Gandeng Telkom, CatchPlay Ramaikan Pasar Streaming Film di Indonesia

Penyedia layanan distribusi film asal Taiwan CatchPlay, baru-baru mengumumkan kerja samanya dengan Telkom Indonesia untuk menghadirkan sebuah layanan streaming video-on-demand di Indonesia. Negosiasi CatchPlay dengan Telkom sendiri sudah dilakukan sejak bulan Maret lalu. Layanan CatchPlay pada dasarnya juga tidak berbeda dengan layanan video-on-demand lain yang sudah bersinggah di Indonesia sebelumnya, seperti Netflix, HOOQ dan iFlix.

Bagi CatchPlay, seperti yang diungkapkan oleh sang CEO Dephne Yang, bahwa populasi di Indonesia adalah pasar yang sangat logis untuk ekspansi sebuah layanan. Terlebih pangsa pasar film lokal dan Hollywood juga begitu besar.

“Ini adalah pasar terbesar di Asia Tenggara. Tidak hanya dari segi populasi, melainkan juga pangsa pasar yang sangat bersemangat dalam hal jaringan sosial (internet). Kami berpikir bahwa tingkat penggunaan jejaring sosial di Indonesia pasti akan membantu konsumsi konten hiburan. Kami melihat banyak potensi di negara ini,” ujar Daphne seperti dikutip dalam The Hollywood Reporter.

Layanan CatchPlay akan dibanderol dalam kisaran harga $1,42 (Rp 19 ribuan) untuk suguhan film lokal atau Hollywood, sedangkan untuk film rilis teranyar yakni $2,15 (Rp 29 ribuan).

Menanggapi begitu antusiasnya CatchPlay bersinggah di Indonesia, Vivek Couto selaku Executive Director of Research and Consulting Firm Media Partner Asia menjelaskan bahwa untuk pangsa pasar video online Indonesia sudah mulai melihat sejak enam bulan ke belakang, bersama dengan hadirnya Netflix dan kawan-kawan. Vivek menjelaskan bahwa pangsa pasar untuk layanan video-on-demand masih di tahap yang sangat awal. Perlu berbagai pendekatan yang memudahkan, seperti adanya kerja sama dengan operator lokal untuk sistem pembayaran dan sebagainya.

Terkait dengan populasi Vivek juga turut menyinggung, kendati terdapat lebih dari 250 juta penduduk, penetrasi pengguna fixed broadband di Indonesia baru dijamah sekitar 5,5 juta penduduk. Di luar itu baru terjamah untuk konektivitas biasa (misal mobile broadband), yang artinya belum begitu mumpuni untuk konsumsi layanan video-on-demand, terutama di luar ibukota Jakarta.

Kendati demikian persebaran mobile broadband yang terus digenjot dengan penumbuhan infrastruktur jaringan begitu berdampak pada peningkatan adopsi OTT (Over The Top) di Indonesia. Melihat dari sisi penetrasi konsumen layanan digital, tentu akan banyak penyedia layanan yang tergiur untuk menggarap pangsa pasar ini. Menggandeng Telkom, CatchPlay meyakini bahwa ini merupakan sebuah langkah strategis untuk menyampaikan layanannya ke khalayak yang lebih luas di Indonesia.

Belum ada tanggapan pasti terkait dengan bagaimana CatchPlay akan mengayomi peraturan pemerintah terkait dengan layanan OTT. Termasuk di dalamnya harus memiliki akta pendirian badan usaha tetap, perpajakan hingga sensor konten. Namun selayaknya CatchPlay pasca mendapatkan persetujuan dari operator komunikasi plat merah tentu sudah harus mempersiapkan berbagai macam regulasi tersebut. Mengingat salah satu pemain di bidang video-on-demand sudah menjadi korban pemblokiran karena isu konten.

Di Indonesia selama 9 bulan terakhir penikmat layanan TV Kabel (IPTV) sudah mencapai 1,6 pelanggan. Dan diprediksikan masih terus bertumbuh, mengingat berbagai penyedia layanan fixed broadband mulai mem-bundle layanan internetnya dengan kemampuan TV Kabel tersebut.

Pembahasan RPM Menkominfo tentang Kewajiban Layanan OTT di Indonesia

Akhir Maret lalu, Menkominfo menerbitkan Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (Over The Top) yang bermaksud memberikan para penyedia layanan OTT waktu untuk bersiap-siap menyambut rancangan peraturan Menkominfo mengenai layanan OTT di Indonesia.

Rancangan Peraturan Menkominfo tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet (RPM Menkominfo) telah tersedia untuk uji publik akhir April lalu. Pada kesempatan ini, kita selaku penyedia atau penikmat layanan OTT dapat mengkritisi RPM Menkominfo dan memberikan masukan. Sayangnya, masa uji publik ini sangat terbatas dan jadwalnya bakal berakhir 12 Mei besok.

Melalui artikel ini, kami bermaksud untuk menerangkan isi RPM Menkominfo tersebut. Dalam RPM Menkominfo, dinyatakan bahwa dokumen ini diperlukan supaya:
a. tercipta iklim usaha yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi;
b. mengembangkan industri kreatif dalam negeri di tengah iklim usaha global;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. menciptakan kompetisi yang sehat.

Lebih lanjut, RPM Menkominfo ini juga menyatakan bertujuan melindungi kepentingan masyarakat, penyelenggara telekomunikasi, dan kepentingan nasional. Apa benar demikian?

Kewajiban Layanan OTT sesuai dengan RPM Menkominfo

Dalam RPM Menkominfo tersebut, Layanan Aplikasi adalah penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan chatting/instang messaging, serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan pengambilan data, mesin pencari, game, jejaring dan media sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan akses internet.

Sementara Layanan Konten adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, game atau kombinasi darinya, termasuk dalam bentuk yang streaming atau download dengan memanfaatkan akses internet.

Yang disebut sebagai Layanan OTT adalah Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten, jadi baik pembuat aplikasi maupun pembuat konten bisa dikategorikan sebagai layanan OTT.

Penyedia Layanan OTT lokal dapat berbentuk perorangan atau badan usaha. Sementara penyedia Layanan OTT asing wajib berbentuk setidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sebelumnya, kami sudah pernah membahas soal BUT terkait dengan usaha OTT.

Bagaimana kewajiban layanan OTT di Indonesia? Layanan OTT disebutkan wajib melakukan perlindungan dan kerahasiaan data. Kemudian, Layanan OTT juga wajib menggunakan nomor protokol internet Indonesia dan menempatkan sebagian server dalam data center di Indonesia. Data rekaman transaksi dan trafik juga harus disimpan selama minimal 3 bulan. Jika data rekaman tersebut digunakan dalam proses peradilan, maka harus disimpan hingga terdapat putusan pengadilan berkekuatan tetap.

Dalam kegiatannya, Layanan OTT wajib melakukan filter konten dan mekanisme sensor sesuai dengan peraturan di Indonesia. Selain itu, Layanan OTT dapat dilakukan dengan meminta pembayaran atau tidak. Apabila berbayar, Layanan OTT wajib menggunakan payment gateway nasional yang berbadan hukum Indonesia.

Selanjutnya, segala informasi dan/atau petunjuk penggunaan Layanan OTT harus ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, Layanan OTT juga harus menyediakan pusat kontak informasi, dan setiap pertanyaan dan/atau pengaduan harus ditanggapi dalam 1 x 24 jam.

Terdapat beberapa hal yang dilarang disediakan dalam muatan Layanan OTT, di antaranya muatan yang mengandung hate speech, menimbulkan konflik SARA, bertentangan dengan peraturan, menodai agama, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan lain-lain.

Layanan OTT juga wajib menjamin akses penyadapan informasi secara sah dan pengambilan alat bukti dalam rangka keperluan perkara pidana oleh aparat penegak hukum. Kemudian, penyedia Layanan OTT juga wajib menyampaikan laporan tahunan ke BRTI yang setidaknya memuat informasi jumlah pelanggan dan statistik trafik layanan.

Sehubungan dengan fungsi telekomunikasi Layanan OTT, RPM Menkominfo belum dapat mengambil keputusan dan memiliki beberapa opsi:
a. Penyedia Layanan OTT dapat bekerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi.

b. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib bekerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.

c. Dalam hal Layanan OTT memiliki fungsi sama atau substitutif dengan layanan jasa telekomunikasi, penyedia Layanan OTT wajib menjadi penyelenggara jasa telekomunikasi.

Tidak dijelaskan seluas apa lingkup dari kerja sama yang dimaksud. Apakah termasuk penentuan profit sharing dan penentuan tarif? Bagaimana jika layanan OTT tersebut tidak memungut biaya, seperti yang ditawarkan oleh layanan messaging saat ini?

Jika RPM Menkominfo disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara nasional, Layanan OTT yang sudah ada diberikan waktu 9 bulan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru ini. Pendirian badan usaha atau BUT di Indonesia tentunya melibatkan instansi pemerintah selain Kementerian Komunikasi dan Informatika. Alangkah baiknya apabila seluruh instansi tersebut dapat bekerja sama supaya kewajiban penyesuaian di atas dapat selesai dalam 9 bulan saja.

RPM Menkominfo ini masih berstatus uji publik dan kita berhak untuk menyampaikan kritik serta saran kepada Menkominfo. Masukan dan tanggapan kita dapat dilayangkan ke [email protected] atau telepon 0815-1898881 hingga 12 Mei 2016.

Komentar

Menurut kami, berdasarkan kajian hukum dan teknologi, apa yang diminta oleh Pemerintah cukup tidak masuk akal. Bayangkan sebuah layanan OTT, misalnya WhatsApp yang merupakan layanan messaging terpopuler di Indonesia saat ini, harus mengakomodasi semua hal yang dicetak tebal di atas. Mereka harus menyediakan data center di Indonesia, membuka akses ke pemerintah ketika dibutuhkan, dan bekerja sama dengan operator seluler lokal karena memiliki fitur menyerupai layanan telekomunikasi. Sesuatu hal yang kemungkinan besar sulit dipenuhi secara keseluruhan oleh WhatsApp sekalipun.

Mungkin yang dimaksud oleh Pemerintah adalah kehadiran aplikasi lokal, yang bisa menyaingi WhatsApp, dan bisa digdaya di negeri sendiri. Jika ternyata WhatsApp tidak mampu, atau tidak mau mengakomodasi semua yang disyaratkan Pemerintah tersebut, apakah WhatsApp akan diblokir? Apakah pengembang lokal, dalam waktu 9 bulan ke depan, mampu menghasilkan sebuah platform messaging dengan kualitas sekelas WhatsApp?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harusnya disampaikan ke pihak pemerintah sebelum masa uji publik berakhir besok.


Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Amir Karimuddin berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.

Kementerian Keuangan Soroti Kepatuhan Pajak OTT Asing di Indonesia

Era digital ekonomi telah berhasil melahirkan banyak raksasa di dunia bisnis, terutama yang bermain di ranah teknologi digital. Beberapa pemain Over-the-Top (OTT) yang sudah dikenal adalah Yahoo, Google, Twitter dan Facebook. Keempatnya, meskipun Yahoo sudah menutup kantor perwakilan di Indonesia, kini tengah menjadi sorotan oleh Kementerian Keuangan terkait kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, seperti diberitakan Kompas, menyebutkan bahwa masing-masing dari empat perusahaan teknologi asing tersebut kini sedang dalam pemeriksaan terkait dengan kepatuhan pembayaran pajaknya.

Namun Bambang juga menjelaskan bahwa Direktorat Jendral  Pajak (DJP) wajib memperjelas status empat perusahaan raksasa tersebut sebelum menggali lebih jauh potensi pajak mereka. Apakah sudah berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) atau masih berupa kantor perwakilan saja.

Status badan usaha empat raksasa

Bambang mengungkapkan bahwa Yahoo dan Google adalah perusahaan yang sudah berstatus BUT, sedangkan Facebook dan Twitter sejauh ini masih berstatus kantor perwakilan.

Yahoo sendiri sudah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tanah Abang sebagai badan hukum dalam negeri dengan status penanaman modal asing (PMA) sejak tahun 2009. Sementara Google terdaftar di KPP Tanah Abang III dengan status PMA sejak 15 September 2011. Masing-masing, bertindak sebagai dependent agent dari perusahaannya yang berbasis di Singapura.

“Sehingga sesuai dengan Pasal (2) Ayat (5) huruf (N) UU PPH, dia [baik Google maupun Yahoo) berstatus BUT. […] Penghasilan yang bersumber dari Indonesia, misalnya iklan, harusnya menjadi penghasilan dari PPH kita [Indonesia] […] sesuai dengan Pasal (5) Ayat (1) UU PPH,” ujar Bambang.

Sementara itu, Facebook dan Twitter sendiri saat ini sudah tercatat di KPP Badan dan Orang Asing. Namun, statusnya hanya sebagai kantor perwakilan. Twitter baru terdaftar sebagai kantor perwakilan pada 22 April 2015. Sedangkan Facebook sudah terdaftar sejak 10 April 2014.

Bambang mengatakan, “Jadi Twitter ini ceritanya hampir sama dengan Yahoo. Bedanya, kalau Yahoo sudah [berbentuk] PT. Kalau dia [Twitter] hanya representative office dari Twitter Asia-Pasifik.”

Kini, keempat perusahaan tersebut sedang berada dalam pemeriksaan khusus oleh Kantor Wilayah DJP Jakarta. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk memastikan bahwa empat perusahaan teknologi informasi asing tersebut sudah melaporkan semua pendapatan dari Indonesia. Hasil dari pemeriksaan ini nantinya akan digunakan untuk pengecekan ulang apakah proses pembayaran pajaknya sudah benar atau belum.

Sebagai informasi, Kemenkominfo beberapa waktu silam telah memastikan bahwa pihaknya bakal menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur soal kewajiban pendirian Badan Usaha Tetap untuk semua layanan OTT yang beroperasi di Indonesia. Bila layanan OTT tidak memiliki BUT, artinya termasuk perusahaan yang tidak membayar pajak apa pun ke negara dan terancam untuk diblokir.

Menkominfo Terbitkan Surat Edaran, Wajibkan OTT Bayar Pajak

Menkominfo Rudiantara akhirnya menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Melalui Internet atau yang lebih dikenal dengan Over the Top (OTT). Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa OTT asing memiliki kewajiban berbentuk badan usaha tetap di Indonesia dan berkontribusi dalam pembayaran pajak.

Surat edaran yang diterbitkan Kamis (31/3) tersebut diunggah di laman resmi milik Kemkominfo. Selain mengharuskan OTT asing untuk membentuk badan usaha tetap dan berkontribusi dalam pembayaran pajak, surat edaran tersebut juga mengharuskan para pemain OTT untuk menaati peraturan perundang-undangan di bidang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, perdagangan, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penyiaran, perfilman, periklanan, pornografi, anti terorisme, perpajakan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Selain itu dalam penjelasan poin 5.5.2 hingga 5.5.5 para penyedia OTT wajib untuk melakukan perlindungan data, melakukan filter konten, melakukan mekanisme sensor dan menggunakan sistem pembayaran nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Belum ada keterangan lebih lanjut mengenai hukuman atau sanksi yang dijatuhkan apabila ditemukan pemain OTT yang tidak patuh pada surat edaran tersebut. Salah satu tindakan yang mungkin diambil adalah pemblokiran.

Surat edaran ini memang bisa ditarik kapan saja, hanya saja aturan mengenai badan usaha tetap dan kewajiban pajak tampaknya akan menjadi sesuatu yang pasti diterapkan. Sejauh ini belum ada berita lebih lanjut mengenai apakah pihak WA, Facebook, Twitter dan OTT lainnya akan “patuh” dengan aturan ini.

Kemkominfo Isyaratkan Terbitkan Peraturan OTT Awal Maret

Pemerintah akhir-akhir ini dihadapkan kepada problematika kesesuaian peraturan dengan laju perkembangan teknologi. Over The Top (OTT) menjadi salah satu isu paling santer yang terdengar. Terlebih dengan heboh hadirnya Netflix di Indonesia yang berujung pada pemblokiran layanan ini oleh Telkom Group sebagai penyedia layanan telematika plat merah.

Hal ini mau tidak mau memaksa pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo untuk segera merumuskan kebijakan. Tersiar kabar bahwa pada Maret tahun ini akan terbit Peraturan Menteri untuk mengatur adanya OTT di Indonesia.

Layanan OTT asing masih menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia. Sejauh ini masih belum ada layanan lokal yang mampu bersaing dengan layanan seperti WhatsApp, Facebook, Netflix, Youtube dan lainnya. Hal ini menimbulkan kegundahan bagi para penyedia internet di Indonesia karena memandang keberhasilan mereka tidak membawa dampak signifikan bagi bisnis mereka.

Keputusan Telkom Group yang menutup akses penggunanya ke layanan Netflix semakin mendorong keharusan pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan. Telkom beralasan mereka melindungi pengguna dari konten yang tidak sesuai tapi banyak yang menduga ada alasan bisnis yang melatarbelakangi keputusan Telkom.

Sebenarnya saat ini Kemkominfo tengah mengkaji aturan mengenai layanan OTT di Indonesia. Disampaikan Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kominfo Bambang Heru Tjahjono aturan mengenai layanan OTT yang akan hadir dalam bentuk Permen akan dirilis awal Maret 2016

“Rencanakan sebelum tanggal 7 Maret, Peraturan Menteri (Permen) OTT ini akan diumumkan. Jadi OTT ini memberikan manfaat orang banyak, bagaimana caranya agar sama-sama win-win solution,” ujarnya seperti dikutip dari Selular.id.

Bambang melanjutkan, aturan tersebut dibuat agar layanan OTT bisa memberikan manfaat tak hanya bagi Indonesia tetapi juga mengenai bisnis yang mereka jalani yang tidak menguntungkan satu pihak.

“Yang pasti Permen tersebut, nantinya bisa membuat Google sampai Netflix akan lebih mudah untuk diatur, serta tidak bisa lagi ‘senyaman’ seperti sekarang ini,” imbuhnya.

Di pemberitaan sebelumnya Rudiantara juga menegaskan bahwa jika penyelenggara sistem elektronik yang ingin masuk ke Indonesia harus memenuhi sejumlah persyaratan salah satunya membentuk BUT (Badan Usaha Tetap) untuk memastikan legalitasnya di Indonesia.

Telkom Memblokir Netflix Mulai Hari Ini

Disampaikan langsung oleh Direktur Consumer PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Dian Rachmawan, perusahaan telah memblokir akses ke layanan video streaming Netflix dengan alasan tidak memenuhi regulasi di Indonesia. Per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.

Tak tanggung-tanggung, Telkom memblokir Netflix untuk semua saluran pelanggannya, termasuk pengguna IndiHome, WiFi.id dan Telkomsel. Adanya konten berbau pornografi di Netflix juga menjadi dalih alasan pemblokiran tersebut.

“Kami blokir Netflix karena tidak memiliki izin atau tidak sesuai aturan di Indonesia, dan banyak memuat konten yang tidak diperbolehkan di negeri ini. Kami ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN), harus menjadi contoh dan menegakkan kedaulatan Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) dalam berbisnis,” tegas Dian.

Dian melanjutkan, “Kita maunya kalau berbisnis itu harus mematuhi aturan Indonesia. Di luar negeri mereka (Netflix) lakukan kerja sama dengan beberapa operator, masa di sini tidak? Padahal, jika kerja sama dengan operator lokal banyak manfaat didapatkan kedua belah pihak.”

Terkait dengan muatan konten, Telkom bersedia bekerja sama dengan Netflix asalkan konten yang mengandung pornografi dan kekerasan dihilangkan.

“Kalau kerja sama langsung, kita bisa kelola Netflix melalui platform Over The Top (OTT) yang dimiliki Telkom. Aksi blokir ini tak akan berdampak ke pelanggan kami, mereka (Netflix) masih kecil di sini. Mumpung masih kecil, kita ajarin ikut aturan di sini,” pungkas Dian.

Sebelumnya diberitakan bahwa pemerintah memberikan batas waktu satu bulan bagi Netflix untuk merampungkan berbagai hal terkait dengan perizinan dan legalitas. Sesuai isyarat Menkominfo Rudiantara, untuk dapat memberikan konten ke masyarakat Indonesia, Netflix harus berbadan hukum tetap atau bekerja sama dengan operator telekomunikasi lokal.

Riuhnya Sambutan Kehadiran Netflix di Indonesia

Keputusan ekspansi layanan streaming video global Netflix di 130 negara pada 7 Januari silam telah menimbulkan beragam reaksi, terutama di Indonesia. Meski sempat mendapat sambutan positif, nyatanya Netflix tak dapat begitu saja melenggang mulus di sini. Sudah ada banyak batu sandungan yang mulai menyambut, mulai dari sisi legalitas, sensor konten hingga ketentuan pembentukan Badan Usaha Tetap (BUT).

Masuknya Netflix di Indonesia sebenarnya cukup mengejutkan, mengingat Netflix pernah menyebutkan bahwa kehadirannya di Asia Tenggara akan fokus di Singapura saja. Di Indonesia, Netflix hadir dengan tiga paket yang dapat dibayar hanya melalui kartu kredit. Untuk konten, meski belum selengkap versi Amerika, konsumen sudah dapat berlangganan melalui tiga kanal, yakni di situs resmi Netflix, iTunes dan GooglePlay.

Suara bising legalitas dari industri terkait

Isu pertama datang berkaitan dengan urusan sensor film. Dilansir oleh Detik, Kepala Humas dan Pusat Informasi Kemenkominfo Ismail Cawidu menyebutkan bahwa perangkat hukum dan pelaksana Lembaga Sensor Film (LSF) masih belum siap untuk menyortir serbuan film di Internet.  Pun begitu LSF sendiri telah menyuarakan untuk meminta Netflix memenuhi aturan sensor di Indonesia.

Isu kedua datang dari pemerintah. Menkominfo Rudiantara yang awalnya terkesan terbuka dengan kehadiran Netflix, belakangan juga mulai terlihat berubah haluan. Dikutip dari Kompas, Rudiantara mengatakan:

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten.”

Meski tidak sampai pada keputusan untuk memblokir layanan, namun Rudiantara berharap Netflix dapat membuka BUT bila ingin beroperasi di Indonesia. Ini adalah keputusan sama yang dijatuhkan pada layanan OTT asing lain seperti Google, Facebook dan Uber. Dengan menjadi BUT artinya Netflix harus tunduk dengan UU yang berlaku dan setiap transaksi akan dikenakan pajak.

Terakhir datang dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Sandungan ini cukup keras, karena Mastel dengan tegas menyatakan bahwa Netflix layak dihentikan operasinya di Indonesia. Alasannya, Netflix dianggap telah melanggar sejumlah aturan penyiaran dan perfilman di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Perpres No. 39 tahun 2014, Mastel beranggapan bahwa Netflix seharusnya juga dikenakan ketentuan yang sama dengan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar lainnya. Sementara itu pasal 25 ayat (1) & (2) UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran mengindikasikan keinginan Mastel agar Netflix membentuk badan hukum terlebih dahulu.

Sedangkan pada UU 33 tahun 2009 tentang perfilman, pada pasal 29 dan 30 juga mengindikasikan tentang kewajiban memiliki badan hukum untuk pelaku usaha pertunjukkan film. Pada pasal 41 dijelaskan bahwa pemerintah seharusnya melarang masuk film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan.

Ketua Umum Mastel Kristiono menyebutkan, “Netflix menjadi salah satu contoh pelaku perdagangan global yang turut memperpanjang daftar OTT asing yang menyingkat berbagai aspek ketaatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.”

“Padahal selama ini pemerintah sangat tegas menegakkan aturan-aturan tersebut kepada pelaku industri perfilman, telekomunikasi, penyelenggara penyiran ataupun TV berbayar,” lanjutnya.

Angin segar untuk melawan aktivitas pembajakan

Inilah Indonesia. Ketika datang suatu layanan yang dinilai “mengganggu” industri yang sudah mapan, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kebisingan, selain sambutan meriah dari pengguna akhir. Netflix hanya salah satu contohnya.

Sebenarnya kalau mau dilihat lebih jauh, Netflix dapat menjadi salah satu senjata edukasi melawan aktivitas pembajakan yang sudah mendarah-daging di Indonesia. Seperti yang diketahui, pembajakan di Indonesia sudah sampai pada titik tidak bisa lagi dihapus langsung. Solusi yang tersisa adalah memperluas alternatif untuk akses konten secara legal.

Teknologi yang melaju cepat dengan inovasinya saat ini memang telah menipiskan batas aturan konvensional yang tertata. Indonesia sebagai negara berkembang adalah salah satu yang terkena imbasnya akibat aturan yang belum siap.

Tapi seharusnya ini juga jangan dijadikan alasan untuk tidak menghormati tatanan yang sudah ada. Aturan yang nantinya diciptakan pun jangan sampai menjadi “rem” untuk inovasi sudah atau akan hadir.

Selain tekait dengan regulasi, ke depannya, Netflix yang sudah mampir ke Indonesia ini juga harus siap dengan hambatan-hambatan lain. Mulai dari belum meratanya adopsi Internet berkecepatan tinggi, belum tingginya penggunaan kartu kredit, dan rendahnya pemahaman untuk mengadopsi konten legal.

Pemerintah Indonesia Ingin Terapkan Metode Lisensi OTT Uni Eropa

Isu dari pemain OTT (Over The Top) luar negeri yang masuk ke Indonesia sempat mencuat beberapa waktu lalu. Para operator dibuat kelimpungan karena serbuan ini, pasalnya OTT tidak sedikit pun memberikan sumbangsih dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi Indonesia tapi mampu meraup keuntungan yang besar. Hal ini membuat para penyedia infrastruktur dalam hal ini operator kelimpungan. Untuk itu pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara berniat menerapkan regulasi lisensi seperti yang diterapkan di Eropa. Continue reading Pemerintah Indonesia Ingin Terapkan Metode Lisensi OTT Uni Eropa

Bolt! Masuki Bisnis OTT dengan Hadirkan Aplikasi Bolt! Talk

Bolt! memperluas layanan dengan mengeluarkan aplikasi Bolt! Talk / Bolt!

Penyedia layanan Internet TD-LTE Bolt! mulai mengembangkan layanan OTT dengan mengeluarkan aplikasi Bolt! Talk. Seperti halnya layanan sejenis, Bolt! Talk bisa digunakan untuk menelepon (berbasis VoIP) dan saling berkirim pesan secara gratis. Nomor akun Bolt! menjadi nomor unik pengguna aplikasi ini. Saat ini Bolt! Talk sudah tersedia untuk platform Android, baik untuk smartphone maupun tablet. Ketersediaan di platform iOS dijanjikan dalam waktu dekat.

Continue reading Bolt! Masuki Bisnis OTT dengan Hadirkan Aplikasi Bolt! Talk