Setelah 4,5 Tahun Akhirnya Telkom Buka Blokir Netflix

Setelah kurang lebih 4,5 tahun diblokir, per hari ini Selasa 7 Juli 2020 layanan video on-demand Netflix akhirnya mulai bisa diakses melalui jaringan milik Telkom Group, yakni Indihome dan Telkomsel. Proses pembukaan blokir masih dilakukan secara bertahap, dari pantauan kami beberapa orang sudah bisa mengakses Netflix sepenuhnya, sebagian masih belum bisa. Yang jelas ini akan menjadi babak baru bagi bisnis Netflix, mengingat konektivitas Telkom adalah yang terluas cakupannya di Indonesia.

Netflix sendiri kendati diblokir oleh Telkom Group berhasil menjadi salah satu layanan VOD berbayar paling populer di Indonesia bersama dengan Viu. Suguhan beragam konten original dan film-film populer yang ada di dalamnya menjadi salah satu kekuatan Netflix.

Secara keseluruhan Netflix mengalami lonjakan pengguna baru di kuartal pertama 2020. Totalnya mereka mendapatkan 15,77 juta pelanggan berbayar baru selama kuartal pertama tahun 2020, lebih dari dua kali lipat angka yang mereka prediksi sebelum pandemi.

“Kami sangat senang karena saat ini Netflix telah dapat diakses melalui jaringan Telkom, artinya sekarang masyarakat Indonesia dapat menikmati tayangan Netflix yang beragam, mulai dari serial TV, dokumenter, serta film lokal, dan internasional berkualitas di semua jaringan. Kami akan terus memberikan layanan terbaik bagi seluruh penggemar hiburan di Indonesia dengan menambahkan lebih banyak film-film Indonesia di Netflix, meningkatkan pengalaman pengguna, serta mengembangkan kerja sama dengan mitra-mitra di Indonesia,” ujar Business Development Manager Netflix Tizar Patria.

Diterangkan pihak Telkom, mereka membuka blokir karena Netflix sudah melakukan sejumlah perubahan pendekatan seperti fitur parental kontrol, berkomitmen untuk mendengar keluhan dan masukan dari regulator dalam waktu 24 jam atau sesuai yang dengan kurun waktu yang ditentukan oleh pemerintah.

Selain itu Netflix juga disebut telah berkomitmen untuk patuh pada “Self Regulatory Code for Subscription Video on Demand Industry in ASEAN” yang mengatur larangan menayangkan konten yang mengandung pornografi anak, terorisme, melanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dan konten yang mendiskreditkan kelompok masyarakat tertentu.

“Telkom mengapresiasi perubahan pendekatan yang dilakukan Netflix untuk pasar Indonesia dan karenanya memberi kesempatan pada pelanggan Telkom Group untuk dapat mengakses beragam konten hiburan,” ujar VP Corporate Communication Telkom Arif Prabowo seperti dikutip Kompas.

Pembukaan blokir Netflix ini juga berbarengan dengan aturan pemungutan pajak untuk layanan OTT seperti Netflix, Steam, Spotify, dan samacamnya. Setelah beberapa kali diwacanakan, akhirnya pemungutan pajak untuk layanan digital ini diresmikan pada awal 1 Juli 2020.

Namun di tagihan terbaru Netflix beberapa tim kami, belum dikenakan beban pajak, sementara untuk platform Steam sudah mulai mengenakan pajak PPn 10% untuk setiap transaksi. Di sisi lain, penyedia layanan OTT tersebut juga belum memiliki kantor atau entitas lokal (PT) di Indonesia.

Diakui atau tidak inovasi yang dilakukan Netflix telah menginspirasi banyak layanan sejenis hadir di Indonesia. Sekarang muncul banyak sekali nama pemain di sektor VOD yang hadir untuk pasar Indonesia, seperti iflix, Hooq, Viu, Catchplay, Genflix, atau GoPlay. Beberapa nama pada akhirnya harus menyerah karena kehabisan bahkan bakar atau berdarah-darah merebut hati penonton di Indonesia.

Sementara itu, secara konsisten Netflix terus gencar “mendekat” ke pasar Indonesia dengan sejumlah inovasi. Langkah yang diambil antara lain menghadirkan film-film Indonesia ke dalam platform mereka, kerja sama dengan kreator dalam negeri hingga kerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kerja sama dengan Kemendikbud.

Update: Siaran Pers Direktur Jendral Pajak pada Selasa (7/7/2020) menyebutkan enam perusahaan digital termasuk Netflix akan dikenai PPN sebesar 10% dari harga sebelum pajak mulai 1 Agustus 2020.

Application Information Will Show Up Here

Sudah Tidak Diblokir Lagi, Kominfo Normalisasi 8 DNS Tumblr

Sejak Senin (24/12) siang, Kominfo telah membuka kembali akses ke layanan Tumblr. Mereka melakukan normalisasi ke 8 DNS yang diblokir, setelah menerima surat resmi dari pihak Tumblr yang menyatakan komitmennya untuk membersihkan platform dari konten pornografi.

Sebelumnya Tumblr resmi diblokir sejak 5 Maret 2018. Kominfo menilai, tidak ada upaya untuk penyaringan konten negatif dan/atau kanal khusus untuk melakukan pengaduan.

Tumblr sendiri juga belum lama ini telah mengubah kebijakan, pihaknya mulai menghilangkan konten bermuatan pornografi di platformnya. Saat ini Tumblr melakukan pemblokiran untuk semua jenis konten dewasa yang terpampang secara eksplisit, termasuk foto, video, dan gambar GIF.

Selain itu dalam rilisnya Kominfo juga mengatakan, Tumblr sudah menangani konten-konten pornografi yang pernah dilaporkan oleh masyarakat kepada Kementerian pada bulan Maret 2018 lalu.

Application Information Will Show Up Here

Melihat Efektivitas Pembatasan Konten Lewat “Safe Search”

Pada tanggal 10 Agustus 2018 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan penyedia layanan internet (ISP) dan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) mulai menguji coba mekanisme baru penyaringan konten pornografi. Kali dengan mengaktifkan fitur “Safe Search” secara permanen di mesin pencari. Salah satu yang sudah terdampak adalah platform Google. Ketika pengguna mencoba melakukan pencarian dengan kata kunci berbau pornografi, maka secara ketat akan dipilah gambar yang ditampilkan.

Contoh hasil pencarian di Google yang sudah dibatasi melalui Safe Search
Contoh hasil pencarian di Google yang sudah dibatasi melalui Safe Search

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menyampaikan bahwa upaya ini dianggap perlu. Sebelumnya situs-situs pornografi sudah diblokir dari ISP yang ada di Indonesia, akan tetapi hanya memberikan dampak jika pengguna mencoba mengakses ke domain terkait. Sedangkan via mesin pencari konten tersebut masih tetap ditampilkan, terutama di menu gambar dan video. Selain berbasis kata kunci pencarian, Kemenkominfo juga mengharapkan kapablitas penyaringan yang dimiliki mesin pencari dapat menyembunyikan konten visual pornografi di hasil pencarian.

Fitur “Safe Search” ada di tiap platform

Dalam percobaan yang dilakukan penulis per hari ini (13/8), fitur Safe Search yang otomatis aktif baru ada di mesin pencari Google. Sedangkan mesin pencari lain, misalnya Bing, masih dapat diatur secara manual dan ditemukan konten pornografi dengan kata kunci tertentu. Di Google, pengguna tidak bisa mematikan fitur tersebut jika menggunakan koneksi dari ISP lokal. Namun demikian, penggunaan layanan proxy gratis di internet atau aplikasi VPN masih bisa mematikan fitur Safe Search tadi.

Demikian di media sosial, misalnya YouTube. Fitur Restricted Mode masih bisa diatur secara manual oleh pengguna. Pengguna yang sudah memiliki usia 17 tahun ke atas bisa menikmati konten yang dianggap YouTube sebagai konten sensitif. Selain YouTube, tentu masih banyak platform yang memungkinkan peredaran konten berbau pornografi tadi, sebut saja WordPress.com, Blogspot, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, apakah fitur Safe Search atau sejenisnya akan diterapkan secara permanen di seluruh platform tersebut? Konon Kemenkominfo tengah berbincang juga dengan masing-masing pemilik platform. Sejauh ini yang sudah dilakukan ialah fitur pelaporan, amun tidak menutup kemungkinan kebijakan Safe Search permanen tadi juga diaktifkan di seluruh platform.

Efektivitas menanggulangi pornografi

Berdasarkan daftar di basis data Trust Positif Kemenkominfo, sejak tahun 2014-2017 sudah tercatat 16.574 situs pornografi yang diblokir. Angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan perluasan platform penyebaran konten digital, termasuk media sosial, forum online, mesin blog, dan lain-lain.

Menggunakan pendekatan yang lebih canggih, Kemenkominfo memanfaatkan Artificial Intelligence System (AIS) untuk menangkal konten negatif (tidak hanya pornografi, tetapi juga konten radikal). Belum lagi akan beroperasinya mesin sensor internet seharga 200 miliar Rupiah yang sebelumnya ramai dibincangkan.

Tentu langkah menyalakan akses permanen Safe Search di Google akan memberikan banyak dampak. Terlebih yang disasar adalah kalangan anak-anak konsumen internet. Namun penggunaan VPN sebenarnya bisa menjadi celah yang membuat effort tersebut terasa sia-sia. Upaya itu jelas akan meminimalkan sebaran konten negatif di internet, namun belum memberantas sepenuhnya. Langkah preventif seharusnya menjadi perhatian pemerintah.

Menghadirkan “pendidikan moral berinternet”

Dari sudut pandang upaya mereduksi konten negatif di internet, cara pemerintah tadi patut diapresiasi. Namun ada hal penting lain yang sebenarnya harus menjadi perhatian pemerintah untuk menyambut Revolusi Industri 4.0 ini. Hal tersebut adalah menanamkan prinsip-prinsip dasar pendidikan moral dalam berinternet. Sebuah keniscayaan bagi masyarakat saat ini untuk terhindar dalam lingkungan digital. Adopsi digital sendiri trennya tercatat terus mengalami peningkatan.

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan ialah melalui pendidikan sejak usia dini. Pemerintah perlu secara serius menyusun sebuah kurikulum yang memberikan pengertian tentang batasan-batasan berinternet, sembari menanamkan moral terkait bagaimana bersosialisasi digital dengan benar, memberikan pengertian konten negatif, hingga mengajarkan bagaimana cara menepis/melaporkannya. Kesadaran di level individu menjadi kunci untuk perubahan revolusioner.

Jika tidak dimulai dengan menanamkan prinsip-prinsip dasar berinternet yang benar, berbagai upaya yang telah dilakukan tadi (pemblokiran) akan sia-sia. Misalnya saat orang sudah tahu bagaimana cara menggunakan VPN gratis di perangkat.

Fenomena Tik Tok dan Literasi Digital yang Luput

Untuk sekian kalinya Kemenkominfo memberlakukan pemblokiran terhadap platform berbasis konten lalu membuka kembali dalam waktu yang relatif singkat. Saat ini blokir terhadap aplikasi video-musik Tik Tok, Selasa siang (10/7) resmi dibuka. Sebelumnya “gertakan” serupa juga pernah dilayangkan kepada Bigo Live.

Pada prinsipnya, saya tidak setuju dengan model pencegahan melalui mekanisme pemblokiran. Terlebih dalihnya adalah adanya konten negatif di platform tersebut, seperti yang terjadi pada Tumblr dan Reddit. Konten negatif akan selalu ada, kalau dicari-cari. Pun demikian platform WordPress.com, Blogger.com, Facebook, atau Twitter sekalipun.

Sering kali yang diisukan pemerintah adalah fitur dan jalur khusus untuk pelaporan. Demi pangsa pasar besar, penyedia platform biasanya langsung mencoba menuruti kemauan pemerintah. Hal senada dilakukan manajemen Tik Tok di Indonesia beberapa hari terakhir.

Untuk Tik Tok, solusi represif pemblokiran tampaknya menjadi jalan yang paling masuk akal. Tentu saya mempertaruhkan konsistensi penolakan terhadap pemblokiran dalam kasus ini, karena ada urgensi lain yang patut dipertimbangkan.

Melihat kondisi yang ada

Diungkapkan Menkominfo Rudiantara, alasan mendasar pemblokiran Tik Tok adalah adanya konten (yang cenderung) negatif dan banyak dikonsumsi anak-anak. Meskipun tidak ada data statistik yang bisa dipaparkan, namun jika melihat secara kasat mata, konsumen anak-anak memang mendominasi. Kemenkominfo mengaku juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

“Situs Tik Tok kami blokir. Banyak kontennya yang negatif terutama bagi anak-anak,” ujar Rudiantara dalam keterangan tertulisnya.

Dalih masyarakat yang menyayangkan pemblokiran Tik Tok umumnya mengungkapkan bahwa platform tersebut tidak salah, bahkan harusnya bisa digunakan untuk media kreatif. Benar demikian, saya pun setuju dan melayangkan hal yang sama saat Kemenkominfo memblokir Medium. Sayangnya permasalahan yang terjadi pada Tik Tok sudah menjadi fenomena. Kesan pertama pengguna Tik Tok adalah membuat postingan dengan kadar alay semaksimal mungkin, demi meraih viral.

Banyak kasus yang bisa dibuat contoh dan saya rasa semua juga sudah tahu. Sebagai platform Tik Tok tidak salah, karena keluaran dari sebuah alat bergantung pada penggunanya. Masalahnya pengguna yang kali ini ingin coba “diselamatkan” adalah kalangan anak. Secara teori (awalnya) aplikasi tersebut memang sudah dibatasi untuk pengguna berusia 12 tahun ke atas, tapi fakta di lapangan kan tidak semerdu itu.

Justifikasi lain mempertanyakan peran orang tua yang tidak bisa mengontrol anaknya saat menggunakan ponsel pintar. Menurut saya, hal ini adalah sebuah keniscayaan yang membutuhkan waktu lama untuk berproses.

Dalam istilah teknologi ada yang disebut dengan “digital native”, sederhananya digunakan untuk menyebut orang-orang yang sejak belia sudah dihidangkan ragam alat teknologi. Ada juga “digital immigrant”, yakni golongan tua yang sedang berusaha beradaptasi dengan teknologi. Keduanya memiliki kecepatan yang berbeda saat mengadopsi dan menggunakan teknologi, termasuk memahami perkembangan aplikasi di ponsel pintar.

Untuk kalangan digital immigrant, jangankan memahami keberadaan aplikasi Tik Tok. Untuk memahami operasi dasar di ponsel pintar saja membutuhkan waktu yang lama. Mereka merasa cukup saat bisa memanfaatkan untuk keperluan komunikasi, tidak semua, tapi saya yakin Anda juga mudah menemukan yang demikian. Dalam kondisi tersebut, dengan pemahaman yang tidak banyak soal teknologi dan aplikasi, lantas bagaimana mereka bisa memberikan literasi digital ke anaknya?

Saya pun tidak yakin orang tua anak pemain Tik Tok itu tahu apa yang dilakukan buah hatinya di aplikasi. Bahkan tentang apa yang mereka unggah pun saya kurang yakin mereka mengawasi. Maka di sini pemangku kebijakan dapat berperan melalui sistem. Saya menilai pemblokiran Tik Tok memiliki urgensi untuk mengubah persepsi penggunaan aplikasi kreatif, penghentian sementara dilakukan agar virus alay tadi tidak kunjung mendarah daging ke kalangan anak-anak.

Sepakat untuk hal baik, kenapa tidak? Dengan pemblokiran dan pemberitaan yang luas sedikit-demi sedikit turut memberikan informasi relevan kepada orang tua tentang fenomena yang sebenarnya terjadi. Ini adalah sebuah pembelajaran mahal.

Pasca pemblokiran Tik Tok berbenah

Sejak blokir dilepaskan, manajemen Tik Tok di Indonesia berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dan institusi terkait dalam program pengembangan dunia digital, pemberdayaan wanita, perlindungan anak dan kejahatan siber. Melalui gagasan ini, Tik Tok akan merancang lebih banyak program dan kesempatan bagi pembuat konten untuk mengembangkan kreativitas mereka yang dapat memberikan dampak kepada komunitas dan mendistribusi lebih banyak konten edukasi digital.

Tik Tok juga berkolaborasi dengan ICT Watch dan jaringan Gerakan Nasional Literasi Digital dalam pengadaan beberapa seri program online dan offline untuk advokasi literasi digital dan mempromosikan konten edukasi penggunaan internet secara aman dan bijak, terutama di kalangan anak muda. Tik Tok juga sedang membicarakan kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membuat program-program yang memastikan generasi muda memiliki pengalaman online yang aman, sehat dan edukatif.

Lantas, bukankah itu yang kita semua harapkan untuk masyarakat digital Indonesia yang lebih baik? Proses bisnis digital sangat bergantung pada sistem. Jadi idealnya sistem digital (termasuk aplikasi) harus didesain untuk meminimalisir hal negatif.

Pemerintah Kembali Aktifkan Akses ke Telegram

Pemerintah akhirnya mengaktifkan kembali akses ke platform Telegram versi desktop di Indonesia mulai hari ini. Adapun 11 domain name system (DNS) yang sebelumnya diblokir, saat ini sedang dalam tahap normalisasi oleh pihak operator, paling lambat 1×24 jam sejak pengumuman dari pemerintah.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengucapkan apresiasinya kepada pihak Telegram yang cukup responsif dalam menghapus konten-konten yang bermuatan radikalisme dan terorisme.

“Dengan progres [penghapusan konten] cukup baik yang dikerjakan tim Kominfo dan Telegram, jadi hari ini Telegram untuk web-nya dibuka lagi dan masyarakat bisa menggunakan dan memanfaatkannya lagi,” kata Rudiantara, Kamis (10/8).

Meski sudah resmi dibuka, masih ada beberapa DNS, dari 11 DNS, yang belum bisa diakses hingga kini. Menurut Dirjen Kementerian Kominfo Semuel Abrijani, hal ini disebabkan mekanisme masing-masing kebijakan pihak Internet Service Provider (ISP).

“Proses normalisasi itu kan melibatkan operator. Kita harus mengerti dulu metode filternya, ada yang cepat dan lambat. Kalau dari ketentuannya 1×24 jam, jadi paling lambat itu besok sudah bisa diakses lagi [11 DNS tersebut],” terang Semuel.

Rudiantara melanjutkan pencabutan ini bisa terealisasi karena komitmen yang ditunjukkan Telegram untuk bersedia mematuhi aturan di Indonesia, serta memenuhi persyaratan yang sebelumnya diajukan pemerintah.

Beberapa di antaranya Telegram harus membuat jalur khusus untuk pemerintah agar komunikasi dengan Kominfo bisa lebih cepat dan efisien, menyediakan fitur trusted flagger untuk Kominfo, dan meminta perwakilan Telegram khusus berada di Indonesia.

Dia juga mengatakan, ada 166 kanal yang sudah dibersihkan Telegram sejak pemblokiran. Per 1 Agustus 2017 Telegram berhasil menghapus rata-rata 10 kanal per harinya.

Rudiantara pun mengapresiasi pola kerja antara Telegram dengan Kominfo yang cukup baik. Dia berharap hal ini bisa menjadi acuan untuk platform lainnya.

“Kami harap pola kerja antara Kominfo dengan Telegram yang berjalan cukup baik ini, bisa menjadi acuan untuk platform lainnya,” pungkasnya.

Kominfo Pekan Ini Normalisasi Akses Telegram

CEO Telegram Pavel Durov hari ini menyambangi kantor Kemenkominfo untuk bertemu Menkominfo Rudiantara mengonsolidasikan permasalahan yang mengemuka beberapa waktu terakhir. Beberapa pembahasan hari ini di antaranya tentang penanganan isu terorisme dan konten radikal yang berkembang di platform Telegram yang menjadi alasan Kemenkominfo memblokir 11 DNS layanan web Telegram.

Dari rilis resmi yang kami terima dari Kemenkominfo, Durov memiliki komitmen yang sama dengan pemerintah dalam penanganan isu terorisme di Indonesia. Ia mengutarakan bahwa pembuatan “Joint Statement” sangat perlu direalisasikan untuk dapat bersinergi bersama. Sebagai tindak lanjut dari komitmen ini, Kemenkominfo dan Telegram sepakat untuk mengatur dan mengelola prosesnya.

[Baca juga: Pemerintah Blokir Situs Telegram]

Dalam pertemuan tersebut turut hadir Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Samuel A Pangerapan. Pihaknya mengapresiasi itikad baik yang dilakukan Telegram dan komitmen yang diutarakannya. Dalam waktu dekat (estimasi maksimal pekan ini), 11 DNS web yang telah diblokir akan segera dipulihkan.

Indonesia adalah negara istimewa bagi Telegran

Pasca pertemuan ini, pekerjaan rumah Telegram ialah membentuk tim khusus untuk berkomunikasi secara intend dengan pemerintah dalam berbagai upaya pemberantasan terorisme dan konten negatif. Hal ini telah disetujui Durov, pasalnya ia mengakui jika Indonesia termasuk negara yang diistimewakan oleh perusahaannya. Kendati demikian tidak diungkapkan mengenai data pengguna yang ada di Indonesia saat ini, yang pasti sangat sigifikan.

“Kami juga sudah membentuk kanal langsung yang akan membantu tim Menkominfo melaporkan konten yang membahayakan publik ke moderator kami sehingga waktu yang dibutuhkan akan berkurang secara signifikan,” jelas Durov.

[Baca juga: Yang Diinginkan Pemerintah Agar Tak Lagi Terjadi Pemblokiran Layanan]

Sejauh ini, selain digunakan untuk kebutuhan komunikasi personal, aplikasi pesan Telegram banyak dimanfaatkan (dari kapabilitas API – Application Programming Interface) oleh komunitas untuk membuat inovasi berbasis bot –termasuk untuk kebutuhan pendidikan. Di Yogyakarta ada komunitas pecinta sejarah yang menggunakan Telegram sebagai media diskusi dan arsip pengetahuan. Pun demikian beberapa universitas bahkan memanfaatkan untuk bot sitasi digital, dan masih banyak lainnya.

Tentu harapannya dengan adanya konsolidasi ini menjadi sebuah jalan tengah yang akan memberikan kenyamanan bagi semua pihak. Baik untuk konsumen yang begitu diuntungkan dengan layanan Telegram, pun bagi pemerintah untuk tetap bisa mengawasi atas konten negatif di dalamnya.

Yang Diinginkan Pemerintah Agar Tak Lagi Terjadi Pemblokiran Layanan

Masalah pemblokiran situs Telegram menjadi kegaduhan di jagat maya beberapa waktu lalu. Pro-kontra pendapat tentang tindakan pemerintah tersebut bergulir, antara membela dan mengecam. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, DailySocial coba berdiskusi dengan Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam diskusi tersebut dipaparkan tentang konsolidasi yang diinginkan pemerintah dengan para penyedia layanan seperti Telegram atau sejenisnya.

Tiga hal yang menjadi keharusan perusahaan penyedia layanan aplikasi

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian Kemkominfo, dalam hal ini melalui Dirjen Aplikasi Informatika, terkait dengan kehadiran perusahaan penyedia layanan aplikasi. Pertama adalah dibangunnya jalur komunikasi khusus antara pihak perusahaan yang menjalankan bisnis dengan pemerintah. Harapannya bisa melakukan koordinasi yang intensif saat menjalankan kegiatan operasional di Indonesia.

Kedua ialah terkait kebutuhan SOP (Standard Operating Procedure) dan sepaham terkait kaidah dan prinsip konten negatif. Hal ini sejalan dengan antisipasi yang diinginkan pemerintah mencegah terjadinya penyebaran isu sara, terorisme hingga hoax. Kemudian yang ketiga Kemkominfo menginginkan setiap perusahaan tersebut memiliki tim khusus untuk menjalankan SOP tersebut.

Terkait perlunya kantor perwakilan di Indonesia, pemerintah masih menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan, asalkan ketiga hal tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik. Namun demikian, jika merujuk pada Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet, penyedia layanan atau konten dapat disediakan oleh badan usaha asing dengan ketentuan wajib mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Tentang mekanisme pemblokiran oleh pemerintah

Secara prosedur, konten atau layanan yang diblokir Kemkominfo berawal dari laporan dari masyarakat dan/atau lembaga penegak hukum/lembaga peradilan/lembaga lainnya. Laporan yang ditindaklanjuti untuk pertimbangan pemblokiran ialah temuan pemuatan konten pornografi, pelanggaran privasi, menyinggung SARA, kegiatan ilegal (biasanya dilaporkan Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan) dan muatan lainnya yang berdampak negatif bagi masyarakat dan negara.

Kondolidasi tetap akan dilakukan sebelum adanya keputusan untuk memblokir situs atau aplikasi tertentu. Sehingga menurut Kemkominfo penyedia layanan atau pemilik konten seperti Telegram perlu memastikan bahwa mereka siap menindaklanjuti laporan yang disampaikan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika mengenai adanya muatan negatif. Lebih jauh, kewajiban penyedia layanan aplikasi dan/atau konten diatur bagian 5.5. pada Surat Edaran Menkominfo No.3 Tahun 2016.

5.5 Kewajiban Penyedia Layanan Over The Top

5.5.1 Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, perdagangan, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penyiaran, perfilman, periklanan, pornografi, anti terorisme, perpajakan; dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
5.5.2   Melakukan perlindungan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.|
5.5.3   Melakukan filtering konten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.5.4   Melakukan mekanisme sensor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.5.5   Menggunakan sistem pembayaran nasional (national payment gateway) yang berbadan hukum Indonesia;
5.5.6   Menggunakan nomor protokol internet Indonesia;
5.5.7  Memberikan jaminan akses untuk penyadapan informasi secara sah (lawful interception) dan pengambilan alat bukti bagi penyidikan atau penyelidikan perkara pidana oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
5.5.8    Mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan layanan dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

Soal Bigo: Pemblokiran, Pembatasan Konten Negatif, dan Penambahan Konten Positif

Konten digital di Indonesia semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan kecepatan internet dan adopsi perangkat mobile oleh masyarakat. Tak hanya menikmati konten video secara streaming masyarakat kini juga sudah terbiasa dengan konten live streaming yang mulai tumbuh bersama dengan banyaknya layanan live streaming seperti Periscope, Cliponyu, Bigo, dan beberapa lainnya.

Dari segi konsep beberapa layanan banyak ditujukan untuk kegiatan hiburan seperti halnya Bigo. Sayangnya konsep awal yang diusung Bigo sebagai live stream untuk fashion dan hiburan justru banyak dimanfaatkan untuk konten negatif berbau pornografi. Pada akhirnya maraknya konten negatif di Bigo memaksa pemerintah melakukan “pembatasan” (yang mengarah ke pemblokiran) terhadap layanan live stream asal Singapura tersebut.

[Baca juga: Ketika Konten Platform Live Video Mulai Menjurus Ke Arah Negatif]

Bigo sebenarnya punya konsep yang positif. Bigo mencoba memberikan kesempatan penggunanya untuk menunjukkan bakat mereka mulai dari menyanyi hingga bakat dalam memilih mode pakaian. Sayangnya konsep positif dari Bigo “diselewengkan” para penggunanya. Bigo digunakan sebagai ajang untuk memproduksi konten negatif yang erat dengan pornografi. Image Bigo yang terlanjur sebagai layanan live stream negatif membuat pemerintah akhirnya mulai menutupi akses DNS Bigo.

Aksi blokir pemerintah ini memang bukan hal baru. Sudah banyak layanan yang kena blokir dikarenakan oleh konten-konten yang ada di dalamnya. Untuk kasus Bigo sendiri pemerintah disebutkan sudah memberikan surat kepada kantor pusat Bigo di Singapura. Karena tidak kunjung ada balasan, akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan aksi.

Konten negatif memperburuk citra Bigo

Sama seperti layanan user generate lainnya, Bigo sebenarnya sudah menerapkan kebijakan melarang penggunanya, terutama broadcaster untuk menayangkan konten-konten negatif. “Polisi” Bigo pun tidak segan untuk melakukan blokir permanen terhadap akun yang terbukti melanggar. Sayangnya hal ini tidak begitu efektif dalam memberikan efek jera terhadap penggunanya. Malahan citra Bigo semakin buruk akibat dipublikasikannya konten Bigo di platform video lain dengan embel-embel yang menjurus ke arah negatif.

Bigo, sama seperti layanan live stream lainnya, sebenarnya menyimpan potensi untuk digunakan dalam berbagai hal positif. Contohnya seperti menyiarkan seminar, sosialisasi program, iklan, atau hal positif lainnya.

[Baca juga: Apakah Pemblokiran Efektif Memerangi Pembajakan?]

Sangat susah sebenarnya menghapus konten negatif di sebuah platform. Media sosial populer seperti Twitter, Facebook, dan YouTube pun sebenarnya tidak lepas dari konten-konten negatif.

Executive Director Indonesia ICT Institure Haru Sutadi menilai bahwa kontrol terhadap konten negatif memang tidak mudah. Tanggung jawab pembersihan konten ini merupakan tanggung jawab penyedia platform dan juga pengguna pengisi konten.

“Sepanjang transparan, akuntabel dan nondiskrimintif, jika ada pelanggaran UU ITE, pemblokiran sah saja. Namun, sebenarnya kan yang juga tak kalah penting dilakukan adalah, pertama, sosialisasi aturan kepada penyedia platform maupun masyarakat. Kedua, menjalin koordinasi khususnya dengan penyedia platform untuk misal men-delete konten yang dilarang UU, seperti pornografi. Memang masalahnya, kadang penyedia platform susah diajak koordinasi atau bahkan cuek saja kalau layanan mereka diblokir di sini karena mungkin Indonesia bukan pasar utama,” terang Heru.

Pemblokiran sebenarnya bukan langkah bagus untuk menghentikan konten negatif. Toh selama ini pemblokiran masih belum efektif meringkus konten tersebut. Yang ada konten-konten negatif muncul dengan cara lain dan bentuk lain. Yang harusnya dilakukan untuk memerangi konten negatif adalah menambah lebih banyak konten positif sehingga menjadi highlight utama yang dicari masyarakat kita.