Bicara Soal Tantangan dan Peluang Pasar Game di Asia

Apabila kita melihat peta perkembangan game dan esports, besarnya potensi pasar Asia mungkin memang sudah diakui banyak pelaku industri. Pada Agustus 2020 lalu saja misalnya, dikabarkan bahwa pemasukan industri esports di Asia menembus angka Rp7,6 triliun. Selain itu, perkembangannya di Asia secara umum juga tergolong cukup pesat yang didorong oleh perkembangan mobile gaming.

Karenanya, tidak heran apabila beberapa developer game asal negara barat seperti Riot Games mulai melakukan penetrasinya ke pasar game di Asia, termasuk Indonesia. Dalam satu kesempatan, Daniel Ahmad selaku Senior Analyst dari Niko Partners sempat berbagi soal potensi dan juga beberapa hal yang patut dipahami soal pasar game di Asia dalam salah satu seri artikel The Collective yang dibuat oleh Lewis Silkin.

Dalam hal skala pasar game di Asia, Daniel sendiri mengatakan bahwa Asia merupakan salah satu kawasan gaming terbesar di dunia. Ada total sekitar US$80 juta pemasukan yang didapatkan dari industri game, 1,5 miliar gamers, dan lebih dari 500 juta orang penggemar esports di Asia.

Esports yang juga menjadi salah satu fenomena di Indonesia. Sumber: MPL Official

Lebih lengkap soal demografi, Daniel Ahmad pun menjelaskan. “Sebagai contoh demografi, kami ada data gamers di negara Tiongkok. Dari 720 juta orang pemain games, rata-ratanya berada di usia 18 hingga 35 tahun dengan 90% di antaranya bermain game setidaknya 60 menit selama 1 bulan. Lalu 18% di antaranya bermain game selama 30 jam lebih per pekan dan 80% dari gamers menonton video orang bermain game (rekaman ataupun live stream) di waktu senggang.”

Lalu dalam hal esports, Daniel Ahmad juga menjelaskan sedikit alasan kenapa esports bisa berkembang pesat dan sangat berarti bagi gamers di wilayah Asia.

“Saya rasa alasan perkembangan popularitas esports yang eksplosif di Asia pada dasarnya adalah karena ada persimpangan antara kompetisi dan komunitas di dalam esports. Kehadiran esports juga memberikan kesempatan bagi pemain untuk berinteraksi dengan sebuah game secara lebih mendalam, lebih berarti, seraya membagikan pengalaman tersebut kepada kawan.” Tutur Daniel.

Bergerak ke arah bisnis, pembahasan lalu berlanjut soal peluang monetisasi dari in-app purchases dalam ranah pasar Asia. Sejauh ini game free-to-play memang terlihat menunjukkan perkembangan yang pesat. Beberapa contohnya mungkin bisa kita lihat dari jajaran game mobile yang pemasukannya menembus angka US$1 miliar lebih. Selain itu, perkembangan esports hingga saat ini sebenarnya juga bisa dibilang jadi salah satu kausalitas dari kehadiran game free-to-play.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa model free-to-play memang menjadi salah satu model bisnis yang paling diandalkan oleh industri game di Asia.

“Asia adalah yang paling terdepan dalam hal model bisnis dan model distribusi di dalam video game. Free-to-play adalah salah satu yang populer sebagai model distribusi di Asia selama kurang lebih dua dekade belakangan. Ditambah besar dan cepatnya perkembangan mobile gamers juga telah menjadi lahan yang subur bagi para developer untuk bereksperimen dengan model monetisasi free-to-play seperti in-app purchases dan mekanik ‘gacha’. Meski gacha dan loot boxes memang diregulasi di kawasan Asia, namun game seperti Genshin Impact telah menjadi bukti bagaimana model free-to-play ternyata juga bisa sukses di pasar barat.”

Kesuksesan PUBG Mobile juga bisa dibilang jadi salah satu bukti penerapan model free-to-play yang tepat. Sumber: Tencent

Menutup perbincangan, Daniel Ahmad lalu juga membicarakan soal tantangan dan peluang bagi developer game yang ingin sukses di pasar Asia. Dalam hal peluang, Daniel membicarakan soal pentingnya memahami siapa sosok gamers yang ingin dituju. “Ada beragam sub-kebudayaan di antara para gamers di Asia sehingga ada berbagai cara untuk menjangkau dan bekerja sama dengan mereka.” Ucap Daniel Ahmad.

“Dalam laporan Niko Partners yang membahas soal gamers di Tiongkok, kami membuat catatan bahwa kebanyakan gamers cenderung lebih percaya dengan Key Opinion Leaders (disebut juga influencers) dalam hal memilih produk yang tepat, ketimbang dengan iklan tradisional ataupun orang marketing.” Tambah Daniel.

Membicarakan tantangan, Daniel mengatakan soal regulasi, terutama apabila ingin mencoba masuk ke pasar Tiongkok. “Masalah regulasi adalah salah satunya, terutama di Tiongkok karena seorang developepr harus mendapatkan izin pemerintah terkait konten yang akan disajikan dari sebuah game. Selain Tiongkok, Vietnam juga memiliki regulasi ketat tersebut.” Ucap Daniel.

Strategi Garena Di Balik Kesuksesan Free Fire

Bahkan setelah esports menjadi populer, mobile esports sempat dianaktirikan, dipandang sebelah mata. Namun, perlahan tapi pasti, anggapan itu mulai berubah. Ekosistem mobile esports kini juga mulai tumbuh. Dan hal ini terjadi berkat kemunculan sejumlah mobile game kompetitif, baik game dengan genre MOBA seperti Mobile Legends maupun game battle royale, seperti PUBG Mobile dan Free Fire.

Faktanya, Free Fire dari Garena berhasil menyabet penghargaan mobile esports terbaik tahun ini. Lalu, bagaimana strategi Garena sehingga mereka bisa membuat Free Fire sukses di dunia?

 

Bisnis Lisensi Game Garena

Sebelum membahas tentang Free Fire, mari kita membahas sejarah Garena secara sekilas. Garena didirikan di Singapura pada 2009. Ketika itu, mereka merupakan developer game. Pada 2017, mereka mengganti nama mereka menjadi Sea Limited. Meskipun begitu, Garena masih digunakan sebagai nama divisi hiburan/game dari perusahaan itu.

Selain bisnis game, Sea juga punya dua divisi lain, yaitu layanan e-money dan e-commerce, yaitu Shopee. Dari ketiga divisi Sea, Shopee merupakan divisi dengan pertumbuhan paling pesat. Namun, hal itu bukan berarti Shopee telah mendapatkan untung. Garena, yang pendapatannya naik 61,6% pada Q2 2020, masih menjadi tulang punggung untuk Sea.

Garena sendiri punya beberapa sumber pemasukan. Salah satunya adalah licensing game. Dengan model bisnis ini, Garena akan membeli lisensi sebuah game dan merilisnya di Asia Tenggara. Beberapa game yang lisensinya Garena miliki antara lain League of Legends, FIFA Online 3 dan 4, Point Blank, Blade & Soul, Arena of Valor, dan Call of Duty: Mobile. Garena menampilkan game-game tersebut di platform distribusi digital mereka, seperti Uplay milik Ubisoft atau Origin dari EA.

Platform distribusi game milik Garena.
Platform distribusi game milik Garena.

Jika Anda memerhatikan game-game yang lisensinya Garena beli, Anda akan menyadari bahwa semua game itu punya model bisnis yang sama, yaitu free-to-play. Dengan game gratis, Garena dapat menjangkau lebih banyak gamer dengan lebih mudah. Pasalnya, di kawasan negara berkembang seperti Asia Tenggara, Amerika Latin, dan India, para gamer cenderung untuk tidak membeli game. Mereka lebih suka untuk memainkan game gratis, walau game itu menawarkan in-game purchase.

Pada 2010, Garena mendapatkan lisensi dari Riot Games untuk meluncurkan League of Legends di Asia Tenggara. Memang, League of Legends terbilang kurang sukses di Indonesia dan negara-negara tetangga. Meskipun begitu, keberhasilan Garena untuk menjalin kerja sama dengan Riot membuat mereka dikenal oleh perusahaan-perusahaan game global, termasuk Tencent.

Pada November 2018, Tencent dan Garena itu menandatangani letter of intent yang menyebutkan bahwa Garena akan menjadi opsi pertama Tencent jika mereka ingin merilis game di Indonesia, Taipei, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Berkat kerja sama ini, Tencent dapat merilis sejumlah game-game ternama, seperti Arena of Valor, Contra: Return, dan Call of Duty: Mobile.

Call of Duty: Mobile adalah game milik Activision. Namun, Garena bisa merilisnya di ASEAN berkat kerja sama dengan Tencent.
Call of Duty: Mobile adalah game milik Activision. Namun, Garena bisa merilisnya di ASEAN berkat kerja sama dengan Tencent.

Kerja sama dengan Tencent tentu menguntungkan Garena. Berkat kolaborasi itu, Garena tidak hanya dapat merilis game-game populer, tapi juga dapat belajar tentang cara mengembangkan game dan operasinal perusahaan dari Tencent. Nantinya, ilmu yang Garena pelajari ini akan sangat membantu mereka ketika mereka memutuskan untuk membuat game sendiri.

Tentu saja, Tencent juga mendapatkan untung. Kerja sama bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak saling menguntungkan. Tencent melihat Garena sebagai perusahaan berpengalaman. Jadi, Tencent tak ragu untuk memercayakan peluncuran sejumlah game di Asia Tenggara pada Garena. Nilai kerja sama dengan Garena menjadi semakin tinggi bagi Tencent ketika pemerintah Tiongkok memperketat peraturan terkait game-game yang bisa diluncurkan di Tiongkok. Karena Tencent harus menunda peluncuran game-game di negara asal mereka, mereka akhirnya memutuskan untuk mencoba dan merilis game di Asia Tenggara dengan bantuan Garena.

Bisnis licensing game memang berhasil membuat Garena sukses. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, distribusi game di Asia Tenggara menjadi semakin mudah berkat keberadaan platform seperti Steam untuk game PC dan Play Store serta App Store untuk mobile. Para developer game merasa, mereka bisa merilis game mereka sendiri tanpa bantuan perusahaan perantara seperti Garena.

Karena bisnis licensing game mulai menjadi tak populer, Garena lalu memutuskan untuk membuat dan meluncurkan game sendiri. Hal inilah yang akan menjadi awal dari Free Fire.

 

Strategi Garena di Free Fire

Garena membuat studio game pertama mereka pada 2014. Ketika itu, mereka mencari developer berbakat dari Asia Tenggara dan Tiongkok. Bersama 111dots — developer asal Vietnam — Garena mengembangkan Free Fire. Game battle royale itu lalu diluncurkan pada September 2017. Mengingat game itu dibuat sendiri oleh Garena, mereka tidak lagi perlu untuk membayar biaya lisensi pada pihak developer, yang berarti mereka bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari Free Fire.

Dengan cepat, Free Fire menjadi populer di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Memang, pada awal 2017, game dengan genre battle royale tengah populer. Banyak game-game battle royale yang bermunculan. Namun, Garena dapat menggunakan strategi yang tepat sehingga mereka bisa sukses dengan Free Fire, khususnya di kawasan negara berkembang.

Salah alasan mengapa Free Fire bisa sukses adalah karena game tersebut merupakan mobile game. Pada 2017, game battle royale memang menjamur. Namun, kebanyakan developer memilih untuk membuat game untuk PC. Sementara game battle royale untuk mobile masih belum banyak. Dengan menjadikan Free Fire sebagai mobile game, Garena tak perlu bersaing dengan banyak pihak.

Selain itu, Garena juga fokus mengoptimalkan Free Fire sehingga game itu bisa dimainkan di perangkat ‘kentang’ sekalipun. Dengan ini, semakin banyak mobile gamer yang bisa dijangkau. Pendekatan Garena berbeda dengan Epic Games, yang juga merilis Fortnite untuk mobile. Versi mobile Fortnite memerlukan smartphone dengan spesifikasi yang cukup tinggi. Hal ini justru membuat game buatan Epic itu menjadi kurang populer.

Free Fire tidak menuntunt spesifikasi tinggi.
Free Fire tidak menuntunt spesifikasi tinggi.

Tak berhenti sampai di situ, Garena juga memastikan, ukuran file Free Fire tidak terlalu besar. Dengan begitu, orang-orang yang koneksi internetnya tidak terlalu bagus tetap bisa mengunduh dan memainkan game tersebut. Meskipun begitu, Garena tetap mencoba untuk membuat Free Fire tampil unik dengan menambahkan skill pada karakter. Sementara untuk masalah monetisasi, Garena menggunakan model in-game purchase. Selain itu, mereka juga menjual battle pass yang dinamai Elite Pass.

Semua faktor di atas berhasil membuat Free Fire sukses. Namun, Free Fire tidak akan bertahan sampai sekarang jika Garena tidak bisa membuat game itu tetap menarik di mata para gamer. Untuk memastikan para gamer tetap memainkan Free Fire, Garena terus memberikan update berupa campaign dan event. Selain update berkala, strategi lain dari Garena adalah fokus pada pelokalan. Memang, perusahaan asal Singapura itu tidak hanya punya kantor di negara asalnya, tapi juga enam negara lain, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Taipei.

Tugas tim lokal adalah untuk memastikan kegiatan marketing dan promosi yang Garena lakukan bisa diterima dengan baik. Misalnya, di Indonesia, Garena menjadikan Joe Taslim sebagai brand ambassador dari Free Fire. Mereka bahkan membuat karakter bernama Jota yang didasarkan pada artis tersebut. Dengan begitu, tim utama Garena akan bisa fokus pada pengembangan Free Fire.

Setiap negara punya budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda. Misalnya, soal makanan, masyarakat Indonesia cenderung makan nasi. Meskipun sudah memakan makanan kaya karbohidrat seperti pizza sekalipun, orang Indonesia tetap merasa belum makan kalau belum menyantap nasi. Begitu juga dengan game. Di Asia Tenggara, negara-negaranya adalah mobile first. Jadi, jangan heran jika mobile game sangat populer di Indonesia dan negara-negara sekitar.

Salah satu hal yang membuat Garena sukses dengan Free Fire adalah karena sejak awal, mereka memang menyasar pasar Asia Tenggara. Padahal, biasanya, perusahaan game besar justru fokus ke pasar-pasar game besar, seperti Amerika Utara, Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Memang, pasar game di kawasan itu besar. Namun, pasarnya sudah jenuh. Jika Garena ingin menembus pasar tersebut, mereka harus siap bersaing dengan perusahaan-perusahaan game ternama lainnya.

Namun, karena Garena fokus pada Asia Tenggara, persaingan yang mereka hadapi tidak terlalu ketat. Selain Asia Tenggara, Garena juga fokus pada pasar kawasan negara berkembang, seperti Amerika Latin dan India. Sama seperti Indonesia, India dan Amerika Latin juga merupakan kawasan mobile first. Dan keputusan Garena untuk fokus pada kawasan negara berkembang berbuah manis.

Menurut data dari Sensor Tower soal penghasilan Garena pada Q1-Q3 2020, Asia Tenggara masih menjadi kawasan yang memberikan kontribusi terbesar pada total pemasukan Garena. Negara-negara ASEAN menyumbangkan 34,6% dari total pemasukan Garena pada 3 kuartal di 2020. Amerika Latin menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar kedua. Mereka menyumbangkan sebesar 24,5%. Posisi ketiga diduduki oleh Amerika Utara, dengan kontribusi 20,4%. Terakhir, Asia Selatan dan Asia Timur memberikan kontribusi sebesar 13%.

Pemasukan Garena selama Q1-Q3 2020.

Pemasukan Garena selama Q1-Q3 2020.

Sejak diluncurkan pada 2017, total pemasukan Garena dari Free Fire mencapai US$1,5 miliar. Sementara dari segi download, game battle royale tersebut telah diunduh sebanyak lebih dari 500 juta kali. Pada 2020, Free Fire juga diuntungkan oleh pandemi covid-19. Game itu mencetak dua rekor baru. Pada Q2 2020, jumlah pemain harian Free Fire mencapai 100 juta orang. Dan pada Juli 2020, jumlah pemain berbayar Free Fire juga mencapai rekor baru. Jumlah pemain berbayar Free Fire ketika itu mencapai lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu.

Keuntungan yang didapatkan oleh Garena dari Free Fire tak melulu berbentuk uang. Dengan Free Fire, Garena sukses untuk menciptakan reputasi sebagai perusahaan game yang mumpuni. Karena itu, jangan heran jika mereka juga mencoba untuk masuk ke pasar game kasual. Salah satu game buatan mereka adalah Garena Fantasy Town, sebuah game simulasi bercocok tanam.

 

Bagaimana Esports Membantu Garena Sukses

Di Asia Tenggara, para gamer tidak hanya senang untuk bermain game, tapi juga menonton kompetisi esports. Menurut Niko Partners, pada 2019, 60% dari total gamer di Asia Tenggara menonton konten esports. Selain itu, Asia Tenggara juga menjadi kawasan yang industri esports-nya tumbuh paling pesat. Jadi, tidak heran jika Garena lalu memutuskan untuk mengadakan kompetisi esports dari Free Fire.

Penonton esports di Asia Tenggara.
Penonton esports di Asia Tenggara.

Turnamen esports Free Fire ternyata diminati banyak orang. Buktinya, Garena World 2018 berhasil menarik 240 ribu pengunjung offline. Pada 2019, jumlah pengunjung Garena World naik menjadi 300 ribu orang. Sementara itu, Free Fire World Series 2019, yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, berhasil mendapatkan 2 juta concurrent viewers pada puncaknya. Menurut laporan Esports Charts, viewership itu menjadi rekor concurrent viewership untuk mobile game esports.

Secara keseluruhan, kompetisi Free Fire yang diadakan sepanjang Q1 2020 berhasil mendapatkan total view sebanyak 90 juta views. Pada kuartal berikutnya, angka itu naik menjadi 120 juta views. Turnamen Free Fire Asia All-Stars 2020 saja berhasil mendapatkan 20 juta views.

Keberhasilan turnamen Free Fire untuk mendapatkan banyak penonton merupakan bukti bahwa banyak orang tertarik untuk menonton kompetisi Free Fire. Dan hal ini akan memudahkan Garena untuk mencari sponsor. Tak hanya itu, esports juga dapat meningkatkan tingkat engagement dari para pemain, yang berujung pada naiknya jumlah uang yang dihabiskan oleh para gamer. Garena mengaku, usaha mereka untuk mengembangkan esports dan komunitas berbuah manis. Pada Q3 2019, penghasilan mereka naik berkat ekosistem esports dan komunitas yang solid.

 

Penutup

Garena dapat membuat Free Fire sukses di dunia karena mereka bisa melihat tren pasar dan mengambil kesempatan yang ada. Daripada membuat game battle royale untuk PC, mereka lebih memilhi membuat game untuk mobile. Dan daripada berusaha masuk ke pasar-pasar besar yang sudah jenuh, mereka lebih memilih untuk fokus ke negara-negara berkembang. Setelah itu, mereka foksu pada pelokalan, memastikan bahwa game mereka bisa diterima dengan baik.

Free Fire mungkin sering dianggap remeh karena spesifikasinya yang memang enteng, grafik yang B saja dan gameplay yang cenderung sederhana. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Garena berhasil membuat game itu sukses. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dunia game, “sukses” itu tak melulu berupa game AAA eksklusif untuk konsol terbaru.

Sumber: Niko Partners

Analis: 60 Persen Gamer di Asia Tenggara Punya Minat Tinggi Terhadap Esports

Teknologi memang memegang peranan penting dalam perkembangan industri gaming, namun pertumbuhannya di negara-negara berkembang diujungtombaki oleh esports. Begitu berpengaruhnya ranah olahraga elektronik, brand dari berbagai bidang (tidak selalu gaming) kini berlomba-lomba untuk terlibat di sana. Namun pertanyaan yang mungkin membuat kita penasaran ialah, memang seberapa besar signifikansi esports?

Jawabanya terungkap di dalam laporan Niko Partners belum lama ini. Firma analis itu mengungkapkan bahwa hampir dua pertiga penikmat video game di Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki animo tinggi terhadap esports. Data tersebut merupakan hasil studi Niko Partners di kawasan Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam serta Taiwan. Dan mereka yang berjiwa kompetitif biasanya berusia belia.

Penyelidikan Niko menyingkap bagaimana pemain di negara-negara ini terbagi menjadi tujuh kategori: competitive arena gamer, fantasy arena gamer, arena gamer, strategist, skill master, casual challenger and story socialiser. Saya belum mengetahui secara pasti kriteria seseorang bisa masuk dalam salah satu kelompok tersebut, tapi saya menerka ‘strategist‘ ialah mereka yang menyukai permainan strategi, dan ‘arena’ berkaitan dengan segmen kompetitif.

Niko Partners menjelaskan, tiga kategori gamer arena punya ketertarikan tinggi terhadap esports. Dan meskipun hanya tiga dari tujuh, saat semuanya dijumlahkan, mereka menguasai 60 persen pangsa pasar gaming. Menilik lebih jauh, kelompok competitive arena gamer di area Greater Southeast Asia ternyata mengambil potongan terbesar di 42 persen. Kalangan ini diisi oleh pemain di rentang usia antara 12 sampai 23 tahun.

Ada satu info yang mungkin bisa berguna bagi publisher dan developer: competitive arena gamer adalah kalangan yang paling banyak berbelanja produk terkait gaming. Para pemain di PC rata-rata menghabiskan uang US$ 15,8 per bulan, sedangkan gamer mobile mengeluarkan modal rata-rata US$ 10,1 sebulan.

Studi Niko Partners juga memaparkan sejumlah fakta unik lain:

  • Segmen fantasy arena gamer didominasi oleh perempuan, sedangkan di kelompok arena gamer, populasi kaum Hawa paling sedikit. Mereka bermain karena didorong oleh perpaduan antara keinginan berkompetisi serta bersosialisasi.
  • Casual challenger adalah kalangan gamer terbesar kedua, umumnya berusia 36 tahun atau lebih. Uniknya, mereka punya semangat bersaing yang tinggi seperti competitive arena gamer.
  • Kelompok skill masters diisi oleh gamer berumur 24 tahun ke atas.
  • Story socialiser mayoritas bermain di beberapa platform game berbeda.
  • Strategist sebagian besar adalah gamer PC.

Managing director Niko Partners Lisa Cosmas Hanson menyampaikan bahwa para gamer di Asia Tenggara dan Taiwan termotivasi oleh aspek-aspek seperti kompetisi, tantangan, serta keinginan menyelesaikan tugas dan berkomunitas. Keempat hal tersebut pula-lah yang menjadi nilai-nilai esensial dari esports. Menurut Hanson, inilah alasannya mengapa ranah gaming profesional tumbuh pesat di sana.

Via Games Industry.

Di Tahun 2017 Ini, Nilai Pasar Game Mobile dan Online di Asia Tenggara Diestimasi Sentuh Angka $ 2,2 Miliar

Belakangan, Anda mungkin melihat banyak sekali peluncuran produk gaming hingga dilangsungkannya turnamen-turnamen eSport kelas regional tanah air. Meski ekosistem gaming terlihat sangat ramai, para produsen hardware dan publisher selalu bersikeras bilang bahwa Indonesia masih menyimpan potensi yang begitu besar – menanti untuk dioptimalkan.

Indonesia ialah salah satu negara dengan jumlah populasi gamer terbesar, menyumbang persentase signifikan di Asia Tenggara. Pertumbuhan kawasan ini juga disebut-sebut sebagai yang paling cepat di dunia (diperkuat oleh data Acer), melampaui Amerika Latin. Dan berdasarkan laporan terbaru dari tim Niko Partners, nilai pendapatan dari ranah permainan mobile dan online di Asia Tenggara berpeluang mencapai US$ 2,2 miliar di akhir 2017.

Angka menakjubkan tersebut tentu saja diiringi oleh kenaikan jumlah gamer di Asia Tenggara. Niko Partners mengestimasi, akan ada 300 juta penikmat permainan video online dan mobile di penghujung 2017. Mereka juga memperkirakan, angka itu terus bertambah hingga menyentuh 400 juta jiwa di tahun 2021 nanti. Angka tersebut lebih banyak dari penduduk Indonesia, Malaysia, ditambah Filipina.

Lalu bagaimana dengan gamer PC? Apakah jumlahnya akan berkurang karena game mobile dan online jadi kian populer? Tidak menurut Niko Partners. Mobile gaming hanya jadi faktor penambah, dan tidak akan menggerus ekosistem PC.

Dari hasil analisis Newzoo di bulan April silam, PC diestimasi menjadi  platform ketiga dengan pemasukan terbesar setelah mobile (US$ 46 miliar) dan console (merupakan jumlah dari sistem gaming berbeda, US$ 33,3 miliar), menghasilkan US$ 29,4 miliar di tahun 2017. Newzoo juga melampirkan proyeksi urutan wilayah yang paling besar menghasilkan keuntungan: Asia Pasifik (US$ 51,2 miliar), Amerika Utara (US$ 27 miliar), baru Eropa, Timur Tengah dan Afrika dengan nilai US$ 26,2 miliar.

Menurut pengamatan Niko Partners, metode distribusi game mobile di Asia Tenggara berbeda dari negara-negara Barat. Di Amerika atau Eropa, mayoritas pengguna biasanya memanfaatkan Apple app store atau Google Play buat mengakses konten. Namun di Asia Tenggara, banyak gamer mengunduh langsung permainan dari developer/publisher serta platform app Android third-party lokal. Satu nama paling besarnya adalah Garena.

Lisa Cosmas Hanson selaku managing partner Niko Partners menyampaikan bahwa faktor pendorong pertumbuhan game mobile dan online utama di Asia Tenggara tentu saja ialah eSport, khususnya berkat meledaknya kepopularitasan genre multiplayer online battle arena di sana.

Sumber: VentureBeat. Header: Vainglory.com.

Indonesia, Thailand, and Vietnam Have the Best Growth of Online Gaming Market in Southeast Asia

Niko Partners released a research suggesting that Indonesia, Thailand, and Vietnam are three most competitive countries for gaming industry to be glorious in Southeast Asia. In 2014, the online gaming market in Southeast Asia, both PC-based and mobile-based, worth up to $784,4 million (around Rp 9,6 trillion). Continue reading Indonesia, Thailand, and Vietnam Have the Best Growth of Online Gaming Market in Southeast Asia

Indonesia, Thailand, dan Vietnam Pimpin Pertumbuhan Pasar Permainan Online di Asia Tenggara

Ilustrasi Permainan Online / Shutterstock

Indonesia, Thailand, dan Vietnam menurut riset yang diterbitkan Niko Partners adalah tiga negara terdepan dan paling berpotensi menghasilkan pendapatan di sektor permainan online di Asia Tenggara. Secara total pasar permainan online di Asia Tenggara, baik yang berbasis PC maupun mobile, mencapai $784,4 juta (sekitar Rp 9,6 triliun menurut kurs hari ini) di tahun 2014.

Continue reading Indonesia, Thailand, dan Vietnam Pimpin Pertumbuhan Pasar Permainan Online di Asia Tenggara

Niko Partners: Pasar Permainan Online Asia Tenggara Diperkirakan Capai $1,2 Miliar di Tahun 2017

Lembaga riset Niko Partners hari ini meluncurkan laporannya yang mencakup dinamika pasar permainan online (online gaming) di kawasan Asia Tenggara, yang mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Menurut perhitungan Niko Partners, di tahun 2017 diprediksikan perolehan di bidang ini mencapai $1,2 miliar atau naik dua kali lipat dibanding nilainya saat ini. Saat itu diperkirakan jumlah online gamer-nya mencapai 132 juta orang.

Data terakhir yang digali oleh lembaga riset ini menunjukkan bahwa saat ini jumlah online gamer di kawasan Asia Tenggara mencapai 85 juta orang dengan jumlah pendapatan mencapai $661 juta. Kebanyakan dari permainan online tersebut diakses melalui PC dan metode pembayaran yang banyak digunakan adalah secara tunai di kafe Internet (warung Internet) atau toko ritel.

Selain besaran pasar dan jumlah pengguna, Niko juga memprediksikan bahwa Indonesia akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan dan jumlah pemainonline gaming tertinggi di kawasan Asia Tenggara dalam periode lima tahun ke depan. Hal ini tentu bukan sesuatu yang mengejutkan, mengingat jumlah pengguna Internet Indonesia yang jauh lebih besar dari negara tetangga dengan potensi pendapatan yang juga luar biasa.

Lisa Cosmas Hanson, Managing Partner Niko Partners dalam rilis persnya mengatakan, “Permainan mobile mengalami booming di Asia Tenggara sebagaimana yang terjadi di seluruh dunia, meskipun demikian permainan online berbasis PC sebagai client tetap memiliki pesona dan akan terus mengalami pertumbuhan pendapatan secara agresif dalam periode lima tahun mendatang. Kami cukup terkejut saat menemukan bahwa banyak PC gamer garis keras yang secara total mengacuhkan permainan mobile, suatu perilaku yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan populasi pemain game di Cina.”

Di Cina, bisa dibilang semua gamer juga memainkan juga sejumlah permainan di perangkat mobile-nya, sementara di Asia Tenggara hampir seperempat dari total responden mengatakan mereka sama sekali tidak memainkan mobile games dalam bentuk apapun.

Untuk membuat laporan ini, Niko melakukan survei terhadap lebih dari 15.000gamer, di mana kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, berusia muda, memiliki antusiasme garis keras untuk bermain client-based MMOGs. Selain itu metodologi yang digunakan juga mencakup wawancara dengan sejumlah eksekutif perusahaan permainan online di kawasan Asia Tenggara dan perusahaan pembayaran.

[Ilustrasi foto: Shutterstock]

Artikel sindikasi ini pertama kali dimuat di DailySocial dan ditulis oleh Amir Karimuddin. 

Niko Partners: Pasar Permainan Online Asia Tenggara Diperkirakan Capai $1,2 Miliar di Tahun 2017

Lembaga riset Niko Partners hari ini meluncurkan laporannya yang mencakup dinamika pasar permainan online (online gaming) di kawasan Asia Tenggara, yang mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Menurut perhitungan Niko Partners, di tahun 2017 diprediksikan perolehan di bidang ini mencapai $1,2 miliar atau naik dua kali lipat dibanding nilainya saat ini. Saat itu diperkirakan jumlah online gamer-nya mencapai 132 juta orang.

Continue reading Niko Partners: Pasar Permainan Online Asia Tenggara Diperkirakan Capai $1,2 Miliar di Tahun 2017