aplikasi mobile, lalu dibagikan kepada para pelanggan melalui kanal apa pun, termasuk WhatsApp, media sosial, SMS, juga email. Payment Link menyediakan 24 pilihan metode pembayaran, mulai dari kartu debit, kartu kredit, e-money, virtual account, dan direct debit.

Tia, panggilan akrab Rezki, melanjutkan bahwa Payment Link merupakan solusi untuk semua skala bisnis karena cara penggunaannya yang sangat simpel. Buat skala UMKM, layanan tersebut merupakan solusi yang tepat karena tidak membutuhkan upaya ekstra untuk pengembangannya, apalagi mereka yang tidak memiliki tim IT.

“Keinginan kita adalah membuat ekosistem yang inklusif untuk semua orang karena teknologi itu enggak bisa dinikmati oleh segelintir saja, seharunya memudahkan pelaku bisnis dan ujung-ujungnya konsumen [yang menikmatinya].”

Kini, pengguna Payment Link naik sebanyak 105% sepanjang Juni 2020-Juni 2021. Dalam periode yang sama, transaksi juga meningkat hingga 20%. Tiga kategori merchant yang banyak menggunakan fitur ini adalah ritel, groceries, dan fesyen, yang mayoritas dari mereka memiliki gerai fisik.

Perkembangan inovasi baru tentunya perlu dibarengi dengan edukasi secara rutin. Tia menjelaskan dalam grup Gojek telah melakukan banyak inisiasi edukasi agar semakin banyak pelaku usaha yang ter-update dengan perkembangan terkini.

Salah satu yang saat ini masih dilakukan adalah Kamus (Akademi Mitra Usaha by Gojek) yang dijadikan sebagai wadah komunitas dan komunikasi. Di dalamnya terdapat sejumlah inisiatif, seperti Komunitas Partner GoFood, A Cup of Moka, Bincang Biznis, dan Temu Midtrans. Masing-masing dari mereka memiliki target pengguna yang berbeda-beda.

Dampak penerapan solusi pembayaran digital

Chief of Business & Operational Gramedia Digital George M. Souisa mengatakan, Gramedia Digital dirintis sejak 2015 untuk menjawab tantangan di dunia percetakan yang semakin dihadapkan dengan dunia digital. Pandemi menjadi pembuktian bahwa akselerasi digital adalah hal yang mutlak dan perlu digalakkan untuk strategi ke depannya.

“Karena kita sudah siap sejak empat tahun lalu [mendirikan Gramedia Digital], kita selalu mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan digital dan selalu adaptif agar tetap relevan,” kata Alvin, panggilan akrab dari George.

Gramedia Digital adalah salah satu pengguna solusi payment gateway dari Midtrans. Alvin mengaku banyak peningkatan bisnis yang turut dirasakan. Misalnya, perusahaan tidak perlu mengecek satu per satu setiap pembayaran yang masuk, dari sisi konsumen pun jadi lebih leluasa memilih opsi pembayaran yang sudah tersedia di Midtrans.

“Secara operasional, sudah tidak butuh karyawan khusus untuk menangani pembayaran lewat kanal digital. Setidaknya butuh satu tenaga admin untuk membuat invoice dan sebagainya.”

Di Gramedia Digital metode pembayaran yang paling populer adalah transfer bank. Kondisi tersebut berbeda dengan pembelian e-book, lebih populer e-money. Bila ditelusuri secara mendalam, perbedaan ini didasari oleh target konsumen yang berbeda antara pembeli di Gramedia Digital dan e-book. Pembeli e-book cenderung berasal dari generasi muda.

Tak hanya solusi gerbang pembayaran dari Midtrans, Gramedia Digital juga memanfaatkan solusi Selly yang juga ditenagai dengan Midtrans untuk kebutuhan solusi pembayaran di gerai Gramedia. Alvin mengaku Selly telah digunakan untuk di tujuh gerai Gramedia, ke depannya akan diperluas ke lebih banyak gerai Gramedia.

Selly adalah layanan spesifik di bawah ekosistem Gojek untuk UMKM mengelola logistik, operasional, hingga pembayaran dalam smartphone. Selly diperuntukkan buat social seller yang banyak memanfaatkan WhatsApp sebagai kanal penjualannya.

Alvin mengaku dengan penerapan teknologi pembayaran digital, mampu mengerek penjualan di Gramedia Digital sebesar 80% secara year on year. Pada tahun ini, perusahaan sedang mengembangkan platformnya untuk menjadi marketplace.

“Kita sedang mempersiapkan diri lebih jauh ke depannya, dibantu dengan pemain payment gateway untuk mempermudah bisnis kita dengan memanfaatkan teknologi. Kita sedang develop untuk menjadi marketplace pada tahun ini,” pungkasnya.

Meninjau Peran Teknologi Payment Gateway Dalam Mendorong Donasi Digital Bagi Lembaga Nirlaba

Teknologi pembayaran digital (payment gateway) menjadi salah satu teknologi yang paling cepat mengakselerasi perubahan dalam masyarakat. Tak hanya untuk keperluan transaksi niaga, teknologi payment gateway kini juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan filantropi, seperti galang dana dan berdonasi, menjadi lebih efisien bagi lembaga nirlaba dan donatur. Hal ini dibuktikan oleh payment gateway  Midtrans yang menyediakan teknologi pemrosesan berbagai metode pembayaran di situs online bagi berbagai mitra, mulai dari startup, UMKM, usaha besar, hingga lembaga nirlaba seperti Yayasan Yatim Mandiri (YYM).

Beberapa waktu ke belakang, bagi YYM, menjalankan kegiatan galang dana menjadi hal yang cukup menantang tatkala berhadapan dengan langkah-langkah konvensional. Yayasan yang berfokus pada pendidikan dan pemberdayaan yatim dan dhuafa ini mulanya melakukan fundraising dari pintu ke pintu, verifikasi donasi yang dilakukan secara manual, hingga pendataan donatur yang kurang maksimal. Tantangan ini kemudian terjawab ketika YYM memutuskan menggunakan teknologi payment gateway untuk mendigitalisasi proses galang dana donasi.

“Dulu kami hanya bergerak di bidang fundraising yang konvensional, dengan menerjunkan konsultan zakat yang datang dari kantor ke kantor. Tapi sekarang semakin berkembangnya waktu dan teknologi, kami bisa meng-upgrade layanan dan tawaran kami melalui platform digital,” ujar Dian Muldianti, tim Digital Fundraising YYM.

Bagi YYM, payment gateway bisa menjawab tantangan yang selama ini belum terpecahkan

YYM bermitra dengan Midtrans mentransformasi ekosistem donasi. Upaya penggalangan dana YYM ditingkatkan oleh Midtrans yang membawa beragam solusi digital seperti misalnya; proses verifikasi dan pendataan donatur yang mampu diotomatisasi, kemudahan fasilitas lewat berbagai pilihan metode pembayaran online, hingga memaksimalkan penerimaan nilai donasi dengan gratis biaya transaksi lewat dengan GoPay dan QRIS. Selain itu, efisiensi operasional yayasan juga terbantu berkat teknologi yang ditawarkan oleh Midtrans.

Dalam kemitraan tersebut YYM mengaku, nilai donasi digital yang disalurkan ke pihaknya melalui kanal daring website meningkat hingga 12 kali sejak menggunakan Midtrans dalam 6 bulan terakhir. Hal itu sejalan pula dengan laporan yang dirilis oleh GoPay dan Kopernik yang bertajuk “Digital Donation Outlook 2020” yang menyimpulkan keberadaan donasi digital berhasil mendorong masyarakat untuk semakin rajin berdonasi. Dukungan publik yang disalurkan lewat donasi memungkinkan YYM menyediakan pemberdayaan bagi penerima manfaat, termasuk dalam bentuk beasiswa dan lembaga pendidikan lewat 46 cabang organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Meningkatnya donasi digital yang digalang oleh YYM bukan tanpa sebab. Dalam laporan Digital Donation Outlook juga dikatakan, donasi digital berkembang akibat dipicu oleh berbagai faktor kemudahan yang didukung oleh teknologi. 47 persen responden mengatakan memilih berdonasi digital pada inisiatif yang menyediakan pembayaran digital. Namun bukan berarti edukasi perihal donasi digital selesai sampai di situ saja. Studi mengungkapkan masih diperlukan adanya edukasi mumpuni yang menyeluruh dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu selain edukasi dasar mengenai donasi digital, diperlukan pula mengkomunikasikan transparansi proses donasi, dan kredibilitas organisasi untuk meningkatkan kepercayaan publik.

“Kemudahan teknologi semakin memudahkan kami sebagai lembaga non-profit untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat lebih mudah berbagi di manapun dan kapanpun. Ini penting, karena saat ini masyarakat semakin tech-savvy, sehingga kami dapat lebih mudah menjangkau mereka yang ingin berbagi atau berderma lewat kanal digital,” papar Dian.

Pernyataan di atas tentu semakin menguatkan peran teknologi dalam upaya penggalangan dana untuk kebutuhan sosial. Donasi digital diketahui telah berhasil merangkul semua kelompok usia berikut dengan keragaman demografis dan profesi di masyarakat. Dengan angka dan grafik yang justru semakin bertumbuh – meski di tengah situasi ketidakpastian ekonomi – sangat menarik menantikan kiprah berbagai penyedia layanan teknologi Midtrans selanjutnya di ranah filantropi di waktu mendatang.

Mendigitalisasi UMKM Indonesia Lewat Kolaborasi Perusahaan Teknologi Global dan Lokal

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis industri usaha kecil dan menengah (UMKM), adopsi perkembangan teknologi menjadi krusial, terlebih di tengah situasi pandemi saat ini. Di satu sisi, ketidakpastian ekonomi bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan usaha, namun di sisi lain, situasi ini justru bisa dikonversi menjadi peluang yang menguntungkan – tak hanya bagi pelaku usaha, namun juga bagi pemain industri teknologi.

Hal di atas setidaknya bisa dibuktikan lewat semakin banyaknya pelaku bisnis UMKM saat ini, yang mulai menyadari pentingnya upaya digitalisasi bisnis. Contohnya saja, beberapa bulan lalu salah satu perusahaan teknologi tanah air ternama, Gojek merilis temuan menarik soal bagaimana pandemi mengubah perilaku dan peta bisnis industri UMKM, di mana antusiasme para pengusaha untuk melakukan transformasi digital diketahui sangat tinggi, hingga mencapai angka di 3.000 lebih bisnis yang mendaftar sebagai merchant Gojek dalam satu hari.

Temuan itu sebetulnya bisa saja menarik kesimpulan bahwa upaya mendigitalisasi UMKM Indonesia telah berada di jalur yang tepat, hanya saja tentu upaya ini juga ditentukan oleh berbagai aspek yang lebih kompleks dari sekedar terdaftar sebagai mitra-mitra di perusahaan penyedia layanan teknologi. Berbagai aspek itu juga dapat menjadi tantangan bagi para pengusaha, dan tantangan itu pula yang akhirnya kini tengah digarap oleh para perusahaan teknologi untuk melahirkan solusi yang inovatif dan efektif. Salah satu kunci untuk memuluskan upaya tersebut adalah dengan berkolaborasi.

Tak jarang, menjalin kolaborasi – terlebih dengan pemain global – memberikan beberapa dampak positif. Selain mampu mengakselerasi bisnis dengan skala yang lebih luas, para pemain global dinilai memiliki pengalaman yang lebih dahulu, terlebih pada pengalaman meramu strategi mengkonversi bisnis konvensional menuju ke bisnis digital. Hal itu seperti yang dilakukan oleh perusahaan penyedia layanan online payment gateway terkemuka, Midtrans yang menjalin kolaborasi bersama salah satu penyedia solusi teknologi cloud berskala global yakni Amazon Web Services (AWS). Kolaborasi antar keduanya melahirkan “Pojok Usaha”, sebuah platform yang memungkinkan para pelaku bisnis UMKM di Indonesia untuk melakukan transformasi digital secara mudah.

Pojok Usaha menawarkan beragam solusi dalam mendigitalisasi operasional bisnis UMKM. Selain menawarkan kemudahan pemrosesan pembayaran lewat Midtrans, Pojok Usaha memungkinkan UMKM terhubung dengan layanan yang terdapat dalam ekosistem Gojek seperti misalnya dengan Moka yang melayani kebutuhan point-of-sales berbasis cloud, GoBiz, Selly (aplikasi keyboard pintar untuk pebisnis online), hingga layanan pengantaran barang, GoSend. Sejumlah layanan lain yang berfokus pada solusi teknologi cloud bagi pebisnis dari AWS juga disematkan dalam platform Pojok Usaha.

Kolaborasi antara Midtrans dengan AWS jelas menegaskan kesimpulan di awal, bahwa untuk menghasilkan satu solusi terbaik, seringkali dibutuhkan kolaborasi yang apik. Antara Midtrans dan AWS, keduanya sama-sama menjalankan bisnis berbasis solusi yang saling mendukung antar satu sama lain, demi menciptakan iklim bisnis kecil dan menengah di Indonesia yang semakin siap menghadapi tantangan global.

Dalam inisiatif Pojok Usaha, AWS yang bergerak sebagai penyedia layanan teknologi cloud siap mewadahi elemen-elemen esensial dalam menjalankan bisnis digital seperti menyediakan layanan infrastruktur virtual dan lain sejenisnya. Di sisi lain, peran Midtrans mampu menyempurnakan infrastruktur yang sudah berdiri untuk diisi dengan berbagai layanan yang berada di dalam ekosistem Midtrans dan Gojek.

Kemitraan antar keduanya dipicu oleh kesamaan visi dan misi dalam menumbuhkan industri usaha kecil dan menengah lewat solusi teknologi. Baik Midtrans dan AWS, keduanya sepakat memiliki komitmen untuk memberikan dukungannya terhadap berbagai usaha di setiap lini dan skala usaha.

Dengan target sedemikian rupa, semestinya bukan hal yang sulit bagi kolaborasi ini untuk mencapai atau bahkan melebihi target yang diharapkan. Terlebih, respon positif pun diperoleh dari beberapa mitra yang telah tergabung. Seperti yang sempat diutarakan oleh Bernardinus Siena selaku pemilik bisnis Box & Tale, yang merupakan salah satu mitra Midtrans yang berhasil mengakselerasi transformasi digitalnya bersama Midtrans.

Dalam sebuah kesempatan Bernard mengaku, krisis pandemi mendorong bisnisnya agar semakin mengoptimalkan teknologi untuk dapat menjangkau para pelanggan di tengah pembatasan interaksi sosial. Ia pun mengungkapkan, optimasi yang dilakukannya bersama dengan Midtrans membuahkan layanan yang prima di ranah digital.

“Kami bergabung dengan Midtrans bertepatan dengan mulainya pandemi, sehingga ketika pandemi datang website kami sudah bisa menyediakan fitur pembayaran secara digital dan menerima lebih banyak lagi customer,” ungkap Bernard.

Bernard menambahkan, dirinya berharap industri UMKM betul-betul mampu memiliki daya saing yang mumpuni dengan mengadopsi peran teknologi ke dalam esensi bisnisnya, untuk dapat beradaptasi di era saat ini.

“Box & Tale bersyukur karena memang dari awal kami sudah mengarahkan usaha kado ini berbasis online. Tapi kami paham untuk usaha lain yang tidak bersifat online pastinya akan kesulitan untuk beradaptasi di era yang baru ini. Karena itu, kami sangat mendukung usaha-usaha lain untuk mendigitalisasikan usaha mereka melalui banyaknya platform yang tersedia,” tambahnya.

AWS dan Midtrans Berkolaborasi Melahirkan Pojok Usaha, Dorong UKM Mengadopsi Teknologi Cloud

Amazon Web Service, Inc. (AWS) dan Midtrans sepakat melakukan kolaborasi bisnis yang kemudian melahirkan sebuah platform baru, Pojok Usaha. Platform baru ini dirancang untuk menyederhanakan penggunaan teknologi oleh pelaku bisnis kecil dan menengah di Indonesia.

Continue reading AWS dan Midtrans Berkolaborasi Melahirkan Pojok Usaha, Dorong UKM Mengadopsi Teknologi Cloud

Fintech Talks: Behind The Notion of “Fintech is Boring”

Talking of fintech (financial technology) industry in Indonesia, one thing that comes to mind will be its booming popularity. If you visit our website as of March 8th, 2021, the industry’s latest news is dominating the front page, including but not limited to (another) fresh funding, business update announcement from the government-owned e-money, the milestone of a P2P lending player, and editorial signature opinion on the fintech business for payment transactions.

The existence of the fintech industry in Indonesia is said to be crucial in supporting the digital startup ecosystem acceleration. The role is considered to support startup players, from facilitating payment services, converting cash to non-cash transactions, and unlocking financial access for unbanked societies in Indonesia. The significant role has created a chunk of potential for the fintech industry.

Behind every theory, there must be an anti-theory. It also applies in the fintech industry. Behind its notion of disruptive power and meteoric growth, there is an assumption that “fintech is boring”.

DailySocial.id, through DSResearch, released the annual report about the fintech industry in Indonesia at the end of last year. Stated in the report, facts of extraordinary positive achievements by fintech companies amid economic uncertainty during the pandemic. However, how come people still thought fintech is boring? What kind of factors are in play behind this assumption?

In a casual discussion at the currently-popular app, Clubhouse, we invited well-known startup founders and investors, including Ryu Suliawan (Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder), Antonny Liem (GDP Venture‘s Investment Partner ), Alfatih Timur (Kitabisa’s Co-Founder & CEO), Pamitra Wineka (TaniHub’s Co-Founder & President), and Aria Rajasa Masna (KaryaKarsa’s CTO) to explain the answer to these questions.

fintech-is-boring-clubhouse

“If we look at the system, regulations, and so on, it is only natural that fintech is considered boring because that is fintech. There are processes that tend to be tedious behind their roles which make it easier for startups and the market,” Liem said as he began the discussion.

From the fintech player’s perspective with experience in the payment gateways, instead of boring, Suiawan predicted that the current fintech industry will encounter a bubble moment as the finance industry is considered as a sexy business.

“In any era, when the finance industry is considered sexy, the bubble phenomenon [in the financial industry] will definitely occur and eventually explode. It has happened in the 80s, 90s, 2000s, and maybe it will also happen in this era, it [a bubble in the fintech industry] could happen soon,” he said.

The assumption does not necessarily mean that fintech is a fragile industry. The tedious process actually forms a reliable fintech industry to accelerate the digital startup ecosystem in Indonesia.

Aria said that the availability of fintech services is very much needed, even though the current business does not directly intersect with the fintech business.

“In my opinion, fintech is like infrastructure for an ecosystem. Its existence should first be built to move the industry. This is proven through KaryaKarsa. The fintech existence really helps us accelerate. For example, with the e-wallet service. Five years ago we still struggle with the manual transfer method,” Masna explained.

The above response is one of the reasons why fintech is flourishing in Indonesia. According to data compiled by the Fintech Report 2020, fintech services that serve the field of lending, both for productive and consumptive, currently have 152 players with a total loan distribution reaching 128.7 trillion Rupiah. No wonder the fintech industry is quite booming with the arrival of new players. However, what actually makes Indonesia an attractive market?

fintech-dominates-startup-fundings-indonesia

“We can start from the fact that Indonesia is one of the countries with the largest net interest margin (NIM) in the world. It is said that Indonesia’s NIM is phenomenal. I myself am not sure there isanother country with the same size that can achieve the very large NIM,” Suliawan said.

Agreed with Ryu, Pamitra Wineka, familiarly called Eka, has his own view on why fintech still holds enormous potential, even though its existence is getting saturated. As the founder of one of the leading agritech platforms, he thought the real potential area of the fintech market is far away from the downtown. As long as the infrastructure is well developed.

“We have large market potential for the fintech business, but infrastructure is the key. Currently, big players in e-wallets, such as GoPay, Ovo, LinkAja, seem to be busy competing in a small market, the big cities. Even though we know that the large market potential is in rural areas. We’ve found the fact that the area holds very large potential, but many transactions are still using cash. Therefore, it becomes potential if we can convert them to e-wallet services or similar,” he said.

Timur agreed. An important figure behind Kitabisa social platform, who is familiarly called Timmy revealed that the existence of fintech could provide a solution for the platform he founded.

“For me, fintech is important. Looking at the habit of donating which is quite driven by emotional factors than a necessity, we see that the payment issue is quite crucial. If the process is inefficient, untrusted, it can hold the benefactors. Initially, we only had a bank transfer facility with a unique code which was quite a hassle. As we implemented the e-money service, it was very helpful and the benefactors like it,” Timmy said.

Indonesia is one of the country with the largest net interest margin (NIM)  in the world. It is considered phenomenal. i myself am not sure there is other country with the same size can achieve the very large nim.

Ryu Suliawan
Gojek’s Head of Merchants & Midtrans’ Founder

By implementing fintech services, he admitted to found two interesting things. First, fintech opens up the possibility for micro-donations that drives transactions number to increase significantly. The second interesting thing, he said, is that the implementation of fintech is able to deliver a new segment of the Kitabisa platform. Electronic money services are able to invite young people to become philanthropic as the more efficient donation process.

Observing the development of fintech innovation in such a way, is it still relevant if we think fintech is boring?

“I think fintech will become boring if we only focus on building infrastructure in big cities, without focusing on developing services in villages, rural areas, and so on,” Eka explained.

Eka’s opinion serves as a warning to the fintech industry about a potential market that should be a new innovation focus.

Moreover, how should the fintech industry move forward? Both Ryu, Antonny, Aria, Timmy, and Eka agree that the future of the fintech industry depends on the support of various parties.

“In my opinion, in order to not be boring, fintech also needs support. For instance, the e-commerce industry also needed prior support from fintech, therefore, the ecosystem is getting mature. Meanwhile, in fintech, the necessary support comes from infrastructure, government regulations, and so on,” Eka concluded.

After a long discussion, I came to the conclusion that maybe fintech should be stable and be mistaken for “boring”. Fintech is infrastructure, the foundation on which many creative services of various types can focus on delivering value to their users, without busy taking care of things such as payments, consolidation, provision of capital. Also, as an infrastructure, fintech must be stable. It may seem boring at first, but to me, fintech future potential is actually wide open, very broad, and very inspiring.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian