Porsche Taycan Usung Kabin Bernuansa Modern yang Dibanjiri Layar

4 September nanti, Porsche bakal secara resmi menyingkap mobil elektrik perdananya, Taycan. Namun sebelum publik dapat menjumpainya, pabrikan asal Jerman itu rupanya sudah tak sabar memamerkan sejumlah keunggulannya.

Salah satunya adalah interior minimalis yang dibanjiri oleh layar, jauh lebih modern ketimbang mayoritas mobil-mobil bikinan Porsche saat ini yang banyak mengombinasikan layar sentuh dan panel kontrol sentuh.

Porsche Taycan interior

Semua varian Taycan bakal mengemas dua layar sentuh sebagai opsi standar. Yang pertama terletak di balik lingkar kemudi, dengan ukuran 16,8 inci dan wujud yang melengkung agar mudah diintip oleh pengemudi. Layar sentuh yang kedua berada di sebelahnya, dengan ukuran 10,9 inci dan fungsi utama untuk mengakses sistem infotainment.

Di sebelahnya lagi, tepatnya di hadapan penumpang depan, ada satu layar sentuh yang bisa didapat sebagai opsi tambahan. Di samping mengakses sistem infotainment, penumpang depan juga dapat mengakses sistem navigasi melalui layar ini.

Porsche Taycan interior

Lanjut ke console tengah yang memisahkan antara pengemudi dan penumpang depan, terdapat sebuah panel kontrol sentuh berukuran 8,4 inci yang mengandalkan haptic feedback. Di ujung belakang console tengahnya, konsumen Taycan juga dapat menambahkan panel sentuh 5,9 inci guna memberikan akses ke fungsi-fungsi seperti climate control pada penumpang belakang.

Secara keseluruhan, Porsche Taycan mengemas lebih sedikit tombol dan kenop fisik pada dashboard-nya ketimbang model-model Porsche tradisional. Ia bahkan dilengkapi fitur voice control yang dapat diaktifkan dengan mengucapkan mantra “Hey Porsche”. Konsep modern rupanya tak hanya berlaku di balik dapur pacunya saja, tapi juga secara menyeluruh sampai ke kabin.

Sumber: Top Gear.

Sennheiser Jalani Debut Perdananya di Bidang Otomotif dengan Membawa Konsep Immersive Audio

Tidak seperti Bowers & Wilkins, Bang & Olufsen, maupun dedengkot audio lainnya, Sennheiser selama ini belum pernah mengaplikasikan teknologinya ke sektor otomotif. Bukan berarti pabrikan asal Jerman itu tidak tertarik, namun mereka rupanya memiliki visi yang sedikit berbeda. Berbeda karena mereka ingin memberikan suatu suguhan yang benar-benar baru di dunia otomotif.

Suguhan yang dimaksud adalah 3D audio, atau yang dikenal juga dengan istilah immersive audio. Seperti yang kita tahu, beberapa tahun terakhir ini Sennheiser sibuk mengembangkan platform teknologi bernama Ambeo yang menitikberatkan pada penyajian immersive audio.

Puncaknya, awal tahun ini Sennheiser menyingkap Ambeo Soundbar, yang diyakini sanggup menggantikan peran set home theater dalam menyajikan immersive audio, tanpa harus meminta bantuan dari perangkat lain seperti subwoofer. Berhubung teknologinya sudah cukup matang, Sennheiser kini berniat memperkenalkan Ambeo ke industri otomotif.

Klien pertama mereka adalah Karma Automotive, produsen mobil elektrik yang dulunya mengusung nama Fisker Automotive. Kolaborasi antara kedua pihak ini melahirkan sound system Ambeo untuk Karma Revero GT.

Berdasarkan penjelasan Sennheiser, sistem ini melibatkan sejumlah speaker multi-channel yang disusun menjadi dua lapis, serta dibantu oleh sebuah subwoofer. Agar semakin maksimal, sandaran kepala pada kursi mobil juga tidak lupa diintegrasikan dengan deretan speaker ini.

Contoh interface mobil sound system Sennheiser Ambeo / Sennheiser
Contoh interface sound system Sennheiser Ambeo pada layar dashboard mobil / Sennheiser

Menariknya, kadar immersive dari audio yang disuguhkan rupanya juga bebas diatur oleh konsumen melalui layar dashboard. Bahkan titik pusat suaranya pun juga bisa disesuaikan dengan keinginan. Sennheiser tak lupa menambahkan bahwa ini berlaku untuk sumber audio apapun, sebab Ambeo telah dilengkapi algoritma yang sanggup mengonversi format audio standar menjadi 3D audio.

Itu tadi soal output, dan ternyata sound system Ambeo juga meliputi input sekaligus. Berbekal deretan mikrofon berteknologi beam-forming, sistem ini juga dirancang untuk mewujudkan percakapan telepon via mobil yang lebih jernih dari biasanya, sebab teknologi beam-forming itu mampu memfokuskan mikrofon ke pembicara yang aktif.

Di saat yang sama, suara angin, suara mesin, atau suara gesekan ban juga akan dianulir oleh sistem ini. Lebih menarik lagi, berkat kemampuan menentukan titik pusat audio itu tadi, penumpang lainnya tak harus terganggu oleh percakapan telepon dan tetap bisa menikmati alunan musik yang tengah diputar.

Apa yang ditawarkan Sennheiser ini, khususnya seputar positional audio itu tadi, sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh pabrikan lain, Harman misalnya. Kendati demikian, karya Sennheiser ini terkesan lebih lengkap karena juga melibatkan immersive audio dan yang pada dasarnya merupakan teknologi noise cancelling untuk bercakap-cakap di dalam mobil.

Sumber: Sennheiser.

Bukan Sembarang Mobil Elektrik, Human Horizons HiPhi 1 Unggulkan Kapabilitas AI dan Konektivitas 5G

Tiongkok merupakan pasar mobil elektrik yang paling menjanjikan saat ini. South China Morning Post melaporkan bahwa berdasarkan estimasi tahun lalu, dari 1,8 juta unit mobil elektrik yang terjual secara global, 1 juta unitnya dibeli oleh konsumen Tiongkok.

Di sisi lain, Financial Times juga mengestimasikan bahwa dari sekitar 3 juta unit mobil elektrik yang tersebar di dunia, dua pertiganya dibuat dan dipakai di Tiongkok. Ada sejumlah alasan mengapa prospek mobil elektrik di Tiongkok begitu cerah, salah satunya adalah subsidi bagi konsumen mobil elektrik yang diberikan oleh pemerintah, yang dikabarkan bisa mencapai 110.000 yuan (± Rp 220 juta) per unitnya.

Human Horizons HiPhi 1

Dampak dari cerahnya prospek pasar mobil elektrik di Tiongkok ini adalah munculnya berbagai startup lokal yang berniat memproduksi mobil elektriknya sendiri, terinspirasi oleh kiprah NIO yang sampai berhasil masuk ke bursa saham Amerika Serikat. Salah satu startup yang dimaksud adalah Human Horizons, yang baru saja menyingkap mobil elektrik perdananya, HiPhi 1.

Salah satu hal menarik dari HiPhi 1 adalah fokus Human Horizons dalam pengaplikasian artificial intelligence (AI). Pada dasarnya, berbekal daya komputasi yang amat perkasa, HiPhi 1 dapat memanfaatkan AI untuk mempelajari berbagai keinginan konsumen, sebelum akhirnya menyesuaikan sederet sistem di dalamnya.

Human Horizons HiPhi 1

Guna mewujudkannya, HiPhi 1 sengaja dibuat agar menjadi mobil produksi pertama yang mengemas konektivitas 5G. Total ada sekitar 562 sensor yang tersemat di mobil ini, yang secara teori bisa merealisasikan kapabilitas self-driving Level 4 (nyaris otomatis sepenuhnya). Meski demikian, yang akan tersedia saat peluncuran HiPhi 1 nanti barulah Level 3 (self-driving kondisional).

Di sektor performa, HiPhi 1 juga terdengar sangat kapabel. Berbekal sepasang motor elektrik dengan output daya total sebesar 268 tenaga kuda, akselerasi dari 0 – 100 km/jam bisa ia lahap dalam waktu 3,9 detik saja. Pada varian termahalnya, baterai berkapasitas 96 kWh yang diusung sanggup membawa mobil menempuh jarak 640 km dalam satu kali charge.

Human Horizons HiPhi 1

Kalau Anda menilai eksteriornya sudah amat futuristis, tunggu sampai Anda berada di dalam kabinnya. Interiornya mengemas sembilan panel layar yang berbeda, menyuguhkan secara total display seluas 50 inci.

Rencananya, HiPhi 1 baru akan diproduksi mulai tahun 2021 mendatang. Saat ini Human Horizons masih sibuk merenovasi dan melengkapi fasilitas pada pabrik yang mereka beli dari joint venture Kia di pasar Tiongkok. Meski belum ada keterangan yang spesifik terkait rencana pemasaran HiPhi 1 di luar Tiongkok, setidaknya Human Horizons sudah mengungkapkan niatnya untuk bermain di pasar global.

Sumber: Electrek dan Top Gear.

Fresco Reverie Adalah Calon Penjegal Tesla Model S dari Norwegia

Statistik tahun 2017 menunjukkan bahwa tiga negara dengan jumlah pemilik mobil Tesla terbanyak adalah Amerika Serikat, Tiongkok, dan Norwegia. Ya, Norwegia. Negara Skandinavia dengan populasi sekitar 5 juta jiwa itu rupanya begitu antusias menghadapi tren mobil elektrik.

Saking antusiasnya, berdasarkan data bulan Maret lalu, 60% dari semua mobil yang dijual di Norwegia merupakan mobil elektrik. Dari segi infrastruktur, Norwegia juga sudah sangat mendukung penggunaan mobil elektrik. Tercatat ada lebih dari 10.000 titik charging yang tersebar dan siap diakses oleh publik.

Yang masih belum ada adalah mobil elektrik bikinan negara asal-usul mitos mengenai Thor tersebut. Hingga akhirnya sebuah startup bernama Fresco Motors memberanikan diri untuk buka suara di depan publik. Mereka baru saja mengumumkan bahwa mereka tengah mengerjakan sebuah sedan elektrik bernama Reverie.

Fresco Reverie

Berdasarkan klaim Fresco, Reverie punya spesifikasi yang mengesankan: sanggup berakselerasi dari 0 – 100 km/jam dalam waktu 2 detik, dengan kecepatan maksimum di angka 300 km/jam. Terkait efisiensi, Fresco tidak menyebutkan angkanya, melainkan sebatas mengklaim konsumen Reverie nantinya tak perlu khawatir bakal kehabisan daya di tengah jalan.

Wajar apabila Fresco belum menyingkap angkanya, mengingat mobil ini bahkan masih belum ada prototipenya. Gambar di atas merupakan gambar hasil render komputer, namun seandainya bisa terealisasi, wujudnya cukup pantas dipandang sebagai salah satu penjegal Tesla Model S. Pada dasarnya, semua detail teknis ini bisa saja berubah ketika Fresco sudah punya prototipe Reverie dan mulai menjalankan sejumlah pengujian.

Terlepas dari itu, Fresco Reverie tidak lupa menjanjikan sejumlah fitur unik meski belum eksis. Salah satu yang menarik adalah fitur baterai portable untuk Reverie, dengan mobil konvensional yang dibekali jerigen bensin sebagai inspirasinya. Fresco juga bilang bahwa Reverie nantinya juga akan dilengkapi dengan wireless charging pad.

Tanpa adanya prototipe yang bisa dipamerkan, sulit rasanya Fresco Reverie bisa memikat minat konsumen. Kendati demikian, jika melihat antusiasme Norwegia terhadap tren mobil elektrik, Fresco Motors semestinya bisa mewujudkan ambisinya, meski mungkin hasil akhirnya tidak sefenomenal yang mereka bayangkan saat ini.

Sumber: Electrek.

NIO Luncurkan Mobil Elektrik Bertema Razer, Lengkap Sampai ke Sistem Pencahayaan Chroma-nya

Di titik ini saya yakin tidak ada lagi yang berani beranggapan bahwa perkembangan industri esport tidak begitu pesat. Dampaknya bahkan sampai terasa ke bidang lain, semisal bidang otomotif. Salah satu buktinya, pabrikan mobil elektrik asal Tiongkok, NIO, baru saja meluncurkan mobil hasil kolaborasinya bersama Razer.

Ya, Razer merek periferal gaming itu maksudnya. Kerja sama mereka melahirkan NIO ES6 Night Explorer Limited Edition, edisi terbatas dari SUV elektrik unggulannya, NIO ES6 Performance. Kalau melihat gambarnya, siapa yang menyangka kalau perpaduan warna hitam doff dan aksen warna hijau khas Razer bisa terlihat memikat di bodi sebuah mobil listrik?

NIO ES6 Night Explorer Limited Edition

Namun NIO rupanya tidak sekadar meminjam palet warna khas Razer saja. Mereka turut menyematkan integrasi sistem pencahayaan Razer Chroma dan Philips Hue pada mobil ini, mengawinkannya dengan sound system yang mendukung teknologi THX Spatial Audio. Jadi bisa Anda bayangkan sendiri betapa meriahnya suasana kabin dalam mobil edisi khusus ini.

Mengeksplorasi potensi sinergi dari Razer Chroma, Philips Hue, dan THX Spatial Audio dengan teknologi otomotif yang sudah tersedia sekarang sejatinya merupakan tujuan utama dari kemitraan NIO dan Razer ini. Kebetulan saja hasil perdana dari kolaborasinya melahirkan sebuah mobil elektrik yang begitu menggoda bagi para gamer berkantong tebal, sekaligus sangat cocok dijadikan sebagai bahan promosi.

NIO ES6 Night Explorer Limited Edition

Secara teknis, NIO ES6 sendiri merupakan sebuah mobil elektrik yang amat kapabel. Sepasang motor elektriknya mampu menghasilkan output daya total sebesar 544 tenaga kuda, dan akselerasi 0 – 100 km/jam bisa dicatatkannya dalam waktu 4,7 detik saja. Dalam satu kali pengisian, baterainya juga sanggup membawa mobil menempuh jarak sekitar 500 km.

NIO ES6 Night Explorer Limited Edition

NIO hanya akan memproduksi ES6 edisi Razer ini sebanyak 88 unit saja. Harga awalnya dipatok mulai 467.800 yuan, atau setara ± Rp 950 juta.

Sumber: NIO.

Honda Tunjukkan Bahwa Dashboard Mobil Modern Tak Harus Sepenuhnya Digital untuk Bisa Tampil Menarik

Musim semi 2020 nanti, warga negara-negara Eropa bakal dibuat terpikat oleh sebuah mobil elektrik baru yang melintas di jalanan. Mobil tersebut adalah Honda E, yang penampilannya terkesan seperti reinkarnasi modern dari Civic generasi pertama di tahun 70-an, yang kala itu masih berwujud hatchback.

Kesan simpel namun playful itu tidak terhenti di luar, tapi juga berlanjut sampai ke dalam. Interior bergaya kontemporer ini tak hanya mengundang kita untuk segera masuk, tapi juga siap memanjakan para penumpangnya dengan teknologi canggih, dan itulah yang hendak didemonstrasikan oleh Honda baru-baru ini.

Honda E

Seperti yang bisa kita lihat, dashboard Honda E dihuni oleh layar dari ujung ke ujung. Di ujung kiri dan kanan, ada sepasang layar 6 inci yang bertugas menggantikan kaca spion, menampilkan apa saja yang terlihat oleh kamera di bagian eksteriornya. Konsep ini tidak jauh berbeda dari yang Audi terapkan pada mobil elektrik perdananya, e-tron.

Persis di balik lingkar kemudinya, layar 8,8 inci bertindak sebagai panel instrumen digital. Kemudian tepat di sebelahnya, terdapat dua layar sentuh 12,3 inci yang menampilkan antarmuka dari sistem infotainment-nya. Kenapa harus ada dua? Supaya pengemudi dan penumpang di sebelahnya tidak harus saling berebut akses.

Honda E

Ya, kedua layar infotainment ini bisa dioperasikan secara terpisah. Jadi semisal sang pengemudi sedang sibuk mengakses sistem navigasi, penumpang di sebelahnya bebas meracik playlist musik untuk menemani perjalanan. Pengoperasiannya sendiri mengandalkan sentuhan, dengan tampilan antarmuka yang sengaja dibuat semirip mungkin dengan smartphone supaya terasa familier.

Integrasi smart assistant tentu saja tidak ketinggalan, apalagi mengingat tahun lalu Honda sempat mengumumkan kemitraan strategisnya bersama SoundHound. Honda Personal Assistant, demikian nama resminya, siap merespon perintah-perintah suara pengemudi dan penumpang yang disampaikan dengan bahasa percakapan sehari-hari, sekaligus menyalurkan akses ke beragam layanan online.

Dukungan Android Auto dan Apple CarPlay tentu juga tersedia. Pemilik Honda E bahkan dapat meneruskan video yang ditontonnya di ponsel menuju ke layar besar di dashboard, tapi ini hanya bisa dilakukan saat mobil sedang diparkir atau di-charge.

Honda E

Satu hal yang saya suka dari dashboard Honda E adalah bagaimana desainernya masih mementingkan eksistensi input fisik. Persis di depan layar infotainment-nya, kita bisa melihat sederet tombol dan kenop, demikian pula seabrek tombol yang terdapat di setir.

Sistem pendingin Honda E pun bahkan masih harus dioperasikan via panel tersendiri, tidak seperti Tesla Model 3 yang menurut saya kelewat canggih hingga akhirnya menyusahkan pengemudi dan penumpang dengan segala fungsinya yang harus dikendalikan melalui layar sentuh.

Honda E

Honda E tak lupa mengadopsi tren yang sedang hangat di dunia otomotif, yakni menjadikan ponsel sebagai semacam kunci digital mobil, sehingga pemiliknya dapat mengunci dan membuka mobil menggunakan ponsel. Beragam fungsinya pun juga dapat diakses melalui aplikasi pendamping yang terdapat di ponsel, semisal untuk memonitor sisa baterai mobil, atau mengaktifkan sistem pendingin sebelum menaiki mobilnya.

Sumber: Autoblog dan Honda.

Fisker Sedang Kerjakan SUV Elektrik, Kali Ini Tanpa Klaim Kelewat Ambisius

Henrik Fisker bukanlah nama yang asing di dunia otomotif. Pria berkebangsaan Denmark itu selama ini dikenal sebagai sosok yang bertanggung jawab atas rancangan mobil yang menawan macam Aston Martin DB9 dan BMW Z8, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan perusahaannya sendiri di tahun 2007.

Sayangnya kiprah Fisker Automotive tidak bertahan lama dan harus menghadapi kebangkrutan di tahun 2013. Namun ambisi Henrik Fisker rupanya belum habis, dan di tahun 2016, lahirlah Fisker Inc. sebagai perusahaan terbarunya.

Fisker Inc. sejauh ini belum punya produk untuk dinikmati konsumen sama sekali. Mereka memulai debutnya dengan memperkenalkan konsep mobil elektrik bernama Fisker EMotion, yang diklaim bakal menjadi terobosan baru berkat baterai berteknologi supercapacitor graphene yang diusungnya. Sayang konsep tersebut hanya semakin membuktikan bahwa Fisker kelewat ambisius, sebab tidak sampai setahun setelahnya, Fisker dilaporkan telah mengganti baterai EMotion menjadi li-ion biasa.

Fisker Electric SUV

Namun Fisker sepertinya mulai menemukan titik terang tahun ini. Setelah beberapa bulan memberikan sejumlah teaser, Fisker akhirnya mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan sebuah SUV elektrik, dan yang paling penting, tanpa klaim terobosan ini-itu seperti sebelumnya.

Melihat wujudnya, sejatinya tidak ada yang terlalu istimewa dari SUV elektrik Fisker ini. Namun itu justru merupakan kabar baik mengingat peluangnya untuk terealisasi semestinya jauh lebih besar. Kategori SUV juga seharusnya bisa menjangkau minat lebih banyak kalangan mengingat belakangan pabrikan-pabrikan seperti Mercedes-Benz maupun Audi pun merilis mobil elektrik perdananya di segmen ini.

Desain prototipenya tidak melenceng jauh dari sketsa awalnya / Fisker Inc.
Desain prototipenya tidak melenceng jauh dari sketsa awalnya / Fisker Inc.

Detail mengenai mobil ini masih belum banyak. Spesifikasinya seperti apa juga masih belum diketahui, namun mobil ini disebut mampu menempuh jarak hingga 480 km dalam satu kali charge. Fisker juga bilang bahwa interiornya yang banyak mengandalkan bahan-bahan hasil daur ulang tergolong sangat lapang untuk ukurannya, dan ini mengindikasikan kalau mobil ini bakal masuk kategori compact SUV (tanpa kursi baris ketiga).

Fisker menarget harga jual mobil ini di bawah $40.000, dan ini cukup mengesankan kalau mempertimbangkan jarak tempuh per charge-nya itu tadi. Fisker berencana memamerkan prototipenya dalam beberapa bulan ke depan, dan berharap bisa memasarkan SUV elektrik ini mulai tahun 2021 mendatang.

Sumber: Electrek.

Tesla Resmikan Stasiun Supercharger V3 Pertama di Kota Las Vegas

Infrastruktur memegang peranan yang sangat krusial dalam perkembangan mobil elektrik. Lihat saja Tesla, kalau bukan karena jaringan Supercharger (nama stasiun pengisian ulang untuk mobil-mobilnya) yang tersebar luas, mustahil Tesla dapat merebut titel produsen mobil listrik nomor satu.

Selain memperluas distribusinya, Tesla juga tidak lupa menyempurnakan teknologi yang diusung Supercharger. Bulan Maret lalu, Tesla memperkenalkan Supercharger V3, generasi baru teknologi charging mobil listrik yang diklaim mampu mentransfer energi dengan lebih cepat (250 kW dibanding V2 yang hanya 150 kW) sekaligus lebih efisien.

Supercharger V3 juga bukan lagi sebatas wacana ataupun proof-of-concept. Tesla baru saja membuka stasiun Supercharger V3 yang pertama di kota Las Vegas, persis di sebelah kasino legendaris Caesars Palace. Total ada 24 unit charger yang terdapat di area tersebut.

Tesla pun tak lupa menerapkan prinsip “clean, renewable energy” yang selama ini mereka jadikan acuan. Di samping deretan panel surya yang menjadi atap dari stasiun pengisian ulang ini, Tesla juga menggunakan sejumlah unit Powerpack untuk menyimpan energi surplus dan memanfaatkannya di saat dibutuhkan.

Lalu berapa rata-rata waktu yang dibutuhkan konsumen Tesla ketika mampir ke stasiun tersebut? Tesla mengklaim bahwa dalam waktu 15 menit, Supercharger V3 sanggup menyuplai daya yang cukup untuk menempuh jarak 290 km. Ini berarti dengan berbekal 24 unit charger, stasiun Supercharger V3 ini mampu melayani hingga 1.500 konsumen Tesla per harinya.

Menariknya, seperti yang bisa Anda lihat, hampir tidak ada perbedaan fisik antara unit Supercharger V3 dengan versi sebelumnya. Yang berbeda justru adalah kabelnya, di mana V3 mengandalkan kabel berteknologi liquid cooling, yang tak hanya mampu memindahkan energi dengan lebih cepat, tapi juga berujung pada fisik kabel yang lebih tipis dan lebih fleksibel, meski colokannya tetap saja sama persis.

Supercharger V3 sebenarnya sudah diwacanakan oleh Elon Musk beserta anak buahnya sejak tiga tahun lalu. Peningkatan efisiensi yang ditawarkan teknologi charging generasi baru ini juga yang pada akhirnya memungkinkan Tesla untuk memaksimalkan ekosistem clean energy yang menjadi tulang punggung bisnis mereka.

Sumber: Electrek.

Lotus Evija Adalah Mobil Elektrik dengan Performa dan Kecepatan Charging Luar Biasa

Tidak semua orang mengenal nama Lotus di dunia otomotif, tapi mereka yang tahu pasti sudah tidak ragu dengan reputasi pabrikan asal Inggris itu di dunia balap. Itulah mengapa ketika beredar kabar mengenai rencana Lotus untuk membuat mobil elektrik, banyak yang tak sabar menanti pembuktian keganasan performanya.

Hari itu sudah semakin dekat. Lotus baru saja menyingkap mobil elektrik perdananya secara resmi. Dijuluki Evija, ia duduk di kategori electric hypercar, sekelas dengan Pininfarina Battista yang diperkenalkan Maret lalu.

Lotus Evija

Dari segi penampilan, Evija pun tidak kalah eksotis, utamanya berkat sederet lekukan dan lubang udara di tubuhnya, yang menurut Lotus banyak terinspirasi oleh mobil-mobil balap Le Mans. Penggunaan sasis monoque berbahan serat karbon juga menjadikan Evija sebagai hypercar elektrik paling ringan, dengan bobot yang berkisar di angka 1.680 kilogram.

Namun seperti yang bisa kita harapkan dari Lotus, performa merupakan nilai jual utama Evija. Empat motor elektrik dipercaya menjadi penggerak keempat rodanya, dengan output sebesar 1.972 tenaga kuda dan torsi 1.700 Nm. 0 – 100 km/jam dengan mudah dilahapnya dalam waktu kurang dari tiga detik.

Lotus Evija

Lotus juga mengklaim Evija mampu mencapai kecepatan 300 km/jam dalam waktu kurang dari 9 detik, yang menurut Lotus merupakan sebuah prestasi di antara mobil-mobil lain di kelas ini. Top speed-nya sendiri disebut bisa mencapai angka 320 km/jam.

Meski kemampuan mengebut Evija tergolong luar biasa, Lotus rupanya tidak melupakan faktor efisiensi. Baterai 70 kWh yang tertanam di balik punggung Evija – sengaja diposisikan seperti ini guna mempertahankan ciri khas mobil-mobil Lotus yang mesinnya berada di tengah – mampu menyuplai energi yang cukup untuk menempuh jarak hingga sejauh 400 kilometer.

Lotus Evija

Bukan hanya itu, Lotus bahkan telah merancang agar baterai ini bisa di-charge dengan output sebesar 800 kW, sehingga proses pengisian ulangnya cuma memerlukan waktu 9 menit saja dari kosong hingga penuh. Namun yang perlu diingat, sejauh ini teknologi charging mobil elektrik secepat itu masih belum tersedia secara publik.

Menggunakan unit charger tercepat yang sudah ada sekarang (350 kW), Lotus mengklaim Evija hanya membutuhkan waktu 12 menit untuk mengisi 80% kapasitas baterainya, atau 18 menit untuk pengisian hingga penuh. Ya, definisi cepat bagi Lotus rupanya tidak berhenti sampai di kemampuan mobil dalam mengebut saja, tapi juga meliputi kecepatan charging-nya.

Lotus Evija

Masuk ke kabinnya, kita bisa melihat perkawinan antara gaya modern dan gaya balap, yang keduanya sama-sama menjurus ke prinsip minimalisme. Panel instrumen di balik setir merupakan satu-satunya layar yang bisa kita jumpai dari kabin Evija, dan setirnya sendiri juga semakin menguatkan aura balapnya secara menyeluruh.

Kendati demikian, Evija juga dirancang untuk tetap cocok digunakan sehari-hari. Ini bisa kita lihat dari sebuah kenop berwarna pada setirnya, yang memberikan pengemudi akses ke lima mode berkendara dengan karakter performa yang berbeda-beda: Range, City, Tour, Sport, dan Track.

Lotus Evija

Dari perspektif digital, Lotus memastikan Evija bakal terus terhubung ke jaringan cloud berkat modem terintegrasinya. Ini berarti Evija bakal menerima sejumlah pembaruan dan perbaikan melalui software update layaknya mobil-mobil Tesla; dan pemilik mobil juga dapat mengakses sejumlah pengaturan, seperti misalnya menyalakan sistem pendingin sebelum masuk ke mobil, melalui aplikasi pendamping Evija di smartphone.

Kapan mobil ini siap mengaspal? Belum tahu, namun yang pasti tahap produksi Lotus Evija bakal dimulai tahun depan. Lotus berencana memproduksi hanya 130 unit Evija, dan tiap unitnya dihargai mulai £1,7 juta, atau kurang lebih setara 29,5 miliar rupiah.

Sumber: Electrek dan Lotus.

Lidar Bikinan Luminar Berpotensi Mempercepat Pengembangan Mobil Kemudi Otomatis

Saat membicarakan tentang mobil kemudi otomatis, sudah pasti ada bahasan mengenai suatu komponen yang amat esensial bernama lidar. Lidar merupakan singkatan dari “Light Detection and Ranging”, atau umum juga diibaratkan sebagai radar berbasis laser. Peran lidar begitu penting karena pada dasarnya komponen inilah yang menjadi mata untuk mobil kemudi otomatis.

Lidar bukanlah barang yang murah. Model paling top dari produsen lidar ternama seperti Velodyne misalnya, disebut bisa mencapai harga $75.000 per unitnya. Kalau harga satu dari seabrek komponennya saja begitu mahal, bagaimana dengan harga mobilnya sendiri?

Namun tentu saja Velodyne bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengembangkan lidar. Pada kenyataannya, TechCrunch melaporkan ada lusinan perusahaan baru yang berfokus di bidang pengembangan lidar. Dari sekian banyak startup dan perusahaan, ada satu yang cukup mencuri perhatian, yakni Luminar.

Startup asal Silicon Valley ini baru saja mengumumkan bahwa mereka telah memulai pengembangan Iris, lidar generasi baru yang diproyeksikan bisa merambah mobil produksi untuk konsumen. Iris punya banyak kelebihan, salah satunya perihal dimensi.

Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar
Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar

Dibandingkan unit uji coba yang selama ini dikerjakan oleh Luminar, ukuran Iris cuma sekitar sepertiganya. Kalau Anda pernah melihat foto mobil kemudi otomatis yang tengah diuji coba, yang di atapnya terdapat semacam sensor berukuran besar, itulah wujud lidar yang kita kenal sekarang.

Iris tidak demikian. Kalau Anda lihat gambar di awal artikel, dua kotak kecil berwarna putih yang terletak sekitar 30 cm di bawah lampu depan itu adalah Iris. Ukuran merupakan salah satu faktor penting, sebab ruang kosong yang terdapat di mobil jelas sangat terbatas, dan pabrikan mobil tentunya tak ingin menjual mobil dengan bagian atap yang begitu jelek kepada konsumen.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah ongkos. Luminar Iris kabarnya akan dihargai kurang dari $1.000 per unit, menjadikannya salah satu solusi paling terjangkau untuk pabrikan yang tertarik memproduksi mobil kemudi otomatis. Ongkos produksi yang murah tentu akan berujung pada harga jual yang lebih murah pula.

Faktor penting yang ketiga adalah software. Luminar berencana mengembangkan software-nya sendiri guna melengkapi Iris, dan ini krusial untuk memaksimalkan kinerja hardware-nya dalam menjalankan tugas-tugas seperti object detection, gaze direction, maupun kalibrasi otomatis.

Kita tahu bahwa mobil kemudi otomatis harus bisa mendeteksi beragam objek di sekitarnya, dan di sinilah salah satu fungsi utama dari lidar. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Luminar berharap bisa memasok Iris ke pabrikan-pabrikan mobil yang tertarik paling cepat mulai tahun 2022.

Sumber: TechCrunch.