OJK Siapkan Aturan Turunan POJK P2P Lending “Off Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah menyiapkan aturan turunan dari POJK No.77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), ditargetkan aturan ini bisa segera diterbitkan dalam kurun waktu kuartal I 2017.

Aturan tersebut nantinya akan berbentuk surat edaran (SE). Ada beberapa aturan yang bakal diterbitkan, diantaranya tentang pemberian pinjaman, perubahan batas maksimal pinjaman, kerja sama fintech, tata kelola teknologi informasi, tanda tangan elektronik, dan lainnya.

[Baca juga: OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”]

“Berbagai rancangan aturan turunan masih dalam tahap finalisasi, kami usahakan terbit pada kuartal pertama tahun ini,” kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly F Pardede.

Aturan mengenai batas maksimal pinjaman, sebelumnya telah diatur dalam POJK Nomor 77/2016 Pasal 6. Di sana disebutkan ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap penerima pinjaman adalah Rp 2 miliar.

Masih di pasal yang sama, di ayat 3 menyebutkan OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total pemberian pinjaman.

Mengenai hal tersebut, dihubungi terpisah Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memberikan usulannya. Menurut dia, untuk aturan besaran pemberian pinjaman sebaiknya tidak diberikan limit, tujuannya agar pertumbuhan industri bisa lari lebih cepat.

“Terlebih saya melihat bila tidak dikasih limit, sebenarnya tidak ada efek negatifnya. Saya pribadi lebih setuju bila tidak ada limit pinjaman,” kata Reynold.

Pemain didorong penuhi batas kepemilikan asing

Tak hanya itu, OJK juga akan mendorong pemain P2P Lending “off balance sheet” untuk memenuhi sesuai ketentuan terkait batas maksimal kepemilikan asing. Dorongan ini nantinya juga akan direalisasikan dalam bentuk SE.

Aturan ini termuat dalam Pasal 3, menyatakan kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing atau badan hukum asing secara langsung maupun tidak paling banyak adalah 85%.

Dumoly menyatakan, mengenai hal ini regulator masih dalam tahap melakukan klasifikasi dan identifikasi 157 perusahaan fintech yang sudah tercatat di OJK untuk mengetahui jenis usaha yang dijalankan, besaran modal, serta kepemilikan perusahaan.

“Ketika mendaftar pemain fintech masih menggunakan nama perusahaan, jadi belum terungkap. Akan tetapi, kami perkirakan sekitar 50% perusahaan fintech masih 100% dikuasai asing,” katanya.

Nantinya setelah proses identifikasi selesai dilakukan, apabila OJK menemukan perusahaan fintech dengan ketentuan di ambang batas, maka regulator akan mendorong pemain untuk segera melakukan penyesuaian.

Hanya saja, regulator akan memberikan tenggat waktu untuk melakukan penyesuaian selama satu hingga dua tahun. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan industri tetap terjaga.

“Tidak bisa kita minta langsung turunkan [kepemilikan sahamnya], nanti tidak baik untuk industri. Rencananya kami akan terbitkan surat edarannya berkaitan dengan hal tersebut,” pungkas Dumoly.

OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang menggodok aturan baru untuk subsektor fintech lainnya. Setelah pada akhir tahun lalu menerbitkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis fintech peer to peer lending (P2P lending) yang bergerak di off balance sheet, kini OJK bakal menerbitkan aturan serupa untuk yang bergerak di on balance sheet.

Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani menjelaskan, regulator mempertimbangkan penerbitan aturan ini bertujuan agar perusahaan fintech P2P lending yang bergerak di on balance sheet tidak bertabrakan dengan industri perbankan dan pembiayaan.

Pasalnya, ketiganya memiliki kemiripan bisnis dan tujuan yang sama yakni meningkatkan likuiditas di masyarakat, hanya saja cara yang dilakukan berbeda. Nantinya, dalam aturan tersebut akan mengatur ketentuan gearing ratio, syarat permodalan, model bisnis, dan lainnya.

Gearing ratio adalah jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri perusahaan. Aturan ini dipakai dalam industri pembiayaan dan diatur dalam PMK No.84/2006, ketentuannya gearing ratio dibatasi maksimal 10 kali.

Sebagai ilustrasi, perusahaan bermodal Rp 100 miliar dapat memperoleh pinjaman atau utang sebagai sumber pendanaan untuk menyalurkan pembiayaan maksimal 10 kali dari modal, yakni Rp1 triliun.

“Mereka itu [P2P lending on balance sheet] seperti multifinance dengan skala kecil. Nanti dalam aturannya, tidak akan kami buat seketat multifinance ataupun perbankan karena mereka itu bukan deposit taking (ambil dana dari masyarakat). Tapi harus tetap ada aturan gearing ratio-nya,” terang dia, Selasa (14/2).

Firdaus menganjurkan, sebelum aturan ini terbit, sebaiknya para perusahaan fintech P2P lending on balance sheet yang sudah beroperasi untuk tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian demi perlindungan konsumen.

Tak hanya itu, regulator pun nantinya akan mengidentifikasi identitas perusahaan P2P lending itu sendiri, jangan sampai mereka bergerak di ranah deposit taking. Sebab, ranah tersebut hanya ada di perbankan saja.

“OJK akan diskusi lebih dalam berbicara dengan perbankan dan pembiayaan, mereka [P2P lending on balance sheet] itu sebenarnya ada di segmen mana. Jangan sampai ada segmentasi, sebab dikhawatirkan terjadi persaingan yang tidak sehat,” tambah Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly F. Pardede.

Dumoly memperkirakan agar perusahaan P2P lending on balance sheet tidak bertabrakan dengan perbankan ataupun pembiayaan, mereka harus bergerak ke segmen medium ke bawah sehingga batasan pinjamannya pun bakal dibatasi.

Sebagai gambaran, beberapa pemain P2P lending on balance sheet yang mulai dikenal masyarakat diantaranya adalah UangTeman. Perusahaan ini telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 35 miliar pada tahun lalu. Tahun ini UangTeman menargetkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 100 miliar, caranya dengan ekspansi ke daerah baru, misalnya Bali.

Ada 600 layanan fintech beroperasi di seluruh Indonesia

OJK mencatat sampai saat ini terdapat 600 perusahaan fintech (dalam artian luas) yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 157 perusahaan yang melaporkan kegiatannya ke OJK. Dari 157 perusahaan, diperkirakan hanya 120 perusahaan fintech yang lolos sesuai dengan persyaratan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

“Dari jumlah tersebut, baru 157 fintech yang mendaftar ke OJK. Mereka belum diberikan pengesahan izin pendaftaran karena kami masih identifikasi mana yang masuk POJK Nomor 77 mana yang tidak,” kata Dumoly.

Dumoly bilang, proses klasifikasi sudah dilakukan sejak tahun lalu. Dari proses tersebut, diketahui hampir separuh dari pemegang saham perusahaan fintech dikuasai oleh pemilik asing.

Padahal, dalam POJK Nomor 77, aturan kepemilikan saham asing hanya boleh menguasai maksimal 85%. Menanggapi hal tersebut, menurut Domoly, nantinya regulator akan memberi waktu selama satu tahun untuk memenuhi sesuai ketentuan.