Simak Analisis SWOT Bisnis Minuman Berikut Ini, Lengkap!

Indonesia merupakan negara yang letaknya dilalui oleh garis khatulistiwa. Akibatnya, Indonesia memiliki iklim tropis yang disinari oleh matahari sepanjang tahun serta suhu udara yang cukup tinggi. Tak heran, masyarakat Indonesia sering merasa gerah terutama pada musim kemarau, di mana suhu terasa panas.

Nah, salah satu solusi dari kegerahan adalah dengan minum. Selain mengembalikan cairan tubuh, minum juga memberi efek menyegarkan, apalagi jika meminum minuman dingin.

Sejak dahulu, banyak minuman tradisional yang dijajakan di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari es cendol, es campur, es doger, es oyen, es kelapa muda, hingga minuman sederhana namun digemari semua kalangan yakni es teh manis.

Oleh sebab itu, pada dasarnya bisnis minuman memiliki potensi besar di Indonesia. Tapi, masih banyak lagi kelebihan dari bisnis minuman yang perlu Anda ketahui. Simak selengkapnya pada analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat) bisnis minuman berikut ini, ya!

Analisis SWOT Bisnis Minuman

Strength (Kekuatan)

Strength merupakan unsur internal yang menjadi keunggulan dari suatu bisnis. Dalam bisnis minuman, analisisnya adalah sebagai berikut:

  1. Modal relatif kecil
  2. Harga bahan baku relatif murah
  3. Bahan baku mudah ditemukan
  4. Proses pembuatan mudah dan tergolong cepat
  5. Tidak perlu keahlian khusus
  6. Mudah dijalankan
  7. Manajemen bisnis sederhana
  8. Perputaran uang yang relatif cepat

Weakness (Kelemahan)

Selanjutnya yakni weakness, yaitu kekurangan internal dari bisnis yang dapat menghambat keberjalanan bisnis. Dalam bisnis minuman, analisisnya adalah sebagai berikut:

  1. Banyak minuman yang sifatnya musiman atau mengikuti tren
  2. Terdapat kemungkinan produk rusak (mencair, basi, dll)
  3. Minuman kekinian bukan kebutuhan primer
  4. Perlu ditunjang lokasi yang strategis
  5. Kurang memiliki keunikan atau nilai lebih

Opportunity (Peluang)

Unsur berikutnya adalah opportunity, yakni kesempatan bagi bisnis untuk semakin berkembang. Dalam bisnis minuman, analisisnya adalah sebagai berikut:

  1. Digandrungi mayoritas masyarakat Indonesia
  2. Minuman cenderung dapat diterima seluruh kalangan usia, ekonomi, dan gender
  3. Solusi mengatasi kegerahan
  4. Adanya musim kemarau di Indonesia meningkatkan permintaan minuman
  5. Permintaan pasar selalu ada
  6. Gaya hidup konsumtif
  7. Terdapat berbagai pilihan minuman dan rasa yang dapat disesuaikan dengan selera pasar

Threat (Ancaman)

Unsur terakhir adalah threat yang berisikan hal-hal yang dapat menghambat keberjalanan bisnis. Dalam bisnis minuman, analisisnya adalah sebagai berikut:

  1. Tren berubah dengan cepat
  2. Banyaknya kompetitor bisnis minuman
  3. Menjamurnya kedai kopi
  4. Ekonomi tidak stabil
  5. Harga bahan baku dapat naik sewaktu-waktu
  6. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi konsumsi gula
  7. Maraknya kampanye hidup sehat
  8. Potensi permintaan yang menurun bila musim hujan

Demikian analisis SWOT bisnis minuman yang perlu Anda ketahui sebelum memutuskan untuk membuka bisnis ini. Perlu diketahui, pembahasan di atas merujuk pada bisnis minuman secara umum. Tentunya setiap jenis minuman memiliki analisis SWOT yang lebih terperinci, namun analisis di atas dapat memberikan gambaran besar mengenai keempat unsur SWOT untuk bisnis minuman.

Semoga bermanfaat!

5 Cara Analisis Laporan Keuangan Agar Tetap Lancar

Laporan keuangan adalah sebuah laporan yang diterbitkan perusahaan untuk mengetahui jalannya keuangan. Laporan keuangan biasanya akan dibuat dalam periode tertentu seperti sebulan sekali atau tahunan. Setelah mengetahui cara membuat laporan keuangan, hal selanjutnya yang harus kamu tahu adalah cara analisis laporan keuangan.

Analisis laporan keuangan ini untuk mengetahui apakah keuangan bisnis yang kamu kelola sehat dan stabil dan tidak mengalami penurunan yang merugikan. 

Untuk itu kamu perlu tahu cara analisis laporan keuangan agar lebih efektif. Di bawah ini ada 5 poin cara analisis laporan keuangan yang baik.

5 Cara Analisis Laporan Keuangan Agar Keuangan Lancar

Dikutip dari website Association For Financial Professionals ada 5 cara untuk menganalisis laporan keuangan, analisis keuangan untuk memudahkan mengambil keputusan.

1. Mengidentifikasi karakteristik ekonomi industri

Hal pertama dalam menganalisis laporan keuangan adalah kamu menentukan karakteristik nilai industrinya terlebih dahulu, kamu harus membuat rantai ekonomi industri seperti aktivitas produksi, distribusi, dan layanan perusahaan.

Pada tahap ini biasanya juga menggunakan analisis atribut ekonomi.

2. Mengidentifikasi strategi yang digunakan oleh perusahaan

Cara analisis laporan keuangan selanjutnya adalah kamu harus melihat sifat dari produk atau jasa yang ditawarkan oleh bisnis yang kamu jalani. Kamu juga harus menentukan keunikan, tingkat margin keuntungan  yang ingin dicapai, loyalitas merek, hingga potongan harga yang diinginkan. 

Hal ini bertujuan untuk membentuk strategi yang akan digunakan oleh perusahaan. Selain itu, jangan lupa untuk mengidentifikasi faktor lain seperti industri yang memasok kebutuhan bisnis dan diversifikasi industri.

3. Menilai kualitas laporan keuangan perusahaan

Menganalisis laporan keuangan artinya kamu meninjau kembali laporan keuangan bisnis atau perusahaan yangs sudah dirancang, saat meninjau kamu harus menyamaratakannya dengan standar akuntansi perdagangan yang relevan.

Jangan lupa untuk mengevaluasi neraca saldo, untuk menilai apakah neraca saldo sudah lengkap semua. Kemudian, saat menganalisis laporan laba rugi, kamu harus melihat apakah kualitas laba sebagai representasi lengkap dari kinerja ekonomi perusahaan.

Dengan melakukan evaluasi terhadap semua komponen laporan keuangan juga untuk memahami dampak posisi likuiditas perusahaan dari dana aktivitas operasi, investasi, dan aktivitas pendanaan pada periode tertentu.

Dalam bagian ini kamu harus mengetahui terkait datang dan perginya dana perusahaan, dan bagaimana likuiditas perusahaan secara keseluruhan.

4. Menganalisis profitabilitas dan risiko keuangan

Langkah selanjutnya dan tidak kalah penting adalah melakukan evaluasi terkait likuiditas, manajemen aset, profitabilitas, dan risiko keuangan.

Kamu juga perlu menganalisis seberapa menguntungkan operasi bisnis terhadap aset, dan bagaimana perusahaan dapat membayar asetnya tersebut. Yang terakhir adalah seberapa menguntungkannya perusahaan dari perspektif pemegang saham ekuitas.

5. Menyusun proyeksi laporan keuangan

Hal yang tidak boleh luput dari analisis laporan keuangan adalah membuat proyeksi laporan keuangan untuk periode selanjutnya. Tahap ini sangat penting dilakukan agar kamu bisa membuat asumsi terkait perusahaan kedepannya karena akan berdampak pada arus kas dan pendanaan. Sehingga, kamu bisa mengetahui terkait keuangan yang nantinya akan terpakai atau didapatkan.

Jenis-jenis Analisis Keuangan

Untuk melakukan analisis laporan keuangan juga bisa dilakukan dengan empat jenis analisis yaitu mengutip dari E-Finance Management ada analisis rasio, analisis DuPont yang menggunakan rumus Return on Equity untuk memecah rasio seperti margin laba bersih, manfaat keuangan, dan perputaran aset.

Kemudian ada analisis horizontal untuk membandingkan keuangan satu periode dengan periode tahun-tahun sebelumnya, dan yang terakhir analisis vertikal yang menghitung laporan laba rugi sebagai bentuk dari pendapatan atau penjualan.

Cara analisis laporan keuangan setiap perusahaan mungkin akan berbeda satu sama lain, kamu juga bisa memilih untuk menggunakan software akuntansi jika tidak masih belum paham terkait analisis laporan keuangan bisnis kamu.

OpenSignal: Pengalaman Bermain Game Mobile di Indonesia Masih Perlu Ditingkatkan

85% pengguna internet di Indonesia memainkan game di smartphone-nya. Jadi bisa kita bayangkan sendiri betapa besarnya pasar mobile game di Indonesia. Pada kenyataannya, data dari tahun 2018 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pasar mobile game terbesar di Asia Tenggara, baik dari segi jumlah pemain maupun pendapatan.

Dari sekian banyak game mobile yang dimainkan, sebagian besar yang populer merupakan game multiplayer alias online, terutama di kalangan muda-mudi. Fakta bahwa industri esport tanah air lebih besar di platform mobile ketimbang di platform lainnya pada dasarnya adalah salah satu alasan mengapa gamegame seperti PUBG Mobile, Call of Duty Mobile, maupun Mobile Legends bisa begitu populer di sini.

Namun pasar yang begitu besar belum tentu mengindikasikan pengalaman pengguna yang baik. Hal itu tergambarkan dari laporan terbaru OpenSignal, yang melakukan analisis terkait pengalaman para pemain game mobile multiplayer di 44 kota besar di Indonesia berdasarkan kualitas jaringan selulernya. Metrik yang digunakan adalah metrik Games Experience racikan OpenSignal sendiri, dengan skor 0 – 100.

Hasil analisisnya boleh dibilang cukup mengejutkan. Tiga kota teratas yang mencatatkan skor terbaik adalah Palangkaraya (71,9), Pekanbaru (71,1), dan Banda Aceh (70,1). Semuanya bukan dari Pulau Jawa yang notabene merupakan penyumbang populasi terbesar di negara kita.

Satu-satunya kota dari Pulau Jawa yang berhasil masuk peringkat lima besar adalah Yogyakarta (69,1). Namun kalau berdasarkan sistem skor OpenSignal, semua kota ini belum ada yang masuk kategori bagus (minimal skornya 75), dan hanya bisa digolongkan lumayan (65 – 74,9). Lumayan dalam artian mayoritas pemain mengalami delay selama bermain.

Delay, seperti yang kita tahu, adalah salah satu kendala teknis paling menyebalkan saat bermain game multiplayer, sebab itu berarti tindakan yang pemain ambil tidak langsung terjadi secara instan. Meski begitu, kategori lumayan di sini mengindikasikan bahwa pemain masih punya kontrol atas game yang dimainkannya, atau dengan kata lain delay-nya masih bisa dimaklumi.

Sumber: OpenSignal
Sumber: OpenSignal

Lain ceritanya untuk 23 kota sisanya yang masuk kategori buruk dengan rentang skor 40 – 64,9. Bahkan kota-kota yang sangat padat penduduk seperti Bandung (62,9) atau Surabaya (58,8) pun juga ada di kategori ini. Pengalaman bermain yang buruk itu diwakilkan oleh delay yang parah yang mengakibatkan kontrol atas jalannya permainan jadi berkurang.

Saya yakin sebagian besar dari kita pernah merasakannya, terutama saat memaksa bermain di lokasi yang coverage sinyalnya buruk. Pada game MOBA misalnya, skill yang kita klik tidak langsung keluar atau malah tidak keluar sama sekali, dan saya maklum seandainya banyak pemain yang merasa tidak terima dengan pengalaman seperti itu.

OpenSignal menyimpulkan bahwa masih banyak yang harus dibenahi supaya pengalaman bermain game mobile di Indonesia bisa meningkat. Tiga parameter utama yang harus disempurnakan adalah UDP latency, packet loss, dan jitter. Buat konsumen secara umum, kesimpulan ini sejatinya menjadi pengingat bahwa kita tak bisa menilai kualitas jaringan hanya dari kecepatannya saja, sebab faktor-faktor tadi juga berpengaruh langsung terhadap kelancaran bermain game multiplayer.

Pihak operator pun juga sudah seharusnya ikut mengambil catatan. Masih banyak yang bisa mereka tingkatkan perihal kualitas jaringan demi menyuguhkan pengalaman bermain game mobile yang lebih baik kepada konsumen. Kalau dibiarkan seperti ini terus, bukan tidak mungkin bibit-bibit atlet esport ke depannya bisa berkurang karena sebagian dari mereka jadi malas bermain akibat kendala jaringan.

Gambar header: Screen Post via Unsplash.

Analis: PlayStation 5 Akan Dibanderol $ 500, Dirilis Bulan November 2020

Melihat tanda-tanda yang ada, peralihan dari console current-gen ke generasi selanjutnya akan menjadi momen menarik. Microsoft sudah mulai mengajukan konsep cloud gaming dan ada kemungkinan sistem ini dibubuhkan pada hardware anyar mereka. Sang rival Sony sendiri telah mengungkap sedikit detail spesifikasi dari PlayStation ‘5’ dan rencana buat merangkul fitur backward compatibility.

Namun memang ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Pertama, seperti apa wujud ‘PS5’? Kedua, kapan produk akan resmi disingkap dan diedarkan jika Sony absen di E3 2019? Dan terakhir, detail hardware mengindikasikan harga retail yang lebih mahal dari PlayStation 4, tapi berapa? Analis Hideki Yasuda dari Ace Research Institute mencoba mengajukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Dilaporkan oleh WinFuture, Hideki Yasuda memprediksi bahwa PlayStation 5 akan dibanderol di harga US$ 500. Angka ini lebih tinggi dari PlayStation 4 ketika melakukan debutnya. Sistem gaming current generation itu awalnya dijajakan senilai US$ 400, kemudian dalam perjalanannya, menurun jadi US$ 300, diterapkan baik pada edisi standar maupun spesial. Kini, US$ 400 adalah angka yang dipatok untuk satu unit PlayStation 4 Pro.

Kenaikan harga boleh jadi disebabkan oleh kehadiran komponen-komponen yang lebih canggih. Mengacu pada keterangan lead system architect Mark Cerny di bulan April kemarin, PlayStation 5 akan dibekali penyimpanan berbasis SSD dan kabarnya bisa menjalankan konten di resolusi 4K serta mendukung fitur ray tracing – berkat dukungan prosesor semi-custom AMD Ryzen 3 7nm serta GPU Radeon Navi.

Melihat dari pengalaman sebelumnya, saya menduga bahkan dengan menjual PS5 di harga US$ 500, Sony tidak memperoleh banyak keuntungan atau mungkin malah merugi. Hal ini boleh dikatakan ‘cukup normal’ di ranah penyajian console. Produsen akan balik modal dan mendapatkan pemasukan beberapa saat setelah momen peluncuran berlalu lewat penjualan game serta layanan berlangganan PlayStation Plus.

Untuk waktu ketersediaan PS5, Yasuda mengestimasi akan jatuh pada bulan November 2020. Waktu tersebut cukup masuk akal, karena memang mendekati periode liburan hari raya/akhir tahun. Penuturan Yasuda cukup senada dengan prediksi analis Michael Pachter dari Wedbush Securities sebelumnya, yang menyatakan bahwa PlayStation 5 tidak akan dirilis hingga tahun 2019 berakhir.

Selain itu, Hideki Yasuda memperkirakan akan ada sekitar enam juta unit PS5 terjual di bulan Maret 2021, dan bertambah lagi 15 juta console lagi di tahun berikutnya. Menurutnya, PlayStation 5 akan kembali berkompetisi dengan produk baru Microsoft, sedangkan layanan gaming on demand seperti Google Stadia kemungkinan belum memberikan perlawanan berarti bagi platform konvensional.

Via BGR.

Menilik Solusi Cloud Sebagai Platform Gaming Masa Depan dan Menakar Implikasinya Bagi Industri

Impian manusia buat menikmati video game tanpa repot-repot menyiapkan hardware telah ada lebih dari satu dekade silam. Saat membahas konsep ini, nama OnLive mau tak mau akan disebutkan karena ia merupakan pionir penyedia cloud gaming kelas konsumen. OnLive memang sudah berhenti beroperasi, namun ada banyak perusahaan yang mengadopsi model bisnisnya, termasuk produsen console Sony Interactive Entertainment.

Nama PlayStation Now mungkin tak asing lagi di telinga Anda. Dalam membangun layanan cloud khusus gamer console current generation-nya, Sony memanfaatkan aset OnLive serta infrastruktur Gaikai yang mereka ambil alih sebagai pondasinya. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak bermunculan pula platform-platform gaming on demand sejenis, termasuk brand-brand yang dikembangkan oleh developer lokal seperti gameQoo (dulu bernama Emago) dan Skyegrid.

Meski begitu, tema cloud gaming baru betul-betul lepas landas dan menjadi perhatian publik ketika sejumlah raksasa teknologi mengonfirmasi rencana untuk turut menggarapnya, yakni Google serta Microsoft (termasuk Amazon, menurut rumor yang beredar). Kedua perusahaan memiliki pengalaman panjang di ranah penyediaan platform gaming dengan arahan yang berbeda: Google sebagai ‘penguasa’ mobile, sedangkan Microsoft sudah lama berbisnis di segmen PC gaming serta Xbox. Google resmi memperkenalkan Stadia di GDC 2019, dan Microsoft berjanji  buat mengungkap xCloud lebih jauh di E3 2019.

Gears of War 4

 

Kondisi saat ini

Sejauh ini, penghalang terbesar bagi adopsi layanan cloud gaming adalah ketersediaan sambungan internet yang memadai. Sebetulnya, kendala itu tidak hanya dirasakan oleh konsumen negara berkembang (seperti Indonesia), tapi juga di negara maju. Sebagai jalan keluarnya, perusahaan biasanya membatasi jangkauan servis. Hingga sekarang, PlayStation Now baru hadir di 19 negara; lalu GeForce Now cuma dapat diakses dari Amerika, Kanada, dan sejumlah kawasan Eropa.

Beberapa platform lain yang lebih kecil – misalnya Shadow – bahkan dikhususkan ke satu wilayah saja (Perancis). Strategi serupa juga dilakukan oleh pengembang platform on demand lokal. Demi menjamin kelancaran penyajian, server telah dilokasikan di Indonesia, lalu developer tak lupa mematok kecepatan internet minimal yang diperlukan agar servis berjalan optimal.

Semuanya memang terdengar menjanjikan, tetapi pada kenyataannya, banyak orang tetap merasa skeptis cloud gaming akan betul-betul menggantikan penyuguhan video game secara konvensional. Saya sempat membaca testimoni PC Gamer dan GameSpot soal tingginya latency Google Stadia di GDC 2019 yang mempengaruhi kenyamanan bermain.

Di sisi lain, beberapa tahun silam saya pernah merasakan langsung mulusnya Nvidia Grid (sekarang dikenal sebagai GeForce Now) via Nvidia Shield: Borderlands 2 dijalankan di sebuah lobby hotel di kota Taipei dengan server yang berada di Jepang. Saya juga menjadi salah satu orang yang cukup beruntung menjajal Rise of the Tomb Raider di Skyegrid beberapa bulan sebelum peluncurannya. Sensasinya luar biasa. Saya membayangkan, mungkin seperti inilah pengalaman blockbuster gaming di masa depan.

Memuluskan koneksi dan memangkas latency sudah pasti jadi perhatian utama penyedia jasa gaming on demand. Tapi saya melihat adanya masalah besar lain: konten. Mayoritas platform cloud gaming di Indonesia belum mempunyai permainan eksklusifnya sendiri. Saat ini mereka baru menyiapkan wadah untuk bermain tanpa perangkat gaming dedicated (walaupun brand seperti Skyegrid punya keinginan buat menjadi publisher game lokal).

Doom Eternal

Sejatinya, Skyegrid merupakan ekspansi dari library game Anda. Memang ada banyak permainan gratis yang dapat segera dimainkan pelanggan (misalnya Dota 2, Apex Legends, Fortnite), namun kita harus tetap memiliki/membeli game-game premium (Resident Evil 2 remake, Grand Theft Auto V, Fallout 4) terlebih dulu agar bisa mengaksesnya via cloud.

Bukan cuma mengandalkan konten dari developer third-party, Skyegrid juga bersandar pada platform distribusi berbeda – contohnya Steam, Origin,  Uplay dan Microsoft Store. Dukungan nama-nama populer ini memang terdengar positif, namun bayangkan apa yang terjadi jika salah satu (atau beberapa) di antara brand tersebut turut meluncurkan jasa on demand-nya sendiri?

Jika hal ini terjadi, tidak ada alasan kuat bagi pengguna untuk meneruskan langganannya.

gameQoo sendiri punya strategi bisnis yang cukup berbeda, dan sejujurnya, lebih simpel dari Skyegrid. Dengan jadi pelanggannya, kita tidak perlu lagi membeli permainan. Semua game di sana merupakan buah dari kolaborasi langsung bersama publisher. Namun kelemahannya bisa segera Anda temui begitu membuka daftar permainan: jumlah judul populernya lebih sedikit dari Skyegrid, dan jarang ada permainan yang betul-betul baru. Dengan begitu, kesempatannya untuk menarik perhatian kalangan mainstream jadi lebih kecil.

Stellaris.

 

Kata para penyedia jasa cloud gaming lokal

Lewat app messaging, CEO gameQoo Izzuddin Al Azzam mengungkapkan bahwa tantangan terbesar yang perusahaannya hadapi dalam menggaet pelanggan bukan disebabkan oleh kendala teknis, tetapi lebih dikarenakan karakteristik konsumen di Indonesia. Hingga sekarang, gameQoo terus berupaya untuk mengubah pola pikir gamer agar tidak lagi membajak permainan. Jika belum mampu membeli secara sah, akan lebih baik bagi mereka buat beralih ke layanan berlangganan.

Dalam kiprahnya, Emago yang terlahir dari program inkubasi Digital Amoeba gagasan Telkom memutuskan untuk bergabung menjadi bagian dari operator seluler tersebut karena munurut  Izzuddin, kunci dari kesuksesan jasa cloud gaming terletak pada kemitraan dan networking. Menurutnya, Telkom merupakan pemegang jaringan komunikasi terluas di Indonesia, dan hal ini dapat memberikan gameQoo keunggulan.

CEO Skyegrid Rolly Edward punya pandangan lain mengenai tantangan utama penetrasi cloud gaming di nusantara. Baginya, edukasi mengenai teknologi cloud harus dilakukan secara bertahap dan memang membutuhkan waktu, apalagi gaming on demand ialah sebuah gagasan baru. Bahkan penyedia jasa kelas global menghadapi kendala serupa. Namun sejauh ini, proses yang developer lalui berjalan cukup baik meski sedikit meleset dari perkiraan sebelumnya.

Rolly menganalogikan cloud gaming dengan ATM. Kira-kira perlu satu dekade bagi nasabah bank untuk terbiasa menggunakan mesin perbankan otomatis buat bertransaksi. Sekali lagi ia berargumen soal pentingnya pengenalan oleh berbagai pihak – baik penyedia maupun media secara bersama-sama – demi mempersingkat waktu adopsinya. Melihat dari perspektif ini, Rolly dan tim Skyegrid sangat antusias menyambut kehadiran Google Stadia, Apple Arcade serta Microsoft xCloud.

Dengan berkecimpungnya nama-nama besar tersebut, pemain lokal tentu saja perlu mengantisipasi kompetisi yang tak bisa dihindari. Skyegrid sudah menyiapkan strategi pemasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan pengalaman penggunaan, termasuk memudahkan transaksi. Satu keunggulan yang dimiliki developer cloud gaming lokal adalah mereka lebih mengenal karakteristik gamer di Indonesia.

Menurut Rolly, setidaknya ada dua aspek yang menjadi pertimbangan utama konsumen di Indonesia: harga terjangkau dan kepuasaan pemakaian. Hal-hal inilah yang jadi fokus bagi tim Skyegrid. Buat sekarang, platform telah mendukung konten-konten Steam dan Origin, dan developer sedang dalam tahap merangkul Epic Games Store dan Uplay. Mereka berharap prosesnya dapat rampung di tahun ini juga.

Sang CEO Skyegrid punya pendapat senada Izzuddin soal pentingnya kolaborasi. Ini yang mendorong mereka untuk bekerja sama dengan Telkom. Skyegrid memiliki agenda buat meluncurkan ‘sesuatu yang baru’ bersama perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu. Rolly pribadi melihat gameQoo sebagai kawan seperjuangan – bukan sekadar kompetitor. Baginya, kedua brand bisa sama-sama berjuang mengedukasi pasar.

Apex Legends.

 

Melihat ke depan

Meningkatnya kompetisi menandai pegerakan ke arah yang tepat dan  gelombang cloud gaming kian terasa di tahun ini. Setelah gameQoo dan Skyegrid, ada peluang besar kita akan menyaksikan kelahiran layanan-layanan on demand lain, boleh jadi mengusung model bisnis berbeda. Dalam bincang-bincang kami, Rolly Edward mengutip sebuah pandangan dari boss Ubisoft: diprediksi hanya akan ada satu generasi console lagi sebelum kita semua beralih ke game streaming.

Skenario ini mengagumkan sekaligus mengerikan. Mengagumkan, karena kemudahan akses ke konten hiburan memungkinkan semua orang jadi gamer tanpa hambatan modal. Mengerikan, karena perubahan masif dari cara orang mengonsumsi konten memaksa perusahaan-perusahaan teknologi merombak strategi bisnis. Dengan merakyatnya gaming on demand, para produsen hardware akan kesulitan untuk menjual produknya secara tradisional.

Revolusi bukanlah hal baru di ranah video game. Di tahun 70- sampai 80-an, permainan-permainan elektronik cuma bisa dinikmati dengan datang ke arena arcade. Namun semuanya berubah ketika console diperkenalkan dan mempersilakan kita bermain di rumah. Beberapa tahun sesudahnya, kehadiran internet dan platform digital juga berdampak pada bisnis distribusi game. Mayoritas gamer di PC telah mengucapkan selamat tinggal pada versi fisik permainan serta merangkul metode digital, dan perusahaan console  mulai mengikuti tren ini.

Beralih ke masa kini, lepas landasnya konsep streaming game ditanggapi pemilik platform dan console maker secara berbeda. Lewat PlayStation Now, Sony memanfaatkan metode cloud berbayar sebagai ekspansi layanan PlayStation. Tapi sejauh yang sudah diketahui, console next-gen mereka terhidang secara tradisional, dititikberatkan pada peningkatan performa dan kualitas konten. Microsoft sendiri telah mengonfirmasi pengembagan Xbox ‘Scarlett’, kemungkinan disajikan dalam beberapa varian, salah satunya dikabarkan berupa set-top box pendukung streaming game.

Forza Horizon 4

Sebagai perusahaan yang terbilang lebih konservatif dibanding Microsoft dan Google, Sony mengakui bagaimana cloud gaming berpeluang mengancam bisnisnya. Namun mereka juga berpendapat masih butuh waktu cukup lama hingga para penyedia menemukan model bisnis ideal dalam menyuguhkan layanan streaming game. Sampai saat itu tiba, memiliki perangkat gaming tradisional ialah cara paling mudah untuk menikmati permainan video.

Di PC, potongan kecil dari teknologi cloud sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di platform-platform distribusi semisal Steam, EA Origin dan Uplay. Satu contohnya ialah pemanfaatan sistem cloud save, berperan untuk memastikan progres dan achievement permainan tersimpan aman ‘di awan’, serta dapat dilanjutkan dari mana pun ketika Anda menginginkannya. Menakar dari momentumnya, PC dan perangkat mobile akan jadi ladang paling subur bagi persebaran layanan on-demand.

Sejumlah ahli memprediksi bahwa bisnis gaming on demand akan melesat naik begitu 5G tersedia secara luas. Dan kabar gembiranya, 5G tidak lagi berada di luar genggaman kita. Perangkat-perangkat pendukung konektivitas baru tersebut mulai bermunculan di tahun ini, dan data terbaru Qualcomm mengindikasikan proses adopsi serta penyebaran yang jauh lebih cepat dibanding 4G. Yang membuatnya lebih menarik lagi: Skyegrid akan dilibatkan dalam demonstrasi 5G oleh ‘mitra telekomunikasi dalam negeri’.

Transisi dari platform gaming tradisional ke jasa on demand juga sempat diungkapkan oleh tim analis Jon Peddie Research belum lama ini. Mereka memperkirakan akan ada jutaan gamer PC – khususnya pengguna sistem entry-level hingga kelas menengah dengan hardware seharga US$ 1.000 ke bawah – beralih menjadi penikmat ‘TV gaming‘. Uniknya, mereka tak hanya hijrah jadi pemain console – sebagian diprediksi memilih buat berlangganan layanan streaming game.

Resident Evil 2

 

Penutup

Suka tidak suka, cloud gaming akan tiba dan kehadirannya dipastikan akan mereformasi cara kita mengonsumsi konten hiburan serta bagaimana publisher/developer mendistribusikannya. Di perspektif pengguna, beragam kemudahan ditawarkan olehnya: selama berlangganan layanan tersebut, tak ada lagi game yang tidak bisa Anda mainkan. Selain itu, sistem cloud juga menyederhanakan implementasi update atau patch. Karena semuanya dilakukan di sisi server, kita tidak perlu lagi menunggu prosesnya hingga selesai.

Dan tanpa halangan berupa keterbatasan hardware di sisi pengguna, produk-produk digital para developer bisa sampai di tangan lebih banyak konsumen, dan keadaan ini sudah pasti berdampak positif bagi pemasukan mereka. Tersedianya cloud gaming secara masif juga mempersilakan studio-studio kecil buat menyodorkan kreasinya langsung ke gamer dan berperan sebagai dongkrakan buat bersaing dengan developer-developer kelas AAA. Terbuka peluang besar bagi tim indie untuk berjaya di era gaming on demand.

Doom Eternal

Dalam wawancara bersama Eurogamer (via Gamasutra), game director sekaligus penulis veteran Amy Hennig (berjasa dalam pengembangan seri Legacy of Kain, Jak and Dexter, Uncharted) menyampaikan bahwa layanan-layanan streaming sejenis Stadia akan memberikan developer kebebasan finansial, dan mendorong mereka untuk mengambil resiko demi mengeksekusi ide-ide baru di gaming.

Sekali lagi, era cloud gaming tak bisa dielakkan. Pertanyaannya kini ialah: seberapa siap kita untuk menyambutnya?

Terima kasih kepada Rolly Edward dan tim Skyegrid serta Izzuddin Al Azzam dan tim gameQoo.

Menilik Strategi Samsung untuk Galaxy A6 dan A6 Plus

Sejak awal menyetujui untuk ikut undangan media experience seri Galaxy A6 dan A6+ (plus) di Bali, saya memiliki niat untuk mencari jawaban atas beberapa pertanyaan tentang perangkat ini. Tentang posisinya di antara seri smartphone Samsung lainnya, kebingungan tentang segmen pasar, prosesor dan tentu saja fitur-fitur yang ada.

Setelah acara rilis tanggal 8 kemarin, pada hari selanjutnya rekan media, termasuk saya, diajak untuk ikut acara media experience, yang diawali dengan tanya jawab bersama dua perwakilan dari Samsung yaitu Jo Semidang, IM Marketing Director SEIN dan Denny Galant, Head of IM Product Marketing, plus sedikit ngobrol dengan perwakilan Samsung saat experience berlangsung.

Memperbaharui cara penamaan perangkat 

Dari acara QnA dan ngobrol singkat setidaknya ada beberapa hal yang bisa (dan tidak bisa) menjawab berbagai pertanyaan saya di awal artikel. Pertama-tama, kita bisa jadi harus menarik topik ke non teknis melihat perubahan strategi yang ingin dilakukan Samsung untuk penamaan perangkat mereka, tidak lagi berdasarkan besaran layar tetapi dua versi dengan penambahan keterangan plus untuk yang layar lebih besar. Jadi angka 6 pada Galaxy A6/A6+ bukan merujuk pada besaran inci tetapi menjadi versi ‘murah’ dari duo A8.

Selanjutnya adalah tentang strategi pemasaran, bagaimana Samsung mengfokuskan pada komunikasi fitur dari masing-masing seri, tak hanya tinggi-tinggian spesifikasi. Galaxy A6/A6+ ini berulang-ulang dijelaskan (baik pada saat tanya jawab maupun saat wawancara – door stop) ditujukan untuk pengguna millennials yang mementingkan lifestyle alias gaya hidup, berbeda dengan segmen yang disasar seri J (yang paling tinggi) misalnya.

Fitur yang disematkan dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan dari target yang ingin di sasar, meski di beberapa sisi ada kesamaan dengan seri di bawah seri A6, baik dari spesifikasi dan harga, namun Samsung bersikeras bahwa seri A6 ini lebih menonjolkan efek gaya, beda dengan seri J misalnya yang bukan dikomunikasikan sebagai smartphone stylish. Dan apabila dibandingkan dengan A8, maka segmen yang ingin disasar beda lagi. A8 kelasnya lebih tinggi dari A6.

Galaxy A6/A6+

Selain dari komunikasi marketing, beberapa fitur yang disertakan juga dikatakan Samsung telah berdasarkan riset. Ketika ada rekan media yang bertanya tentang mengapa A6/A6+ ini tidak memiliki fitur tahan air seperti A8, maka jawabannya adalah (lagi-lagi dari sisi marketing). Galaxy A8 ditujukan untuk konsumen yang mementingkan fitur tahan air sedangkan segmen yang disasar seri A6 belum mementingkan hal tersebut, tetapi mementingkan hal lain, misalnya kemampuan kamera (termasuk Bixby Vision dan Live Focus), audio, layar, desain, dan berbagai fitur yang dibawa duo A6.

Samsung menjelaskan bahwa perangkat A6 ini menjadi semacam tangga dari jajaran seri mid range menuju ke flagship. Mereka menyebutkan jenis segmen smartphone ini sebagai semi flagship.

Meski sedikit maklum dengan strategi perilisan seri A6, yang menurut saya lebih ke marketing, karena kalau dari spesifikasi, bisa saja dibuat lebih sederhana, J untuk low ke mid, A untuk mid range dan S untuk flagship. Namun sepertinya, untuk melayani pasar Indonesia, tidak bisa sesederhana itu. Kita bisa melihat OPPO yang sampai merilis lebih dari 5 varian untuk satu seri, pilihan Samsung untuk tetap sederhana dalam merilis seri produk juga bisa jadi terpentok oleh persaingan. Meski dalam sesi tanya jawab Samsung enggan disamakan dengan brand lain, yang berlomba-lomba menjual smartphone berharga murah dengan spesifikasi yang cukup tinggi, namun saya tidak bisa tidak untuk tetap melihat bahwa A6 dan A6+ ini hadir untuk menghadang gempuran produk smartphone baru yang memiliki rasio layar kekinian, dual camera atau bahkan untuk bersaing dengan smartphone selfie (karena di A6+, kamera depannya sudah 24 MP).

Menitik beratkan pada strategi pemasaran

Mendengar penjelasan saat QnA, saya kira tidak berlebihan jika saya menyebutkan bahwa Galaxy A6/A6+ ini memang akan berkutat lebih di strategi pemasaran, bukan spesifikasi. Karena dijelaskan Samsung sendiri bahwa komunikasi yang mereka lakukan adalah yang akan berfokus pada pengalaman yang didapat daru duo seri A ini, mengkomunikasikan tentang value atau benefit dari perangkat termasuk dari brand-nya. Fitur seperti low light camera, desain metal, dukungam Dolby Atmos (dalam bentuk software) di sisi audio, serta layar infinity adalah beberapa keunggulan yang akan dipromosikan untuk perangkat ini, kalau dari sisi kamera ada fitur live focus untuk A6+, Bixby Vision yang saya kira bisa menggaet para traveler millennials, AR stiker, bahkan sampai dengan 3 slot untuk dua SIM dan satu penyimpanan eksternal. Untuk spesifikasi prosesor, besaran RAM, pilihan perbedaan prosesor untuk kedua perangkat ini bahkan baterai sepertinya tidak akan ditonjolkan dalam materi untuk promosi dua perangkat A6. Lagi-lagi, gaya hidup dan fitur-fitur yang menunjang dan pengalaman menggunakan fitur tersebut, yang akan ditonjolkan.

Tentang prosesor yang berbeda

Untuk masalah prosesor, bagi kami penikmat gadget dan pewarta teknologi, bisa jadi agak mengernyitkan dahi ketika dijelaskan bahwa Galaxy A6 menggunakan prosesor Exynos 7870 dan Galaxy A6+ menggunakan Snapdragon 450. Mengapa tidak dibalik? Mengapa harus dibedakan? Dan mengapa harus 450 bukan 6xx? Jawaban Samsung bisa jadi cukup normatif (cari aman), mereka menjelaskan bahwa berdasarkan riset akhirnya RnD mereka memutuskan bahwa untuk spesifikasi dan fitur yang ada di dua perangkat, masing-masing sudah sesuai dengan prosesor yang dipilih, target konsumen juga menjadi bahan riset dalam menentukan pilihan prosesor untuk dua perangkat ini.

Sedikit menggali, saya mendapatkan informasi bahwa untuk perangkat dua kamera, dalam hal ini A6+, prosesor yang lebih sesuai adalah yang SD 450 karena telah mendukung untuk performa atas dual camera. Saya menanyakan hal ini di sela-sela experience dengan perangkat dan penjelasan yang saya terima seperti yang saya sebutkan di awal paragraf ini. Meski demikian, jika melihat situs resmi Samsung, Exynos 7870 ini telah mendukung dual camera 8MP + 8MP.

Strategi pemasaran menjadi kunci lagi, bahwa menurut data yang dimiliki Samsung, pengguna yang menjadi sasaran dari perangkat ini tidak terlalu mementingkan detail dari spesifikasi, tetapi fitur yang bisa dilakukan smartphone. Meski prosesor menjadi kunci atas apa yang dilakukan perangkat, namun bisa jadi Samsung telah memperkirakan hal ini, jadi berbagai fitur yang disematkan di A6/A6+ telah disesuaikan dengan prosesor yang ada, meski tidak paling canggih tetapi cukup untuk menjalankan fitur yang disodorkan perangkat.

Jo Semidang, IM Marketing Director SEIN dan Denny Galant, Head of IM Product Marketing

Komunikasi yang masuk dalam strategi pemasaran adalah garis merah yang saya dapatkan dari penjelasan Samsung untuk mengenalkan dan memasarkan A6/A6+ ke konsumen. Samsung akan bekerja cukup keras untuk mengkomunikasikan ini, tentunya ditengah gempuran perangkat-perangkat lain yang dengan caranya masing-masing mencoba menggaet konsumen, yang bisa jadi juga menjadi sasaran Samsung untuk perangkat dua A6.

Akankah Samsung akan berhasil?

Sebenarnya jika menyamaratakan bahwa konsumen tidak peduli spesifikasi (besaran kamera, tipe prosesor, besaran baterai dll), bagi saya tidak fair juga, karena banyak pula konsumen yang mencari perangkat berdasarkan spesifikasi. Tetapi menyamaratakan bahwa spesifikasi di atas segalanya juga kurang tepat, kerena kebutuhan konsumen tentu saja berbeda-beda.

Samsung tentunya punya keunggulan dari sisi brand (yang telah besar di Indonesia), mereka pun memiliki tim RnD yang tentunya memiliki data tentang konsumen mereka (baik konsumen setia atau calon konsumen baru). Belum lagi biasanya meraka memiliki promo bonus dengan ekosistem perangkat Samsung. Di sisi lain, tentu saja kita tidak bisa menampikkan bahwa strategi brand-brand lain juga cukup menggoda konsumen. Pilihan untuk di segmen menengah itu cukup banyak, masing-masing dengan godaan yang berbeda-beda, mulai dari dual camera, rasio layar 18:9, kamera selfie mumpuni, fitur-fitur software, sampai dengan desain yang tidak hanya nyaman di genggam tetapi mencuri perhatian dengan warna dan bawah.

Ada brand yang memiliki data bahwa konsumen lokal sensitif dengan harga, ada brand yang memiliki data bahwa fitur adalah daya tarik utama. Masing-masing dengan strateginya sendiri dan cara promosi (komunikasi) yang sama-sama ingin mencuri perhatian konsumen.

Tentunya menarik untuk melihat bulan Juni nanti ketika A6/A6+ dijual ke publik. Apakah akan ada antrian yang dibagikan sebagai bagian pemasaran? Ataukah akan ada promo penjualan online dengan berbagai bonus? Atau Samsung akan menitikberatkan pada para toko offline sebagai pintu utama penjualan? Dunia gadget dan segala keramaiannya, bisa jadi tidak pernah semenarik saat ini. Mari kita ikuti terus ‘kisah-kisahnya’.

Spesifikasi yang saya kutip dari rilis Galaxy A6/A6+ bisa dilihat di gambar berikut. Untuk harga sendiri: Samsung Galaxy A6+ 4.899 ribu dan Samsung Galaxy A6 3.799 ribu.

Spesifikasi A6/A6+

Memulai Pemanfaatan Data dalam Bisnis untuk Menyambut Tren Otomatisasi

Tidak ada yang menyangkal bahwa teknologi membawa perubahan besar bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya, atau bagi orang memulai bisnis. Teknologi dalam hal ini tidak hanya bisa membantu bisnis berinovasi ke luar (produk, pemasaran, dan lain-lain) tetapi juga membantu bisnis memperkuat kemampuan mereka mengelola. Salah satu yang mulai naik daun di kalangan bisnis adalah pengelolaan data. Teknologi berpengaruh untuk bagaimana bisnis bisa mengambil sesuatu yang lebih dari data yang semakin beragam dan mudah didapatkan berkat teknologi yang ada.

Data sekarang lebih dinamis. Baik dari segi cara pengumpulan dan jenis datanya. Data konsumen misalnya, data ini lebih akurat sejak para konsumen mulai menenteng perangkat mobile mereka. Ini merupakan keuntungan tersendiri bagi bisnis. Mereka bisa langsung terhubung dengan para konsumen, baik itu melalui email atau sarana live chat yang ada. Masalah selanjutnya yang muncul, bagaimana perusahaan bisa mengoptimalkan data, bukan hanya mengonsumsinya tetapi juga bisa membuatnya berevolusi.

Mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk menjadi bahan pertimbangan inovasi selanjutnya dari bisnis adalah sebuah kewajiban. Mengelolanya dan membuat sesuatu yang lebih canggih dari sana adalah tugas selanjutnya.

Otomatisasi proses dasar

Untuk bisa mencapai tahap selanjutnya dari pemanfaatan data bisnis yang mengelola data bisa dimulai dari melakukan optimalisasi pengumpulan data. Misalnya, kita sebagai bisnis sering memantau harga dari para pesaing untuk menentukan harga terbaik yang bisa ditawarkan. Jika dilihat lebih dekat, proses ini merupakan proses berulang. Sangat potensial untuk dibuat otomatisasi. Jadi kita bisa lebih intens memantau perubahan harga tersebut. Hal ini juga bisa diterapkan pada saat kita memantau tren yang ada. Baik itu tren produk yang sedang diminati di masyarakat atau tren penurunan pembelian.

Analisis yang terstruktur

Melimpahnya data dan perkembangan teknologi pengolahan data membawa dampak positif pada perkembangan analisis yang di dapat. Data yang melimpah dan data yang tervalidasi adalah dua komponen penting menghasilkan sebuah hasil analisis yang baik.

Tugas dari manajer selanjutnya adalah menyusun data sedemikian rupa untuk menjadi sebuah sumber data tepercaya kemudian membuat analisis yang lengkap dan terstruktur. Sebagai contoh, bisnis bisa dengan mudah memunculkan produk apa yang sedang ramai di pasaran, termasuk produk alternatif yang digemari konsumen. Dengan informasi semacam itu manajer bisa dengan mudah mendapatkan gambaran seperti apa sebenarnya produk yang diinginkan.

Otomatisasi dan data menjadi jembatan untuk teknologi AI

Setelah melihat berhasil menerapkan otomatisasi dalam mendapatkan data dan membuat sebuah skema analisis terstruktur salah satu inovasi yang bisa diterapkan untuk mengoptimalkan kembali proses data dan analisis adalah penerapan teknologi AI (Artificial Intelegence).

Dengan menggunakan teknik machine learning data bisa lebih optimal diolah. Data-data tersbeut akan menghasilkan beberapa keputusan-keputusan yang berkaitan. Misalnya soal barang yang paling sering dilihat. Dengan menggunakan teknik ini bisnis bisa menghadirkan sebuah barang yang bisa dijadikan alternatif bagi konsumen. Tentu ini akan menjadi pengalaman tersendiri bagai konsumen.

Lewat Switch, Nintendo Berupaya Menjangkau Kembali Para Gamer Veteran

Dari data di tahun 2014, rata-rata umur gamer ialah 31 tahun. Usia ‘matang’ tersebut mendorong developer dan publisher menggarap permainan-permainan yang kian serius. Tapi Nintendo sejauh ini tetap menolak mengikuti arus, setia berpegang pada tradisi mereka dalam menyediakan game-game yang bersahabat bagi konsumen muda dan anggota keluarga.

Namun bagi para pakar dan analis, penyingkapan resmi Nintendo Switch menandai arahan baru sang perusahaan hiburan asal Kyoto tersebut dalam menyuguhkan platform game anyar mereka. Jika Anda perhatikan, video first look Nintendo Switch sama sekali tidak menampilkan anak-anak, malah fokus pada konsumen dewasa dengan segala kesibukan mereka. Temanya sangat berbeda dari cara Nintendo memperkenalkan Wii ataupun Wii U.

Menurut penjabaran lengkap Games Industry, Switch merupakan upaya Nintendo untuk menyatukan kembali pemain mereka yang telah terpecah akibat pengelompokkan platform. Maksudnya begini, Wii diracik untuk jadi console game ‘umum’, menargetkan konsumen usia lima sampai 95 tahun. Kendalanya, ada banyak gamer Nintendo veteran – para penikmat NES, SNES, serta N64 – merasa tertinggal. Hal ini diperparah oleh strategi Nintendo menghadirkan banyak permainan casual di Wii.

Akibatnya, banyak di antara konsumen utama Nintendo, yang kini sudah beranjak dewasa, memutuskan untuk beralih ke console Xbox dan PlayStation. Lalu bagaimana dengan khalayak berusia muda sendiri?

Meledaknya kepopularitasan mobile gaming merupakan salah satu faktor penyebab berubahnya taktik Nintendo. Saat ini kita semakin sering melihat anak-anak bermain di perangkat bergerak dibanding console handheld, dan para orang tua juga lebih menyukainya karena konten bisa diperoleh gratis. Buat memperkuat cengkramannya, kita tahu Nitendo mulai turut melepas sejumlah franchise andalan di sana.

Namun khususnya untuk Switch, Nintendo terlihat berupaya menjangkau kembali para ‘core gamer‘, terutama konsmen yang telah berpaling ke platform lain sewaktu Wii U dilepas. Menurut Games Industry, mereka inilah penyebab anjloknya angka penjualan home console current-gen Nintendo tersebut.

Haluan baru Nintendo juga dapat kita lihat dari desain Switch yang lebih dewasa. Hilang sudah tubuh plastik glossy berwarna putih, Switch mengusung rancangan ramping ergonomis bertekstur matte dengan pilihan warna lebih gelap – lebih pas buat gamer antusias dari pada anak-anak.

Memang tidak menutup kemungkinan Switch akan digemari oleh konsumen di lebih banyak segmen, tapi sejak diumumkan minggu lalu, mayoritas mereka yang heboh di internet dan sosial media adalah para gamer sepuh.

Gambar header: Polygon.

Tahun Depan Tiga Varian iPad Pro Siap Gempur Pasar?

Maret lalu Apple sudah secara resmi meluncurkan iPad Pro 9,7 inci yang menjanjikan lonjakan performa dan juga fitur. Berkaca pada siklus tahunan yang Apple terapkan, maka kita baru bisa berharap kedatangan iPad terbaru pada tahun 2017 mendatang. Kabar baiknya, Apple mungkin bereksperiman dengan mengadopsi teknologi layar yang lebih baik.

Sebuah laporan dari analis yang punya track record bocoran Apple yang sangat baik, Ming-Chi Kuo, kami kutip dari Appleinsider membeberkan bocoran mengenai iPad terbaru Apple untuk tahun 2017 dan 2018. Menurut Kuo, sedikitnya bakal ada tiga varian tablet iPad yang dilepas tahun depan. Di baris terdepan akan diduduki oleh tablet iPad Pro 10,5 inci. Kemudian disusul oleh iPad Pro varian 12,9 inci dan 9,7 inci untuk mereka yang menyukai tablet ringkas dan juga murah.

Untuk membantu Apple mempersiapkan diri, pemasok TSMC bakal bertanggung jawab untuk perakitan chipset A10X kedua varian 12,9 inci dan 10,5 inci.

Lebih lanjut tertuang dalam laporan Kuo, bahwa Apple iPad Pro keluaran 2018 bakal memperoleh perubahan revolusioner, di mana Apple berencana melakukan perubahan radikal dengan mengganti layar perangkat dengan layar AMOLED fleksibel yang selama ini menjadi identitas perangkat-perangkat keluaran Samsung.

Kuo juga bertahan dengan pandangan konsevatifnya, terutama mengenai prediksi pengapalan iPad di tahun 2017 yang ia yakini di kisaran 35-40 juta unit. Angka ini turun dari prediksi tahun 2016 di angka 45-50 juta unit. Penurunan ini didorong oleh ketiadaan varian baru di paruh kedua 2016 dan gerusan rival dari platform Chromebook yang sedang memperoleh momentum.

Gambar header ilustrasi iPad Pro 9,7 inci 2016.

Nintendo NX Sanggup Menjalankan Permainan-Permainan Wii dan GameCube?

Walaupun Nintendo memilih untuk tidak berkomentar, bocoran info yang beredar belum lama memberikan kita gambaran ke arah mana sang perusahaan gaming Jepang itu mengembangkan NX. Salah satu di antara rumor itu menyatakan bahwa NX akan ditenagai chip Nvidia Tegra X1, membuat kapabilitas backward compatibility platform tersebut jadi dipertanyakan.

Backward compatibility telah menjadi aspek andalan sistem game Nintendo sejak era Game Boy Color sampai Wii U. Problemnya, arsitektur Nvidia Tegra berbeda dari tiga console terdahulu yang mengusung IBM PowerPC, dan tampaknya NX difokuskan pada faktor portabilitas. Apakah Nintendo berkenan merelakan fitur kebanggaan itu demi sebuah console berkonsep baru? Menurut analisis Digital Foundry, backward compatibility tetap bisa disajikan.

Lewat tes yang dilangsungkan Digital Foundry, ada peluang SoC perangkat bergerak Nvidia tersebut tidak kesulitan menjalankan game-game di platform lawas melalui teknologi Virtual Console. Menurut mereka, sistem emulasi merupakan satu-satunya cara bagi NX buat menghidangkan backward compatibility, dan Tegra X1 (atau kemungkinan X2 berbasis Pascal) mampu menanganinya.

Digital Foundry mendemonstrasikan kesanggupan Tegra dengan berbekal emulator (tidak resmi) Dolphin yang dijalankan di Nvidia Shield TV. Mereka menguji sejumlah permainan-permainan terbaik di Nintendo Wii dan GameCube, dan terkesan pada performa Tegra – apalagi umumnya game tidak optimal saat dijalankan di emulator. Memang tidak ada jaminan Nintendo mengusung teknik ini, tapi melihat kemampuannya, mengapa tidak?

Di eksperimen tersebut, Digital Foundry melakukan tes pada Super Mario Sunshine. Di resolusi native serta upscale ke 1080p, permainan berjalan cukup stabil di 30 frame rate per detik, sesekali mengalami penurunan ke satu atau 10fps. Mario Kart: Double Dash sendiri kurang mulus, frame rate anjok dari 60 ke 30 saat di-upscale ke full-HD, belum lagi adanya slowdown. Digital Foundry berpendapat, masalah ini disebabkan oleh bottleneck di sisi GPU.

Jika Nintendo memilih metode emulasi, maka sudah pasti fitur Virtual Console untuk NX akan difokuskan buat mengoptimalkan performa Tegra dan didesain agar NX lebih mengerti cara kerja console tempat permainan tersebut berasal.

Saya sendiri ragu Nintendo berkenan mengorbankan backward compatibility, namun saya juga penasaran sejauh apa produsen mau berinovasi demi memegang janji menggarap console dengan ‘brand new concept‘, apalagi NX tidak diciptakan untuk menggantikan 3DS maupun Wii U.

Berdasarkan informasi sebelumnya, Nintendo berencana meluncurkan NX di bulan Maret 2017.

Sumber: Eurogamer.