Sedan Elektrik Mewah Lucid Air Siap Mengaspal Tahun Depan

2021 nanti, Tesla Model S bakal kedatangan rival baru yang cukup berat bernama Lucid Air. Kalau namanya kedengaran familier, itu karena Anda sudah pernah membaca beritanya sejak tahun 2016 lalu, tepatnya ketika Lucid Air masih berstatus konsep karya eks karyawan Tesla.

Sekarang, Lucid Motors sudah siap memperkenalkan versi final Air yang akan diproduksi secara massal. Dilihat dari luar maupun dalam, penampilannya ternyata tidak jauh berbeda dari sketsa versi konsepnya ataupun prototipe yang sempat dikendarai oleh YouTuber Marques Brownlee di tahun 2017.

Bicara soal dimensi, Air rupanya sedikit lebih ringkas daripada Model S. Kendati demikian, interiornya masih terkesan sangat lapang. Berhubung ini merupakan mobil elektrik, bagasinya ada di belakang sekaligus depan, dan Lucid mengklaim bagasi depan Air adalah yang paling luas di antara mobil elektrik lain.

Satu elemen desain yang cukup menarik bisa kita dapati pada penutup bagasi depannya. Tampak ada dua ventilasi udara di situ meski tidak ada mesin di baliknya. Usut punya usut, lubang ini disiapkan untuk mengalirkan udara ke arah lampu LED-nya supaya tetap dingin, sekaligus meningkatkan aerodinamika Air secara keseluruhan.

Masuk ke dalam, kita akan langsung disambut oleh dashboard yang minimalis sekaligus futuristis. Untungnya tidak seminimalis mobil-mobil terbaru Tesla, sebab kita masih bisa melihat beberapa tombol dan tuas kendali di samping dua layar besarnya.

Layar yang pertama diposisikan persis di depan pengemudi dan dibagi menjadi tiga zona yang berbeda. Zona yang paling kiri adalah satu-satunya yang tidak dibekali panel sentuh, berfungsi untuk menampilkan berbagai indikator. Zona yang tengah punya peran seperti panel instrumen tradisional, menampilkan informasi-informasi esensial macam kecepatan, sisa jarak tempuh, dan lain sebagainya.

Zona yang paling kanan, yang berada di tengah dashboard, adalah yang menampilkan informasi navigasi serta multimedia. Kalau memerlukan akses yang lebih lengkap ke sistem infotainment mobil, pengemudi atau penumpang depan bisa memanfaatkan layar kedua yang berada di konsol tengah. Layar kedua ini retractable, yang berarti ia bisa disembunyikan saat sedang tidak diperlukan, atau saat hendak mengambil barang yang tersimpan di kompartemen di baliknya.

Secara keseluruhan, saya suka dengan interior mobil ini. Dashboard-nya terkesan jauh lebih familier daripada milik Tesla Model S, tapi di saat yang sama tidak melupakan aspek-aspek yang membuatnya pantas menjadi mobil masa depan. Salah satunya adalah sistem facial recognition, yang akan mengenali wajah pengemudi pada saat mobil dinyalakan, lalu langsung menetapkan opsi-opsi pengaturan sesuai preferensinya.

Beralih ke soal performa, di sini kita bisa paham mengapa mobil ini digadang-gadang sebagai ‘pembunuh’ Tesla. Varian termahalnya, yakni Lucid Air Dream Edition yang dibanderol mulai $169.000, mengemas hanya dua motor elektrik saja, satu di depan dan satu di belakang. Meski begitu, total output daya yang sanggup dihasilkannya mencapai angka 1.080 horsepower, dan akselerasi 0 – 100 km/jam bisa dicatatkannya dengan mudah dalam waktu 2,5 detik saja.

Lucid Air bisa digeber hingga mencapai top speed 270 km/jam. Semua angka ini sesuai dengan klaim awal ketika Air masih berwujud konsep. Yang meleset adalah angka-angka seputar efisiensi dayanya. Meleset dalam artian positif, sebab mobil ini ternyata jauh lebih irit lagi daripada yang diperkirakan empat tahun silam.

Jarak tempuh paling jauh ini bisa didapat melalui varian termahal kedua, yaitu Lucid Air Grand Touring yang dihargai $139.000. Varian ini tidak seberingas Dream Edition – tapi tetap masih sangat ngebut dengan total daya sebesar 800 hp – akan tetapi jarak tempuh maksimumnya mencapai angka 832 km dalam sekali charge.

Yang lebih mengesankan lagi adalah, baterai berkapasitas 113 kWh miliknya ini bisa diisi ulang dengan sangat cepat. Saat disambungkan ke jaringan DC Fast Charging, pengisian selama 20 menit sudah cukup untuk menyuplai daya yang setara dengan jarak tempuh 482 km. Dengan kata lain, 20 menit charging sudah bisa mengisi lebih dari separuh kapasitas baterainya. Anggap saja ini SuperVOOC tapi untuk mobil.

Lucunya, charger bawaan Lucid Air juga bersifat bi-directional, yang berarti mobil ini bisa menerima sekaligus menyalurkan energi listrik. Jadi seandainya diperlukan, Lucid Air dapat berperan sebagai genset dadakan untuk menyalurkan daya ke rumah yang aliran listriknya terputus.

Lalu bagaimana dengan kemampuan berkendara otomatisnya? Secara total, Lucid Air mengemas 32 sensor, termasuk halnya sensor ultrasonik, radar, maupun LIDAR beresolusi tinggi. Dipadukan semuanya, Lucid Air mampu mewujudkan autonomous driving Level 2, setara dengan yang dicatatkan Tesla Autopilot sejauh ini. Ke depannya, Lucid optimis dapat menyuguhkan Level 3 menggunakan hardware yang sama.

Dengan harga setinggi $169.000, Lucid Air pada dasarnya sudah masuk di kelas sedan mewah seperti Mercedes-Benz seri S-Class. Memang mudah sekali membandingkan mobil ini dengan Tesla Model S, akan tetapi Lucid Motors sebenarnya ingin mobil ini bisa menarik perhatian para pemilik mobil mewah seperti Mercy S-Class.

Dalam wawancaranya bersama Bloomberg baru-baru ini, Peter Rawlinson selaku CEO Lucid Motors mengatakan bahwa Air mereka tujukan buat pemilik S-Class yang sempat tertarik dengan mobil elektrik berkat inovasi Tesla, tapi sejauh ini belum sudi meninggalkan sedan mewah kesayangannya itu sepenuhnya.

Semua itu baru bisa terjawab paling cepat kuartal kedua tahun depan, tepatnya ketika Lucid Air Dream Edition mulai mengaspal di Amerika Serikat secara resmi. Memasuki tahun 2022, Lucid berencana memperkenalkan varian termurah Air yang harganya diperkirakan berada di bawah $80.000, tentu saja dengan performa dan efisiensi yang lebih inferior.

Kejutan lain bernama Project Gravity

Dalam livestream peluncuran Lucid Air, Lucid juga sempat membocorkan sedikit tentang mobil kedua yang sedang mereka garap. Sejauh ini baru dinamai Project Gravity, SUV ini dibangun di atas platform yang sama seperti Lucid Air.

Tanpa perlu terkejut, gaya desain yang diadopsi sama minimalisnya seperti Lucid Air. Bentuknya kelihatan gagah dan menggambarkan sebuah SUV yang siap melahap segala medan, berbeda dari Tesla Model X yang sepintas lebih menyerupai crossover berkat atapnya yang melandai.

Sejauh ini belum banyak yang Lucid bagikan mengenai Project Gravity, namun mereka memastikan kabinnya cukup luas untuk menampung tujuh penumpang dewasa sekaligus. Performa dan efisiensi dayanya belum diketahui, tapi kalau boleh menebak, kemungkinan sedikit di bawah Air karena dua hal: wujud SUV yang tidak seaerodinamis sedan, dan bobot yang semestinya lebih berat.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, SUV mewah bermesin listrik ini akan terealisasikan pada tahun 2023.

Sumber: CNET dan Lucid Motors.

eBussy Adalah Mobil Elektrik Modular dengan 10 Wujud yang Berbeda

Dibandingkan mobil tradisional, mobil elektrik jauh lebih mudah diperlakukan sebagai suatu platform. Berhubung tidak perlu ada ruang khusus untuk menyimpan mesin, satu macam sasis mobil elektrik yang umumnya berbentuk seperti skateboard bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi banyak tipe. Dalam kasus yang ekstrem, satu macam sasis bahkan bisa dikemas menjadi 10 wujud mobil yang berbeda.

Kasus ekstrem itu bukanlah imajinasi pribadi saya, melainkan visi yang tengah dikejar oleh sebuah perusahaan asal Jerman bernama Electric Brands. Mereka memulai kiprahnya dengan memproduksi skuter elektrik di tahun 2018, dan sekarang tengah berfokus mewujudkan mobil bernama eBussy ini menjadi kenyataan.

Namanya merupakan singkatan dari “electric bus system“, dengan “system” sebagai kata kuncinya. eBussy hadir dalam dua varian sasis – Off-road dan City, dengan perbedaan di ground clearance – dan masing-masing dapat dikonfigurasikan secara modular menjadi 10 jenis bodi yang berbeda.

Jadi dari satu sasis yang sama, eBussy bisa disulap menjadi sebuah mobil boks, pickup, minivan, station wagon, bahkan camper lengkap dengan TV, kulkas, tangki air bersih, hingga wastafel. Hampir semua bagian eBussy modular, mulai dari interior sampai unit baterainya, yang bisa dilepas dan diganti dengan unit yang baru seandainya tidak ada waktu untuk mengisi ulang. Bahkan setir dan pedal gas beserta remnya bisa dipindah dari satu sisi ke yang lain jika memang diperlukan.

Eksterior sekaligus interior yang modular tentu membuat eBussy terkesan lapang meski sebenarnya dimensinya tergolong mungil. Tanpa modul baterai, bobotnya berkisar 450 – 600 kg, sedangkan panjangnya sendiri tidak sampai 4 meter. Terlepas dari ukurannya, eBussy siap mengangkut kargo dengan bobot maksimum 1 ton.

Urusan baterai, versi standar eBussy mengemas modul berkapasitas 10 kWh yang diestimasikan cukup untuk menempuh jarak 200 kilometer dalam sekali pengisian. Kapasitas maksimum yang bisa diusung adalah 30 kWh, dengan jarak tempuh maksimum 600 km dibantu oleh atap panel surya seperti pada varian camper-nya itu tadi.

Baterainya ini menyalurkan energi ke empat motor elektrik yang menggerakkan tiap-tiap rodanya. Output daya total yang dihasilkan memang kecil, cuma 15 kW atau sekitar 20 tenaga kuda, akan tetapi berhubung eBussy merupakan mobil elektrik, torsinya luar biasa besar: nyaris 1.000 Nm, atau setara dengan torsi supercar bermesin V12 sekalipun. Jadi walaupun larinya tidak ngebut, menggotong beban berat sama sekali bukan masalah buat eBussy.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, eBussy siap mengaspal di jalanan Eropa mulai tahun depan. Harganya dipatok mulai 15.800 euro sampai 28.800 euro pada varian termahalnya, yakni varian camper itu tadi.

Sumber: SlashGear.

Sony Siap Uji Prototipe Mobil Elektriknya di Jalanan Umum

Januari lalu, tepatnya di acara CES 2020, Sony memamerkan sebuah prototipe mobil elektrik bernama Vision-S. Kabar itu tentu sangat mengejutkan, sebab selama ini memang tidak pernah terpikirkan bagaimana perusahaan elektronik seperti Sony bisa terjun ke industri otomotif dan menjual mobil bikinannya sendiri.

Namun kenyataannya tidak serumit yang kita bayangkan. Setidaknya untuk sekarang, Sony tidak punya sedikit pun keinginan untuk memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik. Seperti yang kita tahu, Sony juga tidak sendirian dalam menggarap Vision-S. Mereka dibantu oleh Magna Steyr, perusahaan Austria yang pabrik perakitannya sudah sering digunakan oleh merek-merek kenamaan seperti Mercedes-Benz, BMW, Audi maupun Aston Martin.

Lalu apa sebenarnya tujuan Sony menciptakan Vision-S? Sebagai medium untuk mengumpulkan beragam data, dengan tujuan akhir untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang mereka buat. Ya, selain memproduksi sensor kamera untuk smartphone, Sony selama ini juga menyuplai beberapa pabrikan otomotif, meski memang pangsa pasarnya tidak terlalu besar, apalagi kalau dibandingkan dengan supplier sekelas ON Semiconductor.

Vision-S sendiri akhirnya sudah tiba di Jepang dan siap menjalani berbagai pengujian di jalanan publik menjelang akhir tahun fiskal nanti (kemungkinan di bulan September). Selain di Jepang, sedan empat pintu ini juga akan diuji di jalanan di Eropa dan Amerika Serikat. Berhubung tujuannya adalah untuk mengumpulkan data, tentu saja pengujian harus dilakukan di lebih dari satu lokasi dan meliputi iklim yang berbeda.

Vision-S tidak akan dijual. Oke, perkara ini sudah jelas. Lalu bagaimana dengan ke depannya? Apa rencana Sony setelah ini? Well, berdasarkan laporan Nikkei, Sony juga sedang mengembangkan prototipe mobil kedua yang akan dilengkapi lebih banyak sensor. Sekadar mengingatkan, Vision-S sendiri mengemas total 33 sensor di sekujur tubuhnya.

Pengujian Vision-S di jalan umum tentu bakal menghasilkan banyak insight buat Sony, dan ini pasti bakal mereka manfaatkan dalam pengembangan prototipe mobil keduanya. Mematangkan sensor-sensor ini krusial seiring tren industri otomotif yang semakin mengarah ke sistem kemudi otomatis, dan Sony percaya mereka bisa ikut memegang andil dalam bidang ini.

Satu hal yang dari dulu mengganjal di benak saya adalah, Sony sebenarnya tidak perlu sampai membangun prototipe mobilnya sendiri kalau memang tujuannya hanya sebatas memamerkan teknologi sensor otomotif yang mereka punyai. Mereka bisa saja memakai mobil paling laris yang dijual di masing-masing negara yang menjadi lokasi pengujian, lalu menyematkan deretan sensor bikinannya ke mobil tersebut.

Namun kenyataannya tidak demikian. Sony dengan serius menciptakan prototipe mobil elektriknya sendiri, dan sekarang, mereka malah punya niatan merancang prototipe mobil kedua. Semoga saja ke depannya ada pabrikan yang bisa bernegosiasi dengan Sony dan akhirnya mewujudkan visi Sony ini menjadi tunggangan yang bisa dinikmati oleh konsumen secara luas.

Sumber: Nikkei.

Ford Pamerkan Mustang Mach-E 1400, Prototipe Mobil Elektrik Bertenaga 1.400 Hp

November tahun lalu, Ford menyingkap mobil elektrik perdananya, Mustang Mach-E. Kalau semuanya sesuai rencana, mobil tersebut bakal mulai mengaspal di akhir tahun ini. Namun sebelum itu terealisasi, Ford ingin lebih dulu menunjukkan segila apa sebenarnya performa mobil elektrik yang bisa kita ekspektasikan dari mereka.

Dari situ terlahir prototipe mobil elektrik yang benar-benar tidak mau berkompromi soal performa. Namanya Mustang Mach-E 1400, dan seperti yang sudah bisa ditebak dari namanya, angka tersebut merujuk pada total output tenaga yang dapat dihasilkannya: 1.400 tenaga kuda. Wujudnya tentu mirip seperti Mach-E standar, hanya saja dengan sederet body kit yang telah dipasangkan ke sana-sini.

Ford tidak sendirian selama menggarap Mach-E 1400, mereka ditemani oleh para ahli dari rumah modifikasi RTR Vehicles. Inspirasi mereka terpusat pada Mustang Cobra Jet 1400, prototipe mobil elektrik yang dikhususkan untuk melahap sirkuit drag race. Meski demikian, Mach-E rupanya tidak hanya jago di trek lurus saja. Ia juga siap diajak nge-drift secara ekstrem.

Ford tidak membeberkan data-data performa pada umumnya seperti akselerasi maupun top speed, akan tetapi spoiler belakangnya yang begitu masif pada dasarnya merupakan pertanda bahwa mobil ini bisa terbang seandainya output tenaganya tidak diimbangi oleh downforce yang tinggi. Ford mengklaim downforce-nya bisa menembus angka 1 ton di kecepatan 250 km/jam.

Tenaga 1.400 horsepower itu datang dari tujuh buah motor elektrik. Tiga dipasangkan di depan, empat sisanya menggerakkan roda belakang, dan mobil ini dapat dikonfigurasikan sebagai kendaraan FWD, RWD, maupun AWD. Jangan tanya soal jarak tempuhnya dalam sekali pengisian, sebab mobil ini jelas tidak dimaksudkan untuk berkendara jauh.

Pada kenyataannya, kapasitas baterai Mach-E 1400 cuma tercatat di angka 56,8 kWh. Sel baterainya terbentuk dari bahan nikel, mangan, dan kobalt, dan tujuannya adalah supaya baterai dapat menyalurkan sekaligus menerima energi yang begitu besar dalam waktu singkat.

Kepada Road and Track, perwakilan Ford bilang bahwa baterainya ini mereka rancang supaya bisa bertahan selama satu jam kebut-kebutan, lalu di-charge selama satu jam, dan kembali menyuplai daya selama satu jam, begitu seterusnya. Mekanisme pendingin tak lupa Ford sematkan agar baterainya tidak kepanasan saat di-charge, dan Ford mengklaim charging selama kurang dari satu jam sudah cukup untuk mengisi 80% kapasitasnya.

Seperti yang saya bilang, Ford menciptakan Mach-E 1400 murni untuk menunjukkan performa ekstrem yang dapat dihasilkan oleh sebuah mobil elektrik. Mereka juga berencana untuk mendemonstrasikannya lebih lanjut pada sebuah ajang balapan Nascar. Semoga saja mereka juga berkenan meminjamkannya kepada Top Gear untuk diadu melawan Volkswagen I.D. R.

Sumber: The Drive dan Ford.

Baterai Mobil Elektrik Generasi Baru Punya Masa Hidup Lebih Lama

Seperti di smartphone, baterai lithium mobil elektrik juga punya umur atau masa hidup. Kalau di smartphone hitungannya adalah beberapa ratus charge cycle, di mobil elektrik hitungannya adalah sekitar 150.000 kilometer atau 8 tahun. Lewat masa hidupnya tersebut, maka kapasitas baterai bakal menurun drastis dibanding saat baterai baru saja diproduksi.

Mengganti baterai bukanlah perkara besar di ranah smartphone, tapi di bidang otomotif, baterai merupakan salah satu komponen termahal dari suatu mobil elektrik. Bayangkan Anda hendak menjual mobil elektrik Anda yang sudah menempuh lebih dari 150.000 km, harganya otomatis bakal sangat anjlok karena baterainya sudah tidak lagi ter-cover garansi dan harus diganti dengan yang baru supaya performa mobil tetap efisien.

Masalah umur baterai inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan utama mengapa konsumen masih enggan melirik mobil elektrik. Bagi sebagian orang, mobil ibarat sebuah investasi jangka panjang, dan saya yakin 8 tahun bakal terasa sangat kurang.

Belum diketahui kapan Tesla bakal mengadopsi baterai generasi baru ini / Tesla
Belum diketahui kapan Tesla bakal mengadopsi baterai generasi baru ini / Tesla

Kabar baiknya, baterai mobil elektrik generasi baru sudah siap untuk diproduksi secara massal. Baterai generasi baru ini diklaim punya masa hidup sampai 16 tahun, atau sampai mobil menempuh jarak total sejauh 2 juta kilometer.

Perlu dicatat bahwa angka 2 juta kilometer ini bukanlah jarak tempuh per charge, melainkan jarak tempuh total yang bisa dicatatkan sampai akhirnya efisiensi baterai jadi berkurang drastis.

Baterai generasi baru ini dikembangkan oleh Contemporary Amperex Technology (CATL), produsen baterai asal Tiongkok yang belum lama ini berhasil mengikat kontrak dengan Tesla, mengungguli Panasonic maupun LG Chem (supplier Tesla sebelumnya). Kepada Bloomberg, Zeng Yuqun selaku founder CATL bilang bahwa tahap produksinya siap dilangsungkan begitu ada pabrikan yang memesan.

Terkait ongkos produksinya, Zeng mengklaim ongkosnya hanya sekitar 10% lebih mahal daripada yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai generasi sekarang. Sejauh ini belum ada informasi apakah sudah ada pabrikan mobil yang memesan baterai generasi baru ini.

Sumber: Bloomberg.

Pangsa Pasar Hyundai Kini Lebih Besar di Segmen Mobil Elektrik daripada Mobil Konvensional

Hyundai bukanlah nama pertama yang muncul di benak saya saat membicarakan tentang mobil elektrik. Namun siapa yang menyangka kalau pabrikan asal Korea Selatan itu sekarang berhasil menempatkan dirinya sebagai produsen mobil elektrik terbesar nomor empat setelah Tesla, Nissan, dan Volkswagen.

Lebih menarik lagi, Hyundai (plus anak perusahaannya, Kia) kini punya pangsa pasar yang lebih besar di segmen mobil elektrik ketimbang mobil konvensional. Lembaga riset industri otomotif MarkLines (via Business Korea) melaporkan penjualan mobil elektrik secara global sebanyak 290.436 unit selama periode kuartal pertama 2020, dan 9,9 persennya (28.796 unit) berasal dari Hyundai-Kia.

Dalam periode yang sama, Hyundai-Kia mencatatkan pangsa pasar sebesar 8,9% di segmen mobil konvensional. Kemungkinan besar penjualannya memang menurun selama pandemi, akan tetapi kita juga harus ingat bahwa situasinya juga sama tidak mendukungnya buat segmen mobil elektrik.

Dilihat dari perspektif lain, pertumbuhan penjualan mobil elektrik Hyundai-Kia memang sangat pesat. Di saat penjualan mobil elektrik secara global naik sebesar 4,28 kali lipat dibanding empat tahun lalu, penjualan Hyundai-Kia justru naik 20 kali lipat lebih. Yang tadinya duduk di posisi belasan dalam ranking produsen mobil elektrik terbesar dunia kini sudah melompat ke posisi keempat.

Tahun depan, penjualan mobil elektrik Hyundai-Kia diprediksi bakal menembus angka 30.000 unit. Hyundai kabarnya juga tengah bersiap untuk meluncurkan mobil elektrik generasi baru yang dibangun menggunakan platform anyar khusus mobil elektrik. Penggunaan platform baru ini dipercaya bisa meningkatkan kapasitas baterai sekaligus jarak tempuh mobil ketimbang sebatas menukar mesin bensin dengan motor elektrik dan baterai seperti sekarang.

Sumber: Electrek.

Dyson Ungkap Prototipe Mobil Elektriknya yang Batal Diproduksi

Industri otomotif sempat dibuat geger di tahun 2017 saat Dyson mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan mobil elektrik. Selang dua tahun kemudian, produsen perangkat elektronik asal Inggris itu kembali menjadi bahan pembicaraan setelah mengumumkan pembatalan proyek mobil elektriknya.

Sekarang akhirnya kita tahu kenapa Dyson batal merealisasikan calon pesaing Tesla-nya. Kepada The Times, James Dyson selaku pendiri perusahaan membeberkan semua detail mengenai mobil elektriknya yang tidak jadi diproduksi itu.

Alasan utamanya adalah, proyek mobil elektrik ini terlalu berisiko. Mereka sudah siap dengan teknologinya, bahkan pabrik manufakturnya pun juga sudah disiapkan. Namun dari sudut pandang finansial, prospek proyek ini terbilang suram bagi Dyson yang belum begitu berpengalaman di bidang otomotif.

James Dyson menjelaskan bahwa satu unit mobil elektrik bikinannya harus dihargai minimal £150.000 hanya untuk mengembalikan modal, belum menghasilkan laba. Harga ini saja sudah jauh lebih tinggi ketimbang harga jual mobil elektrik dari pabrikan-pabrikan ternama seperti Mercedes-Benz atau Audi.

Pada akhirnya, James dengan berat hati harus menyetop pengembangannya, meski proyeknya sudah menghabiskan sekitar £500 juta dari kekayaan pribadi sang inventor. Sungguh sayang mengingat prototipenya terlihat dan terdengar sangat mengesankan.

Dyson electric car

Secara internal, prototipe mobil elektrik ini dikenal dengan nama N526. Ia merupakan sebuah SUV tujuh penumpang berpenampilan sporty yang cukup bongsor dengan panjang sekitar 5 meter dan bobot 2,6 ton meski bodinya terbuat dari bahan aluminium.

Interiornya kelihatan begitu minimalis sekaligus futuristis, khas produk-produk Dyson selama ini. N526 bahkan mengemas semacam sistem hologram guna menampilkan info-info penting seperti kecepatan dan petunjuk navigasi tanpa harus mengalihkan perhatian pengemudi dari jalanan.

Namun yang paling mengesankan adalah jarak tempuhnya: sampai 965 kilometer dalam sekali pengisian. Rahasianya adalah teknologi baterai solid-state yang diinisiasi oleh anak perusahaan Dyson, Sakti3. Dibanding baterai lithium-ion tradisional, baterai solid-state dipercaya jauh lebih efisien meski secara fisik lebih kecil sekaligus lebih ringan.

Kabar baiknya, Dyson cukup optimis dengan prospek baterai solid-state. James melihat potensi Dyson untuk menjadi pemasok baterai solid-state bagi sejumlah pabrikan mobil elektrik di masa yang akan datang. James juga tidak menutup kemungkinan bagi Dyson untuk kembali menggarap mobil elektrik seandainya prospeknya sudah berubah.

Sumber: The Times via Electrek.

Mobil Konsep Renault Morphoz Bisa Memanjang untuk Menampung Baterai Ekstra Saat Dibutuhkan

Sasis mobil elektrik pada umumnya berbentuk seperti sebuah skateboard, dengan sederet modul baterai yang tertanam di tengah-tengahnya, di antara roda depan dan belakang. Semakin panjang sasisnya, semakin besar pula kapasitas baterai suatu mobil elektrik.

Namun tidak semua orang mau memiliki mobil yang kelewat panjang, bukan? Di perjalanan jauh boleh saja, tapi di dalam kota pasti akan terasa menyusahkan. Solusinya, kalau menurut Renault, adalah sasis yang bisa memanjang ketika dibutuhkan, sehingga bisa dipasangi baterai ekstra.

Ide gila ini mereka persembahkan lewat sebuah konsep bernama Renault Morphoz. Ibarat Transformers, Morphoz dapat berubah bentuk, meski jauh dari kata ekstrem – sasisnya bisa memanjang, diikuti oleh bagian pilar A-nya. Dalam posisi ini, sasisnya punya ruang ekstra sepanjang 20 cm untuk dijejali baterai tambahan berdaya 50 kWh, dan proses pemasangannya hanya memerlukan waktu beberapa detik di charging station khusus yang sudah disiapkan.

Secara total, Morphoz punya kapasitas baterai sebesar 90 kWh ketika dalam posisi memanjang ini – mode “Travel” kalau kata Renault – dan itu cukup untuk membawanya menempuh jarak 700 km. Sebaliknya, dalam posisi aslinya – mode “City” – Morphoz hanya mengemas baterai 40 kWh, dan cuma bisa menempuh jarak 400 km.

Selain ruang ekstra untuk baterai, mode Travel tentunya juga menghadirkan ruang ekstra pada kabin. Kebetulan kabinnya juga dirancang supaya bisa beradaptasi dengan kebutuhan; kursi penumpang depannya bisa dihadapkan ke belakang jika perlu, tapi tidak untuk kursi pengemudi, mengingat Morphoz hanya mendukung sistem kemudi otomatis Level 3 (paling tinggi Level 5).

Nuansa interiornya mungkin terasa kelewat futuristis, tapi wajar mengingat Morphoz merupakan mobil konsep. Kepada Autocar, perwakilan Renault bilang bahwa faktor keselamatan bakal menjadi tantangan tersulit untuk memproduksi mobil ini. Renault pada dasarnya harus melakukan uji tabrak dua kali pada Morphoz mengingat wujudnya memang ada dua.

Sumber: 1, 2, 3.

Polestar Terus Sempurnakan Sistem Infotainment Berbasis Android pada Mobil Elektriknya

Diumumkan setahun lalu, Polestar 2 terdengar menarik bukan hanya karena ia berpotensi menjadi salah satu pesaing terkuat Tesla Model 3, melainkan juga karena ia merupakan mobil pertama yang mengemas Android Automotive OS; evolusi Android Auto yang sudah terintegrasi langsung pada sistem infotainment bawaan mobil.

Dalam pengembangannya, Polestar bekerja sama langsung dengan Google. Google yang merancang semua fungsionalitas Android Automotive OS, kemudian Polestar yang memoles user interface-nya hingga tampak minimalis dan senada dengan nuansa kabin Polestar 2 itu sendiri. Menariknya, kolaborasi ini tidak terhenti begitu saja pasca peluncuran Polestar 2.

Baru-baru ini, Polestar membeberkan rencananya untuk semakin menyempurnakan sistem infotainment milik mobil elektrik perdananya tersebut. Android Automotive OS memang sudah jauh lebih canggih ketimbang mayoritas sistem infotainment lain, akan tetapi Polestar yakin sistem ini masih bisa disempurnakan lagi lewat aspek personalisasi yang lebih komprehensif.

Polestar 2 Android Automotive OS

Sekadar mengingatkan, Polestar 2 menerapkan teknologi digital key sebagai standar; yang menjadi kunci mobil adalah smartphone masing-masing pemilik mobil. Kunci digital ini krusial dalam aspek personalisasi, memungkinkan Polestar 2 untuk mendeteksi pengemudi yang berbeda (yang sudah diverifikasi oleh pemilik mobilnya tentu saja), lalu menyesuaikan posisi jok, spion, suhu kabin dan pengaturan sistem hiburan berdasarkan preferensi masing-masing pengemudi.

Ke depannya, selain mengevaluasi preferensi, sistem juga akan melihat aplikasi-aplikasi yang terakhir digunakan sebagai salah satu faktor. Kalau pengemudi mengizinkan, sistem dapat menampilkan informasi-informasi yang relevan dan kontekstual secara proaktif.

Saat mobil sedang diparkir di titik charging misalnya, sistem bakal menampilkan sejumlah aplikasi streaming video sehingga pengemudi tidak bosan menunggu selagi baterai mobilnya diisi ulang. Ya, Polestar dan Google memang bukan yang pertama menerapkannya, sebelum ini Tesla juga sudah menghadirkan fitur serupa.

Polestar 2 Android Automotive OS

Sifat proaktif ini turut didukung oleh pembaruan pada Google Assistant. Polestar bilang bahwa ke depannya Assistant bakal bisa diajak bercakap-cakap secara lebih alami sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa pengemudi hanya sebatas melontarkan instruksi demi instruksi.

Terakhir dan yang tidak kalah menarik adalah penerapan sistem eye-tracking di dashboard. Jadi saat pengemudi terdeteksi lebih banyak melihat layar ketimbang jalanan, sistem akan langsung memberikan peringatan. Eye-tracking juga berpengaruh pada bagaimana informasi ditampilkan di layar; kalau pengemudi sedang fokus ke jalanan, layarnya akan meredup dengan sendirinya.

Lebih jelasnya, Polestar berencana mendemonstrasikan penyempurnaan sistem infotainment milik Polestar 2 ini melalui live stream di YouTube pada tanggal 25 Februari mendatang.

Sumber: Car and Driver dan Polestar.

Fisker Resmikan SUV Elektriknya, Ocean, Siap Bersaing dengan Tesla Model Y

Juli tahun lalu, Fisker merilis foto SUV elektrik yang sedang mereka kerjakan untuk pertama kalinya setelah sebelumnya sebatas memberikan teaser demi teaser. Mobil itu sudah resmi sekarang, diperkenalkan di hadapan pengunjung CES 2020 dengan nama Fisker Ocean.

Apa saja keistimewaannya? Tidak banyak, apalagi kalau melihat track record Fisker yang selama ini terkesan sangat ambisius. Kendati demikian, ini justru bisa menjadi hal yang positif jika dilihat dari sudut pandang lain, sebab Fisker selama ini memang dikenal banyak sesumbarnya.

Fisker Ocean

Terlepas dari itu, Fisker Ocean terdengar cukup menjanjikan. Ia bakal bersaing langsung dengan Tesla Model Y yang duduk di rentang harga yang sama; Ocean mulai $37.500, sedangkan Model Y mulai $39.000. Kedua mobil ini akan membantu meningkatkan tingkat adopsi mobil elektrik di lebih banyak kalangan, khususnya kelas menengah ke bawah.

Untuk sekarang, Fisker rupanya masih agak malu-malu terkait spesifikasi Ocean. Varian termurahnya disebut bakal mengusung baterai berkapasitas mendekati 80 kWh, akan tetapi jarak tempuhnya belum dirincikan. Terkait performanya, Fisker mengklaim bahwa varian termahalnya bisa menempuh 0 – 100 km/jam dalam waktu 2,9 detik saja.

Fisker Ocean

Satu aspek unik dari Ocean adalah atapnya, yang dengan cerdik menyembunyikan panel surya. Pengaruhnya memang tidak begitu besar; Fisker mengklaim panel surya ini bisa menyuplai jarak tempuh ekstra sekitar 1.600 kilometer per tahun, atau setara 4 kilometer per harinya. Meski begitu, kinerjanya setidaknya masih jauh lebih baik ketimbang saat Fisker menerapkan ide yang sama pada mobil pertamanya delapan tahun silam.

Sebagai perbandingan, Lightyear One yang dilengkapi panel surya dari ujung ke ujung sanggup menghasilkan energi yang setara dengan jarak tempuh ekstra 12 km setiap jamnya. Toyota juga belum lama ini menguji sistem serupa, dan mereka bilang sistemnya mampu menyuplai jarak tempuh ekstra sejauh 56 km per hari.

Singkat cerita, atap panel surya pada Fisker Ocean ini hanya bisa dianggap sebagai fitur pemanis semata. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan mereka bisa terus mengoptimalkan kinerjanya ‘memanen’ matahari ke depannya. Implementasi panel surya pada mobil listrik masih tergolong baru, jadi kita harus memberinya waktu untuk berkembang.

Fisker Ocean

Beralih ke interior, Fisker Ocean mengikuti tren terkini dengan gaya minimalis dan dashboard yang terpusat pada layar sentuh berukuran besar. Satu yang saya suka adalah, layar itu dilengkapi semacam shortcut bar di bagian bawahnya, dan Fisker tidak lupa menerapkan sistem haptic feedback pada bagian ini.

Poin menarik lain dari interiornya adalah klaim 100% vegan, yang berarti konsumen tak akan menjumpai sedikit pun kulit hewan yang melapisi bagian kabinnya. Sebagai gantinya, Fisker menggunakan bahan-bahan daur ulang beserta material sintetis lainnya.

Lalu kapan kita bakal melihat mobil ini di jalanan? Fisker menargetkan paling cepat akhir 2021 atau awal 2022, sekitar setahun lebih terlambat dari Tesla Model Y (dengan catatan Tesla menepati janjinya kali ini).

Sumber: The Verge dan Electrek.