Opensignal: Pengguna di Indonesia Nikmati Koneksi Internet yang Lebih Cepat via 4G Ketimbang Wi-FI

Januari 2021 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia berhasil menembus angka 200 juta orang berdasarkan hasil riset Hootsuite dan We Are Social. Berhubung Indonesia merupakan pasar yang mobile-first, 195,3 juta (96,4%) dari total pengguna tadi mengakses internet via ponsel, baik menggunakan jaringan seluler maupun jaringan Wi-Fi.

Secara umum, pengguna akan lebih memilih Wi-Fi karena sejumlah alasan. Yang paling utama biasanya adalah untuk menghemat kuota data, namun tidak jarang juga yang beralasan Wi-Fi menawarkan kecepatan download yang lebih tinggi daripada 4G.

Menariknya, riset terbaru yang dilakukan Opensignal menunjukkan hasil yang berbeda. Dalam skala nasional, rata-rata kecepatan download yang didapat pengguna via jaringan 4G mencapai 15,1 Mbps, atau sekitar 25% lebih tinggi daripada yang didapat menggunakan jaringan Wi-Fi — sekitar 12 Mbps, baik di jaringan publik maupun pribadi.

Seperti yang bisa dilihat pada grafik di atas, selisihnya malah lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan MiFi atau malah 3G, dan ini pada dasarnya menunjukkan betapa pentingnya ketersediaan jaringan 4G — atau malah 5G sekalian — di area-area yang belum tercakup.

Dalam skala regional, trennya pun tidak jauh berbeda. Di 12 kawasan utama di Indonesia, kecepatan download yang pengguna dapatkan ternyata memang lebih tinggi memakai 4G ketimbang Wi-Fi. Meski begitu, selisih kecepatannya berbeda-beda di tiap daerah.

Di Papua Barat misalnya, kecepatan download via 4G tercatat 58% lebih kencang daripada via Wi-Fi (14,6 Mbps dibanding 9,2 Mbps). Namun di kawasan seperti Jakarta, selisihnya tercatat cuma 4% saja (18,1 Mbps dibanding 17,5 Mbps). Tanpa perlu terkejut, di antara 12 kawasan tadi, kecepatan download yang pengguna dapatkan di Jakarta ini memang adalah yang tertinggi, baik untuk jaringan 4G maupun Wi-Fi.

Satu hal yang pasti, Opensignal menyimpulkan bahwa pengguna internet di Indonesia sekarang dapat menikmati koneksi internet yang lebih cepat ketimbang tiga tahun lalu. Dibandingkan hasil analisis serupa yang mereka lakukan di tahun 2018, kecepatan download rata-rata menggunakan Wi-Fi kini lebih kencang 50%, sementara kecepatan download menggunakan 4G malah sekitar 65% lebih tinggi.

Sumber: Opensignal. Gambar header: Mika Baumeister via Unsplash.

OpenSignal: Pengalaman Bermain Game Mobile di Indonesia Masih Perlu Ditingkatkan

85% pengguna internet di Indonesia memainkan game di smartphone-nya. Jadi bisa kita bayangkan sendiri betapa besarnya pasar mobile game di Indonesia. Pada kenyataannya, data dari tahun 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pasar mobile game terbesar di Asia Tenggara, baik dari segi jumlah pemain maupun pendapatan.

Dari sekian banyak game mobile yang dimainkan, sebagian besar yang populer merupakan game multiplayer alias online, terutama di kalangan muda-mudi. Fakta bahwa industri esport tanah air lebih besar di platform mobile ketimbang di platform lainnya pada dasarnya adalah salah satu alasan mengapa gamegame seperti PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, maupun Mobile Legends bisa begitu populer di sini.

Namun pasar yang begitu besar belum tentu mengindikasikan pengalaman pengguna yang baik. Hal itu tergambarkan dari laporan terbaru OpenSignal, yang melakukan analisis terkait pengalaman para pemain game mobile multiplayer di 44 kota besar di Indonesia berdasarkan kualitas jaringan selulernya. Metrik yang digunakan adalah metrik Games Experience racikan OpenSignal sendiri, dengan skor 0 – 100.

Hasil analisisnya boleh dibilang cukup mengejutkan. Tiga kota teratas yang mencatatkan skor terbaik adalah Palangkaraya (71,9), Pekanbaru (71,1), dan Banda Aceh (70,1). Semuanya bukan dari Pulau Jawa yang notabene merupakan penyumbang populasi terbesar di negara kita.

Satu-satunya kota dari Pulau Jawa yang berhasil masuk peringkat lima besar adalah Yogyakarta (69,1). Namun kalau berdasarkan sistem skor OpenSignal, semua kota ini belum ada yang masuk kategori bagus (minimal skornya 75), dan hanya bisa digolongkan lumayan (65 – 74,9). Lumayan dalam artian mayoritas pemain mengalami delay selama bermain.

Delay, seperti yang kita tahu, adalah salah satu kendala teknis paling menyebalkan saat bermain game multiplayer, sebab itu berarti tindakan yang pemain ambil tidak langsung terjadi secara instan. Meski begitu, kategori lumayan di sini mengindikasikan bahwa pemain masih punya kontrol atas game yang dimainkannya, atau dengan kata lain delay-nya masih bisa dimaklumi.

Sumber: OpenSignal
Sumber: OpenSignal

Lain ceritanya untuk 23 kota sisanya yang masuk kategori buruk dengan rentang skor 40 – 64,9. Bahkan kota-kota yang sangat padat penduduk seperti Bandung (62,9) atau Surabaya (58,8) pun juga ada di kategori ini. Pengalaman bermain yang buruk itu diwakilkan oleh delay yang parah yang mengakibatkan kontrol atas jalannya permainan jadi berkurang.

Saya yakin sebagian besar dari kita pernah merasakannya, terutama saat memaksa bermain di lokasi yang coverage sinyalnya buruk. Pada game MOBA misalnya, skill yang kita klik tidak langsung keluar atau malah tidak keluar sama sekali, dan saya maklum seandainya banyak pemain yang merasa tidak terima dengan pengalaman seperti itu.

OpenSignal menyimpulkan bahwa masih banyak yang harus dibenahi supaya pengalaman bermain game mobile di Indonesia bisa meningkat. Tiga parameter utama yang harus disempurnakan adalah UDP latency, packet loss, dan jitter. Buat konsumen secara umum, kesimpulan ini sejatinya menjadi pengingat bahwa kita tak bisa menilai kualitas jaringan hanya dari kecepatannya saja, sebab faktor-faktor tadi juga berpengaruh langsung terhadap kelancaran bermain game multiplayer.

Pihak operator pun juga sudah seharusnya ikut mengambil catatan. Masih banyak yang bisa mereka tingkatkan perihal kualitas jaringan demi menyuguhkan pengalaman bermain game mobile yang lebih baik kepada konsumen. Kalau dibiarkan seperti ini terus, bukan tidak mungkin bibit-bibit atlet esport ke depannya bisa berkurang karena sebagian dari mereka jadi malas bermain akibat kendala jaringan.

Gambar header: Screen Post via Unsplash.

StartupBlink: Peringkat Indonesia Merosot di Ekosistem Startup Global 2020

Ekosistem startup di Indonesia Indonesia merosot ke-54 secara global menurut laporan termutakhir dari StartupBlink bertajuk “The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report”. Pada laporan sebelumnya, Indonesia masuk dalam urutan 50 besar, atau tepatnya ke-41.

Dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, posisi Malaysia tergolong lebih unggul (48), Thailand (50), Filipina (53), dan Vietnam (59). Singapura ada di urutan tertinggi (16) di regional ini. Padahal secara kuantitas, Indonesia termasuk memiliki startup unicorn yang banyak di kawasan ini, per tahun 2020 totalnya sudah ada 6 startup yang terkonfirmasi menyandang status tersebut.

Tidak dipaparkan penyebab mengapa peringkat Indonesia turun. Didetailkan lebih dalam, Jakarta (41) menjadi kota terdepan di Indonesia dalam mendukung ekosistem startup. Namun posisi tersebut ternyata turun dua peringkat, sekaligus masuk dalam urutan ke-13 di Asia Tenggara.

Pada urutan kedua, ditempati oleh Bandung yang turun 86 peringkat dari posisi di tahun sebelumnya menjadi 389. Menariknya, muncul kota baru untuk pertama kalinya, yakni Yogyakarta (647), Medan (960), dan Semarang (982).

“Penting juga untuk disebut, Tangerang dan Surabaya [peringkat] meroket hingga ratusan sekarang ada di peringkat 515 dan 735 secara berurutan,” sebut laporan tersebut.

Kota-kota di Pulau Bali juga disebutkan berpotensi menjadi startup hub di Indonesia. Salah satu alasannya karena tingginya populasi pengusaha asing dan nomaden digital, namun jika didukung dengan infrastruktur internet yang cepat akan memungkinkan konektivitas yang jauh lebih andal.

“Distribusi yang baik dari delapan kota peringkat tertinggi ini memberikan kemenangan besar bagi Indonesia. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan populasi dan ukuran negara, kota-kota lainnya dengan peringkat rendah perlu mempersempit kesenjangan dari ibukota Jakarta.”

Kualitas internet

Mendukung laporan StartupBlink, OpenSignal sebelumnya juga mengungkapkan temuan yang mirip. Dari laporan terakhir yang mereka publikasi, ditemukan kecepatan unduhan dan unggahan dari jaringan seluler di 44 kota besar di Indonesia mengalami pertumbuhan bagus, akan tetapi tidak merata.

Padahal, sambungan internet berkecepatan tinggi merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan cita-cita ekonomi digital yang kuat.

Terkait pertumbuhan kecepatan unduhan, Kota Sorong (Papua Barat) dan Ambon (Maluku) menduduki urutan dua teratas. Peringkat ketiga ditempati Jayapura dengan peningkatan kecepatan sebesar 85% dibandingkan kota-kota lainnya. Ketiga kota ini memperoleh kecepatan unduhan hampir dua kali lipat kecepatan rata-rata nasional yang sebesar 9,8 Mbps.

Sementara itu terkait pertumbuhan kecepatan unggahan, kota Kupang (NTT) menduduki urutan pertama. Di sana, pengguna memperoleh 70% peningkatan kecepatan unggahan rata-rata sebesar 8,3 Mbps, hampir dua kali lipat dari rata-rata kecepatan nasional sebesar 4,5 Mbps.

Untuk provinsi-provinsi di Jawa tertinggal dibandingkan provinsi di pulau lainnya jika ditinjau dari persentase pertumbuhan; kendati kalau dibandingkan dari sisi kecepatan saat ini tidak kalah. Peringkat tertinggi diraih oleh Malang (15) dan Bandung (18). Jakarta menempati posisi ke-28 dengan kecepatan unduhan rata-rata 10,2 Mbps. Namun menduduki peringkat ke-32 di daftar kecepatan unggahan, dengan kecepatan rata-rata 4,8 Mbps.

Cimahi menjadi satu-satunya kota di urutan paling bawah daftar kecepatan unggahan dengan rata-rata 4,0 Mbps dan peringkat terakhir kecepatan unduhan dengan kecepatan 1,1 Mbps.

“Dengan semakin mudahnya penyediaan pengalaman jaringan seluler untuk para pengguna di wilayah perkotaan, cukup mengejutkan ketika pengguna di sepuluh dan enam kota masing-masing tidak memperoleh peningkatan kecepatan unduhan dan unggahan di atas rata-rata nasional. Kecepatannya hanya berhasil meningkat hingga 10% di bawah rata-rata nasional.”

HootSuite mencatat kecepatan internet di Indonesia rata-rata 20,1 Mbps dengan rata-rata di global 73,6 Mbps. Laporan ini dirilis pada awal tahun ini. Sementara, dari riset lainnya dari Seasia, mencatat kecepatan internet Indonesia menduduki peringkat ke-92 dari 207 negara dengan rata-rata kecepatan 6,65 Mbps. Sementara di global rata-ratanya adalah 11,03 Mbps. Laporan ini dipaparkan pada tahun lalu.

OpenSignal Report: 4G Is Yet to Stable

OpenSignal, a company engaged in the analysis of mobile user experience, issued a report on the 4G network. It highlights the 4G network performance which are considered to be less consistent and talks about 5G network to be the solution.

From 77 countries observed, the download speed ranged from 31.2 Mbps and 5.8 Mbps. As the best / fastest time is at night. The jammed 4G network makes 5G network increasingly on demand.

Indonesia, listed at the bottom of the average internet speed through 4G. At busy hours (18.00-21.00), Indonesia’s 4G internet speed is at 5.7 Mbps. While the fastest is at (00.00 – 04.00) the speed is 18.5 Mbps.

In OpenSignal report, this number is only one level up from Thailand with 6 Mbps at busy hours and the fastest is at 11.7 Mbps; India with 3.7 Mbps at busy hours and the fastest is at 14.6 Mbps; and Algeria with 2.6 Mbps at busy hours and the fastest 16.4 Mbps.

OpenSignal

In the top three, there are South Korea, Singapore, and Norway, with the average of 40 Mbps at busy hours and 54 Mbps the fastest.

OpenSignal highlighted the speed difference phenomenon between busy / peak hours and off-peak hours

The use of 5G is not only expected to provide speed to 4G, but also a strong foundation for capacity and solving consistency problem.

OpenSignal will also underlined the speed inconsistency of 4G to have impact on the future app innovation, such as augmented reality and so on.

The 5G network is said to be able to increase network capabilities to support more users and simultaneus (streaming) data at high speed. For example, using high-definition quality streaming.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Laporan OpenSignal: Kecepatan 4G Belum Konsisten

OpenSignal sebuah perusahaan yang bergerak di bidang analisis pengalaman pengguna mobile mengeluarkan sebuah laporan mengenai jaringan 4G. Laporan tersebut menyoroti kinerja jaringan 4G yang dirasa masih kurang konsisiten dan membahas bagaimana jaringan 5G bisa menjadi solusi.

Dari 77 negara yang diteliti, kecepatan unduhan berkisar antara 31,2 Mbps dan 5,8 Mbps. Dengan waktu terbaik/tercepat ketika jam malam. Kemacetan jaringan 4G yang sedang berlangsung ini membuat kebutuhan untuk jaringan 5G semakin disoroti.

Indonesia, termasuk dalam urutan terbawah dalam rata-rata kecepatan internet yang dihasilkan melalui jaringan 4G. Di jam-jam padat (18.00 – 21.00), kecepatan internet 4G di Indonesia berada di angka 5,7 Mbps. Sedangkan di jam-jam cepat (00.00 – 04.00) kecepatan Indonesia berada di angka 18,5 Mbps.

Dalam laporan OpenSignal Angka ini hanya unggul dari Thailand dengan kecepatan di jam-jam padat 6 Mbps dan di jam-jam paling cepat di angka 11, 7 Mbps; India dengan kecepatan di jam-jam padat 3,7 Mbps dan di jam-jam paling cepat berada di angka 14, 6 Mbps; dan Aljazair dengan kecepatan di jam-jam padat 2,6 Mbps dan di jam-jam paling cepat berada di angka 16,4 Mbps.

Grafik OpenSignal

Sementara untuk tiga teratas diisi Korea Selatan, Singapura, dan Norwegia, yang rasio di jam padat dan jam-jam paling cepat berkisar di angka 40 Mbps dan 54 Mbps.

OpenSignal menyoroti fenomena perbedaan kecepatan antara jam sibuk/padat dengan jam-jam lengang. Bahkan untuk dua negara tercepat sekalipun, Korea Selatan dan Singapura, terjadi penurunan kecepatan hingga 13 Mbps. Indikasi bahwa kecepatan jaringan mobile 4G masih belum konsisten dan bergantung pada kapasistas jaringan. Masalah ini yang diharapkan bisa diselesaikan oleh jaringan 5G.

Pemanfaatan jaringan 5G tidak hanya diharapkan mampu memberikan kecepatan yang lebih dibanding 4G, tetapi juga landasan yang kuat untuk kapasitas dan menyelesaikan masalah konsistensi jaringan 4G yang ditemui.

OpenSignal juga menggarisbawahi bahwa kecepatan yang tidak konsisten pada jaringan 4G akan berdampak pada inovasi aplikasi yang akan datang, seperti augmented reality dan semacamnya.

Jaringan 5G juga disebut akan mampu meningkatkan kemampuan jaringan untuk mendukung lebih banyak pengguna dan data simultan (streaming) dengan kecepatan tinggi. Seperti penggunaan streaming dengan kualitas high-definition.

Benarkah Wi-Fi Selalu Lebih Cepat dari Jaringan Seluler?

Wi-Fi sekarang sudah bisa dianggap sebagai salah satu kebutuhan pokok. Bahkan warung kopi kecil pun sekarang hampir pasti menyediakan sambungan Wi-Fi kepada para pelanggannya. Masalahnya, tidak selamanya jaringan Wi-Fi itu bisa digunakan; ada yang sangat lambat koneksinya, ada pula yang sama sekali tidak bisa tersambung ke internet.

Pada kenyataannya, menggunakan koneksi LTE sering kali jauh lebih lancar dan cepat ketimbang jaringan Wi-Fi yang ada di tempat-tempat umum. Ini berdasarkan pengalaman saya pribadi, tapi ternyata studi yang dilakukan OpenSignal juga menyimpulkan demikian.

Hasil studi mereka menunjukkan bahwa di 33 negara, jaringan seluler rata-rata lebih cepat ketimbang jaringan Wi-Fi, dan perbedaannya terkadang bisa sangat jauh. Bahkan di negara maju seperti Australia pun, jaringan seluler bisa lebih cepat hingga 13 Mbps dibanding Wi-Fi.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk salah satu negara yang diamati, tapi di negara Asia Tenggara seperti Myanmar, selisih kecepatan jaringan seluler dan Wi-Fi juga nyaris mencapai angka 10 Mbps. Wi-Fi sendiri hanya bisa menang jauh di negara-negara seperti Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Amerika Serikat, alias negara yang terkenal dengan kecepatan koneksi internetnya.

Di Eropa, tepatnya di negara seperti Norwegia dan Belanda, jaringan seluler dan Wi-Fi tampak berimbang kecepatannya. Pertanyaannya, kenapa bisa begini situasinya? Kita semua tahu bahwa selama ini Wi-Fi selalu menjadi pilihan yang lebih ideal untuk menyambungkan smartphone ke internet.

Persepsi seperti itu rupanya hanya berlaku sampai era jaringan 3G saja. Di saat jaringan LTE sudah begitu matang seperti sekarang, Wi-Fi tak lagi bisa dianggap lebih superior, meski tetap saja dibutuhkan untuk keperluan local networking maupun ekosistem smart home.

Kemenangan jaringan seluler atas Wi-Fi soal kecepatan ini jelas akan semakin jauh lagi ketika era 5G sudah datang dan menjadi mainstream nanti. Jadi kalau Anda sering nongkrong dan dibuat frustrasi dengan jaringan Wi-Fi di sana, mungkin berlangganan paket internet seluler adalah langkah yang lebih bijak.

Sumber: Engadget. Gambar header: Pixabay.

OpenSignal: Telkomsel is Still The Best Operator in Indonesia

OpenSignal returns with State of Mobile Network Indonesia report for June 2018. The report provides an overview of the mobile network operators quality and quantity in Indonesia. Previously, in December 2017, Telkomsel led in almost every aspect. The difference is, Smarfren began to rise by winning the Overall Speed Download and Availability in 4G.

The methodology used by OpenSignal is a speedtest summary using its application within the period of February 1 – May 1, 2018, with 11.7 million time measurements by 1.2 million test equipment.

telkomsel1

Telkomsel led the 4G Download Speed, 3G Download Speed, 4G Uploading Speed, 4G Latency, and 3G Latency. The average download speed on Telkomsel 4G network reaches 12.86 Mbps, 4.99 Mbps in 3G, and 7.26 Mbps in 4G Uploading Speed.

Smartfren on the other hand, for its network, is only for 4G and no longer accommodated 3G, has won two categories. Nevertheless, Smartfren’s Download Speed that reaches 9.83 Mbps should be appreciated, superior to XL Axiata which previously tailing Telkomsel.

telkomsel2

The report shows that Indosat Ooredoo is the operator with the “worst” network quality. Indosat is in the bottom position for almost all categories. Its only “advantage” compared to Telkomsel is the 4G network percentage of the total network that reaches 70%. Smartfren as the winner in this category has recorded 92%, while Telkomsel is stagnant in the bottom of 69%.

In regional, OpenSignal tries to map the network quality and quantity in several cities with slightly different results. Although Telkomsel continues to dominate, Smarfren keeps making surprises, especially in Makassar and Surabaya.

telkomsel3


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OpenSignal: Telkomsel Masih Jadi Operator Terbaik di Indonesia

OpenSignal kembali menerbitkan laporan State of Mobile Networks Indonesia untuk bulan Juni 2018. Laporan ini memberikan gambaran tentang kualitas dan kuantitas jaringan operator seluler di Indonesia. Sebagaimana laporan sebelumnya di bulan Desember 2017, Telkomsel memimpin di hampir semua aspek. Bedanya kali ini Smartfren mulai menunjukkan tajinya dengan memenangkan kategori Kecepatan Pengunduhan Keseluruhan dan Ketersediaan Jaringan 4G.

Metodologi yang digunakan OpenSignal adalah rangkuman speedtest menggunakan aplikasi OpenSignal di periode 1 Februari – 1 Mei 2018 dengan pengukuran 11,7 juta kali dengan 1,2 juta alat uji.

Screen Shot 2018-06-06 at 09.49.59

Telkomsel menguasai kategori Kecepatan Pengunduhan 4G, Kecepatan Pengunduhan 3G, Kecepatan Pengunggahan 4G, Latency 4G, dan Latency 3G. Kecepatan rata-rata pengunduhan di jaringan 4G Telkomsel mencapai 12,86 Mbps, di jaringan 3G mencapai 4,99 Mbps, dan kecepatan pengunggahan 4G mencapai 7,26 Mbps.  

Smartfren sendiri, karena jaringannya hanya untuk 4G dan tidak lagi mengakomodasi 3G, berhasil memenangkan dua kategori. Meskipun demikian, patut diapresiasi bahwa Kecepatan Pengunduhan 4G Smartfren mencapai 9,83 Mbps, lebih unggul dibanding XL Axiata yang sebelumnya membuntuti Telkomsel.

Screen Shot 2018-06-06 at 09.50.10

Laporan tersebut juga menunjukkan Indosat Ooredoo adalah operator dengan kualitas jaringan “terburuk”. Indosat berada di posisi bawah untuk hampir semua kategori. Satu-satunya “keunggulan” Indosat dibanding Telkomsel adalah persentase jaringan 4G dibandingkan total jaringan keseluruhan yang mencapai 70%. Smartfren sebagai pemenang kategori ini mencatatkan angka 92%, sedangkan Telkomsel masih stagnan berada di posisi paling bawah kategori ini dengan 69%.

Secara regional, OpenSignal mencoba memetakan kualitas dan kuantitas jaringan untuk sejumlah kota dengan hasil yang tak jauh berbeda. Meskipun Telkomsel terus mendominasi, Smartfren mulai memberikan kejutan, khususnya di kota Makassar dan Surabaya.

Screen Shot 2018-06-06 at 09.50.29