Studi Kasus Teknologi VR: Faktor Apakah yang Membuat Teknologi Baru Sukses?

Metaverse kini tengah naik daun. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menjajaki metaverse, walaupun definisi dari metaverse itu sendiri masih rancu. Salah satu perusahaan besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse adalah Facebook. Perusahaan media sosial tersebut bahkan mengubah namanya menjadi Meta. Bersamaan dengan perubahan nama perusahaan, Mark Zuckerberg mengumumkan rencananya untuk membangun metaverse, yang dia artikan sebagai dunia digital yang dibangun di atas dunia fisik.

Menariknya, tidak semua orang yang bekerja untuk Meta setuju dengan  rencana Zuckerberg. Ialah John Carmack, Consulting Chief Technology Officer dari Oculus. Selama ini, dia selalu menentang usaha perusahaan untuk membangun metaverse, walau dia mengaku bahwa dia punya ketertarikan akan metaverse itu sendiri.

“Saya ingin metaverse ada, tapi saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa mencoba membangun metaverse bukanlah cara terbaik untuk menemukan metaverse,” ujar Carmack, seperti dikutip dari GamesIndustry. Dia juga menyebut metaverse sebagai “jebakan” untuk orang-orang yang hanya peduli akan sebuah konsep secara luas, tanpa peduli akan bagaimana cara merealisasikan konsep tersebut.

“Tapi, Mark Zuckerberg telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun metaverse. Jadi sumber daya pun digelontorkan untuk itu. Sekarang, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan semua energi dan sumber daya ini bisa disalurkan ke sesuatu yang positif agar kita bisa membangun sesuatu yang bisa memberikan manfaat dalam waktu dekat,” kata Carmack.

Di tengah booming metaverse, bukan hal yang aneh jika ada orang-orang yang justru merasa skeptis. Sebelum ini, ada beberapa teknologi yang juga sangat hype, tapi gagal merealisasikan ekspektasi masyarakat. Contohnya adalah virtual reality alias VR.

Industri AR/VR, Kini dan Enam Tahun Lalu

Pada 2015, Digi-Capital memperkirakan, nilai industri AR/VR bakal mencapai US$150 miliar pada 2020, dengan pembagian US$120 miliar untuk industri AR dan US$30 miliar sisanya untuk industri VR. Ketika itu, mereka mengatakan, industri VR akan disokong oleh game dan film 3D, menurut laporan TechCrunch. Sementara harga headset VR diperkirakan akan sama seperti harga konsol.

Perkiraan nilai industri AR/VR pada 2015. | Sumber: Digi-Capital via TechCrunch

Enam tahun lalu, Digi-Capital memperkirakan, pasar Augmented Reality (AR) akan lebih besar daripada pasar VR. Karena, pasar AR akan mirip dengan pasar smartphone/tablet. Jika jumlah pengguna VR diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang, jumlah pengguna diduga bakal menembus angka ratusan juta orang.

Dua tahun kemudian, pada 2017, nilai industri AR/VR diperkirakan mencapai US$11 miliar. Dengan total belanja sebesar US$3 miliar, Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar ke pasar AR/VR. Dalam beberapa tahun ke depan, pada 2021, BI Intelligence memperkirakan bahwa nilai industri AR/VR akan mencapai US$215 miliar. Setiap tahunnya, industri AR/VR diduga akan mengalami pertumbuhan sebesar 113%. Saat itu, industri AR/VR diperkirakan akan tumbuh pesat karena perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti Apple, Facebook, dan Google — menanamkan investasi yang tidak kecil di bidang AR/VR.

Pada 2017, AR/VR diperkirakan akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail. Industri retail diperkirakan mengeluarkan US$422 untuk investasi di ranah AR dan VR. Selain retail, bidang manufaktur juga diperkirakan akan menanamkan investasi besar — sekitar US$309 juta — untuk AR dan VR.

Sekarang, mari bandingkan estimasi nilai industri AR/VR dari beberapa tahun lalu dengan nilai industri AR/VR yang sebenarnya pada 2021. Berdasarkan data dari Statista, nilai industri AR/VR di tahun ini hanya mencapai US$30,7 miliar, jauh lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Meskipun begitu, seperti yang Anda bisa lihat pada gambar di bawah, nilai industri AR/VR diperkirakan masih akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2023, industri AR/VR diperkirakan akan menembus US$100 miliar dan pada 2024, angka itu akan naik menjadi hampir US$300 miliar.

Perkiraan nilai industri AR/VR dalam beberapa tahun ke depan. | Sumber: Statista

Per April 2021, eMarketer mengungkap bahwa paling sedikit, ada 58,9 juta orang yang menggunakan VR setidaknya satu kali dalam satu bulan sepanjang 2021. Angka itu naik menjadi 93,3 juta orang untuk penggunaan AR. Mereka juga memperkirakan, pandemi akan membuat jumlah pengguna AR/VR bertambah. Karena, selama pandemi, orang-orang harus bekerja, belajar, berbelanja, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya dari rumah. Selain pandemi, beberapa hal lain yang akan mendorong tingkat adopsi AR/VR adalah jaringan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan edge cloud processing.

Pada 2018, Global World Index merilis laporan tentang persepsi konsumen di Amerika Serikat dan Inggris akan teknologi AR dan VR. Berdasarkan survei itu, sebanyak 53% responden percaya, VR akan digunakan secara massal terlebih dulu dari AR. Sementara itu, hanya 34% responden yang menganggap, AR akan digunakan oleh masyarakat banyak terlebih dulu. Menariknya, bagi orang-orang yang sudah mencoba teknologi AR/VR, sebanyak 50% percaya akan potensi AR dan 47% percaya akan potensi VR. Ketika itu, GWI sendiri juga menyebutkan, mereka percaya, AR punya kemungkinan lebih besar untuk membuktikan bahwa teknologi AR bisa memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari para konsumen.

Tentang penggunaan teknologi AR/VR, kebanyakan konsumen masih menganggap, teknologi AR/VR akan digunakan di industri game. Selain game, beberapa industri lain yang dianggap akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR adalah film dan TV, siaran olahraga, edukasi, dan media sosial.

Bidang-bidang yang diperkirakan akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR. | Sumber: Global World Index

Dari survei yang mereka lakukan, GWI juga mengetahui bahwa masalah terbesar untuk membuat VR diterima oleh masyarakat luas adalah harga perangkat VR yang mahal. Jika Anda mengecek situs e-commerce, Anda akan tahu bahwa HTC Vive dihargai sekitar Rp16-Rp24 juta. Tak hanya itu, Anda juga harus membeli PC yang cukup powerful untuk bisa menggunakan headset VR tersebut.

GWI mengungkap, menumbuhkan pasar VR, maka pelaku industri VR harus  bisa menunjukkan manfaat yang bisa konsumen dapat dari teknologi VR. Selain itu, mereka juga punya pekerjaan rumah untuk menurunkan harga dari perangkat VR agar menjadi lebih terjangkau. Kabar baiknya, saat ini, sudah ada perangkat VR yang harganya lebih murah dari HTC Vive atau perangkat VR kelas atas lainnya. Salah satunya adalah Oculus Quest, yang ada di rentang harga Rp5 juta-an. Masalahnya, headset VR murah meriah biasanya tidak akan memberikan pengalaman semulus headset VR mahal. Buktinya, orang-orang yang menggunakan headset VR kelas bawah atau menengah biasanya mengeluhkan bahwa mereka mengalami motion sickness. Pengalaman yang buruk saat menggunakan teknologi VR justru bisa membuat konsumen mempertanyakan legitimasi teknologi VR.

Selain harga headset yang mahal, masalah lain yang menghambat industri VR tumbuh adalah konten. Jika dibandingkan dengan konten biasa, konten VR masih jauh lebih sedikit. Padahal, salah satu cara untuk menarik konsumen untuk membeli headset VR adalah dengan mengiming-imingi mereka dengan konten. Memang, jumlah konten VR akan bertambah dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna VR. Hanya saja, pasar VR tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada konten yang membuat konsumen tertarik untuk membeli VR.

Kabar baik untuk pelaku industri AR, harga perangkat yang mahal bukanlah masalah di industri AR. Karena, untuk mencoba menggunakan teknologi AR, Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Hanya dengan smartphone, Anda sudah bisa merasakan pengalaman menggunakan AR. Pokemon Go adalah contoh penggunaan teknologi AR yang sangat sukses.

Kenapa VR Tidak Bisa Merealisasikan Hype?

Google pertama kali meluncurkan headset VR Daydream View pada 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, mereka memutuskan untuk berhenti memproduksi Daydream. Google mengatakan, mereka memulai proyek Daydream karena mereka melihat potensi besar untuk smartphone VR. Namun, mereka kemudian menyadari berbagai keterbatasan dalam smartphone VR. Dan hal ini membuat mereka percaya, smartphone VR tidak akan bisa bertahan lama.

Alasan lain Google memutuskan untuk menghentikan proyek Daydream adalah karena jumlah orang yang membeli headset VR itu tidak sebanyak harapan mereka. Seolah hal itu tidak cukup buruk, seiring dengan berjalannya waktu,  waktu penggunaan Daydream View oleh orang-orang yang headset VR itu pun terus turun, lapor BBC.

Daydream VR. | Sumber: Wikipedia

Terkait keputusan Google untuk menghentikan proyek Daydream, James Gautrey, Portfolio Manager di Schroders — perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menganalisa saham perusahaan teknologi — mengatakan bahwa salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga headset VR yang mahal.

“Menurut saya, hambatan dari adopsi VR secara massal adalah karena VR memerlukan hardware yang mumpuni,” kata Gautrey, dikutip dari BBC. “Ambil game sebagai contoh; Anda akan memerlukan PC yang powerful, tempat yang luas, Anda juga harus memasang sensor yang diperlukan, dan tentu saja, headset VR itu sendiri. Biaya yang harus Anda keluarkan bisa mencapai ribuan dollar. Selain itu, memasang sistem VR juga merepotkan.”

Lebih lanjut, Gautrey mengatakan, berbagai tantangan untuk mengadopsi teknologi VR bukan berarti VR tidak berguna. Selain game, teknologi VR menawarkan sejumlah manfaat. Misalnya, VR bisa digunakan untuk melatih orang-orang yang punya pekerjaa berbahaya, seperti pilot, ahli bedah, atau penyelam. “Namun, selain itu dan game, saya tidak melihat bagaimana VR bisa digunakan oleh banyak orang,” ujarnya.

Untuk mengetahui tentang masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri VR, Andreea-Anamaria Mureesan, murid Ph.D jurusan Human-Centered Computing di University of Copenhagen mencoba untuk menganalisa lebih dari 200 video VR fails di YouTube. Dia berusaha mencari tahu masalah apa yang merusak pengalaman VR seseorang dan apa yang bisa developer lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk membuat laporan ini, Mureesan bekerja sama dengan Emily Dao dari Monash University, Jarrod Knibbe dari University of Melbourned, dan Kasper Hornbæk dari University of Copenhagen.

Setelah menganalisa lebih dari 200 video VR fails, Mureesan dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal yang paling sering terjadi dalam video-video itu adalah  pengguna menabrak tembok, furnitur, atau orang lain saat menggunakan headset VR. Hal itu berarti, ruang menjadi salah satu faktor yang membuat pengalaman menggunakan headset VR menjadi tidak menyenangkan, seperti yang disebutkan oleh Digital Trends.

Memang, jika Anda ingin bisa menjelajah dunia virtual atau memainkan game VR dengan leluasa, Anda membutuhkan tempat yang luas. Masalahnya, tidak semua orang memiliki ruang yang cukup luas untuk memainkan VR. Di Indonesia, jangankan ruang bermain, 20% warganya masih tidak punya rumah. Sementara di Amerika Serikat, pada 2020, jumlah orang yang memiliki rumah hanya mencapai 65,8% dari total populasi.

Tidak habis sampai di sana, masalah ketersediaan ruang juga mencakup orang-orang yang punya tempat tinggal, tapi tidak punya ruang yang cukup luas untuk bermain. Sebagai contoh, orang-orang yang tinggal di apartemen mikro, tren yang mulai populer di kalangan warga kota yang tinggal di kota yang padat dan punya biaya hidup tinggi.

Data kepemilikan rumah di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

Kabar baiknya, ada cara bagi developer aplikasi/game VR untuk memanfaatkan ruang yang terbatas. Para peneliti asal Jepang berhasil menemukan cara untuk “mengecoh” otak pengguna VR, membuat mereka berpikir bahwa mereka terus berjalan lurus walau sebenarnya mereka sedang berjalan memutar. Dengan begitu, seseorang bisa terus berjalan tanpa henti di dunia VR tanpa harus khawatir akan menabrak tembok. Hanya saja, ruang yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan metode ini tetap cukup besar, yaitu 5×7 meter.

Sementara itu, solusi yang ditawarkan oleh Muresan dan rekan-rekannya sedikit berbeda. Daripada mencoba untuk mengubah persepsi pengguna akan ruang, mereka menyarankan developer perangkat VR untuk memungkinkan pengguna membuat batasan ruang yang lebih fleksibel.

Sekarang, jika Anda ingin menggunakan perangkat VR seperti HTC Vive atau Oculus Quest, Anda harus menentukan batas “ruang bermain” terlebih dulu. Jadi, ketika Anda sudah masuk ke dunia VR, Anda akan mendapatkan peringatan saat Anda berada terlalu dekat dengan batas yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dengan menentukan batas ruang, pengguna diharapkan tidak tidak menabrak tembok atau furnitur lainnya ketika mereka sedang di dalam dunia virtual.

“Kami menyarankan developer untuk membiarkan pengguna membuat batas ruang yang lebih kompleks untuk mencegah pengguna menabrak sesuatu. Misalnya, dengan mempertimbangkan objek yang ada di atas kepala pengguna,” ujar Muresan. “Pendekatan lain yang kami sarankan adalah mengubah elemen dalam game sesuai dengan situasi pemain.”

Contoh skenario yang Muresan berikan adalah ketika seorang pemain berada dekat dengan batas ruang yang dia tentukan, senjata yang dipegang oleh pemain akan secara otomatis berubah. Daripada membiarkan pengguna memegang pedang — yang mengharuskan pengguna untuk membuat gerakan melebar — senjata yang pengguna pegang akan secara otomatis berubah menjadi perisai, sehingga dia tidak harus membuat gerakan lebar.

Apa yang Membuat Teknologi Populer?

Setelah membahas tentang hype dari teknologi VR dan bagaimana VR tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, sekarang, mari membahas teknologi yang memang sukses menjadi populer dan diadopsi oleh banyak orang. Salah satunya adalah Universal Serial Bus (USB).

Sekarang, Anda bisa memasang berbagai aksesori komputer — mulai dari mouse, keyboard, headphone, sampai game controller — melalui port USB. One port to rule them all. Namun, pada awal tahun 1990-an, PC punya inpu port yang beragam, seperti serial ports, parallel ports, mouse dan keyboard ports, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saat Anda menghubungkan sebuah aksesori ke komputer, terkadang Anda harus memasang software khusus atau bahkan melakukan reboot. Dengan kata lain, ketika itu, proses memasang peripheral komputer jauh lebih rumit dari sekarang.

Ajay Bhatt, seorang Computer Architect yang ketika itu bekerja di Intel, menyadari hal ini, bahwa komputer terlalu rumit untuk digunakan, bahkan oleh dirinya sendiri, yang mengerti teknologi. Dia lalu mendapat ide untuk menyederhanakan penggunaan komputer, dengan cara membuat satu port standar yang bisa digunakan untuk menghubungkan berbagai aksesori ke komputer.

“Pada awalnya, tujuan saya adalah untuk menarik pengguna baru untuk komputer,” kata Bhatt pada Fast Company. “Semua berawal pada 1992. Saya mengajukan ide port terstandar pada beberapa manajer, tapi mereka tidak tertarik. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya keberadaan Universal Serial Bus (USB), tapi saya tidak patah semangat. Saya tahu bahwa pengoperasian komputer bisa dibuat menjadi jauh lebih mudah. Anda seharusnya tidak memerlukan orang IT untuk memasang printer atau mengonfigurasi mouse atau keyboard.”

Ajay Bhatt. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut, Bhatt bercerita, karena keinginannya untuk membuat port eksternal universal mendapat respons yang kurang baik, dia memutuskan untuk pindah ke sister company dari Intel. Di sana, dia bertemu dengan Fred Pollock, seorang Intell Fellows, yaitu orang-orang yang dianggap memang sangat ahli dalam teknologi. Ketika Bhatt meminta pendapat Pollock akan idenya, Pollock mengatakan bahwa dia tidak tahu dan mendorong Bhatt untuk mencoba untuk merealisasikan idenya sendiri. Sejak saat itu, Bhatt mulai menggaungkan idenya akan port universal ke banyak grup di Intel.

“Saya berbicara dengan divisi bisnis, saya bicara dengan ahli tenkologi lainnya. Dan saya juga pergi dan berbicara dengan Microsoft,” kata Bhatt. “Kami juga pergi untuk bicara pada perusahaan-perusahaan yang akhirnya menjadi rekan kami, seperti Compaq, DEC, IBM, NEC, dan lain sebagainya.” Dia mengatakan, untuk merealisasikan idenya, dia tidak hanya harus membangun jaringan di dalam perusahaan Intel, tapi juga bekerja sama dengan orang-orang dari perusahaan lain.

Bhatt akhirnya berhasil meyakinkan orang-orang di dalam Intel akan legitimasi idenya. Pada 1993, Intel setuju untuk membuat port universal. Bhatt mengungkap, proses untuk meyakinkan orang-orang Intel akan legitimasi idenya membutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah tahun. “Pada akhir 1993 atau awal 1994, saya sudah punya tim kecil,” kata Bhatt. “Kami punya grup internal untuk menciptakan ide baru di Intel dan juga melakukan analisa dan menuliskan spesifikasi yang diperlukan. Setelah itu, kami juga bekerja sama dengan rekan di luar perusahaan.”

Standar USB akhirnya resmi dirilis resmi dirilis pada 1996. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam membuat teknologi terstandarisasi, kerja sama antara pelaku industri sangat penting.

Pada awalnya, komputer punya beragam jenis ports, termasuk Parallel Port. | Sumber: Wikipedia

Selain UBS, mari kita mengambil contoh teknologi lain yang sukses diadopsi banyak orang, yaitu VHS. Format kaset video itu diluncurkan oleh JVC. Sebenarnya, sebelum JVC memperkenalkan VHS, Sony telah terlebih dulu meluncurkan format kaset video bernama Betamax. Sony bahkan sempat mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. Karena, pada 1974, pemerintah Jepang ingin melindungi konsumen dengan mengharuskan perusahaan manufaktur elektronik untuk membuat satu format standar dan tidak  lagi menggunakan format-format berlainan yang tidak kompatibel dengan satu sama lain.

Meskipun Sony hadir dengan Betamax terlebih dulu, JVC tidak mau kalah. Mereka berhasil meyakinkan Matsushita — manufaktur elektronik terbesar di Jepang, bertanggung jawab atas produk Panasonic dan National — untuk mendukung format buatan mereka, VHS. Tak berhenti sampai di situ, JVC juga mencari dukungan dari perusahaan-perusahaan lain, seperti Hitachi, Mitsubishi, dan Sharp. Dukungan dari ketiga perusahaan tersebut hadir dalam bentuk peluncuran VHS player pada 1976. Alhasil, pemerintah Jepang terpaksa membatalkan rencana mereka untuk memaksa manufaktur elekronik dalam menggunakan satu format standar. Dan perang antara Sony dan JVC pun dimulai, lapor The Guardian.

Jika dibandingkan dengan VHS, Betamax tidak hanya hadir terlebih dulu, tapi juga menawarkan kualitas yang lebih baik. Namun, VHS digunakan oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, JVC bisa memproduksi kaset VHS dalam jumlha lebih banyak dan menawarkan kaset tersebut dengan harga yang lebih murah. Pornografi jadi salah satu industri yang menggunakan VHS. Karena harganya yang murah, banyak pelaku industri pornografi yang menjadikan VHS sebagai format untuk video mereka. Penggunaan VHS oleh industri pornografi merupakan titik tolak balik yang membuat VHS bisa mengalahkan Betamax.

Pada 1988, Sony membuat VHS recorder pertama mereka. Hal ini menjadi penanda bahwa mereka telah mengaku kalah dari JVC dalam perang format kaset video. Pada 2002, Sony meluncurkan recorder Betamax terakhir dan pada 2016, mereka berhenti memproduksi kaset video berformat Betamax.

VHS recorder dan player. | Sumber: Wikipedia

Dari perang antara Sony dan JVC terkait format kaset, kita bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi yang hadir pertama kali tidak melulu akan diadopsi secara massal. Kualitas yang lebih baik juga tidak menjamin bahwa sebuah teknologi akan digunakan oleh banyak orang. Buktinya, walau Sony meluncurkan Betamax — yang punya kualitas lebih baik dari VHS — lebih dulu, pada akhirnya, VHS-lah yang keluar sebagai pemenang.

Berbicara soal teknologi yang digunakan banyak orang, smartphone merupakan salah satu teknologi terpopuler saat ini. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna smartphone diperkirakan mencapai 6,4 miliar orang, menurut Statista. Lalu, kenapa smartphone bisa menjadi sangat populer? Salah satunya adalah karena smartphone punya daya komputas yang cukup memadai, walau ukurannya kecil, menurut laporan Business Insider.

Jika Anda menghubungkan smartphone dengan internet, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan melalui smartphone, mulai dari membuka email, chatting, dan menjelajah internet. Melalui smartphone, Anda sekarang bahkan bisa mencari pacar atau membeli saham. Dan hal ini tidak lepas dari peran para developer aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan banyak hal melalui smartphone mereka.

Selain ukurannya yang lebih kecil — sehingga bisa dibawa kemana saja — smartphone juga punya keunggulan lain dari PC, yaitu harga yang lebih murah. Faktanya, ada banyak orang yang mengenal internet pertama kali melalui smartphone dan bukannya PC. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebanyakan warganya mengenal internet melalui smartphone.

Kesimpulan

Dalam marketing, hype memang bisa mendorong penjualan sebuah produk. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi baru. Teknologi yang dibicarakan oleh banyak orang berpotensi untuk digunakan oleh banyak orang. Sayangnya, hype saja tidak menjamin sebuah teknologi sukses. Buktinya, walau punya hype yang besar, industri VR belum menjadi sebesar yang diperkirakan pada beberapa tahun lalu. Sebaliknya, terkadang, teknologi baru yang pada awalnya kurang diminati, justru bisa jadi sesuatu yang mengubah sebuah industri. Contohnya, USB.

Apakah hal itu berarti kita tidak boleh mengikuti teknologi yang sedang tren? Tidak juga. Memperhatikan dan mencoba teknologi baru yang sedang berkembang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ada baiknya jika kita juga tidak menelan informasi yang didapat bulat-bulat.

Sumber header: Pixabay

Oculus Quest 2 Disingkap, Bawa Display 90 Hz dan Performa yang Lebih Kencang

Setelah beberapa kali dirumorkan, virtual reality headset Oculus Quest 2 akhirnya resmi menyapa dunia. Melanjutkan jejak pendahulunya sebagai VR headset bertipe standalone, Quest 2 hadir dengan sederet pembaruan yang cukup signifikan.

Kita mulai dari display-nya, yang kini menawarkan resolusi 1832 x 1920 pixel per mata, atau sekitar 50% lebih tinggi daripada milik Quest generasi pertama. Tidak kalah penting dari resolusi adalah refresh rate, dan di sini lagi-lagi Quest 2 juga membawa peningkatan, dari 72 Hz menjadi 90 Hz.

Guna mengakomodasi hardware yang semakin canggih, tentunya dibutuhkan otak yang lebih cerdas lagi. Quest 2 mengandalkan Snapdragon XR2, chipset anyar yang baru Qualcomm perkenalkan menjelang akhir tahun lalu, yang memang dirancang secara khusus untuk VR headset maupun AR headset. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 6 GB dan pilihan storage internal antara 64 GB atau 256 GB.

Komponen-komponen tersebut dikemas dalam rangka baru yang sedikit lebih kecil sekaligus lebih ringan (503 gram). Seperti yang sudah kita pelajari dari bocoran gambarnya, desainnya sepintas kelihatan kalah premium dari pendahulunya karena tidak ada lagi bahan kain yang melapisi panel plastiknya. Namun itu semestinya tidak perlu menjadi masalah seandainya perangkat bisa terasa lebih nyaman di kepala.

Sebelum ini, sempat muncul kekhawatiran bahwa Quest 2 tidak dilengkapi kenop untuk mengatur jarak fisik antara lensa kiri dan kanan alias IPD (interpupillary distance). Memang benar kenopnya sirna, tapi untungnya Quest 2 masih menawarkan mekanisme untuk menyesuaikan IPD, yakni dengan menggeser kedua lensanya secara manual. Jeleknya, ini berarti pengguna harus melepas perangkat dulu agar bisa melakukan pengaturan.

Oculus tidak lupa menawarkan sejumlah aksesori opsional untuk Quest 2. Jadi seandainya pengguna tidak suka dengan strap yang luwes seperti yang terdapat dalam paket penjualan aslinya, mereka bisa membeli strap model lain yang kaku, atau yang di belakangnya dilengkapi modul baterai tambahan, yang juga berguna untuk semakin menyeimbangkan distribusi berat.

Juga ikut direvisi desainnya adalah controller Oculus Touch, yang diyakini lebih nyaman dalam genggaman ketimbang versi sebelumnya. Kinerja tracking-nya pun telah dioptimalkan agar lebih irit daya – sampai 4x lebih irit kalau kata Oculus sendiri. Bicara soal baterai, Quest 2 sendiri diklaim punya daya tahan yang sama seperti pendahulunya, yakni sekitar 2 – 3 jam dalam sekali charge.

Satu hal yang cukup menarik adalah bagaimana kehadiran Quest 2 memicu Oculus untuk menyetop pengembangan seri Rift. Mereka berdalih Quest 2 lebih superior ketimbang Rift S di segala aspek, dan seandainya pengguna ingin memakai Quest 2 untuk bermain game VR di PC macam Half-Life: Alyx, mereka bisa menyambungkan Quest 2 ke PC menggunakan kabel Oculus Link – yang sayangnya harus ditebus secara terpisah.

Kabar baiknya, Oculus Quest 2 dibanderol cukup terjangkau: mulai $299, alias lebih murah $100 daripada harga pendahulunya saat diluncurkan. Pemasarannya dijadwalkan akan berlangsung mulai 13 Oktober mendatang.

Sumber: Oculus.

Bocoran Gambar Tunjukkan Perubahan Desain yang Diusung Penerus Oculus Quest

Kehadiran virtual reality headset baru dari Oculus sepertinya sudah semakin dekat. Setelah rumor mengenai penerus Oculus Quest mulai beredar pada bulan Mei lalu, Oculus belum lama ini juga dikabarkan bakal memproduksinya secara massal mulai akhir Juli ini – plus mereka pun juga sudah menghentikan produksi Oculus Go.

Sekarang, bocoran gambar suksesor Quest itu juga sudah mulai bermunculan di jagat maya. Semuanya berawal dari unggahan seorang pengguna Twitter bernama WalkingCat (@h0x0d), yang sendirinya merupakan sosok leaker yang cukup terkenal dan punya reputasi yang bagus, hingga akhirnya foto unitnya disebar di Reddit.

Meski sepintas perangkat ini tampak identik seperti Oculus Quest generasi pertama, ada beberapa poin yang bisa kita pelajari yang ternyata sesuai dengan rumor sebelumnya. Yang pertama, kalau melihat foto tampak atasnya, kelihatan bahwa perangkat ini sedikit lebih tipis dibanding Quest generasi pertama, dan ini tentu saja berpengaruh langsung terhadap bobot perangkat secara keseluruhan.

Oculus juga tidak sebatas mengganti warnanya saja. Sejalan dengan rumornya, bagian samping yang tadinya berlapis kain sekarang cuma plastik. Kesan premiumnya jelas berkurang, akan tetapi perubahan material ini semestinya dapat menekan harga jualnya, serta memangkas bobotnya lebih signifikan lagi.

Perubahan lain yang mungkin bakal kurang disukai konsumen adalah hilangnya kenop IPD (interpupillary distance), alias kenop untuk mengatur jarak fisik antara lensa kiri dan kanan supaya bisa disesuaikan dengan posisi mata masing-masing pengguna yang tentu berbeda satu sama lain. Pada Quest generasi pertama, kenop ini diposisikan di sisi bawah, sedangkan di bocoran gambar suksesornya ini kenopnya sama sekali tidak kelihatan di sisi manapun.

Ini bukan pertama kalinya Oculus mengeliminasi kenop IPD dari perangkat buatannya. Sebelum ini, Oculus Rift S sudah lebih dulu hadir tanpa kenop IPD, dan penyesuainnya cuma bisa dilakukan via software. Mungkin saja ini juga berkaitan dengan misi Oculus untuk mengurangi bobot perangkat sekaligus menjadikan penerus Quest lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Andai sang leaker bisa kembali dipercaya kali ini, kita bakal melihat penerus Oculus Quest ini diluncurkan pada tanggal 15 September mendatang.

Sumber: The Verge.

VR Headset Oculus Go Resmi Dipensiunkan

Diumumkan sekitar tiga tahun lalu, Oculus Go merupakan salah satu pelopor kategori virtual reality headset bertipe standalone atau all-in-one. Harganya memang lebih mahal daripada VR headset macam Samsung Gear VR, akan tetapi penggunaannya jelas lebih praktis karena perangkat dapat beroperasi tanpa perlu diselipi smartphone atau tersambung ke komputer.

Namun kalau dibandingkan dengan headset non-portable macam Oculus Rift, Oculus Go jelas terkesan amat terbatas kemampuannya. Yang paling utama, Go cuma mendukung tracking 3DoF, bukan 6DoF. Ini berarti Go tidak bisa memonitor pergerakan kepala secara menyeluruh; perangkat tidak akan mengenali perpindahan posisi kepala (naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan).

Maka dari itu ketika Oculus Quest diperkenalkan setahun setelahnya, pamor Go pun langsung redup. Quest sama-sama berwujud standalone dan dapat beroperasi secara mandiri, tapi di saat yang sama ia menawarkan kapabilitas tracking 6DoF sehingga menjadikannya sangat cocok untuk keperluan gaming.

Singkat cerita, tracking 6DoF ibarat syarat wajib yang harus dipenuhi VR headset, terutama jika gaming merupakan ranah yang dituju, dan Oculus beserta Facebook menyadari hal itu. Mereka memutuskan untuk berhenti menjual Go tahun ini juga, dan mereka memastikan bahwa ke depannya tidak akan ada lagi VR headset baru dari mereka yang cuma menawarkan tracking 3DoF seperti Go.

Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus
Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus

Meski sudah di-discontinue, Oculus Go dipastikan tetap bisa dipakai seperti biasa. Oculus tetap akan merilis sejumlah perbaikan via software sampai tahun 2022, namun jangan mengharapkan adanya fitur baru buat Go. Menjelang akhir tahun nanti, Oculus Go juga tidak akan lagi kedatangan aplikasi baru maupun update terhadap yang sudah ada.

Dipensiunkannya Go ini berarti Oculus bisa mengerahkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk mengembangkan Quest beserta Rift. Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan suksesor Quest yang lebih ergonomis sekaligus lebih canggih. Namun sebelum itu terealisasi, Oculus akan lebih dulu menyempurnakan Quest yang ada sekarang.

Caranya adalah dengan mempermudah proses distribusi konten. Memasuki awal tahun depan, aplikasi untuk Quest tak hanya bisa didapat dari Oculus Store saja, tapi bisa juga dari developer-nya langsung dan tanpa melibatkan proses sideloading yang rumit. Mekanisme baru ini tentunya lebih memudahkan pihak developer mengingat mereka tak lagi perlu menunggu aplikasinya disetujui di Oculus Store, dan Oculus berharap ini bisa memicu gelombang baru konten berkualitas buat seluruh konsumen Quest.

Sumber: Upload VR dan Oculus.

Penerus Oculus Quest Rumornya Lebih Ringkas dan Punya Display Lebih Mumpuni

Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru, demikian laporan yang diberitakan Bloomberg berdasarkan informasi dari sejumlah sumber internal. Perangkat ini dimaksudkan menjadi penerus Oculus Quest, VR headset yang dapat beroperasi secara mandiri, tanpa harus tersambung ke PC maupun smartphone.

Beberapa prototipe standalone VR headset yang tengah diuji disebut 10% – 15% lebih ringkas ketimbang Quest. Bobotnya pun juga lebih ringan di kisaran 450 gram. Bandingkan dengan Oculus Quest yang berbobot sekitar 566 gram, yang mungkin terlalu berat untuk sejumlah orang, apalagi setelah digunakan cukup lama.

Salah satu cara yang sedang dipertimbangkan untuk memangkas bobot perangkat adalah dengan mengganti bahan kain di bagian samping menjadi plastik. Lebih lanjut, Oculus juga berniat mengganti material karet dan velcro pada bagian strap dengan bahan yang lebih elastis. Harapannya tentu supaya perangkat jadi lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Selain lebih ringkas dan lebih ergonomis, VR headset baru ini juga bakal menawarkan display dengan refresh rate 90 Hz agar konten bisa tersaji secara lebih mulus. Mengapa tidak 120 Hz sekalian? Oculus juga sedang sibuk mengujinya, namun 90 Hz sepertinya bakal menjadi pilihan demi memperpanjang daya tahan baterai.

Sebagai perbandingan, display Oculus Quest memiliki refresh rate 72 Hz, sedangkan Oculus Rift S yang lebih powerful menawarkan refresh rate 80 Hz. Belum diketahui seberapa tinggi resolusinya maupun jenis panelnya, namun semestinya tidak mungkin lebih rendah dari 1440 x 1600 pixel (resolusi display OLED milik Oculus Quest).

Oculus Quest

Pembaruan lain yang Oculus terapkan ada pada controller-nya. Berkat rancangan baru, controller-nya jadi lebih nyaman digunakan sekaligus tidak lagi terkendala penutup baterai yang mudah lepas. Kabar baiknya, controller anyar ini juga akan kompatibel dengan Oculus Quest.

Perihal tracking, perangkat ini masih akan menawarkan tracking 6DoF seperti Oculus Quest. Jadi menggunakan empat kamera bawaannya, perangkat bisa memonitor pergerakan kepala sekaligus tubuh pengguna tanpa harus dibantu oleh sensor eksternal.

Fitur-fitur lain yang masih akan dipertahankan mencakup tuas fisik untuk mengatur jarak antar display supaya pas dengan posisi mata, serta dukungan terhadap Oculus Link, yang memungkinkan perangkat untuk disambungkan ke PC (via kabel) demi meningkatkan performa secara signifikan.

Awalnya Oculus berniat meluncurkan perangkat ini menjelang akhir tahun 2020. Namun berhubung pandemi melanda, perilisannya tak akan berlangsung hingga setidaknya tahun depan. Belum diketahui pula apakah perangkat ini bakal menggantikan Oculus Quest sepenuhnya, atau malah dijual sebagai model yang berbeda.

Sumber: Bloomberg.

Fitur Fixed Foveated Rendering di Oculus Quest Kini Dapat Aktif Saat Dibutuhkan Saja

Foveated rendering, teknik ini pada dasarnya merupakan salah satu alasan mengapa standalone VR headset macam Oculus Quest dapat menyuguhkan visual secara mulus. Tanpa teknik ini, perangkat bakal kesulitan menjaga frame rate tetap konsisten.

Dari kacamata sederhana, foveated rendering pada dasarnya memungkinkan display perangkat untuk menampilkan kualitas gambar yang paling maksimal pada sebagian area saja, menyesuaikan dengan arah mata pengguna memandang. Area sisanya akan menampilkan grafik dalam resolusi yang jauh lebih rendah, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa secara signifikan.

Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight
Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight

Yang menjadi masalah adalah, foveated rendering pada Oculus Quest bersifat fixed, yang berarti cara kerjanya tidak melibatkan sistem eye tracking dan hanya terpusat pada satu titik area di tengah saja. Ditambah lagi, fixed foveated rendering (FFR) pada Oculus Quest akan selalu aktif setiap saat, tidak peduli apakah game-nya benar-benar haus resource atau tidak.

Untuk game yang berat, konsumen mungkin akan lebih memilih performa yang mulus ketimbang memaksakan visual yang bagus tapi frame rate-nya naik-turun. Lain ceritanya kalau game hanya sedang menampilkan cutscene dan sedang tidak ‘menyiksa’ GPU, di sini fitur FFR jelas akan terkesan mengganggu mengingat ada bagian cutscene (bagian di luar area tengah) yang tampak blur.

Singkat cerita, akan lebih ideal seandainya FFR bisa diaktifkan hanya saat diperlukan saja, dan inilah alasan di balik keputusan Oculus untuk menghadirkan fitur dynamic fixed foveated rendering pada Oculus Quest. Kata “dynamic” di sini merujuk pada kemampuannya untuk aktif atau nonaktif tergantung kebutuhan.

Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games
Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games

Jadi seandainya sedang bermain game dan masuk ke level yang tidak menyajikan banyak detail, atau sedang menampilkan cutscene sehingga tidak memerlukan kinerja GPU yang maksimal, FFR pun bisa dinonaktifkan. Sebaliknya, saat berpindah ke level yang lebih mendetail, FFR bisa diaktifkan supaya frame rate tetap konsisten.

Fitur ini tentunya memerlukan campur tangan developer agar bisa terwujud. Mereka harus meng-update game bikinannya terlebih dulu agar bisa memanfaatkan teknik ini. Buat konsumen, kehadiran dynamic FFR berarti mereka tidak harus selamanya mengorbankan kualitas visual dan dapat menikmati cutscene sebagaimana mestinya.

Sumber: VentureBeat.

Oculus Quest Segera Kedatangan Fitur Hand Tracking Tanpa Controller

Visual bukanlah satu-satunya aspek esensial dalam bidang virtual reality. Kontrol pun juga tidak kalah penting. Semakin bagus input kontrol yang ditawarkan, semakin immersive pengalaman yang didapat konsumen, dan sensasi immersive selama ini selalu menjadi tolok ukur utama keberhasilan suatu perangkat VR.

Dewasa ini, VR headset yang dibekali inside-out tracking macam Oculus Quest sudah tergolong oke perihal kontrol. Menggunakan controller Oculus Touch, pergerakan tangan pengguna sudah dapat dilacak secara cukup akurat tanpa mengandalkan satu pun sensor atau kamera eksternal.

Progress selanjutnya adalah mewujudkan semua itu tanpa harus melibatkan controller. Kabar baiknya, fitur hand tracking tanpa controller ini bakal segera mendarat di Oculus Quest dalam waktu dekat. Cukup mengejutkan mengingat rencana Oculus sebelumnya adalah merilis fitur tersebut tahun depan.

Perlu dicatat, hand tracking masih dikategorikan sebagai fitur eksperimental di software update v12 untuk Quest. Jumlah aplikasi yang mendukung pun belum banyak, baru beberapa aplikasi bawaan seperti Oculus Browser, Oculus TV maupun Oculus Store. SDK (software development kit) untuk para pengembang aplikasi pihak ketiga baru akan dirilis minggu depan.

Sebelum ini Facebook pernah menjelaskan bahwa kemajuan dalam hal hand tracking ini bisa dicapai berkat sejumlah teknik baru deep learning dan model-based tracking. Selain lebih praktis ketimbang harus menggunakan controller, sistem baru ini juga dapat melacak pergerakan jari-jari pengguna secara lebih presisi dan realistis.

Salah satu hal yang membuat video trailer Half Life: Alyx menurut saya adalah pergerakan tangan dan jari-jari pemain yang kelihatan begitu realistis di layar. Facebook dan Oculus sepertinya ingin mencuri start dari Valve soal ini. Juga penting adalah harapan bahwa hand tracking bisa mendemokratisasikan VR secara lebih baik lagi mengingat konsumen tidak diwajibkan lagi untuk mempelajari cara menggunakan controller.

Sumber: The Verge dan Oculus.

Oculus Rift Cuma Cocok untuk Gaming, Layanan Video On-Demand-nya Dihentikan

Apa fungsi VR headset selain untuk gaming? Tidak ada, kalau konteks yang dibicarakan adalah VR headset kelas desktop macam Oculus Rift. Bukankah penggunanya juga bisa menikmati video 360 derajat? Ya, namun potensi besar perangkat itu sebaiknya diarahkan ke gaming saja sepenuhnya.

Kalau Anda tidak percaya, coba lihat kebijakan terbaru yang ditetapkan Oculus. Mereka baru saja menghentikan layanan video on-demand (VOD) untuk Oculus Rift, yang berarti pengguna headset tersebut tak lagi bisa membeli atau menyewa video untuk ditonton menggunakan perangkatnya masing-masing.

Buat yang sudah terlanjur membeli, koleksi videonya masih bisa dinikmati sampai 20 November nanti, namun Oculus juga berencana untuk mengganti pengeluaran konsumen Rift di layanan VOD-nya selama ini. Kalau memang masih ngotot ingin menonton video 360 derajat, toh masih ada sajian dari platform seperti Facebook 360.

Keputusan ini didasari observasi Oculus yang menyimpulkan bahwa mayoritas konsumen Rift menggunakan perangkatnya murni untuk gaming. Lain halnya dengan Oculus Go, yang lebih diarahkan ke multimedia mengingat spesifikasinya memang lebih ‘lemah syahwat’.

Itulah mengapa layanan VOD masih bakal bisa diakses oleh konsumen Oculus Go. Yang masih tanda tanya adalah Oculus Quest, namun dugaan saya perangkat itu juga akan diperlakukan seperti Rift saat dirilis tahun depan, mengingat spesifikasinya memang jauh lebih mumpuni ketimbang Go.

Sumber: Variety.

Headset VR Oculus Quest Mungkin Malah Akan Berkompetisi Dengan Nintendo Switch

Perjalanan industri gaming sangat dinamis: home console membawa aktivitas tersebut dari arena arcade ke dalam rumah, lalu kemunculan sistem handheld memungkinkan kita menikmati game di mana saja. Dan di era modern ini, muncul lagi satu jenis konten serta segenap platform pendukung yang berpotensi mendisrupsi industri hiburan interaktif: VR.

Virtual reality bukanlah cerita baru, namun teknologi ini baru benar-benar bisa dijangkau oleh konsumen setelah Oculus Rift dan HTC Vive dirilis beberapa tahun silam. Meski demikian, saat itu masih ada sejumlah tantangan besar yang menghambat adopsi headset virtual reality: ia membutuhkan dukungan sistem berspesifikasi tinggi, masih minimnya konten, serta pemakaiannya yang mengekang user di satu lokasi.

Kendala terakhir ini mendorong sejumlah perusahaan teknologi untuk megembangkan headset berkonsep VR standalone, dan Anda mungkin tak lagi asing dengannya. Facebook punya Oculus Go, HTV menyediakan Vive Focus, bahkan Lenovo punya penawaran berupa Mirage Solo. Dan minggu lalu, Facebook kembali membuat terobosan di segmen itu lewat pengumuman Oculus Quest.

Oculus Quest merupakan head-mounted display yang difokuskan pada ranah gaming, menjanjikan kinerja hardware mendekati Rift dengan fleksibiltas ala Go. Produsen memang belum mengungkap detailnya lebih jauh, namun kabarnya headset didukung oleh sistem tracking mutakhir. Facebook juga punya agenda buat meramaikan peluncuran Quest di ‘musim semi 2019’ dengan lebih dari 50 judul game.

Dalam presentasinya, CTO Oculus VR John Carmack memprediksi bahwa saat dirlis nanti, Oculus Quest boleh jadi malah akan berkompetisi dengan perangkat yang tak terduga, yakni Nintendo Switch. Menurut mantan lead programmer Commander Keen, Wolfenstein 3D dan Doom itu, Quest akan dipilih oleh konsumen sebagai perangkat gaming sekunder, saat mereka sudah memiliki platform gaming utama, misalnya PC atau console current-gen.

Hal tersebut ternyata berkaitan dengan kapabilitas hardware dari Quest. Headset ini kabarnya mempunyai kinerja grafis setara PlayStation 3 dan Xbox 360. Mayoritas permainan di era last-gen di-render di resolusi 1280×720 30fps. Di Oculus Quest, game disuguhkan di 1280x1280p 72fps buat masing-masing mata. Jika dikalkulasi, itu berarti Quest menghidangkan pixel 8,5 kali lebih banyak dari console Xbox 360.

Namun tentu ada banyak hal yang membuatnya lebih unggul dari sistem last-gen. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Quest dibekali sistem pelacakan gerakan tanpa sensor eksternal dengan ruang deteksi seluas 370 meter persegi, kemudian ia juga mampu membaca gerakan 6DoF (degrees of freedom), dapat mengetahui ketika Anda berdiri, jongkok, atau memiringkan kepala.

Oculus Quest rencananya akan dijajakan seharga US$ 400.

Via Games Industry.

Facebook Perkenalkan Headset VR Standalone High-End Spesialis Gaming Oculus Quest

Tersedianya headset virtual reality kelas konsumen membuka begitu banyak skenario pemakaian, dari mulai di ranah hiburan, edukasi hingga medis. Namun terlepas dari kian canggihnya teknologi pendukung VR, HMD kelas high-end masih mengikat penggunanya di satu lokasi. Dan sebagai jalan keluarnya, para produsen berlomba-lomba menyediakan perangkat berkonsep standalone.

Facebook memang sempat memperkenalkan dan meluncurkan Oculus Go di awal tahun ini. Namun mereka yakin masih bisa menggarap perangkat standalone dengan kapabilitas yang lebih baik darinya. Dalam konferensi Oculus Connect 5, Mark Zuckerberg resmi mengumumkan Oculus Quest, head-mounted display VR all-in-one standalone yang sengaja difokuskan pada ranah gaming.

Oculus Quest merupakan inkarnasi versi konsumen dari proyek Santa Cruz, dan kemandirian merupakan aspek andalan yang ditawarkan olehnya. Headset bisa bekerja tanpa PC, bebas kabel, dan sama sekali tidak membutuhkan sensor eksternal. Seperti Rift, Anda hanya tinggal mengenakannya di kepala dengan bagian visor menutup mata. Lalu untuk berinteraksi dengan konten digital, Quest turut dibundel bersama controller motion Oculus Touch model baru.

Oculus Quest 1

Hal paling menarik dari Quest adalah janji Facebook terhadap kemampuannya menghidangkan kualitas visual hampir setara Rift. Di waktu peluncurannya nanti, Quest rencananya siap menghidangkan lebih dari 50 judul game VR -beberapa yang paling terkenal di antaranya Robo Recall, The Climb dan Moss. Oculus Studios juga sempat mengumumkan Star Wars: Vader Immortal Episode I buat memeriahkan perilisan Quest.

Facebook belum menginformasikan spesifikasi Quest secara lengkap, namun head of VR Oculus Hugo Barra menjelaskan bahwa headset ini mendukung sistem tracking seluas 370 meter persegi. Quest juga ditunjang oleh teknologi Oculus Insight yang mengusung kapabilitas pelacakan luar-dalam. Dipadu kebebasan bergerak enam-derajat, HMD dapat tahu saat Anda berdiri, jongkok, atau memiringkan kepala. Lewat Insight, Oculus bisa menerapkan fitur pengaman ‘Guardian’ yang memungkinkan kita mengetahui keadaan di sekitar meski sedang berada di alam virtual.

Quest menyimpan aspek optik serupa Oculus Go, menyuguhkan layar beresolusi 1600x1440p untuk masing-masing mata. Selain itu, headset turut dibekali sistem audio built-in yang menjanjikan output berkualitas tinggi dengan bass bertenaga.

Facebook punya agenda untuk mulai memasarkan Oculus Quest di musim semi 2019. Produk akan dijajakan seharga US$ 400 untuk model dengan penyimpanan 64GB – dua kali lipat harga Oculus Go. Perilisan Quest di tahun depan itu kabarnya menandai akhir dari pengembangan perangkat VR Oculus generasi pertama.

Sumber: Oculus.