RazerCon 2021: Razer Luncurkan Masker Zephyr dan Headset Nirkabel Kraken V3 Pro

Melanjutkan tradisi tahunan baru yang dimulai tahun kemarin, Razer resmi menggelar event RazerCon 2021. Seperti biasa, Razer memanfaatkan kesempatan ini untuk merilis sejumlah produk baru. Dua di antaranya yang akan saya bahas di artikel ini adalah Razer Zephyr dan Razer Kraken V3 Pro.

Kita mulai dari Zephyr dulu, yang sebelumnya kita kenal dengan nama Project Hazel. Kalau Anda familier dengan masker elektronik bikinan LG, Anda semestinya bisa langsung paham fungsi yang ditawarkan oleh Razer Zephyr sebagai sebuah “wearable air purifier”.

Dalam sesi presentasi tertutup yang saya ikuti bersama sejumlah awak media lain, Razer menjelaskan bahwa selama mengembangkan Zephyr, mereka menitikberatkan pada tiga aspek berikut: Safe, Social, dan Sustainable.

Aspek yang pertama diwujudkan melalui tiga buah filter N95 grade — dua di sisi kiri dan kanan, satu kecil di tengah — dengan perlindungan dua arah dan tingkat efisiensi penyaringan sebesar 99%. Razer pun tidak lupa menyematkan dua kipas intake dengan dua mode kecepatan (4.200 atau 6.200 RPM) sebagai opsi untuk memperlancar sirkulasi udara.

Razer turut membekali Zephyr dengan sepasang karet silikon yang menyangga bagian hidung dan dagu supaya perangkat benar-benar bisa menutup rapat hidung dan mulut pengguna. Di bagian belakang, kita juga bisa melihat sepasang strap yang adjustable guna menambah kenyamanan sekaligus mencegah masker mudah terlepas.

Terkait aspek yang kedua, Razer sengaja merancang Zephyr dengan cover plastik transparan dan lapisan anti-kabut agar wajah penggunanya bisa terlihat dengan cukup jelas. Bagian dalamnya bahkan dibekali pencahayaan sehingga ekspresi wajah penggunanya tetap bisa terlihat di berbagai kondisi pencahayaan.

Bicara soal pencahayaan, bukan produk Razer namanya kalau tidak ada sistem pencahayaan RGB, dan Zephyr pun rupanya tidak luput dari itu. Ketimbang sebatas tampil berbeda dengan masker non-konvensional, kenapa tidak sekalian saja mengundang perhatian dengan lampu warna-warni yang dapat dikustomisasi via aplikasi?

Ada kipas dan lampu, berarti Zephyr sudah pasti dibekali baterai. Dalam sekali pengisian, daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai paling lama hingga 8 jam dengan mode kecepatan kipas rendah dan semua pencahayaan dimatikan. Kalau semuanya menyala dan kipas berputar dalam kecepatan maksimum, maka daya baterainya akan turun menjadi 3,5 jam. Kalaupun baterainya habis, pengguna dijamin masih bisa bernapas dengan baik walau kipasnya mati.

Lanjut ke aspek yang ketiga, Razer ingin memastikan bahwa perangkat ini bisa membantu mengurangi jumlah sampah yang diakibatkan oleh penggunaan masker sekali pakai. Untuk itu, Razer merancang agar filter milik Zephyr bisa tetap efisien sampai tiga hari pemakaian sebelum akhirnya perlu diganti dengan yang baru.

Lalu apakah filter tambahannya cuma bisa dibeli dari Razer? Tentu saja, tapi Razer juga bilang bahwa pengguna bebas menyelipkan filter lain jika mau, dengan catatan ukuran filternya pas dan bisa menutupi lubang di kiri, kanan, dan tengah Zephyr secara menyeluruh.

Rencananya, Razer Zephyr akan dijual seharga $100, sudah termasuk 3 set filter (untuk pemakaian selama 9 hari), atau dalam bundel Zephyr Starter Pack seharga $150 yang mencakup 33 set filter (untuk pemakaian selama 99 hari). Filter ekstranya sendiri bisa dibeli secara terpisah seharga $30 per 10 set. Setiap unit Zephyr di-cover oleh garansi selama satu tahun.

Setidaknya untuk sekarang, Zephyr hanya bisa dibeli secara eksklusif melalui Razer.com, akan tetapi perwakilan Razer sempat bilang bahwa mereka bakal mengusahakan agar produk ini juga bisa tersedia di Indonesia. Kapan pastinya masih belum diketahui.

Razer Kraken V3 Pro

Beralih ke Kraken V3 Pro, ini merupakan headset nirkabel yang mengunggulkan teknologi haptic feedback Razer HyperSense. Teknologi ini memang bukan hal baru, dan Razer sendiri pertama menerapkannya tiga tahun lalu melalui headset bernama Nari Ultimate. Namun tentu sudah ada penyempurnaan yang Razer terapkan di Kraken V3 Pro.

Utamanya, Razer mengklaim bahwa HyperSense mampu bekerja di rentang frekuensi yang lebih luas ketimbang teknologi haptic tradisional. Alhasil, pengguna bakal merasakan sensasi getaran yang lebih natural daripada biasanya.

Haptic di Kraken V3 Pro juga memiliki efek stereo. Artinya, pengguna dapat merasakan getaran di telinga kiri dan kanan secara terpisah, tergantung apa yang sedang tersaji dalam game. Contohnya, kalau pengguna mendengar ada ledakan dari sisi kiri, maka getarannya juga akan terasa di telinga sebelah kiri saja.

Namun yang menurut saya paling istimewa adalah, HyperSense bekerja secara real-time, dengan waktu pemrosesan tidak lebih dari 5 milidetik. Itu berarti HyperSense tidak memerlukan integrasi dengan tiap-tiap game. Selama game atau konten lainnya bisa menghasilkan suara, maka efek getarannya juga akan terasa.

Bukankah aneh seandainya efek haptic tetap muncul selagi pengguna hanya mendengarkan musik? Andai pengguna merasa demikian, matikan saja efek haptic-nya via tombol di earcup sebelah kanan. Tombol yang sama ini juga berfungsi untuk mengatur intensitas getarannya di tiga tingkatan (low, medium, high).

Juga istimewa adalah, HyperSense di Kraken V3 Pro tidak memerlukan driver khusus maupun software Razer Synapse agar bisa bekerja. HyperSense bahkan bisa aktif selagi headset tersambung ke smartphone via kabel 3,5 mm. Sayang perangkat ini tidak punya koneksi Bluetooth.

Terkait kinerja audionya, Kraken V3 Pro mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama seperti di BlackShark V2 Pro, lengkap dengan dukungan terhadap fitur THX Spatial Audio.

Kemudian soal kenyamanan, Razer membekali Kraken V3 Pro dengan pelapis earpad yang terbuat dari kombinasi bahan kain plus kulit sintetis. Jadi yang menempel pada sekitaran telinga adalah kain, sementara sisi samping bantalannya terbuat dari kulit demi memastikan bass yang dihasilkan tetap terasa mantap.

Kenapa tidak memakai bahan Flowknit seperti BlackShark saja? Well, kalau menurut Razer sendiri, Flowknit rupanya tidak kompatibel dengan haptic. Jadi memang material hybrid tadi adalah satu-satunya pilihan untuk Kraken V3 Pro.

Dalam sekali pengisian, baterai Kraken V3 Pro diyakini mampu bertahan selama 11 jam pemakaian (dengan semua pengaturan di level maksimum). Kalau haptic dan pencahayaan RGB-nya dimatikan (jadi headset wireless biasa), maka perangkat bisa beroperasi sampai 40 jam. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Razer Kraken V3 Pro kabarnya akan tersedia pada kuartal ke-4 tahun ini dengan banderol $200. Alternatifnya, Razer juga akan lebih dulu memasarkan Kraken V3 dan Kraken V3 HyperSense di bulan Oktober ini juga, masing-masing seharga $100 dan $130.

Kedua headset ini lebih murah karena sama-sama masih mengandalkan kabel. Meski begitu, keduanya tetap mewarisi beberapa fitur andalan milik Kraken V3 Pro, mulai dari driver TriForce Titanium sampai lapisan earpad berbahan hybrid itu tadi.

Khusus Kraken V3 HyperSense, tentunya ada teknologi haptic yang advanced itu tadi, akan tetapi ia cuma bisa digunakan dengan PC saja via kabel USB (tidak ada jack 3,5 mm seperti di Kraken V3 Pro). Kedua headset ini juga mengandalkan mikrofon cardioid biasa, berbeda dari Kraken V3 Pro yang dibekali mikrofon supercardioid.

8 Mouse Pilihan yang Cocok untuk Dipakai Bekerja

Apapun pekerjaan Anda sehari-harinya, hampir bisa dipastikan Anda bakal banyak terbantu oleh kehadiran sebuah mouse. Buat sebagian orang, mouse malah punya peran yang lebih penting ketimbang keyboard. Tidak sedikit dari mereka yang beralasan bahwa mouse bisa membantu menjadikannya lebih produktif ketimbang menggunakan trackpad bawaan laptop.

Idealnya, mouse yang digunakan adalah yang bertipe wireless, sebab mouse berkabel jelas terdengar tidak praktis sama sekali. Jenis koneksinya bisa Bluetooth, bisa juga wireless 2,4 GHz (via dongle USB). Namun untungnya dewasa ini sudah banyak mouse nirkabel yang mengemas keduanya sekaligus.

Agar bisa membantu meningkatkan produktivitas, sebuah mouse wireless harus mempunyai daya tahan baterai yang awet. Kalau tidak, kesannya malah akan jadi merepotkan. Berkaca pada kriteria-kriteria tersebut, saya telah merangkum deretan mouse pilihan yang cocok dipakai untuk bekerja. Berikut 8 pilihannya.

1. Logitech M720 Triathlon

Kelebihan utama mouse ini terletak pada daya tahan baterainya: sampai 2 tahun hanya dengan menggunakan satu baterai AA. Kebetulan saya punya barangnya, dan sejak Januari 2020, baterainya memang belum pernah saya ganti sama sekali.

M720 Triathlon menawarkan konektivitas Bluetooth dan 2,4 GHz sekaligus. Buat saya, ini berarti ia bisa disambungkan ke laptop via Bluetooth, dan ke PC desktop via dongle USB. Lalu untuk switch di antara kedua perangkat, saya hanya perlu mengklik tombol ketiga di sisi kirinya (ada indikator angka 1-3 untuk membantu kita mengetahui di perangkat yang mana koneksi mouse sedang aktif).

Bentuk mouse ini juga sangat nyaman di tangan, dan tempat sandaran jempolnya rupanya juga merangkap sebagai satu tombol ekstra yang bisa diprogram. Tipikal Logitech, scroll wheel-nya bisa berganti mode antara los dan bertahap, cukup dengan mengklik tombol di bawahnya.

Harganya? Rp615.000 saja.

Link pembelian: Logitech M720 Triathlon

2. Logitech MX Anywhere 3

Bagi yang lebih menyukai mouse berdesain simetris, MX Anywhere 3 bisa jadi pilihan. Wujudnya tergolong low-profile, dan lapisan silikon bertekstur di sisi kiri dan kanannya bakal membantu memantapkan cengkeraman. Seperti M720 tadi, ia juga bisa disambungkan via Bluetooth dan dongle sekaligus.

Kelebihan utama mouse seharga Rp999.000 ini ada dua. Yang pertama, scroll wheel-nya bisa beradaptasi sesuai kebutuhan. Saat menggulirkan secara perlahan, pengguna bakal merasakan sensasi taktilnya satu per satu. Namun saat menggulirkan secara cepat, rodanya otomatis akan berputar secara los. Ya, mode gulirnya ada dua seperti M720, tapi di sini mekanismenya otomatis. Ditambah lagi, scroll wheel-nya terbuat dari baja ketimbang plastik.

Kedua, MX Anywhere 3 mengemas sensor yang bisa bekerja di jenis permukaan apapun, termasuk halnya di atas kaca. Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa tahan sampai 70 jam pemakaian. Proses charging-nya juga sangat cepat menggunakan kabel USB-C; 1 menit charging sudah cukup untuk menenagainya selama 3 jam penggunaan.

Link pembelian: Logitech MX Anywhere 3

3. Logitech MX Master 3

Ambil semua fitur yang MX Anywhere 3 tawarkan tadi, lalu tambahkan sebuah scroll wheel ekstra dalam kemasan yang ergonomis, maka Anda bakal mendapat MX Master 3. Dengan sebuah scroll wheel horizontal yang mudah sekali diakses menggunakan ibu jari, tidak heran kalau mouse ini kerap menjadi favorit para video editor.

Dimensi mouse ini cukup bongsor, jadi ia mungkin lebih cocok untuk pemakaian di rumah ketimbang selagi bepergian. Seperti dua mouse sebelumnya, MX Master 3 juga mendukung kustomisasi via software Logitech Options. Artinya, scroll wheel horizontalnya itu bisa pengguna atur fungsinya berdasarkan aplikasi, semisal untuk scroll timeline di Adobe Premiere dan untuk mengatur ukuran brush di Photoshop.

Di Indonesia, mouse ini bisa dibeli seharga Rp1.319.000.

Link pembelian: Logitech MX Master 3

4. Razer Orochi V2

Ya, ini merupakan sebuah mouse gaming, tapi bentuknya cukup ringkas untuk menjadi teman setia laptop selama bekerja. Supaya semakin praktis, Razer tak lupa menambahkan koneksi Bluetooth di samping wireless 2,4 GHz via bantuan dongle.

Orochi V2 tidak punya colokan USB sama sekali, sebab ia memang mengandalkan baterai AA ketimbang baterai rechargeable. Untungnya, daya tahan baterainya cukup mengesankan; hingga 950 jam jika menggunakan koneksi Bluetooth. Anggap Anda memakainya selama 8 jam per hari, berarti Anda cuma perlu mengganti baterainya setiap sekitar empat bulan.

Sebagai mouse gaming, akurasi sensornya jelas tidak perlu diragukan, dengan sensitivitas maksimum di angka 18.000 DPI. Ia dibekali onboard memory untuk menyimpan semua pengaturan yang sebelumnya sudah disetel via software Razer Synapse 3.

Tertarik? Siapkan dana Rp1.049.000 untuk meminangnya.

Link pembelian: Razer Orochi V2

5. Razer Basilisk Ultimate

Gaming lagi? Ya, tapi saya punya alasan kuat untuk mencantumkannya di sini. Selain dua tombol samping seperti pada umumnya, mouse ini juga punya satu tombol tambahan yang berfungsi layaknya sebuah pedal kopling. Dibantu oleh kustomisasi via software, tombol tersebut pada dasarnya bisa berperan sebagai modifier dan menggandakan jumlah tombol pada mouse ini.

Jadi dengan menekan dan menahan tombol tersebut, tombol-tombol lainnya bisa memiliki fungsi yang berbeda. Contohnya, klik kiri untuk copy, dan klik kanan untuk paste selagi tombol pedalnya kita tahan, jauh lebih praktis ketimbang harus menekan tombol Ctrl+C dan Ctrl+V di keyboard. Bahkan fungsi scroll wheel-nya pun juga bisa diubah dengan bantuan tombol pedal tersebut.

Dalam sekali charge, Basilisk Ultimate diyakini bisa beroperasi hingga 100 jam penggunaan. Charging-nya pun sesimpel meletakkan mouse di atas docking unit yang termasuk dalam paket penjualan. Di harga Rp2.850.000, mouse ini memang tidak murah, tapi bisa jadi pilihan bagi yang memerlukan banyak tombol dan kerap menggunakan fungsi makro.

Link pembelian: Razer Basilisk Ultimate

6. Microsoft Bluetooth Mobile Mouse 3600

Mouse mungil besutan Microsoft ini bisa jadi alternatif menarik bagi pengguna yang mendambakan mouse nirkabel dengan desain simpel dan harga terjangkau. Sesuai namanya, mouse seharga Rp400.000 ini cuma bisa tersambung via Bluetooth saja, tapi itu juga berarti baterainya sangatlah awet; sampai 1 tahun menggunakan satu baterai AA.

Mouse ini mengemas sensor yang bisa bekerja di berbagai macam permukaan kecuali kaca. Namun yang membuatnya cukup berbeda dari mouse lain di kelas harga ini adalah, scroll wheel-nya dapat dimiringkan ke kiri atau kanan untuk scrolling secara horizontal.

Link pembelian: Microsoft Bluetooth Mobile Mouse 3600

7. Microsoft Modern Mobile Mouse

Alternatif menarik bagi yang menyukai mouse berdesain low-profile, mouse seharga Rp406.000 ini juga dibekali sensor yang bisa bekerja di berbagai jenis permukaan seperti sofa, karpet atau lantai. Bentuknya elegan dan terkesan premium, terutama berkat scroll wheel yang terbuat dari bahan logam.

Mouse ini juga cuma mengandalkan Bluetooth sebagai konektivitasnya. Ia membutuhkan sepasang baterai AAA untuk bisa bekerja, dan Microsoft mengklaim pengguna hanya perlu menggantinya sekali setiap tahun.

Link pembelian: Microsoft Modern Mobile Mouse

8. Apple Magic Mouse 2

Terakhir, buat para pengguna Mac, salah satu opsi terbaiknya tentu datang dari Apple sendiri. Buat yang kurang familier, mouse ini mungkin terkesan aneh karena tidak memiliki scroll wheel. Sebagai gantinya, permukaan atas mouse ini merupakan panel sentuh multi-touch yang mendukung beragam gestur. Dibanding Windows, macOS memang lebih banyak bergantung pada navigasi gestur, jadi mouse ini memang sangat ideal untuk itu.

Kekurangan utama mouse seharga Rp1.249.000 ini adalah colokan charging-nya yang terletak di bawah, yang berarti perangkat harus berada dalam posisi yang aneh (dibalik) setiap kali diisi ulang. Beruntung itu hanya perlu dilakukan sekali setiap bulan kalau berdasarkan klaim Apple mengenai daya tahan baterainya.

Link pembelian: Apple Magic Mouse 2

Tujuh Tahun Berkiprah, HyperX Sudah Menjual Lebih dari 20 Juta Headset Gaming

HyperX mengumumkan bahwa mereka telah menjual lebih dari 20 juta headset gaming sejak meluncurkan headset pertamanya, HyperX Cloud, pada April 2014.

“Sejak peluncuran headset gaming pertama HyperX di tahun 2014, kami terus mengembangkan desain dan pilihan produk kami untuk menjadi pemimpin industri dalam hal kualitas, kenyamanan, dan suara,” tutur Kevin Hague, General Manager HyperX, dalam sebuah siaran pers.

“Seiring popularitas gaming kasual dan kompetitif terus meningkat di platform PC, konsol, dan mobile, kami berusaha untuk terus mengembangkan headset kami ke level baru dan berharap dapat menghadirkan 20 juta headphone berkualitas tinggi yang berikutnya ke konsumen di seluruh dunia,” imbuhnya.

Seperti yang telah disebutkan, HyperX memulai kiprahnya di industri headset gaming pada tahun 2014 melalui sebuah headset bernama HyperX Cloud. Setahun berselang, mereka merilis HyperX Cloud II yang menghadirkan USB Audio Control Box dan Virtual 7.1 Surround Sound.

Lompat ke tahun 2016, HyperX memperkenalkan CloudX Pro sebagai headset gaming berlisensi Xbox pertamanya. Lalu di tahun 2017, mereka menyingkap HyperX Cloud Alpha dengan teknologi Dual Chamber. Pada tahun 2018, HyperX merilis Cloud Mix yang merangkap fungsi sebagai headset gaming sekaligus headphone Bluetooth.

Memasuki tahun 2019, HyperX mengungkap headset berlisensi resmi PlayStation 4. Kemudian di tahun 2020, HyperX meluncurkan Cloud Revolver yang spesifik menarget kalangan gamer kompetitif. Tahun ini, HyperX belum meluncurkan headset baru, kemungkinan karena mereka sibuk mengurus peralihan kepemilikan perusahaan. Sekadar mengingatkan, divisi periferal HyperX sekarang sudah berpindah tangan dari Kingston ke HP.

Produk periferal HyperX memang bukan cuma headset saja. Mereka juga punya mikrofon USB, mechanical keyboard, mouse, mouse pad, dan bahkan sejumlah aksesori charging untuk konsol. Namun memang yang paling dikenal oleh kalangan gamer adalah lini headset gaming-nya. Pendapat ini bisa jadi agak bias, sebab saya pribadi sehari-harinya menggunakan headset HyperX, sementara keyboard dan mouse saya dari merek lain.

Sumber: Business Wire via VentureBeat.

SteelSeries Diakuisisi Induk Perusahaan Jabra dengan Mahar $1,24 Miliar

Akuisisi produsen periferal gaming yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan besar seakan menjadi tren yang cukup populer dalam dua tahun terakhir ini. Yang terbaru, ada SteelSeries yang diakuisisi oleh GN.

Siapa itu GN? Well, mereka adalah perusahaan asal Denmark yang sudah berdiri ratusan tahun, namun sebagian dari kita mungkin lebih mengenalnya sebagai induk perusahaan Jabra. Tentu saja ini bukan suatu kebetulan; baik SteelSeries, GN, maupun Jabra sama-sama memiliki markas utama di Denmark.

Tidak tanggung-tanggung, GN menyiapkan mahar sebesar 8 miliar Danish Krone (DKK), atau setara 17,65 triliun rupiah, untuk mengakuisisi rival terdekat Razer tersebut. Dalam kurs dolar Amerika Serikat, nilainya setara $1,24 miliar. Angka tersebut cukup fantastis. Sebagai perbandingan, Februari lalu HP membayar $425 juta untuk mencaplok divisi periferal HyperX.

Pasca akuisisi, SteelSeries masih akan beroperasi secara mandiri, tanpa perubahan pada jajaran kepemimpinannya. Namun kalau melihat fokus bisnis GN dan Jabra di bidang audio, tentu tidak menutup kemungkinan SteelSeries bisa berbagi hasil R&D dengan Jabra dalam mengembangkan produk audio masing-masing.

“Kami sedang dalam misi untuk terus mendorong batasan di esport dan gaming dengan produk beserta software kelas dunia, dan sekarang, dengan dukungan dari GN, kami bakal dapat memaksimalkan upaya-upaya ini,” ucap CEO SteelSeries, Ehtisham Rabbani, dalam siaran persnya.

Tanpa diakuisisi GN pun sebenarnya bisnis SteelSeries terkesan baik-baik saja. Tahun lalu, SteelSeries sendiri sempat mengakuisisi produsen gamepad KontrolFreek, serta ahli teknologi 3D audio, Nahimic. Kemudian pada bulan Mei kemarin, SteelSeries meluncurkan seri periferal gaming baru yang ditujukan untuk kalangan gamer kompetitif sekaligus atlet esport.

Dengan prediksi pasar PC gaming yang bakal terus menguat dalam beberapa tahun ke depan, keputusan akuisisi yang dilakukan GN ini pun jadi terdengar sangat masuk akal. Ke depannya, brand periferal gaming mana lagi yang kira-kira bakal dibeli oleh sebuah perusahaan besar?

Sumber: GN via Engadget.

Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Corsair Luncurkan Monitor Gaming Perdananya, Xeneon 32QHD165

Berawal dari berdagang memory, Corsair kini memiliki portofolio produk yang mencakup seabrek kategori sekaligus. Namun selama 27 tahun mereka berdiri, Corsair belum pernah sekali pun memproduksi monitornya sendiri. Well, itu berakhir hari ini.

Gambar di atas adalah Xeneon 32QHD165, monitor pertama Corsair yang dipersembahkan buat para gamer. Dari namanya saja, Corsair sudah menunjukkan impresi pertama yang bagus. Seperti yang kita tahu, kebanyakan monitor memang mempunyai nama yang luar biasa acak.

Monitor ini tidak demikian. Penamaannya seperti sudah dipikirkan dengan matang, dan saya pun dapat langsung menebak spesifikasinya dari namanya: ukuran 32 inci, resolusi QHD (2560 x 1440), refresh rate 165 Hz.

Jenis panel yang digunakan adalah Fast IPS, dengan waktu respon 1 milidetik (MPRT) dan dukungan teknologi Quantum Dot untuk menyajikan warna secara akurat. Teknisnya, Xeneon 32QHD165 menjanjikan color gamut 100% sRGB, 100% Adobe RGB, dan 98% DCI-P3.

Tingkat kecerahan maksimumnya berada di angka 400 nit, dan ia pun telah mengantongi sertifikasi DisplayHDR 400 dari VESA. Buat yang membutuhkan, monitor ini sudah sepenuhnya mendukung teknologi AMD FreeSync Premium dan Nvidia G-Sync.

Untuk input-nya, Xeneon 32QHD165 mengemas sepasang port HDMI 2.0, sebuah port DisplayPort 1.4, port USB 3.1 Type-C beserta Type-A masing-masing dua buah, dan jack audio 3,5 mm. Pada sisi belakang stand-nya, terdapat sejumlah pengait untuk membantu merapikan kabel.

Stand berbahan aluminium ini tak hanya memiliki rancangan yang tampak keren, tetapi juga mendukung pengaturan tinggi monitor, tidak ketinggalan juga tilt dan swivel. Alternatifnya, tersedia pula mount VESA 100 x 100 mm bagi yang hendak menggunakan bracket.

Bagi konsumen yang sudah menggunakan produk-produk Corsair maupun Elgato, monitor ini bakal punya nilai tambah tersendiri berkat kompatibilitasnya dengan software Corsair iCUE maupun Elgato Stream Deck. Jadi ketimbang mengakses pengaturan via tombol-tombol fisik di belakang monitor, pengguna bisa mengaksesnya dengan lebih mudah via software.

Bukan cuma itu, bagian atas stand-nya turut dilengkapi dudukan tripod standar 1/4 inci, sehingga pengguna bisa menempatkan lampu, mikrofon, atau kamera langsung di atas monitor.

Jika menimbang spesifikasi dan fiturnya, Corsair Xeneon 32QHD165 semestinya duduk di kelas monitor gaming premium. Dugaan tersebut tidak meleset; di Amerika Serikat, monitor ini dijual seharga $800, atau kurang lebih sekitar 11,4 jutaan rupiah. Namun sejauh ini masih belum ada informasi mengenai ketersediaannya di Indonesia.

Sumber: Corsair.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Razer Luncurkan Headset Gaming Kelas Bujet, Kaira X, Harganya Cuma $60

Razer meluncurkan headset gaming baru, yakni Kaira X. Kalau namanya terdengar familier, itu karena Anda pernah tahu mengenai Razer Kaira, headset gaming nirkabel yang dirilis tahun lalu untuk para pengguna Xbox.

Kaira X hadir dalam dua varian: Kaira X for Xbox dan Kaira X for PlayStation. Perbedaan di antara keduanya cuma perkara estetika saja; varian Xbox-nya tersedia dalam pilihan warna hitam dan sejumlah warna lain agar serasi dengan warna controller, sementara varian PlayStation-nya cuma ditawarkan dalam warna putih dengan aksen hitam.

Di luar penampilannya, kedua model Kaira X benar-benar identik, dengan kabel sepanjang 1,3 meter yang bisa dicolokkan ke perangkat apapun yang memiliki jack audio 3,5 mm. Kinerja audionya ditunjang oleh sepasang driver Razer TriForce berdiameter 50 mm. Branding TriForce itu merujuk pada kemampuannya menyetel frekuensi low, mid, dan high secara terpisah, bukan jadi satu seperti desain driver konvensional.

Untuk input suaranya, Kaira X mengandalkan mikrofon cardioid yang fleksibel, tapi tidak bisa dilepas-pasang. Mic-nya dapat di-mute atau unmute secara instan via sebuah tuas di belakang earcup sebelah kiri. Pengguna juga bisa menemukan kenop volume di bagian tersebut.

Kaira X mengemas bantalan telinga yang terbuat dari bahan memory foam, yang kemudian dibalut oleh kain breathable dengan motif honeycomb. Di angka 283 gram, bobot headset ini tergolong cukup standar. Oh ya, kalau Anda mencari RGB, headset ini bukan buat Anda.

Di Amerika Serikat, Razer Kaira X saat ini sudah dijual seharga $60 (± 855 ribuan rupiah), lebih murah $40 daripada versi nirkabelnya.

Pada kesempatan yang sama, Razer juga menyingkap sebuah charging dock untuk controller Xbox. Dock magnetis ini kompatibel dengan controller milik Xbox Series X|S, Xbox One, maupun controller Xbox Elite Series 1. Harganya dipatok $40, dan pilihan warnanya pun beragam, mengikuti variasi warna controller resmi Xbox.

Sumber: Razer.

5 Mouse Gaming Wireless Terbaik yang Dapat Dibeli di Indonesia

Tidak seperti dulu, mouse gaming nirkabel zaman sekarang sudah canggih-canggih. Akurasi dan latensi tidak lagi menjadi masalah berkat kemajuan pesat di bidang pengembangan sensor dan konektivitas wireless, sementara daya tahan baterai juga terus ditingkatkan berkat sederet optimasi yang diterapkan oleh masing-masing pabrikan.

Singkat cerita, mouse gaming nirkabel sekarang sudah pantas menggantikan mouse gaming berkabel sepenuhnya, bahkan dalam konteks kompetitif sekalipun. Pilihannya pun banyak dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan sekaligus bujet masing-masing.

Di artikel ini, saya telah merangkum 5 mouse gaming wireless terbaik yang dapat dibeli di Indonesia. Berikut daftarnya.

1. Razer Naga Pro

Saya sengaja menempatkan Razer Naga Pro sebagai pilihan pertama karena satu hal: kustomisasi. Seperti yang kita tahu, genre game yang berbeda membutuhkan kombinasi tombol yang berbeda pula. Saat bermain game FPS, kita mungkin cuma butuh dua tombol ekstra untuk ibu jari. Namun ketika memainkan MMORPG dengan karakter yang memiliki begitu banyak skill, dua tombol saja jelas tidak cukup.

Ketimbang harus membeli dua mouse yang berbeda, satu Naga Pro saja sebenarnya sudah cukup, sebab panel kirinya dapat dilepas-pasang secara magnetis. Ketika hendak bermain Valorant, pasang panel yang dilengkapi 2 tombol. Ketika hendak bermain Dota 2, pasang panel yang mengemas 6 tombol. Lalu saat tiba waktunya untuk raid di Final Fantasy XIV, pasang panel yang mempunyai 12 tombol.

Sulit mencari mouse gaming wireless yang lebih fleksibel dari Naga Pro. Buat yang tertarik, siapkan dana sebesar Rp2.399.000. Review lengkapnya juga bisa dibaca di sini.

Link pembelian: Razer Naga Pro

2. Razer Viper Ultimate

Buat yang menyukai mouse dengan desain ambidextrous, alias simetris sisi kiri dan kanannya, Anda bisa melirik Razer Viper Ultimate. Dari segi performa, Viper Ultimate sama persis seperti Naga Pro tadi, dengan sensor Focus+ yang memiliki sensitivitas maksimum 20.000 DPI dan kecepatan tracking 650 IPS. Kedua mouse turut mengemas optical switch pada tombol klik kiri dan kanannya.

Di angka 74 gram, Viper Ultimate tergolong ringan untuk sebuah mouse wireless, apalagi mengingat ia tidak mengadopsi desain honeycomb. Mouse ini datang bersama aksesori charging dock yang amat praktis; cukup letakkan mouse di atasnya, maka baterainya akan langsung diisi ulang. Dalam sekali charge, baterainya bisa tahan sampai 70 jam (tanpa RGB).

Viper Ultimate saat ini sudah bisa dibeli juga dengan harga Rp2.399.000. Bedanya, paket penjualan Viper Ultimate sudah mencakup aksesori charging dock, sementara Naga Pro tadi tidak.

Link pembelian: Razer Viper Ultimate

3. Logitech G Pro X Superlight

Butuh yang lebih ringan lagi daripada Viper Ultimate, tapi tetap tidak suka dengan desain bolong-bolong? Silakan lirik persembahan Logitech yang satu ini. Dengan bobot hanya 63 gram, label “Superlight” pada namanya betul-betul akurat. Bobotnya bahkan bisa ditekan lagi sampai menjadi 60 gram dengan melepas cover magnetis yang menutupi rumah dongle USB-nya.

Bobot yang sangat ringan itu turut ditunjang oleh performa yang mumpuni, dengan sensor yang memiliki sensitivitas maksimum 25.600 DPI dan kecepatan tracking 400 IPS. Baterainya pun tetap termasuk awet, bisa bertahan hingga 70 jam dalam sekali pengisian.

Di Indonesia, G Pro X Superlight sekarang sudah bisa dibeli dengan harga Rp1.889.000 dan dalam dua varian warna: hitam atau putih.

Link pembelian: Logitech G Pro X Superlight

4. SteelSeries Aerox 3 Wireless

Sebaliknya, bagi yang menyukai desain honeycomb supaya tangannya jadi tidak mudah berkeringat, maka SteelSeries Aerox 3 Wireless bisa jadi pilihan. Yang istimewa, mouse ini tercatat memiliki sertifikasi ketahanan air dan debu IP54 terlepas dari begitu banyaknya lubang di bodinya. Dengan demikian, Anda tak perlu khawatir seandainya ia tidak sengaja ketumpahan minuman.

Bobotnya sudah pasti ringan, persisnya di angka 66 gram. Perangkat mengemas sensor TrueMove Air dengan sensitivitas 18.000 DPI dan kecepatan tracking 400 IPS. Baterainya cukup untuk 80 jam pemakaian, dan ia turut mendukung fitur fast charging berkat pemakaian port USB-C.

Aerox 3 Wireless juga ideal untuk mendampingi sesi bekerja di luar menggunakan laptop. Pasalnya, ia juga mengusung konektivitas Bluetooth 5.0, dan dalam mode ini, baterainya malah bisa tahan sampai 200 jam. Harganya? Rp1.325.000.

Link pembelian: SteelSeries Aerox 3 Wireless

5. Logitech G304 Lightspeed

Terakhir, buat yang memiliki modal terbatas tapi tetap menginginkan mouse gaming wireless dengan konektivitas sekaligus kinerja yang konsisten, pilihannya jatuh pada Logitech G304 Lightspeed. Mouse ini harganya cuma Rp509.000, akan tetapi ia sudah dibekali sensor dengan sensitivitas maksimum 12.000 DPI, dan pengguna juga dapat menyimpan hingga lima level DPI pada onboard memory-nya.

Seperti halnya mouse gaming nirkabel high-end Logitech, G304 juga dibekali konektivitas wireless Lightspeed dengan latensi yang sangat minim. G304 tidak punya baterai rechargeable. Sebagai gantinya, ia membutuhkan satu baterai AA. Namun jangan khawatir, sebab Logitech mengklaim daya tahannya bisa mencapai angka 250 jam, atau sekitar satu bulan seandainya digunakan selama 8 jam per hari.

Link pembelian: Logitech G304 Lightspeed

Harga Tidak Sampai Sejuta, Logitech G435 Hadirkan Koneksi Lightspeed Wireless dan Bluetooth Sekaligus

Pasar headset gaming nirkabel dengan harga terjangkau ($100 ke bawah) terus bertambah panas. Setelah Razer dan JBL, kini giliran Logitech yang menghadirkan penawarannya di segmen ini lewat Logitech G435.

Tidak tanggung-tanggung, Logitech bahkan memasang harga yang lebih murah lagi, tepatnya $80. Menariknya, harga yang amat kompetitif itu tetap bisa diimbangi dengan fitur yang lengkap. Dari segi konektivitas misalnya, G435 tak hanya mendukung sambungan Lightspeed (wireless 2,4 GHz) via dongle USB-A saja, tapi ia juga dapat dihubungkan ke perangkat mobile via Bluetooth.

Selain PC, G435 juga ideal untuk digunakan bersama PlayStation 4 maupun PlayStation 5. Pasalnya, di samping mendukung Dolby Atmos dan Windows Sonic, G435 juga kompatibel dengan teknologi spatial audio Tempest 3D milik PS5.

Melihat desain dan materi-materi promosinya, G435 terkesan jenaka, dan ternyata ia memang tidak cuma ditargetkan untuk konsumen dewasa saja. Headset ini rupanya juga punya fitur ramah anak, yang ketika diaktifkan bakal membatasi volume maksimal menjadi 85 dB saja.

Desainnya pun sangatlah ringkas, dengan bobot tidak lebih dari 165 gram. Dari situ sudah bisa ditebak kalau sebagian besar strukturnya terbuat dari plastik. Menariknya, bagian-bagian plastik ini mencakup minimal 22 persen materi daur ulang, dan Logitech tidak segan menyebut G435 sebagai headset gaming nirkabel paling ramah lingkungan yang pernah mereka produksi.

Keunikan lain yang bakal kita jumpai pada desain G435 adalah absennya boom mic. Sebagai gantinya, ia justru mengandalkan sepasang mikrofon beamforming yang tertanam langsung di earcup. Untuk kinerja audionya, G435 mengandalkan sepasang driver berdiameter 40 mm.

Dalam sekali pengisian, baterainya bisa bertahan sampai sekitar 18 jam pemakaian. Charging-nya sudah mengandalkan USB-C, tapi sayang tidak ada informasi apakah ia dapat tetap digunakan selagi baterainya diisi ulang. Perlu dicatat juga, Anda tak akan menemukan jack audio 3,5 mm di headset ini.

Di Indonesia, Logitech G435 kabarnya akan dijual lengkap dalam tiga pilihan warna mulai bulan November 2021 dengan kisaran harga Rp929.000, lebih murah daripada kurs dolarnya. Menarik.

7 Monitor Gaming Terbaik untuk Gamer Kasual Maupun Kompetitif

Sebagai periferal komputer yang masih relevan di era modern, monitor kini dapat dibagi berdasarkan target pasarnya: gaming atau non-gaming. Namun kalau mau kita kerucutkan lagi, monitor gaming pun sebenarnya masih bisa kita bagi lagi menjadi gaming kasual dan gaming kompetitif. Sama-sama gaming, tapi kebutuhannya berbeda.

Untuk gaming kasual, yang diincar biasanya adalah fitur-fitur untuk memperindah kualitas visual macam HDR maupun dukungan fitur adaptive sync (AMD FreeSync atau Nvidia G-Sync) yang lengkap. Untuk gaming kompetitif, entah yang masih amatiran atau sudah masuk level esports, yang dicari biasanya adalah refresh rate setinggi mungkin dan motion blur seminimal mungkin.

Artikel ini bermaksud untuk memberikan referensi bagi yang hendak membeli monitor gaming di pasar tanah air. Berhubung kita mempunyai bujet dan spesifikasi PC yang berbeda, saya sengaja mengelompokkan pilihannya berdasarkan subkategori seperti “kasual 1080p”, “kasual 4K”, “kompetitif 240 Hz”, dan seterusnya.

Kasual 1080p, alias monitor gaming kelas bujet terbaik

Kalau sebatas mencari monitor untuk bermain di resolusi 1080p 60 fps, jujur Anda tidak perlu mengumpulkan referensi banyak-banyak, sebab monitor non-gaming pun saja sebenarnya sudah cukup untuk itu. Namun kalau Anda punya bujet di kisaran 3,1 jutaan rupiah, maka AOC 24G2 bisa jadi pilihan yang tepat.

Monitor ini mengemas panel IPS 23,8 inci dengan resolusi 1920 x 1080, refresh rate 144 Hz, dan waktu respon 1 milidetik (MPRT). Ia mendukung FreeSync Premium, tapi kehadiran DisplayPort berarti Anda juga dapat mencobanya dengan G-Sync meski tidak ada sertifikasi resmi dari Nvidia.

Namun yang paling saya suka darinya adalah, ergonomic stand-nya benar-benar ergonomis, apalagi mengingat bagian ini memang paling sering dikompromikan di kisaran harganya. Jadi selain bisa di-tilt, monitor ini juga bisa swivel, bisa diatur ketinggiannya, ataupun diputar orientasinya dari landscape ke portrait.

Link pembelian: AOC 24G2

Monitor terbaik untuk gaming kasual di resolusi 1440p

Bagi yang memiliki kartu grafis di atas kelas mainstream, tidak ada salahnya mengincar monitor 1440p. Dan bagi yang cukup beruntung sempat meminang RTX 3070, tidak ada salahnya juga mencari monitor yang sepenuhnya kompatibel dengan G-Sync. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pilihannya pun jatuh pada ViewSonic Elite XG270Q

Monitor ini mengusung panel IPS 27 inci dengan resolusi 2560 x 1440, refresh rate 165 Hz, dan waktu respon 1 milidetik (GTG). Panelnya memiliki color gamut 95% DCI-P3, serta telah mengantongi sertifikasi DisplayHDR 400. Kompatibilitasnya dengan G-Sync pun dijamin tanpa masalah karena sudah diuji langsung oleh Nvidia sendiri.

Harganya? Rp8.199.000.

Link pembelian: ViewSonic Elite XG270Q

Monitor terbaik untuk gaming di resolusi 4K

 

Tidak peduli stoknya langka atau tidak, eksistensi kartu grafis seperti RTX 3080, RTX 3090, maupun RX 6800 XT dan RX 6900 XT pada akhirnya membuat 4K gaming jadi kenyataan. Namun agar dapat menikmatinya dengan maksimal, Anda butuh dukungan monitor yang tepat. Salah satu opsi terbaik yang tersedia di pasaran saat ini adalah LG UltraGear 27GN950-B, yang bisa dibeli seharga Rp11.990.000.

Perangkat ini mengemas panel Nano IPS 27 inci dengan resolusi 3840 x 2160, refresh rate 144 Hz, dan waktu respon 1 milidetik (GTG). Dengan color gamut 98% DCI-P3 dan sertifikasi DisplayHDR 600, kualitas visual yang disajikan tentu bakal sangat prima. Bagi yang membutuhkan G-Sync, Anda tak perlu khawatir mengingat monitor ini memang telah tercantum di situs Nvidia.

Link pembelian: LG UltraGear 27GN950-B

Monitor 240 Hz terbaik untuk gaming kompetitif

 

Monitor gaming besutan Zowie (BenQ) kerap menjadi pilihan di banyak turnamen esports profesional. Tentu ada alasan kuat yang mendasarinya, dan salah satunya adalah teknologi DyAc+ (Dynamic Accuracy Plus) yang BenQ implementasikan.

Secara mendasar, DyAc+ merupakan sebuah teknik motion blur reduction (MBR). Saya tidak perlu menjelaskan terlalu teknis karena artikelnya bakal kepanjangan, tapi yang pasti DyAc+ sangatlah efektif dalam hal meminimalkan motion blur, dan Anda bisa menonton sendiri demonstrasinya di YouTube. Saking efektifnya, monitor dengan DyAc+ kerap disebut memiliki motion clarity setara monitor CRT.

Salah satu monitor yang dibekali DyAc+ adalah BenQ Zowie XL2546K. Ia mengemas panel TN 24,5 inci dengan resolusi 1080p dan refresh rate 240 Hz. Jujur spesifikasinya di atas kertas terkesan tidak menarik, apalagi kalau melihat harganya yang mencapai angka Rp9.603.000. Namun saya kira memang tidak ada orang yang membeli monitor ini karena spesifikasinya. Yang diincar murni adalah teknologi DyAc+ itu tadi.

Link pembelian: BenQ Zowie XL2546K

Monitor 360 Hz terbaik untuk gaming kompetitif

Memainkan CS:GO dengan frame rate yang konstan berada di kisaran 360 fps itu sangat mungkin dilakukan di tahun 2021 ini. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah monitor Anda cukup kencang untuk menampilkan frame sebanyak itu setiap detiknya?

Kalau jawabannya tidak, maka sudah saatnya Anda upgrade monitor tersebut ke Asus ROG Swift PG259QN. Monitor seharga Rp14.645.000 ini istimewa karena mengemas panel dengan refresh rate sebesar 360 Hz. Tipe panel yang digunakan pun sudah IPS, dengan bentang diagonal 24,5 inci dan resolusi 1080p. Seandainya membutuhkan, monitor ini pun juga sudah sepenuhnya mendukung Nvidia G-Sync.

Link pembelian: Asus ROG Swift PG259QN

Monitor gaming terbaik dengan layar curved

Saya tahu tidak semua orang suka dengan layar curved, dan itulah mengapa saya memilih untuk menyendirikannya. Namun kalau Anda suka, sekalian saja pilih yang paling melengkung yang ada di pasaran saat ini, yaitu Samsung Odyssey G7 32″.

Monitor ini memiliki layar dengan angka kurvatur 1000R, dan tingkat kelengkungannya diklaim setara kontur mata manusia, sehingga mampu menghadirkan sensasi immersive yang lebih mantap ketimbang monitor curved dengan kurvatur 1500R atau 1800R.

Spesifikasi panelnya pun tidak main-main: VA 31,5 inci dengan resolusi 2560 x 1440, refresh rate 240 Hz, dan waktu respon 1 milidetik (GTG). Untuk keperluan gaming kasual, Odyssey G7 32″ juga telah mengantongi sertifikasi DisplayHDR 600, plus sepenuhnya kompatibel dengan G-Sync. Siapkan dana sebesar Rp13.299.000 untuk meminangnya.

Link pembelian: Samsung Odyssey G7 32″

Monitor gaming terbaik dengan layar curved dan ultrawide

Kalau Anda punya dana yang lebih besar sekaligus kartu grafis yang lebih perkasa, maka pilihan yang lebih tepat adalah Samsung Odyssey G9 49″. Jujur belum ada monitor lain dengan bentuk seekstrem ini. Layarnya luar biasa lebar dengan bentang diagonal 49 inci, dan tingkat kelengkungannya pun juga berada di angka 1000R.

Menggunakan monitor ini pada dasarnya sama seperti mendempetkan dua monitor 27 inci, dengan total resolusi sebesar 5120 x 1440. Dari segi refresh rate atau waktu respon, ia identik dengan adiknya tadi (Odyssey G7). Yang lebih superior adalah tingkat kecerahannya, yang mampu mencapai angka 1.000 nit, membuatnya pantas menyandang sertifikasi DisplayHDR 1000 dari VESA.

Tertarik? Siapkan saja bujet sebesar Rp22.999.000.

Link pembelian: Samsung Odyssey G9 49″

Razer Basilisk V3 Dirilis, Unggulkan Fitur Hyperscrolling dan Sensor yang Lebih Ngebut Lagi

Razer punya mouse gaming baru, yaitu Basilisk V3. Sesuai namanya, ia merupakan penerus dari Basilisk V2 yang dirilis tahun lalu. Ada sejumlah pembaruan signifikan yang Razer terapkan, tapi sebelumnya, mari kita bahas yang tidak berubah lebih dulu.

Secara keseluruhan, desain Basilisk V3 tampak identik dengan pendahulunya. Kebetulan saya pribadi punya Basilisk V2, dan sejauh pengamatan saya, cuma ada dua perubahan minor pada fisik Basilisk V3: lampu RGB-nya jauh lebih meriah, dan posisi tombol trigger multi-fungsinya di samping kiri agak ditarik ke belakang supaya lebih dekat dengan ibu jari.

Bentuk tombol trigger-nya juga berbeda dan tidak lagi memanjang. Namun entah kenapa, tombol tersebut tidak lagi detachable di Basilisk V3. Kalau di Basilisk V2, tombol tersebut dapat dilepas-pasang secara magnetis. Buat saya sih ini bukan masalah, sebab tombol tersebut memang selalu saya pakai setiap harinya, baik ketika bermain game ataupun bekerja.

Namun perubahan terbesar Basilisk V3 bisa kita jumpai pada scroll wheel-nya. Roda gulir ini dapat bekerja dalam dua mode yang berbeda: Tactile dan Free-Spin, mirip seperti yang fitur hyperscrolling yang sudah Logitech tawarkan sejak lama pada sejumlah mouse-nya. Mode Tactile memungkinkan scrolling secara bertahap dan presisi, sementara Free-Spin memungkinkan scrolling secara cepat dan los begitu saja.

Alternatifnya, tersedia pula mode ketiga yang Razer sebut dengan istilah Smart Reel. Dalam mode ini, scroll wheel-nya dapat berganti-ganti antara mode Tactile dan Free-Spin secara otomatis, tergantung seberapa cepat pengguna menggulirkannya (pelan berarti Tactile, cepat berarti Free-Spin).

Sebagai perbandingan, di Basilisk V2 pengguna hanya bisa mengatur tingkat kelonggaran scroll wheel-nya menggunakan kenop kecil di permukaan bawah mouse. Saat disetel yang paling longgar, scroll wheel-nya memang terasa mulus, tapi tetap tidak bisa sampai los. Sebagai eks pengguna mouse Logitech, jujur saya kangen dengan fitur hyperscrolling-nya ketika hijrah ke Basilisk V2.

Kembali membahas Basilisk V3, pembaruan selanjutnya berkaitan dengan performanya. Ia dibekali sensor Focus+ baru yang memiliki sensitivitas maksimum 26.000 DPI (naik dari 20.000 DPI), serta yang menawarkan pengaturan lift-off distance sekaligus landing distance.

Untuk switch tombolnya, Basilisk V3 menggunakan optical switch generasi kedua. Saya tidak tahu apa bedanya dengan yang pertama (spesifikasinya di atas kertas sama), tapi yang pasti switch milik Basilisk V2 saya masih terasa empuk dan bebas dari masalah double click meski sudah setahun saya gunakan.

Bagian terbaiknya, semua ini justru bisa didapat dengan harga yang lebih terjangkau. Razer Basilisk V3 saat ini telah dipasarkan seharga $70. Di Indonesia, sudah banyak toko resmi yang menjualnya seharga Rp1.149.000, lebih murah sekitar 350 ribu ketimbang harga Basilisk V2 saat saya membelinya tahun lalu.

Sumber: Business Wire.