Keseriusan Layanan Transportasi Atrans Bertransformasi ke Platform Digital

Indonesia merupakan pasar yang subur untuk industri transportasi on demand. Apa yang dilakukan Grab, Go-Jek, dan Uber membuat para pemain konvensional mau tidak mau bertransformasi untuk bisa bertahan dari persaingan. Salah satu perusahaan penyedia jasa transportasi konvensional yang berinovasi ke ranah digital adalah PT. Angelita Trans Nusantara. Melalui aplikasinya, Atrans menyediakan berbagai pilihan layanan mulai dari layanan ojek hingga sewa mobil.

Managing Director Atrans Arynto C. Samudro kepada DailySocial menuturkan selaku pemain baru di sektor on demand, mereka menggandeng perusahaan-perusahaan rental mobil untuk menjadi agen untuk melakukan perekrutan mitra pengemudi. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kualitas kendaraan dan pengemudi dengan harapan cita-cita memberikan layanan terbaik bisa tercapai dengan mudah.

Selain melayani layanan transformasi pada umumnya, Atrans juga menyediakan perluasan layanan ojek berupa layanan pengiriman barang Trans Send dan layanan pemesanan makanan Trans Food. Perluasan layanan ini harus dilakukan jika ingin bersaing serius dengan layanan transportasi online yang sudah ada.

Sebagai pemain konvensional yang bertransformasi, Atrans sedikit banyak memiliki banyak keunggulan, khususnya soal pelanggan setia dan kualitas kendaraan. Untuk menambah kekuatan di arahan transportasi online, Atrans juga menghadirkan Trans Hour Rent, sebuah layanan yang memungkinkan menyewa kendaraan berdasarkan jam.

“Kami mengeluarkan produk Trans Hour Rent, di mana penumpang bisa sangat mudah menggunakan sewa mobil secara jam-jaman, tanpa harus ribet untuk berulang kali menentukan lokasi tujuan. Cukup sekali klik dan bisa pergi ke mana pun tanpa harus merogoh kantong cukup dalam, karena kami memberikan tarif Rp. 80.000,- per jam untuk pemakaian di dalam kota,” jelas Arynto.

Saat ini Atrans tercatat melayani kawasan Jabodetabek, Cirebon, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Untuk kawasan luar Jawa, Atrans sudah melayani daerah Palembang, Medan, dan Makassar.

Regulasi dan persaingan

Berdasarkan cerita Arynto, sebenarnya Atrans bukan produk pertama PT Angelita Trans Nusantara dalam hal aplikasi digital. Sebelumnya mereka juga pernah melahirkan aplikasi khusus untuk rental mobil. Karena permintaan pelanggan Atrans soal layanan transportasi online yang lebih lengkap, akhirnya Atrans dimunculkan untuk melengkapi jasa yang diberikan, termasuk layanan motor dan mobil barang.

Jika menilik persaingan yang selama ini ada di Indonesia tampaknya sektor transportasi online sudah masuk ke level selanjutnya. Go-Jek dan Grab sudah mulai serius menggarap ranah e-money dan pembayaran digital yang terintegrasi dengan sistem mereka. Ini menjadi sebuah tanda bahwa mengembangkan aplikasi transportasi online saja tidak cukup. Harus ada sebuah sistem yang terintegrasi dan memudahkan.

Peralihan pembayaran ke arah digital ini juga diamini Arynto. Menurutnya masyarakat ke depan akan lebih memilih ke pembayaran digital.

“Betul, saat ini semua transportasi sudah mulai menggunakan pembayaran digital dan ke depannya saya yakin jika masyarakat akan lebih memilih pembayaran digital dibandingkan harus membawa uang cash,” ujarnya.

Salah satu kebijakan terbaru dari pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan transportasi online adalah soal tarif layanan. Menanggapi hal ini, Arynto mendukung apa yang telah dilakukan pemerintah. Aaturan main mengenai tarif bisa dijadikan alasan berlomba memberikan pelayanan terbaik untuk penumpang dan bukan perang tarif.

“Atrans akan memenuhi dan mengikuti semua peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, karena kami adalah produk lokal hasil karya anak bangsa, yang akan terus mendukung untuk Indonesia menjadi lebih baik,” terang Arynto.

Tantangan dan rencana ke depan

Menurut Arynto, saat ini Atrans memiliki tantangan yang sedikit berbeda. Atrans dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik untuk membuat penumpang dapat mersasa aman dan nyaman saat menggunakan jasa Atrans.

Atrans berencana mendapatkan 30.000 mitra pengemudi baik untuk sepeda motor atau pun mobil. Mereka juga berambisi untuk melengkapi fitur-fitur dan jasa layanannya.

“Tantangan kami memang agak sedikit berbeda, karena justru tantangan kami adalah memberikan pelayanan yang terbaik agar penumpang dapat merasa aman dan nyaman saat menggunakan jasa kami, hal ini sesuai dengan slogan kami ‘Your Wise Choice Of Transportation’, di mana menggunakan Atrans adalah “Pilihan Bijak Transportasi Anda,” tutup Arynto.

Application Information Will Show Up Here

Uber Integrasi dengan Aplikasi Transportasi Multimoda TRAFI

Aplikasi ridesharing Uber mengumumkan kerja sama dengan aplikasi transportasi multimoda TRAFI, berupa integrasi layanan Uber yang masuk dalam aplikasi TRAFI sebagai salah satu rekomendasi pilihan sarana transportasi bagi warga Jakarta dan sekitarnya.

Untuk mendapatkan informasi perjalanan, pengguna hanya perlu mengunduh aplikasi TRAFI di smartphone mereka, lalu memasukkan tujuan di bagian “Get Directions”. Setelah itu, pengguna akan melihat berbagai pilihan transportasi yang berbeda dan menemukan logo Uber di sana.

Apabila pengguna ingin memilih layanan Uber, mereka cukup memilih “Go To App” untuk memesan kendaraan. Jika pengguna belum mengunduh aplikasi Uber, pilihan tersebut akan membawa pengguna untuk mengunduh aplikasi dan melakukan registrasi akun baru.

Layanan Uber ini berlaku untuk semua produk seperti uberMOTOR, uberX, uberXL, dan uberBLACK.

“Integrasi ini bertujuan untuk memberikan pilihan dan kenyamanan lebih dalam merencanakan perjalanan dan memilih moda transportasi sesuai kebutuhan. [..] memungkinkan masyarakat menikmati waktu tempuh perjalanan yang lebih efisien,” terang Head of Public Policy & Government Affairs Uber Indonesia John Colombo, Senin (29/5).

Dia melanjutkan TRAFI merupakan salah satu partner global bagi Uber. Ketika pertama kali teken kerja sama di kawasan Baltik tahun lalu, keduanya memang berencana akan melanjutkan ke negara lainnya di mana keduanya beroperasi.

“TRAFI memiliki kesamaan visi dengan kami. Mereka ingin meningkatkan kemampuan orang untuk memakai multimoda transportasi, sekaligus mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Uber dan TRAFI juga sama-sama sedang fokus di negara berkembang.”

Saat DailySocial menjajal layanan tersebut, rupanya dalam aplikasi TRAFI tidak hanya terdapat pilihan Uber. Juga tersedia pilihan Grab dan Go-Jek.

Lengkapi opsi perjalanan

Bagi TRAFI, kehadiran Uber di dalam aplikasi menjadi pelengkap opsi perjalanan yang bisa dipilih sesuai kebutuhan, mulai dari yang paling direkomendasikan, paling murah, hingga pilihan dengan lebih sedikit berjalan kaki. Moda transportasi yang tersedia di TRAFI mulai dari Transjakarta, KRL, bis, bis berukuran sedang, hingga angkutan kota (angkot).

“Kerja sama ini sifatnya tidak eksklusif. Kami terbuka dengan [aplikasi ride hailing] lainnya, namun belum bisa disebutkan,” ucap Country Manager TRAFI Indonesia Dimas Dwilasetio.

Dia mengungkapkan pihaknya terus melengkapi pendataan jenis transportasi yang digunakan masyarakat Jakarta, sejak TRAFI pertama kali diluncurkan pada Mei 2016. Disebutkan ada lebih dari 600 angkot, sekitar 85% telah terintegrasi dengan sistem informasi real-time Transjakarta, dan integrasi penuh dengan jadwal KRL.

Ketika ditanya mengenai rencana TRAFI pada tahun ini, Dimas bilang pihaknya belum berencana untuk ekspansi ke kota lainnya. Saat ini TRAFI Indonesia masih fokus pada penguatan bisnisnya di Jakarta. Lagipula, sambungnya, untuk ekspansi ke kota lain TRAFI perlu melakukan riset mengenai moda transportasi yang digunakan oleh masyarakat.

“Untuk ekspansi ke kota lain, kami perlu riset mengenai transportasi yang digunakan masyarakat setempat. Itu butuh tim yang perlu turun ke lapangan untuk mapping. Sedangkan saat ini tim kami di Indonesia masih 10 orang yang fokus ke data, untuk tim teknisi ada di kantor pusat,” pungkas Dimas.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Berharap Gemuruh Pertentangan Taksi Online Berakhir Lewat Revisi PMP Nomor 32/2016

Pemerintah akhirnya menjawab akan segera melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PMP) Nomor 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, pasca aksi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini di berbagai daerah.

Revisi ini rencananya akan diketuk palu pada 1 April 2017. Dalam aturan tersebut, nantinya akan ada 11 poin penting yang patut diperhatikan oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi (Grab, Uber dan Go-Car), serta mitra pengemudinya. Mulai dari perubahan definisi, tarif, kuota kendaraan, STNK berbadan hukum, kapasitas mesin kendaraan hingga pemberian sanksi.

Semangat yang ingin disampaikan oleh pemerintah sebenarnya cukup baik, yakni meredakan perselisihan dengan menyediakan aturan yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan kedua belah pihak.

Aturan main tersebut kini bisa dibilang jadi lebih jelas untuk perusahaan transportasi berbasis aplikasi, mengingat sudah ada payung hukum yang akan selalu memantau seluruh pergerakan mereka.

Beberapa aturan yang harus dipatuhi misalnya pengemudi taksi online diharuskan memakai stiker khusus berbentuk bulat sebagai simbol dari roda dan di dalamnya terdapat huruf T yang merupakan tanda dari kata Taksi.

Jumlah kendaraan beredar pun juga akan dibatasi sesuai kebutuhan daerah setempat. Kapasitas akan ditentukan dan terbuka kemungkinan untuk evaluasi berkala secara tahunan.

Dari sisi tarif, pemerintah menerapkan batas atas dan batas bawah agar terjadi keseimbangan dengan mode transportasi publik konvensional. Besaran tarif akan bergantung pada masing-masing Pemda setelah menampung aspirasi dari pengusaha angkutan kota dan mitra transportasi online.

Prediksi saya ada beberapa poin yang mungkin akan memberatkan perusahaan transportasi berbasis aplikasi dalam revisi ini. Yang pertama mengenai pajak dengan salah satu persyaratan yang menetapkan bahwa mereka harus mempunyai/menguasai server atau pusat data yang berdomisili di Indonesia.

Yang kedua adalah akses dashboard yang bisa diakses oleh pemerintah untuk memantau operasional pelayanan angkutan dalam pengawasan dan pembinaan operasional. Pemerintah meminta aplikasi dashboard paling sedikit memuat profil perusahaan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi, dan layanan pelanggan berupa telepon, email, dan alamat kantor perusahaan.

Kedua aturan ini mungkin kurang cincai bagi perusahaan transportasi online. Pasalnya, perusahaan yang notabenenya berasal dari pemain luar umumnya menempatkan pusat datanya di luar negeri, mungkin yang terdekat di Singapura. Sepengetahuan saya, masih jarang perusahaan teknologi yang menempatkan pusat datanya di lokal mengingat belum terjaminnya keamanan komputasi awan.

Belum lagi aturan mengenai akses dashboard. Mau tak mau perusahaan tersebut harus membuka diri dengan menyerahkan data-data pentingnya kepada pemerintah untuk dipantau terus sistem operasionalnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dalam revisi ini pemerintah sudah mengajak diskusi dengan seluruh stakeholder dari kedua belah pihak? Apakah seluruh poin dari revisi ini mencerminkan seluruh kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan? Bila pemerintah tidak melakukan ini, bisa jadi memicu gemuruh lainnya bukannya malah meredakan.

Jawaban pemerintah yang terlambat

Pemerintah lagi-lagi bisa dikatakan terlambat dalam menanggulangi konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Asal tahu saja, konflik ini sudah mencuat sejak aplikasi transportasi online berhamburan di Indonesia pada 2015.

Aksi penolakan terus terjadi hingga kini meski terkadang diwarnai aksi anarkis, mungkin kejadian yang cukup disesalkan adalah memakan korban seperti terjadi di Tangerang.

Pemerintah sudah semestinya untuk lebih cepat tanggap dalam menjawab konflik sosial, apalagi kejadiannya tidak hanya di Jakarta saja tapi sudah merembet ke kota lainnya.

Di satu sisi, inovasi yang dihadirkan perusahaan seperti Uber, Grab, dan Go-Car merupakan jawaban dari pergerakan zaman yang kini sudah mengarah ke digital. Mereka bisa dibilang menjadi “pahlawan” bagi orang-orang Indonesia yang sudah terlampau lelah dengan kemacetan jalanan.

Kehadiran mereka sangat disyukuri, belum lagi tarif yang ditawarkan jauh lebih murah. Toh, strategi “bakar duit” masih dipakai oleh perusahaan demi menarik banyak pengguna.

Tentu saja tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama. Itu maklum saja. Menjadi pengemudi angkutan umum atau ngojek adalah pekerjaan yang sudah ada dan dilakoni sejak puluhan tahun. Hal inilah yang mungkin jadi penyebab berbedanya pola pikir setiap orang untuk terbuka pada perkembangan zaman.

Saya pribadi berharap semoga revisi ini jadi pengakhir konflik. Semua pihak bisa menunjukkan komitmennya untuk mematuhi aturan main ini dan tidak bertindak culas.

Pemerintah juga harus menunjukkan komitmen untuk tegas dalam praktiknya ketika aturan diresmikan. Siapapun yang melanggar aturan harus ditindak tegas, jangan sampai ada bias.

Toh, ini semua demi kepentingan bersama. Seluruh orang bisa mencari rezeki lebih nyaman dan penumpang pun jadi aman, sebab rezeki tiap orang itu sudah di tangan Tuhan.

Karena yang Ditenggelamkan, Tetap Bisa Kembali Mengapung

Bagai sebuah genderang yang ditabuh kencang, penolakan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi kembali mencuat. Tak tanggung-tanggung, di hampir semua basis bisnis utama pemain jasa on-demand tersebut mendapatkan protes keras dari para pelayan transportasi konvensional. Di Bandung, Malang, Yogyakarta, Tangerang bahkan Medan dalam kurun waktu berdekatan semua kembali menentang keberadaan layanan modern tersebut.

Kendati terjadi di waktu berdekatan, jika ditelisik secara detail permasalahan terhadap transportasi berbasis aplikasi ada dua jenis. Pertama yang menentang adanya taksi online berpelat nomor hitam, seperti yang riuh di Bandung dan Yogyakarta. Yang kedua menentang transportasi online secara umum, baik itu berupa ojek online dan taksi online. Ini terjadi di Tangerang, Medan dan Malang.

Hal ini sebenarnya bukan masalah baru. Sejak awal hype kemunculan layanan on-demand, isu tersebut tak pernah absen dipersoalkan, bahkan sempat terjadi demo besar di ibukota.

Di tengah hingar-bingar demonstrasi belakangan ini, kasus di Malang membawakan cerita menarik. Ketika masyarakat justru tampak kurang respect dengan aksi mogok yang dilakukan para sopir angkot, mereka secara sukarela menjadi relawan penyedia jasa transportasi bagi mereka yang terlantar kesulitan mencari transportasi, seperti anak sekolah. Hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa masyarakat pun kini lebih memandang manfaat yang diberikan layanan transportasi berbasis aplikasi.

Dijejali “perang inovasi”

Selain pemberitaan penolakan di sana-sini, kabar baik justru sering disajikan para pemain yang bersaing di Indonesia. Setidaknya sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan penyedia platform aplikasi terus memacu inovasi produk, baik mematangkan portofolio e-wallet yang dimiliki, meluncurkan program loyalitas pelanggan, ekspansi, hingga peluncuran ragam produk baru.

Tak hanya itu, kerja sama pun secara intensif dilakukan dengan berbagai mitra strategis. Beberapa waktu lalu Go-Jek mengumumkan bahwa kini pemesanan taksi BlueBird dapat dilakukan melalui Go-Car.

Selebaran promosi Go-Jek yang menampilkan keterangan dukungan Pemkot Bandung
Selebaran promosi Go-Jek yang menampilkan keterangan dukungan Pemkot Bandung

Keributan itu hanya terpendam sejenak, karena nyatanya mamang belum ada win-win solution yang dihasilkan dari aksi-aksi pro-kontra yang dilakukan sebelumnya. Pun demikian dari pihak pemerintah, selain arahan “halus” dan janji negosiasi, sejauh ini belum ada kesepakatan tegas yang mampu meregulasi, karena transportasi ojek sendiri tidak masuk dalam poin regulasi jasa angkutan darat, namun membudaya dengan sendirinya.

Lalu apakah ini harus menjadi justifikasi modernisasi secara penuh aturan yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?

“Sama rata” antara dua jenis layanan transportasi tidak menjadi solusi yang pas

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan Permen No. 32 Tahun 2016 yang mengatur transportasi berbasis aplikasi online, salah satunya berbenah soal tarif dan kelengkapan pengemudi jasa transportasi berbasis aplikasi. Tampaknya aturan tersebut tidak bisa berjalan beriringan dengan apa yang diteriakkan oleh penentang layanan on-demand.

Akar permasalahannya dapat didefinisikan secara sederhana. Katakan saja tarif diatur dengan plafon tertentu, lantas apakah akan menyamakan derajat antara layanan konvensional dan berbasis aplikasi? Tentu jawabannya tidak, karena ada komponen lain yang senantiasa diunggulkan, baik di sisi produk ataupun layanan, oleh penyedia moda transportasi modern.

Demand layanan transportasi berbasis aplikasi yang terus meningkat diimbangi dengan supply yang tak kalah banyak. Di sisi konsumen, jika mereka berhak memilih, nyatanya banyak yang beralih ke moda transportasi modern. Artinya lebih banyak memberikan kepuasan lebih ketimbang apa yang diberikan oleh moda transportasi konvensional.

Perusahaan penyedia sedemikian rupa menyulap aplikasi yang diterbitkan sebagai sebuah all-in-one platform yang memenuhi berbagai jenis kebutuhan dengan medium berupa alat transportasi, layanan belanja, kebersihan, pesan makanan, cuci mobil dan lainnya yang dikemas dalam skema online.

Pernyataan Walikota Bandung Ridwan Kamil soal isu transportasi berbasis aplikasi belakangan ini cukup menohok:

“Jangan selalu nyalahin sistem, tapi perilaku angkot sendiri banyak mengecewakan masyarakat yang akhirnya berpindah ke opsi online.”

Penyelesaian masalah

Secara kasat mata, permasalahan pro-kontra transportasi online versus transportasi konvensional ini tak akan pernah usai, kecuali adanya perombakan pola pikir. Secara kontinu perkembangan digital akan terus menggerus banyak hal dalam kehidupan. Masyarakat sudah nyaman dengan efektivitas layanan yang diberikan.

Disadari betul, komponen masyarakat saat ini dalam mengadopsi layanan online sangat divergen. Ada digital immigrant dan digital native. Demografi masyarakat yang paling konsumtif didominasi digital native.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah, para pemangku bisnis di bidang terkait, dan masyarakat? Semua perlu berperan. Sebagai regulator pemerintah harus selalu jeli menyikapi permasalahan yang ada. Dalam permasalahan transportasi online, keberadaan sistem tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Regulasi yang membendung justru akan sia-sia selama masyarakat justru menikmatinya. Selama ini pemerintah mencoba meregulasi dari sisi penyedia layanan online, mungkin bisa dicoba untuk dibalik? Yang diregulasi justru dari sudut pemain konvensional.

Bentuknya banyak hal, mulai dari penyelenggaraan badan khusus untuk mengedukasi mereka (penyedia jasa konvensional), atau menyediakan sebuah sub-sistem yang lebih terakomodasi sehingga mereka tidak enggan untuk beralih ke sistem modern. Faktanya dari sisi pendapatan pun lebih menjamin dengan sistem online, di sisi lain sistem yang diberikan lebih tertata dan transparan baik bagi para driver ataupun konsumen.

Diperlukan keseriusan dalam menyelesaikan masalah ini. Bagai bola salju yang terus berputar, isu pro-kontra layanan transportasi online akan semakin membesar tanpa penyelesaian, lebih tepatnya capaian kesepakatan antar pihak yang saling berkepentingan. Jika hanya ditenggelamkan seperti yang sudah-sudah, masalah itu akan kembali muncul kapan pun ia mau, karena yang ditenggelamkan, tetap bisa kembali mengapung.

Indosat Ooredoo Business Bantu Taksi Citra Malang Hasilkan Aplikasi Mobile

Kehadiran transportasi online di Indonesia disambut baik masyarakat. Sambutan baik ini akhirnya berimbas pada bisnis transportasi online. Banyak pihak akhirnya mencoba peruntungan di sektor ini. Kehadiran aplikasi dinilai menjadi masa depan transportasi. Hal itu juga yang pada akhirnya melatar belakangi Indosat Ooredoo Business membantu Taksi Citra Malang untuk meluncurkan aplikasi pemesanan taksi yang diberi nama Citra Taksi.

Indosat Ooredoo Business akan menyiapkan layanan digital untuk bisa mengakomodir pesanan taksi melalui aplikasi online untuk wilayah Malang dan Batu. Aplikasi Citra Taksi ini sudah tersedia di Google Play. Seperti kebanyakan aplikasi pemesanan taksi lainnya aplikasi ini juga berusaha memberikan kemudahan agar calon penumpang tidak perlu lagi mengeluarkan banyak usaha untuk memesan taksi.

“Aplikasi Taksi Citra ini merupakan salah satu cara kami menghadirkan dunia digital kepada semua orang, sejalan dengan visi baru Indosat Ooredoo Business yang berkomitmen untuk meningkatkan manfaat teknologi digital kepada masyarakat Indonesia. Dengan ini pula, kami ingin membuktikan komitmen kami dalam menyediakan solusi ICT untuk mendukung pertumbuhan bisnis para pelanggan kami,” ujar Fuli Humaeroh, Group Head Key Accounts Indosat Ooredoo.

Indosat Ooredoo Business dikabarkan juga akan menyediakan paket komunikasi gratis antar karyawan (Closed User Group) bundling dengan device amartphone yang akan dipasang di setiap armada taksi Citra untuk menerima order dari pelanggannya. Indosat Ooredoo Business juga menyiapkan Virtual PABX untuk kebutuhan call center taksi Citra serta SMS Location Based Advertising untuk mendukung kegiatan marketing taksi Citra.

Menanggapi dukungan Indosat Ooredoo Business, Direktur Taksi Citra Rudy Haryanto mengungkapkan, “Diharapkan dengan adanya aplikasi ini akan dapat menjadi nilai tambah bagi masyarakat untuk lebih cepat, mudah, dan lebih aman mendapatkan taksi. Bagi Taksi Citra pun menjadi lebih kompetitif dan semakin menguatkan posisinya sebagai penyedia sarana layanan transportasi taksi resmi terdepan di Kota Malang dan sekitarnya.”

Application Information Will Show Up Here

Bisnis Konvensional, Teknologi, dan Pertentangan yang Berlarut-larut

Kreativitas kerap menjadi tuntutan yang mengerikan bagi perusahaan besar (yang bersifat konvensional). Kata tersebut mewajibkan pihaknya untuk berani menghadapi risiko. Dalam kasus ini, risiko yang dihadapi adalah keterpurukan bisnis atas kompetisi yang gagal diantisipasi. Organda DKI yang cukup vokal dalam menyuarakan penentangannya terhadap layanan pemesanan transportasi daring, seperti Uber dan GrabCar, kembali menggelar demo untuk menuntut pemblokiran kedua aplikasi tersebut [yang konon mengancam pundi-pundi kasnya]. Gagal bersifat kreatif, Organda mewakili perusahaan transportasi memilih untuk menjadi bebal, yang sialnya turut didukung oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

Senin 14 Maret 2016, Jonan meneken surat rekomendasi pemblokiran Uber dan GrabCar yang dibarengi demo oleh ratusan pengemudi taksi di sejumlah titik di Jakarta. Menhub menilai perusahaan tersebut melanggar pasal 138 ayat (3), Pasal 139 ayat (4), Pasal 173 ayat (1) UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kedua perusahaan itu dinilai memberikan keresahan dan konflik di kalangan pengusaha angkutan resmi dan pengemudi taksi resmi. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang diminta Menhub Jonan untuk segera memblokir kedua aplikasi tersebut menilai keputusan tersebut di luar kebijakannya, seperti dikutip dari Rappler.

“Dari sisi Kemkominfo, kami tidak relevan mengatur mengenai regulasi. Hal itu seharusnya ditangani oleh Kemenhub, Dishub daerah dan Pemda,” kata Rudiantara.

Jika berbicara bisnis sebagai penyedia layanan, kepuasan masyarakat sebagai konsumen merupakan faktor yang esensial. Menuntut dengan alasan “keresahan dan konflik di kalangan pengusaha” bukanlah urusan yang ingin diketahui masyarakat, apalagi jika harus terkena imbas macet.

Uber dan Grab sendiri diberitakan akan dan telah mengurus izin mendirikan perusahaan legal, dengan tetap berpegang teguh bahwa mereka perusahaan teknologi, bukan transportasi. Meski Uber dan Grab terus mencoba memenuhi syarat Kemenkominfo, Organda selalu mencoba mengeksploitasi celah yang bisa dimanfaatkan untuk menjegal operasionalnya. Memposisikan diri sebagai korban, Ketua Organda DKI Jakarta, sekaligus Direktur Taksi Express, Shafruhan Sinungan menyatakan bahwa Uber dan Grab memberikan dampak negatif seperti penurunan pendapatan, merumahkan ribuaan kendaraan, dan membayar kredit ke bank.

“Ya rugi dong. Biaya operasional gede, sementara pemasukan dikit. Mending tinggalin aja itu mobil. Kan jadi nganggur (sopir),” kata Shafruhan.

Mungkin jika awalnya CEO dan pendiri Uber Travis Kalanick memiliki banyak uang dan armada taksi yang besar, tentunya lebih banyak pilihan cara untuk memasarkan produknya (membangun aplikasi mobile misalnya), dan jadilah perusahaan taksi bersenjatakan aplikasi mobile. Tapi Uber tidak berangkat dari sana, Ia hanya menyederhanakan proses yang  menghubungkan penumpang dengan solusi transportasi. Jika tetap mewajibkan Uber melalui proses birokrasi untuk terdaftar sebagai perusahaan taksi, menuruti sistem argo yang dipatok Organda, segalanya tidak bertambah mudah. Perusahaan teknologi tidak bekerja seperti itu. Mereka ingin mendobrak hegemoni yang sudah ada, yang kadang tidak sinkron dengan peraturan yang berlaku.

Terlepas dari urusan perpajakan dan badan hukum, sebagai layanan transportasi berbasis teknologi, jelas kisruh yang berlarut-larut ini adalah tentang kompetisi dan keengganan bisnis konvensional untuk adoptif terhadap teknologi

Masyarakat memilih menggunakan Uber dan Grab karena (1) kenyamanan pemesanan (2) kemudahan pembayaran (3) fasilitas tracking kendaraan, berbagi rute, informasi dan rating pengemudi, dan berbagi fitur teknologi lainnya. Blue Bird dan Taksi Express sesungguhnya sudah mulai berusaha ke arah sana, tapi secara kualitass masih jauh dari apa yang disajikan oleh Uber dan Grab. Daripada menghabiskan energi untuk berdemo dan mempertahankan status quo, kapan kami bisa menikmati 3 poin tersebut dari layanan transportasi yang sudah ada saat ini?

Menyusul Uber Supercar, GrabTaxi Indonesia Tawarkan GrabSpeed

grabspeed

Lima bulan lalu, Uber secara resmi memperkenalkan Supercar yang mengizinkan penggunanya untuk mengendarai mobil Aston Martin di wilayah tertentu di Jakarta. Menawarkan strategi serupa, GrabTaxi Indonesia juga menjanjikan pengalaman serupa dengan mobil mewah Lamborghini.

Continue reading Menyusul Uber Supercar, GrabTaxi Indonesia Tawarkan GrabSpeed