OJK Segera Luncurkan Aturan untuk Industri Fintech

Setelah menyelenggarakan Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 akhir Agustus kemarin, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan dalam waktu dekat akan meluncurkan sebuah aturan tentang layanan teknologi finansial (fintech). Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, aturan tersebut nantinya akan menjadi panduan manajemen risiko bagi perbankan dan lembaga keuangan yang berkolaborasi atau secara mandiri mengeluarkan layanan finansial digital.

OJK juga disebutkan akan mendata perusahaan teknologi finansial untuk membicarakan tentang regulasi dengan para founder. Perusahaan-perusahaan tersebut diminta mendaftar di OJK untuk dibuatkan panduannya.

Rencana OJK yang ingin meregulasi industri fintech bukan hanya terdengar sekarang. Di awal tahun OJK juga sempat mengatakan akan segera berdiskusi dan menerima masukan dari para pelaku bisnis finansial teknologi.

Aturan yang dikeluarkan nantinya disiapkan untuk mengatur bisnis P2P lending, layanan keuangan yang memanfaatkan teknologi digital yang mampu mempertemukan pihak pemberi pinjaman dengan peminjam melalui sebuah platform, dan juga layanan crowdfunding, sebuah kegiatan pengumpulan dana yang dikelola melalui website atau teknologi digital lainnya untuk tujuan investasi atau kegiatan sosial.

Di dalam regulasi yang akan dibuat tersebut nantinya juga akan ada aturan mengenai perlindungan konsumen. Bisnis fintech adalah bisnis yang sensitif sehingga perusahaan harus transparan mengenai risiko bisnis kepada konsumen.

“Sebab, kadang-kadang oleh konsumen dipikirnya seperti tidak ada risiko karena pada umumnya seperti peer-to-peer lending-kan konsumen tidak banyak tahu mengenai calon yang akan dia biayai,” ujar Muliaman.

Setali tiga uang dengan OJK, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo juga mengatakan bahwa bisnis finansial teknologi harus melindungi konsumen, salah satunya dengan manajemen risiko yang baik. Selain itu Agus juga mengungkapkan bahwa semua transaksi fintech harus ditempatkan di bank untuk memastikan adanya unsur pelindungan masyarakat dalam hal transaksi keuangan.

Banyak Inisiatif Baru Lahir di Indonesia Fintech Festival & Conference Hari Kedua

Selesai sudah perhelatan ajang terbesar bagi industri keuangan dan teknologi di Indonesia, hasil kerja sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Banyak tamu kehormatan yang hadir di sini, mulai dari Presiden RI Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Agus D Martowadojo, dan menteri lainnya.

Pemerintah secara terang-terangan mendukung perkembangan industri financial technology (fintech) dengan mengeluarkan berbagai aturan untuk mendorong perkembangan ekosistemnya. Presiden Joko Widodo mengatakan fintech bisa menjadi solusi untuk memperluas akses masyarakat Indonesia yang ada di pelosok daerah dan belum terjangkau oleh jasa keuangan dari perbankan.

“Misalnya untuk UKM, masih jarang ada catatan keuangannya karena mereka merasa ribet. Hal inilah yang membuat mereka sulit mengakses permodalan ke bank. Ini juga menandakan tingkat keuangan inklusi perlu ditingkatkan dari hal yang paling dasar yakni dengan meningkatkan literasi keuangan masyarakat,” kata Presiden, Selasa (31/8).

Presiden juga ingin mengajak semua masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi, terutama anak muda yang bergerak di fintech agar dapat terus menghasilkan terobosan seperti aplikasi digital yang berguna dalam meningkatkan inklusi keuangan.

Presiden Joko Widodo menghadiri Indonesia Fintech Festival & Conference 2016
Presiden Joko Widodo menghadiri Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan pemerintah akan membuat formulasi kebijakan, pengaturan, dan kerangka aturan untuk mendorong industri fintech bisa lebih berkembang. Bahkan, sambung dia, apabila diperlukan akan ada insentif dan fasilitas tertentu yang bisa dinikmati fintech agar industri tersebut ke depannya bisa menjadi kekuatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampak lanjutnya, akan dapat mengurangi pengangguran, menambah lapangan pekerjaan, dan akhirnya dapat memecahkan masalah kemiskinan dan kesejahteraan. “Oleh karena itu, saya bersedia untuk duduk bersama agar kita semua bisa mengidentifikasi kerangka kebijakan apa saja yang diperlukan sehingga Indonesia bisa dengan cepat menumbuhkan fintech yang dapat memperluas kesempatan,” terang Sri.

Regulator akan terbitkan aturan

BTPN adalah salah satu bank yang melihat adopsi teknologi sebagai masa depan perbankan. BTPN baru saja meluncurkan Jenius
BTPN adalah salah satu bank yang melihat adopsi teknologi sebagai masa depan perbankan. BTPN baru saja meluncurkan Jenius

Sebagai bank sentral, Gubernur BI Agus D Martowadojo mengatakan bulan depan BI akan menerbitkan Peraturan BI (PBI) terkait fintech, yakni mengenai pemrosesan transaksi pembayaran. Beberapa poin yang akan dimasukkan oleh BI, mulai dari perusahaan fintech harus berbadan hukum, wajib melakukan transaksi dalam mata uang Rupiah, dan wajib menyimpan likuiditasnya di bank. “Kami ingin berikan arahan umum kalau seandainya ada pelaku fintech dari internasional yang masuk ke Indonesia. Kemudian, melakukan transaksi harus dalam Rupiah, dan penyimpanan dananya harus di bank,” kata Agus.

Secara umum BI membedakan perusahaan fintech ke dalam empat kelompok utama. Pertama, kelompok deposit, lending, dan capital rising. Dalam kelompok ini juga mencakup model bisnis crowdfunding dan peer-to-peer lending.

Kedua, kelompok payments, clearing, dan settlement, termasuk pembayaran melalui situs mobile dan desktop. Terakhir, kelompok market provisioning dan investasi, dan manajemen risiko.

BI, lanjut dia, akan membangun fintech office, suatu pendampingan khusus dalam mengembangkan bisnisnya. Lalu, akan diberikan pandangan mengenai kebijakan moneter dan makroprudensial Indonesia agar lebih mengenal iklim usaha. Lalu, BI juga akan berinisiatif meluncurkan inkubator.

Berikutnya, OJK akan menerbitkan aturan untuk dua segmen fintech. Pertama, untuk peraturan fintech akan lebih diarahkan ke perusahaannya. Sementara, untuk fintech startup akan diberikan kelonggaran.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan peraturan akan dibuat sederhana guna menghindari startup fintech jadi sulit berkembang. “Peraturan sedang kita matangkan supaya pas, kalau kebanyakan aturan akan mati,” ujarnya.

Untuk fintech baru, ada dua segmen yang akan diatur OJK yaitu crowdfunding dan pembayaran digital. Crowdfunding dalam kerangka aturan OJK, akan mengatur dan mengawas aspek pendanaan dari angle investor yang harus tunduk terhadap regulasi terkait (BI, BKPM, dan DJP) disclosure, prudential, dan keamanan data personal.

Pembayaran digital akan diatur mengenai pengawasan terhadap aspek disclosure, prudential terkait produk yang ditawarkan, keamanan data personal, dan keamanan deposit dana dalam bentuk digital. Lalu pengaturan koordinasi dan pengawasan dengan BI dan Kemkominfo atas aspek dana digital.

Sementara itu, OJK juga akan menerbitkan aturan baru untuk IKNB yang bertransformasi fintech. Ada tiga segmen industri yang akan diatur, pembiayaan & ventura menjadi marketplace lending, asuransi menjadi specialist insurance market, dan agen & broker IKNB fintech advisor.

“Kami targetkan seluruh aturan ini dapat terbit paling cepat Oktober mendatang atau paling lambat sebelum akhir tahun ini,” kata Kepala Eksekutif Pengawas IKNB Firdaus Djaelani.

Bentuk kolaborasi

Dari kalangan pelaku usaha, di hari kedua IFFC telah meresmikan beberapa kerja sama strategis. Pertama, antara portal investasi digital Bareksa dengan penyedia pembayaran elektronik DOKU. Kerja sama ini memungkinkan pengguna DOKU bisa menginvestasikan uangnya ke instrumen reksadana.

Kemudian, kerja sama antara Bank Danamon dengan Investree untuk tujuan sistem cash management. Terakhir, antara Bank Sinarmas dengan Dimo Pay dan Cashlez.

[Baca juga: Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas]

Dari hasil survey Deloitte Consulting, lebih dari 70 fintech di Indonesia sangat berharap adanya kolaborasi dengan lembaga keuangan. Lebih dari separuh menyebut kolaborasi menjadi sangat penting untuk mengembangkan potensi industri keuangan Indonesia di masa mendatang.

Lebih detil diterangkan dalam survey, mayoritas fintech ingin berkolaborasi dengan institusi keuangan lokal (66,2%), fintech lokal (47,1%). Mereka juga ingin membentuk kolaborasi dengan korporasi atau konglomerasi lokal (44,1%) dan perusahaan teknologi startup lokal dari industri lain (44,1%).


Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

Menggali Potensi Fintech Lewat Kolaborasi dengan Lembaga Keuangan Konvensional

Startup penyedia layanan pinjaman langsung Modalku bekerja sama dengan salah satu konsultan manajemen terkemuka di dunia Oliver Wyman menggelar acara Indonesia Fintech Conference di JW Marriot, Jakarta. Tujuannya, untuk membuka diskusi dalam menggali potensi kolaborasi antara industri fintech (financial technology) dengan institusi keuangan konvensional.

Menengok beberapa tahun kebelakang, hampir tidak ada satupun pihak yang memandang financial technology (fintech) sebagai vertikal bisnis baru dengan potensi yang besar layaknya e-commerce. Namun, seiring berjalannya waktu paradigma tersebut mulai runtuh perlahan. Penyebabnya, tak lepas dari kebutuhan masyarakat akan akses finansial yang lebih baik seiring dengan derasnya pertumbuhan teknologi digital.

Fintech bukan ancaman

(Kiri-Kanan) Ketua Oliver Wyman Indonesia Jason Ekberg, Chairman OJK DR. Muliaman D. Hadad, dan CEO Modalku Reynold Wijaya

Ketika Alpha JWC Ventures menggelar konferensi di penghujung Maret silam, bankir veteran Indonesia Arwin Rasyid menekankan bahwa bank sebagai lembaga keuangan mapan dan penuh regulasi harus dapat merangkul startup yang bergerak di bidang fintech. Dengan tegas ia juga menyebutkan jangan sampai bank melihat fintech sebagai rival dan keputusan untuk berkompetisi dengan startup fintech bukanlah keputusan bijak untuk diambil.

Kini nada yang hampir sama dilagukan kembali oleh Chairman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DR. Muliaman D. Hadad dalam Indonesia Fintech Conference kali ini. Muliaman menekankan bahwa fintech bukanlah ancaman bagi institusi finansial konvensional. Kedua industri ini justru harus dapat bersinergi bila ingin tumbuh di era digital sekarang ini.

“Di Indonesia ini pelaku industri keuangan nasional masih didominasi oleh bank. Saya pikir, […] respon bank terhadap fintech atau membangun partnership dengan fintech menjadi area yang sangat penting agar engagement yang terjadi [nantinya] harus betul-betul mendorong performance masing-masing. […]Sehingga bank bisa menjadi lebih efisien, dan menjadi lebih inklusif,” ujar Muliaman.

Muliaman menambahkan, “Mestinya fintech jangan dianggap sebagai ancaman bagi bank. Bagaimana itu bisa direalisasikan, tergantung dengan engagement yang dibangun. Dengan demikian, fintech [harusnya] bisa dianggap sebagai enabler [bagi sektor keuangan] dan bisa membawa industri keuangan nasional ke arah yang lebih baik.”

Menggeliatnya industri fintech yang dimulai sejak setahun belakangan ini juga memicu OJK untuk menerbitkan regulasi di ranah keuangan berbasis teknologi. Rencananya, regulasi ini akan mulai kelihatan batang hidungnya di akhir tahun. Saat ini, pelaku fintech yang sudah beraktivitas masih menjalalankan bisnisnya dengan peraturan yang sudah ada.

Menantang institusi keuangan konvensional demi melahirkan inovasi

Jajaran direksi Modalku dan Oliver Wyman usai press conference / DailySocial
Jajaran direksi Modalku dan Oliver Wyman usai press conference

Di saat yang bersamaan dengan digelarnya Indonesia Fintech Conference 2016, Oliver Wyman dan Modalku juga menerbitkan sebuah laporan berjudul “Time for Marketplace Lending: Addressing Indonesia’s Missing Middle”. Di sana, desebutkan bahwa peluang untuk usaha di bidang fintech berlimpah, khususnya marketplace lenders.

Bila peluang itu dioptimalkan maka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar $130 miliar dengan mengisi kekosongan dana sebesar $54 miliar bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Indonesia sendiri memiliki lebih dari 57 juta usaha mikro, namun hanya satu persen dari usaha itu yang dapat berkembang menjadi UKM dengan daya saing yang baik.

Untuk merealisasikan hal tersebut perlu kolaborsi dari berbagai pihak terkait. Dalam hal ini adalah para pelaku fintech dengan intitusi keuangan lainnya, seperti bank. Tujuan akhir yang harusnya dicapai adalah menumbuhkan ekosistem keuangan yang jauh lebih sehat dari saat ini.

CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, “Untuk bekerja sama dengan bank, obyektifnya sebenarnya sangat simple. Bank tidak bisa merangkul semuanya dan tidak semua bisa dirangkul oleh bank atau institusi keuangan lainnya. Jadi, kolaborasi ditujukan untuk membuat sebuah market baru [dan] kami [bank dengan fintech] bisa sama-sama merangkul UKM-UKM ini yang sebelumnya tidak bisa mendapatkan akses [finansial].”

“Jadi bersama dengan pihak bank lainya kami [fintech dan bank] bersama-sama memberikan solusi sehingga bisa menjaga mereka [UKM] dan bank bisa menumbuhkan ekosistemnya lagi. Banyak detail jenis-jenis kerja samanya, namun secara general itulah tujuan utamanya,” tambahnya.

Sementara itu Head Partner Oliver Wyman Indonesia Jason Ekberg percaya bahwa fintech sebenarnya memiliki peran yang strategis di industri keuangan bila banyak berkolaborasi dengan bank. Menurut Jason, bank sebagai institusi keuangan konvensional saat ini memiliki metode yang ketinggalan jaman dan fintech harusnya dapat menantang berbagai institusi keuangan konvensional tersebut untuk mendorang lahirnya inovasi baru.

Sebagai informasi, Modalku yang baru beroperasi di Indonesia selama kurang lebih tiga bulan, mengklaim telah berhasil menyalurkan dana sebesar Rp 3,4 miliar kepada UKM di Indonesia. Sebelumnya, Modalku juga telah menjalin kerja sama dengan bank Sinarmas sebagai escrow agent. Menurut COO Modalku Iwan Kurniawan, saat ini Modalku juga tengah berupaya membuka peluang kerja sama dengan bank lainnya, terutama yang banyak bermain di segmen UKM.

Industri fintech saat ini memang tengah menggeliat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga secara global. Menurut laporan Accenture yang baru-baru ini diterbitkan, Asia Pasifik adalah menjadi salah satu wilayah dengan pertumbuhan investasi fintech yang cukup besar. Peningkatannya mencapai empat kali lipat sepanjang tahun 2015, atau senilai $4,3 miliar.