Para Analis Menunjukkan Keraguan Mereka Terhadap Nintendo Switch?

Lewat video first look, Nintendo NX resmi beralih nama menjadi Nintendo Switch. Info mengenai fitur dan hardware memang masih terbilang minim, tapi banyak hal bisa kita analisis dari video berdurasi tiga setengah menit itu. Sejak diumumkan, Switch memicu kehebohan di internet, tapi mungkin orang juga bertanya-tanya: untuk siapa sebetulnya sistem ini ditujukan?

Sebelum mencoba menjawab pertanyaan itu, kita harus memahami posisi Nintendo Switch di antara platform game kompetitor. Sony sebentar lagi akan merilis versi high-end dari PS4, sedangkan Microsoft sedang menggodok sistem yang jauh lebih bertenaga lagi. Dari susunan hardware, Switch bukanlah tandingan mereka. Para analis sendiri melihat ada kelemahan di rencana Nintendo dalam menciptakan hybrid antara home console dan handheld tersebut.

Via Games Industry, Piers Harding-Rolls selaku head of games research di IHS menjelaskan bahwa Switch terlihat seperti upaya Nintendo bertahan dari gempuran mobile gaming sembari mencoba merangkul mereka yang lebih memilih menikmati permainan video di layar lebar. Tapi satu hal harus dihindari: menyuguhkan kualitas di bawah standar karena ingin memuaskan semua orang.

Dari trailer, Switch tampak ditargetkan pada konsumen young adult, mencoba memasarkannya sebagai console tradisional yang juga dapat dipergunakan di perjalanan. Agar misi tersebut berhasil, sang console maker Jepang membutuhkan dukungan developer dan publisher third-party. Dan karena alasan itulah Nintendo menggandeng banyak sekali pemain-pemain ternama di industri gaming.

Yang kini menjadi perhatian ialah apakah kemampuan motion control kembali disertakan di sana? Dengan menghilangkan metode input ini, akan lebih mudah bagi pengembang third-party dalam melepas game multi-platform di Switch, tapi efek sampingnya, keunikan dan ciri khas Nintendo jadi hilang.

Joost van Dreunen dari SuperData sendiri berpendapat, Switch akan lebih populer di kalangan anak-anak dan remaja. Meski perangkat ini tampil lebih serius dibanding produk-produk Nintendo sebelumnya, fitur multiplayer split-screen di mana user bisa menikmati game berdua di kursi penumpang dengan sepasang Joy-Con lebih masuk akal jika dihidangkan ke konsumen berusia muda.

Analis pasar mobile di Asia, Dr. Serkan Toto turut mengutarakan rasa skeptisnya: Switch tidak mempunyai fitur pamungkas. Pasar mobile di Jepang saja sudah dua sampai tiga kali lebih besar dari console, dan akan sangat sulit bagi Nintendo untuk mengaet gamer casual yang telah beralih ke sana. Dr. Toto bilang, mungkin hanya penggemar berat Nintendo yang merasa terpanggil buat membeli Switch.

Kita hanya bisa berharap prediksi-prediksi tersebut keliru dan di momen perilisannya nanti, Switch terbukti menjadi batu lompatan selanjutnya bagi Nintendo.

Gambar header: Polygon.

Analis: Di 2020, Konsumen Akan Keluarkan $ 11,2 Miliar Untuk Menikmati Hiburan Berbasis VR

Di akhir September kemarin, Berkarya!Indonesia mengumpulkan para pakar dan praktisi industri teknologi di Indonesia untuk berdiskusi seputar virtual reality. Meski ada banyak potensi pemanfaatannya, peserta setuju, masa depan VR masih misterius dan sulit menerka perkembangannya di masa yang akan datang. Tapi ada kabar gembira bagi mereka yang berniat investasi di ranah ini.

Belakangan, VR menjadi tema studi utama para analis dan firma riset, dan tim IHS Markit mengambil arahan yang sedikit ‘konservatif’ dalam mempelajari potensi teknologinya. Diungkap oleh Games Industry, IHS mengumumkan data Virtual Reality Market Opportunity Report 2016, dan di sana mereka memprediksi bahwa di tahun 2020 nanti, konsumen akan mengeluarkan dana kurang lebih US$ 11,2 miliar demi menikmati hiburan berbasis VR.

Angka itu sudah meliputi perkiraan pembelian hardware dan software, yaitu US$ 7,9 miliar untuk headset ditambah US$ 3,3 miliar buat kontennya. Angka tersebut memang terlihat banyak, namun director of games IHS Technology Piers Harding-Rolls berpendapat, jumlahnya tidak sebesar dugaan kita. Menurutnya, nilai US$ 3,3 miliar hanyalah satu persen dari total yang dikeluarkan konsumen di tahun 2020.

Harding-Rolls menekankan, penciptaan konten premium untuk platform virtual reality perlu ditingkatkan, dan untuk memaksimalkan seluruh teknologinya memang memakan waktu. Ada satu pertanyaan yang juga sering dilontarkan: akan lebih populer mana nantinya, headset VR portable ala Gear VR dan Cardboard, atau ada lebih banyak user mengadopsi device high-end seperti Rift dan Vive? IHS punya jawabannya.

Sang analis memperkirakan, produk-produk mutakhir premium bakal mendominasi monetisasi konten. Penggunanya meningkat drastis empat tahun lagi, berpeluang menyentuh 81 juta pengguna. Pembagian antara produk entry-level dan high-end tetap ada, dan volume pembelian perangkat-perangkat terjakau sudah pasti akan lebih tinggi.

Headset VR berbasis smartphone adalah pilihan favorit user, kemungkinan menguasai 87 persen hingga akhir tahun ini. Gear VR merupakan ‘rajanya’ headset virtual reality terjangkau, diproyeksikan memimpin penjualan dengan 5,4 juta unit. Tetapi IHS percaya, Gear VR akan segera disusul oleh Google DayDream View sebagai produk terpopuler di tahun 2019 berkat harganya yang murah dan dukungan ranah dindustri.

Di segmen premium, IHS mengestimasi besar peluang bagi PlayStation VR untuk melangkahi HTC Vive dan Oculus Rift. Analis yakin, Sony sanggup menjual 1,4 juta unit headset di 2016, mendorong user mengeluarkan uang US$ 134 juta. Alasannya cukup sederhana: karena harga PSVR lebih terjangkau dibanding kedua kompetitornya itu.