OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang menggodok aturan baru untuk subsektor fintech lainnya. Setelah pada akhir tahun lalu menerbitkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis fintech peer to peer lending (P2P lending) yang bergerak di off balance sheet, kini OJK bakal menerbitkan aturan serupa untuk yang bergerak di on balance sheet.

Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani menjelaskan, regulator mempertimbangkan penerbitan aturan ini bertujuan agar perusahaan fintech P2P lending yang bergerak di on balance sheet tidak bertabrakan dengan industri perbankan dan pembiayaan.

Pasalnya, ketiganya memiliki kemiripan bisnis dan tujuan yang sama yakni meningkatkan likuiditas di masyarakat, hanya saja cara yang dilakukan berbeda. Nantinya, dalam aturan tersebut akan mengatur ketentuan gearing ratio, syarat permodalan, model bisnis, dan lainnya.

Gearing ratio adalah jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri perusahaan. Aturan ini dipakai dalam industri pembiayaan dan diatur dalam PMK No.84/2006, ketentuannya gearing ratio dibatasi maksimal 10 kali.

Sebagai ilustrasi, perusahaan bermodal Rp 100 miliar dapat memperoleh pinjaman atau utang sebagai sumber pendanaan untuk menyalurkan pembiayaan maksimal 10 kali dari modal, yakni Rp1 triliun.

“Mereka itu [P2P lending on balance sheet] seperti multifinance dengan skala kecil. Nanti dalam aturannya, tidak akan kami buat seketat multifinance ataupun perbankan karena mereka itu bukan deposit taking (ambil dana dari masyarakat). Tapi harus tetap ada aturan gearing ratio-nya,” terang dia, Selasa (14/2).

Firdaus menganjurkan, sebelum aturan ini terbit, sebaiknya para perusahaan fintech P2P lending on balance sheet yang sudah beroperasi untuk tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian demi perlindungan konsumen.

Tak hanya itu, regulator pun nantinya akan mengidentifikasi identitas perusahaan P2P lending itu sendiri, jangan sampai mereka bergerak di ranah deposit taking. Sebab, ranah tersebut hanya ada di perbankan saja.

“OJK akan diskusi lebih dalam berbicara dengan perbankan dan pembiayaan, mereka [P2P lending on balance sheet] itu sebenarnya ada di segmen mana. Jangan sampai ada segmentasi, sebab dikhawatirkan terjadi persaingan yang tidak sehat,” tambah Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly F. Pardede.

Dumoly memperkirakan agar perusahaan P2P lending on balance sheet tidak bertabrakan dengan perbankan ataupun pembiayaan, mereka harus bergerak ke segmen medium ke bawah sehingga batasan pinjamannya pun bakal dibatasi.

Sebagai gambaran, beberapa pemain P2P lending on balance sheet yang mulai dikenal masyarakat diantaranya adalah UangTeman. Perusahaan ini telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 35 miliar pada tahun lalu. Tahun ini UangTeman menargetkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 100 miliar, caranya dengan ekspansi ke daerah baru, misalnya Bali.

Ada 600 layanan fintech beroperasi di seluruh Indonesia

OJK mencatat sampai saat ini terdapat 600 perusahaan fintech (dalam artian luas) yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 157 perusahaan yang melaporkan kegiatannya ke OJK. Dari 157 perusahaan, diperkirakan hanya 120 perusahaan fintech yang lolos sesuai dengan persyaratan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

“Dari jumlah tersebut, baru 157 fintech yang mendaftar ke OJK. Mereka belum diberikan pengesahan izin pendaftaran karena kami masih identifikasi mana yang masuk POJK Nomor 77 mana yang tidak,” kata Dumoly.

Dumoly bilang, proses klasifikasi sudah dilakukan sejak tahun lalu. Dari proses tersebut, diketahui hampir separuh dari pemegang saham perusahaan fintech dikuasai oleh pemilik asing.

Padahal, dalam POJK Nomor 77, aturan kepemilikan saham asing hanya boleh menguasai maksimal 85%. Menanggapi hal tersebut, menurut Domoly, nantinya regulator akan memberi waktu selama satu tahun untuk memenuhi sesuai ketentuan.

OJK: Batas Modal Minimum Layanan Fintech Peer-to-Peer Bakal Tertinggi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menetapkan besaran modal minimum untuk pemain fintech bakal disesuaikan dengan bisnis yang dijalankan. Regulator menilai fintech yang bermain di bisnis peer-to-peer lending akan tertinggi batas modal minimumnya dibandingkan bisnis fintech lainnya.

Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, mengatakan dalam rapat dengar pendapat yang diadakan regulator seminggu yang lalu, pihaknya menerima banyak masukan dari pelaku usaha. Pada intinya, mereka meminta OJK agar tidak membuat aturan jadi terlalu keras dan rigid agar ruang gerak fintech tidak terbentur.

Mereka, sambungnya, juga meminta agar modal minimal agar tidak terlalu besar, dibedakan sesuai jenis usahanya. Terkait hal ini, Firdaus menuturkan regulator akan memberikan waktu kepada pelaku untuk memenuhi secara bertahap dalam kurun waktu tertentu. Namun dengan syarat sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu harus melapor pengajuan izin ke OJK.

“Dari semua masukan akan kami pertimbangkan, namun yang pasti aturan permodalan akan diatur sesuai jenis bisnisnya. Kepastian besarannya belum ditentukan, masih meminta tanggapan dari para pelaku. Yang pasti mereka minta syarat modal untuk P2P bakal jadi terbesar dari bisnis lainnya,” ujarnya, Rabu (9/11).

[Baca juga: Menilik Lima Poin “Policy Paper” yang Diajukan UangTeman ke OJK]

Dari catatan OJK, selama setahun ini pertumbuhan fintech di Tanah Air memang cukup signifikan. Dari 120 layanan fintech, total asetnya mencapai Rp 100 miliar, sekitar 51 perusahaan bermain di sistem pembayaran, 18 perusahaan P2P, dan sisanya di bidang lainnya.

“Besarnya perkembangan fintech, kami menilai perlu perbaikan dan sistem pengawasan untuk pengaturannya.”

OJK dapat 40 poin masukan

Saat dihubungi DailySocial, CEO dan Co-founder Modalku Reynold Wijaya mengatakan dari hasil rapat terakhir, OJK mendapat 40 poin masukan dari para pelaku. Adapun detilnya tidak bisa diungkapkan oleh Reynold sebab sifatnya yang rahasia dan tidak bisa diketahui publik.

Dia hanya menerangkan, setelah membaca Rancangan POJK (RPOJK) fintech pada umumnya seluruh pelaku usaha yang hadir menyatakan tidak ada isu sama sekali. Isinya rancangan tersebut dinilai sudah mewakili seluruh keinginan dari pelaku usaha.

Mendukung pernyataan dari Firdaus sebelumnya, Reynold menyatakan salah satu poin masukan yang didapat OJK adalah modal minimal untuk bisnis P2P memang harus dibedakan. Mengingat bisnis ini mengambil dana dari masyarakat, sehingga perlu menjaga aspek prudential.

“OJK cukup satu sepahaman dengan pelaku usaha, mereka juga terbuka dengan masukan. Apapun hasilnya kami dukung,” pungkasnya.

Banyak Inisiatif Baru Lahir di Indonesia Fintech Festival & Conference Hari Kedua

Selesai sudah perhelatan ajang terbesar bagi industri keuangan dan teknologi di Indonesia, hasil kerja sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Banyak tamu kehormatan yang hadir di sini, mulai dari Presiden RI Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Agus D Martowadojo, dan menteri lainnya.

Pemerintah secara terang-terangan mendukung perkembangan industri financial technology (fintech) dengan mengeluarkan berbagai aturan untuk mendorong perkembangan ekosistemnya. Presiden Joko Widodo mengatakan fintech bisa menjadi solusi untuk memperluas akses masyarakat Indonesia yang ada di pelosok daerah dan belum terjangkau oleh jasa keuangan dari perbankan.

“Misalnya untuk UKM, masih jarang ada catatan keuangannya karena mereka merasa ribet. Hal inilah yang membuat mereka sulit mengakses permodalan ke bank. Ini juga menandakan tingkat keuangan inklusi perlu ditingkatkan dari hal yang paling dasar yakni dengan meningkatkan literasi keuangan masyarakat,” kata Presiden, Selasa (31/8).

Presiden juga ingin mengajak semua masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi, terutama anak muda yang bergerak di fintech agar dapat terus menghasilkan terobosan seperti aplikasi digital yang berguna dalam meningkatkan inklusi keuangan.

Presiden Joko Widodo menghadiri Indonesia Fintech Festival & Conference 2016
Presiden Joko Widodo menghadiri Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan pemerintah akan membuat formulasi kebijakan, pengaturan, dan kerangka aturan untuk mendorong industri fintech bisa lebih berkembang. Bahkan, sambung dia, apabila diperlukan akan ada insentif dan fasilitas tertentu yang bisa dinikmati fintech agar industri tersebut ke depannya bisa menjadi kekuatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampak lanjutnya, akan dapat mengurangi pengangguran, menambah lapangan pekerjaan, dan akhirnya dapat memecahkan masalah kemiskinan dan kesejahteraan. “Oleh karena itu, saya bersedia untuk duduk bersama agar kita semua bisa mengidentifikasi kerangka kebijakan apa saja yang diperlukan sehingga Indonesia bisa dengan cepat menumbuhkan fintech yang dapat memperluas kesempatan,” terang Sri.

Regulator akan terbitkan aturan

BTPN adalah salah satu bank yang melihat adopsi teknologi sebagai masa depan perbankan. BTPN baru saja meluncurkan Jenius
BTPN adalah salah satu bank yang melihat adopsi teknologi sebagai masa depan perbankan. BTPN baru saja meluncurkan Jenius

Sebagai bank sentral, Gubernur BI Agus D Martowadojo mengatakan bulan depan BI akan menerbitkan Peraturan BI (PBI) terkait fintech, yakni mengenai pemrosesan transaksi pembayaran. Beberapa poin yang akan dimasukkan oleh BI, mulai dari perusahaan fintech harus berbadan hukum, wajib melakukan transaksi dalam mata uang Rupiah, dan wajib menyimpan likuiditasnya di bank. “Kami ingin berikan arahan umum kalau seandainya ada pelaku fintech dari internasional yang masuk ke Indonesia. Kemudian, melakukan transaksi harus dalam Rupiah, dan penyimpanan dananya harus di bank,” kata Agus.

Secara umum BI membedakan perusahaan fintech ke dalam empat kelompok utama. Pertama, kelompok deposit, lending, dan capital rising. Dalam kelompok ini juga mencakup model bisnis crowdfunding dan peer-to-peer lending.

Kedua, kelompok payments, clearing, dan settlement, termasuk pembayaran melalui situs mobile dan desktop. Terakhir, kelompok market provisioning dan investasi, dan manajemen risiko.

BI, lanjut dia, akan membangun fintech office, suatu pendampingan khusus dalam mengembangkan bisnisnya. Lalu, akan diberikan pandangan mengenai kebijakan moneter dan makroprudensial Indonesia agar lebih mengenal iklim usaha. Lalu, BI juga akan berinisiatif meluncurkan inkubator.

Berikutnya, OJK akan menerbitkan aturan untuk dua segmen fintech. Pertama, untuk peraturan fintech akan lebih diarahkan ke perusahaannya. Sementara, untuk fintech startup akan diberikan kelonggaran.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan peraturan akan dibuat sederhana guna menghindari startup fintech jadi sulit berkembang. “Peraturan sedang kita matangkan supaya pas, kalau kebanyakan aturan akan mati,” ujarnya.

Untuk fintech baru, ada dua segmen yang akan diatur OJK yaitu crowdfunding dan pembayaran digital. Crowdfunding dalam kerangka aturan OJK, akan mengatur dan mengawas aspek pendanaan dari angle investor yang harus tunduk terhadap regulasi terkait (BI, BKPM, dan DJP) disclosure, prudential, dan keamanan data personal.

Pembayaran digital akan diatur mengenai pengawasan terhadap aspek disclosure, prudential terkait produk yang ditawarkan, keamanan data personal, dan keamanan deposit dana dalam bentuk digital. Lalu pengaturan koordinasi dan pengawasan dengan BI dan Kemkominfo atas aspek dana digital.

Sementara itu, OJK juga akan menerbitkan aturan baru untuk IKNB yang bertransformasi fintech. Ada tiga segmen industri yang akan diatur, pembiayaan & ventura menjadi marketplace lending, asuransi menjadi specialist insurance market, dan agen & broker IKNB fintech advisor.

“Kami targetkan seluruh aturan ini dapat terbit paling cepat Oktober mendatang atau paling lambat sebelum akhir tahun ini,” kata Kepala Eksekutif Pengawas IKNB Firdaus Djaelani.

Bentuk kolaborasi

Dari kalangan pelaku usaha, di hari kedua IFFC telah meresmikan beberapa kerja sama strategis. Pertama, antara portal investasi digital Bareksa dengan penyedia pembayaran elektronik DOKU. Kerja sama ini memungkinkan pengguna DOKU bisa menginvestasikan uangnya ke instrumen reksadana.

Kemudian, kerja sama antara Bank Danamon dengan Investree untuk tujuan sistem cash management. Terakhir, antara Bank Sinarmas dengan Dimo Pay dan Cashlez.

[Baca juga: Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas]

Dari hasil survey Deloitte Consulting, lebih dari 70 fintech di Indonesia sangat berharap adanya kolaborasi dengan lembaga keuangan. Lebih dari separuh menyebut kolaborasi menjadi sangat penting untuk mengembangkan potensi industri keuangan Indonesia di masa mendatang.

Lebih detil diterangkan dalam survey, mayoritas fintech ingin berkolaborasi dengan institusi keuangan lokal (66,2%), fintech lokal (47,1%). Mereka juga ingin membentuk kolaborasi dengan korporasi atau konglomerasi lokal (44,1%) dan perusahaan teknologi startup lokal dari industri lain (44,1%).


Disclosure: DailySocial adalah salah satu anggota komite Indonesia Fintech Festival & Conference 2016

OJK akan Gandeng Pelaku Fintech untuk Susun Regulasi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah dalam proses penyusunan regulasi mengenai industri finansial teknologi atau fintech. Dalam penyusunan regulasi ini OJK juga akan mengikutsertakan industri, dalam hal ini para pemain di sektor fintech, untuk memberi masukan perihal poin-poin yang akan diatur dalam regulasi.

Seperti dikabarkan Liputan6, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani mengungkapkan bahwa fintech tidak hanya melibatkan satu industri IKNB saja, tetapi juga perbankan dan pasar modal. Jadi saat ini OJK tengah menyiapkan sebuah aturan yang akan mengatur semuanya.

Firdaus juga menilai bahwa regulasi ini mendapat sambutan positif dari pihak-pihak terkait. Bahkan para pelaku industri yang meminta untuk segera ada regulasi atau aturan di sektor ini.

“Memang mereka minta diatur bersama OJK, katanya kalau nggak diatur mereka kesulitan. Misalnya ketika mengajukan kredit buat permodalan dengan bank. Bank kan tanya Anda diawasi siapa, kan seperti itu,” tutur Firdaus.

Sementara itu, masih dari sumber yang sama ,Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengaku pihaknya juga akan bekerja sama dengan otoritas di beberapa negara seperti Singapura dan Tiongkok untuk mengetahui cara negara-negara tersebut dalam mengatur industri fintech.

“Kami juga berencana menggelar Fintech Festival agar bisa lebih dekat dan memahami keberadaan mereka,” ujar Muliaman.

Ia juga mempersilakan perusahaan fintech untuk beroperasi meskipun belum ada regulasi khusus yang mengatur industri saat ini. “Yang ada sekarang silakan beroperasi, tapi mereka harus sering-sering bertemu dengan kami. Melaporkan seperti apa kegiatannya,” jelasnya.

Salah satu pelaku industri fintech yang turut berdiskusi dan memberi masukan kepada OJK adalah UangTeman. Founder UangTeman Aidil Zulkili juga mengaku telah berdiskusi, menyampaikan masukan, dan juga memberikan materi-materi riset sebagai referensi dan apresiasi ke OJK.

Menurut Aidil selama satu tahun beroperasi di Indonesia ia melihat ada beberapa fokus yang perlu diperhatikan dalam penyusunan regulasi seputar fintech ini. Di antaranya mengenai perlindungan konsumen, standar keamanan sistem online, perlindungan data, agen penagih yang terstandarisasi dan manajemen keuangan dan risiko yang kuat untuk pemberi pinjaman online.

Ia juga menilai regulasi di Inggris dan Amerika Serikat bisa menjadi salah satu referensi yang bisa diterapkan di Indonesia, tentu dengan sejumlah penyesuaian.

Dikutip dari halaman resmi OJK, Muliaman menjelaskan OJK merasa perlu adanya mekanisme perizinan bagi perusahaan fintech yang akan memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat.

Selain itu, mengingat fintech yang melibatkan banyak sektor, atau lintas sektoral, maka diperlukan kerja sama dan koordinasi yang baik antar otoritas terkait, seperti OJK, BI, Kominfo, Perdagangan, Perindustrian dan regulator lain yang terkait sehingga bisa memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan perekonomian.

 

Enam Modal Ventura Asing Berminat Beroperasi di Indonesia

Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menertibkan modal ventura di tahun 2016 tak menciutkan minat para pelakunya, terutama yang berasal dari luar negeri, untuk melebarkan sayap ke Indonesia. Setidaknya, ada enam perusahaan modal ventura luar negeri baru yang menunjukkan minat untuk beroperasi di Indonesia. Meski tak disebutkan nama-nama badannya, OJK mengungkap bahwa enam modal ventura ini mewakili Tiongkok, Hong Kong, Malaysia, dan Indonesia itu sendiri.

Dikutip dari DealStreetAsia, Komisaris Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Dumoly F Pardede mengatakan, “Enam perusahaan telah mengajukan permohonan izin untuk OJK dari Malaysia, Hong Kong, Cina, dan Indonesia. Kami akan memproses [aplikasi] sesegera mungkin.”

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Firdaus Djaelani juga mengungkapkan bahwa pihaknya sejauh ini telah mengidentifikasi 15 perusahaan modal ventura asing yang berencana untuk berinvestasi di startup lokal.

Sebelumnya, OJK juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan di akhir tahun lalu untuk venture capital (VC) atau modal ventura yang ingin mendirikan badan usaha legal dan beroperasi di Indonesia. Di antaranya adalah investor atau lembaga yang berkaitan setidaknya harus menyediakan dana sebesar Rp 50 Miliar (sekitar $3,6 juta) untuk sebuah perseroan terbatas (PT) dan Rp 25 Miliar untuk CV. Selain itu masih ada delapan poin kegiatan usaha yang harus dilakukan perusahaan modal ventura.

Alasan diterbitkannya aturan untuk menertibkan perusahaan modal ventura adalah untuk mengawasi arus masuknya dana asing ke Indonesia, mencegah upaya pencucian uang, dan melindungi industri modal ventura itu sendiri serta perusahaan rintisan lokal.

Sebagai informasi, di bawah peraturan baru yang dikeluarkan OJK sudah ada empat perusahaan modal ventura yang telah mengantongi izin untuk beroperasi di Indonesia. Mereka adalah PT Nusa Makmur Ventura, PT Reliance Modal Ventura, PT Cakrabuana Ventura Indonesia, dan PT Corpus Prima Ventura.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan laju pertumbuhan ekosistem startup teknologi yang pesat memang telah berhasil membuat beberapa perusahaan modal ventura besar tertarik, terutama untuk segmen e-commerce. Beberapa di antaranya adalah Rocket Internet, Softbank, dan Sequoia Capital.

OJK Akan Tertibkan Modal Ventura Tahun 2016

Menyambut tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memiliki rencana terkait dengan investasi startup di Indonesia. Mulai tahun depan OJK berencana menertibkan perusahaan modal ventura yang menyuntikkan modal ke perusahaan startup di Indonesia.

Dijelaskan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Firdaus Djaelani, saat ini OJK menengarai ada aktivitas perusahaan modal ventura asing dan dana asing yang masuk ke beberapa startup di tanah air. Untuk mengurangi risiko aliran dana yang tidak semestinya OJK akan melakukan penertiban.

Menurut Firdaus, startup di Indonesia biasanya belum “bankable”, atau belum tersentuh akses ke industri perbankan. Mereka biasanya mencari pembiayaan dari perusahaan modal ventura.

“2016 kita akan tertibkan modal ventura yang beri modal ke startup. Ini perlindungan sekaligus mendorong industri kreatif Indonesia,” kata Firdaus dalam acara Jumpa Pers Tutup Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (30/12/2015).

Lebih jauh Firdaus menjelaskan, di satu sisi tidak ada yang salah dengan modal ventura asing yang membiayai startup lokal. Namun ia menekankan bahwa modal ventura lokal maupun asing sama-sama harus diatur dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

Oleh sebab itu OJK meminta modal ventura asing untuk datang dan menghadap OJK. Selain itu mereka juga diminta untuk mengajukan izin dan rencana bisnis mereka. OJK pun mendorong agar modal ventura asing bekerja sama dengan modal ventura lokal dalam memberikan modal startup lokal.

“Kita upayakan ada mitra lokal sehingga bentuknya usaha patungan. Ini perlindungan terhadap persaingan pasar usaha. Masuknya dana asing harus terpantau, jangan sampai ada tindak pencucian uang atau dana untuk aktivitas yang tidak jelas dan anarkis. Makanya kita tertibkan,” papar Firdaus.

Rencana OJK untuk menertibkan sudah terdengar beberapa waktu lalu. Selain mengatur tentang pendanaan startup, OJK rencananya juga mengeluarkan aturan-aturan mengenai kegiatan usaha, perjanjian, kesehatan perusahaan, sumber pendanaan, venture fund, sanksi, dan lainnya.

The Polemic that Surrounds UangTeman

Tech-based startups that focus on financial services are mushrooming today. However, there has yet been any regulation backing them up so far. This definitely draws public’s attention. UangTeman’s case study can be one of examples to that. Continue reading The Polemic that Surrounds UangTeman

Di Balik Polemik UangTeman dan Regulasi Praktik Peminjaman Uang

/ Shutterstock

Beberapa tahun belakangan ini, pertumbuhan perusahaan rintisan yang bergerak di segmen finansial mulai menjamur, kebanyakan dari mereka memanfaatkan teknologi sebagai basisnya. Meskipun demikian kehadiran mereka belum didukung oleh aspek lain, seperti regulasi. Kehadiran startup peminjaman uang UangTeman merupakan contoh yang menuai opini tajam di masyarakat.

Continue reading Di Balik Polemik UangTeman dan Regulasi Praktik Peminjaman Uang

OJK Segera Terbitkan Peraturan untuk Tingkatkan Peranan VC dan Mudahkan Penggalangan Dana

OJK segera beri kemudahan VC untuk menggalang dana / Shutterstock

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menerbitkan Peraturan OJK (POJK) untuk mendorong peningkatan peranan perusahaan modal ventura (PMV – Venture Capital/VC) dalam ekosistem kewirausahaan di Indonesia. OJK juga akan mengajukan usulan insentif perpajakan bagi VC berupa pengurangan PPh final atas transaksi penjualan atau pengalihan penyertaan modal.

Continue reading OJK Segera Terbitkan Peraturan untuk Tingkatkan Peranan VC dan Mudahkan Penggalangan Dana