[Opini] Rasa Takut Adalah Candu, dan Game Horor Adalah Buktinya

Bulan Oktober selalu jadi momen seru dalam industri game setiap tahunnya. Sebagai bulan di mana perayaan hari Halloween jatuh di dalamnya, bulan ini adalah alasan tepat bagi developer untuk merilis game yang memiliki tema horor atau mistis. Sepanjang Oktober 2019 ini contohnya, kita bisa menemukan judul-judul seperti Luigi’s Mansion 3, MediEvil, hingga game lokal Ghost Parade. Sementara di game yang bersifat live service, Oktober jadi motivasi untuk merilis/menjual konten baru, entah berupa event atau item kosmetik. Apalagi para pengguna Steam, pasti sudah banyak yang bersiap menyambut kehadiran Halloween Sale untuk memborong sejumlah game horor incaran.

Sayangnya untuk orang yang tidak menyukai horor seperti saya, momen Oktober ini tidak begitu terasa relatable. Tentu saja saya tidak menolak kehadiran skin Wheatfield Nightmare untuk Franco di Mobile Legends, atau ekspansi The Devils Awaken yang memunculkan konten Devil May Cry 5 di Teppen. Namun rasanya tidak ada beda bila konten semacam ini hadir tidak pada momen Halloween. Steam Halloween Sale pun lebih sering saya lewatkan, karena game di Wishlist saya biasanya tidak ikut terkena diskon.

Rainbow Six Siege - Doktors Curse
Event Halloween di Rainbow Six: Siege | Sumber: Ubisoft

“Memangnya apa yang salah dengan game horor?” Sebetulnya tidak ada yang salah, hanya saja saya tidak merasa bisa menikmatinya. Bukan saya menolak main game horor karena terlalu takut, tapi bagi saya game (atau film) horor itu melelahkan. Bikin tegang dan bikin kaget, bertentangan dengan tujuan saya main game yang salah satunya adalah untuk istirahat.

Jelas banyak orang yang tidak setuju dengan pandangan di atas, karena hingga kini masih banyak game dan film horor yang laku di pasaran. Tapi terkadang saya juga bertanya-tanya, kenapa sih horor jadi salah satu genre hiburan yang terus populer? Bagaimana bisa rasa takut—yang harusnya mendorong kita untuk menjauh—malah jadi sumber kesenangan yang adiktif bagi sebagian orang?

Ketegangan membawa nikmat

Daya tarik horor adalah sesuatu yang sudah cukup banyak diteliti oleh para akademisi. Jamie Madigan dalam artikelnya yang berjudul The Psychology of Horror Games misalnya, mengatakan bahwa motivasi seseorang untuk memainkan game horor secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori.

Pertama adalah kelompok orang pencari sensasi. Kelompok ini adalah orang-orang yang memang pada dasarnya senang mencari rasa “mabuk” (high) secara emosional. Mereka suka mengalami situasi-situasi menegangkan yang biasanya tak terjadi dalam kehidupan normal. Contohnya merasakan ketakutan dari film horor, atau melakukan olahraga ekstrem seperti sky diving.

Dr. Andrew Weaver, seorang peneliti bidang horor yang berasal dari Indiana University, mengatakan dalam tulisan Madigan bahwa pengalaman merasakan sensasi tersebut bisa menjadi sarana berlatih untuk menghadapi situasi menyeramkan di dunia nyata. Terutama bagi anak-anak muda, pengalaman seperti ini mengajari mereka untuk mengendalikan emosi dengan cara yang aman. “Kita bisa mengalami kejadian tidak menyenangkan lewat fim dan kita tahu kejadian itu akan berakhir, kita akan melaluinya, dan akan lanjut menjalani kehidupan,” papar Weaver.

Anehnya, kenikmatan dari sensasi ini sepertinya hanya berlaku bila kita sudah jelas tahu bahwa apa yang kita lihat itu palsu (misalnya game atau film). Dalam sebuah riset, orang-orang yang menyukai film horor dan sudah terbiasa melihat adegan sadis, ketika ditunjukkan kejadian sadis sungguhan (video dokumenter) ternyata tidak bisa menikmatinya. Mereka menolak menonton video tersebut sampai habis, padahal film-film horor yang biasa mereka tonton mungkin punya adegan yang lebih sadis atau lebih menjijikkan.

Resident Evil Revelations 2
Resident Evil Revelations 2 | Sumber: Steam

Kelompok yang kedua punya kemiripan dengan kelompok pertama, yaitu sama-sama mencari sensasi. Bedanya, mereka bukan menikmati ketegangan emosional itu sendiri, tapi mereka menikmati rasa lega yang muncul setelah ketegangan berakhir.

Madigan mengutip ucapan Prof. Glen Sparks dari Purdue University tentang teori ini. “Orang-orang menjadi terangsang secara psikologis akibat rasa takut yang mereka alami selama kejadian di media, kemudian ketika kejadian di media itu berakhir, rangsangan itu teralihkan ke rasa lega dan memperkuatnya. Mereka bukan menikmati pengalaman merasa takut, tapi sebaliknya, mereka menikmati emosi positif kuat yang mungkin muncul setelahnya,” papar Sparks.

Fenomena ini dikenal sebagai “excitation transfer theory” (teori transfer ketegangan), dan dikemukakan oleh psikolog Amerika, Dolf Zillmann, pada tahun 1971. Ia menyatakan bahwa ketika seseorang mendapat rangsangan psikologis, ada periode di mana rangsangan itu akan tertinggal tanpa ia sadari. Kemudian ketika ia memperoleh rangsangan lain setelahnya, orang tersebut bisa “mengalihkan” respons yang ia rasakan dari rangsangan pertama ke rangsangan kedua. Bahasa gampangnya, perasaan lega akan terasa lebih nikmat bila didahului oleh perasaan tegang sebelumnya.

Resident Evil 2
Resident Evil 2 | Sumber: Steam

Terakhir, seseorang bisa menjadi penikmat hiburan horor akibat dorongan sosial. Kemampuan mengatasi rasa takut dalam horor bisa menjadi sebuah pembuktian bahwa seseorang itu kuat atau pemberani di hadapan teman-teman dan keluarganya.

Mungkin terdengar agak seksis, tapi teori ini terbukti lebih banyak terjadi di pergaulan antar lawan jenis, terutama kalangan remaja/dewasa muda. Laki-laki ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjalankan peran sebagai “pelindung” bagi kaum perempuan yang takut. Sebaliknya, perempuan ingin merasa aman karena melihat bahwa laki-laki yang ada disekitarnya tidak penakut dan bisa diandalkan.

Teori yang dikenal dengan istilah “snuggle theory”  (atau “gender socialization theory”) ini muncul dalam sebuah studi di tahun 1996 oleh Dolf Zillmann. Ia menemukan bahwa laki-laki yang menonton film horor bersama perempuan cenderung lebih bisa menikmati filmnya bila si perempuan merasa takut. Sebaliknya, perempuan yang menonton cenderung lebih bisa menikmatinya bila si laki-laki terlihat tidak takut. Ini artinya konstruksi sosial punya peran besar dalam menentukan media hiburan seperti apa yang bisa kita nikmati.

Teori-teori di atas menunjukkan bahwa meski rasa takut secara inheren adalah emosi yang negatif, emosi ini bisa memberikan kenikmatan tersendiri bila disandingkan dengan faktor lain—seperti jaminan rasa aman, excitation transfer, dan konstruksi sosial. Sebetulnya masih ada teori-teori lain tentang daya tarik game horor. Riset oleh Michelle Park dari Long Island University menyebutkan bahwa ada delapan teori tentang motivasi ini, dan sumber teori itu sudah dikemukakan oleh tokoh-tokoh zaman dahulu seperti Sigmund Freud bahkan Aristoteles. Namun jelas tidak bisa kita bahas semua di sini.

Video game memberi sensasi lebih kuat

Untuk memancing rasa takut muncul di kalangan pemain, seorang kreator horor bisa memanfaatkan berbagai aspek tergantung dari medium apa yang ia gunakan. Apabila wujud medianya adalah novel, jelas ia akan terbatas pada penggunaan kata-kata saja serta mungkin sejumlah kecil ilustrasi. Akan tetapi video game adalah media yang kompleks dan canggih, sehingga “lahan bermain” sang kreator pun jadi lebih luas.

Aspek pertama yang paling jelas terlihat adalah tampilan visual. Manusia diyakini punya rasa takut terhadap kegelapan sebagai bagian dari proses evolusi. Setelah sekian lama berkembang, kini kita telah menjadi makhluk yang sangat tergantung pada informasi visual, sehingga absennya informasi tersebut dapat membuat kita merasa tidak aman.

Blair Witch
Blair Witch, salah satu game horor yang rilis tahun ini | Sumber: Steam

Psikoanalis terkenal Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa rasa takut adalah reaksi terhadap persepsi akan adanya bahaya eksternal yang terprediksi, dan bisa dianggap sebagai salah satu wujud insting bertahan hidup. Ia juga berkata bahwa rasa takut adalah hal yang relatif, sangat bergantung pada pengetahuan dan penguasaan kita terhadap obyek eksternal yang dimaksud. Contoh: manusia primitif mungkin merasa takut ketika melihat gerhana matahari, sementara manusia di era sains modern tidak takut karena tahu itu adalah fenomena alam biasa.

Game horor menggunakan trik-trik visual untuk merenggut pengetahuan tersebut dari tangan pemain. Ketika dikelilingi oleh lingkungan yang gelap, pemain akan tahu bahwa ada bahaya di sekitarnya, tapi ia tidak tahu apa wujudnya, kapan dan dari mana datangnya, serta apa yang harus ia siapkan untuk mengatasinya.

Semakin sedikit informasi yang ia akses, semakin tinggi rasa gelisah yang ia rasakan. Dan ketika nantinya bahaya itu muncul—misalnya dalam wujud musuh yang melompat keluar di layar—si pemain harus berpikir cepat untuk mencari solusi atas bahaya tersebut. Hasilnya adalah ketegangan emosional tinggi yang memicu adrenaline rush.

Video game termasuk media yang sangat spesial di dunia horor, sebab video game punya satu aspek yang tidak ada di media-media lainnya: kontrol. Di media lain misalnya film, kita hanya bisa pasrah atas kejadian yang disajikan di depan mata. Tapi dalam video game, kitalah yang mengambil keputusan, dan kitalah yang menjadi pemicu akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

The Evil Within
The Evil Within | Sumber: Steam

Sesuai teori Freud, seberapa besar kontrol kita terhadap lingkungan sekitar kita akan menentukan seberapa besar pula rasa takutnya. Jadi kualitas sebuah game horor sangat bergantung pada keseimbangan ini. Beri pemain terlalu sedikit kekuasaan, maka game akan jadi stressful dan tidak menyenangkan. Tapi beri pemain terlalu banyak kekuatan (kekebalan, senjata, dsb), maka game akan kehilangan unsur seramnya. Rasa kepemilikan dan kehilangan kontrol ini membuat video game bisa memberikan sensasi horor yang lebih dinamis. Ada rasa puas tersendiri dari video game yang tidak akan kita temukan ketika mengonsumsi noninteraktif, dan hal itu terutama sangat terasa di genre horor.

Kreator asli seri Resident Evil, Shinji Mikami, pernah menjabarkan hal ini dalam sebuah wawancara. Menurut Mikami, genre survival horror seharusnya adalah game yang menakutkan, namun memberi pemain kesempatan untuk mengatasi rasa takut itu dan mendapatkan sense of achievement. Pemain tahu bahwa ada kemungkinan ia akan mati (dalam game), namun ia juga tahu bahwa ada kemungkinan dirinya akan selamat. Keberanian untuk mengambil risiko, melawan ketidakpastian, dan pada akhirnya berhasil keluar dari bahaya, adalah kunci menuju momen katarsis yang jadi candu bagi para penikmat game horor.

Lucunya, kompleksitas dan kecanggihan video game ini terkadang justru menyusahkan untuk para kreator horor. Ambil contoh saja aspek audio. Dengan desain audio yang dibuat secara teliti, developer game bisa memanfaatkan efek suara, musik, hingga ambient noise untuk memunculkan rasa gelisah atau takut di alam bawah sadar. Tapi tidak ada yang menghalangi pemain di rumah untuk mengganti lagu itu sesuka hati, membuat suasana horor di dalam game jadi berkurang bahkan hilang sama sekali.

Ini masalah yang pernah dialami oleh John Williamson, desainer game Saw II: Flesh and Blood. “Kami diwajibkan oleh Microsoft dan Sony untuk memperbolehkan pemain mematikan track musik atau menggantinya dengan lagu Backstreet Boys atau lagu lain pilihan mereka,” papar Williamson. Main game horor diiringi lantunan lagu “I Want It That Way” jelas tidak akan seram, bukan?

Shinji Mikami
Shinji Mikami, legenda hidup dunia game horor | Sumber: Gameranx

Contoh kesulitan lain adalah aspek kamera dan kontrol dalam game yang kini sudah semakin modern. Sudah jadi standar umum bahwa di luar cutscene, pemain bebas menentukan akan ke mana karakter dalam game menghadap, ke mana dia melihat, seberapa cepat dia berjalan, dan sebagainya. Jadi developer harus menyiapkan adegan horor dengan mempertimbangkan semua itu, jangan sampai ada adegan penting terjadi tapi pemain malah melewatkannya hanya karena ia sedang menghadap ke tempat lain.

Dengan kualitas visual yang semakin realistis, kini transisi antara gameplay dengan cutscene pun harus dirancang sehalus mungkin agar suasana yang dirasakan pemain tidak terputus. Shinji Mikami mengaku harus mempertimbangkan seluruh aspek di atas ketika mengembangkan The Evil Within, beda dengan game era 90an yang lebih simpel dan biasanya menggunakan sudut kamera statis.

Butuh perhatian khusus

Menciptakan sebuah game adalah pekerjaan yang sulit, tapi rasanya tidak berlebihan bila kita bilang bahwa game horor punya kesulitan khusus yang tidak dimiliki genre lain. Karena genre ini erat kaitannya dengan perasaan dan psikologi manusia, segala aspek di dalamnya harus dirancang sedemikian rupa agar selaras dan menghasilkan pengalaman yang believable. Wajar bila kemudian kreator game horor yang bagus akan dipuja-puja bahkan hingga beberapa dekade setelah game itu dirilis.

Akan tetapi sebenarnya bila kita melihat pangsa pasar keseluruhan, horor masih merupakan genre yang niche di kalangan gamer. Bahkan setelah menghabiskan banyak biaya untuk menciptakan pengalaman terbaik pun, developer belum tentu bisa untung, apalagi bila dibandingkan dengan genre mainstream seperti first person shooter. Terus mengandalkan satu formula yang sama akan berujung pada para penggemar yang bosan, tapi di sisi lain eksperimen punya risiko membuat penggemar setia menjauh. Menciptakan game horor yang bagus tidak semudah pesta jump scare.

Resident Evil 7
Resident Evil 7 | Sumber: Sony

Contoh kasus yang paling terkenal mungkin seri Resident Evil. Shinji Mikami pergi meninggalkan Capcom pada tahun 2007, setelah menyelesaikan Resident Evil 4 dan game eksperimental berjudul God Hand. Sepeninggal Mikami, seri survival horor ini berubah menjadi lebih action-oriented. Lebih banyak ledakan, lebih banyak baku tembak, dan lebih sedikit rasa seram. Penggemar horor jelas kecewa, tapi secara finansial, Resident Evil 5 dan Resident Evil 6 adalah kesuksesan luar biasa, masing-masing terjual sebanyak 7,5 juta dan 7,3 juta unit di seluruh dunia.

Sementara itu, Resident Evil 7 yang kembali ke akarnya sebagai survival horror terjual lebih sedikit, yaitu 6,6 juta unit. Resident Evil 2 remake, yang mendapat penerimaan sangat positif dan meraih nilai 93 di Metacritic, juga terjual lebih sedikit yaitu sebanyak 4,5 juta unit. The Evil Within dan The Evil Within 2, meski disokong oleh nama besar Shinji Mikami, angka penjualannya lebih sedikit lagi.

Tentu saja tidak semua game harus mencapai angka penjualan 110 juta unit seperti Grand Theft Auto V untuk disebut sukses. Capcom pun berkata bahwa meski secara angka kalah dibanding Resident Evil 6, Resident Evil 7 tetap menguntungkan karena memiliki anggaran pengembangan yang lebih kecil. Mereka juga sadar bahwa di era sekarang sebuah game bisa terus terjual untuk waktu yang lama, tidak seperti dulu di mana hari pertama atau minggu pertama sangat penting untuk penjualan game. Capcom tidak menganggap Resident Evil 7 dan Resident Evil 2 sebagai produk gagal.

Tapi itu bukan berarti mereka tidak merasa was-was ketika mengembangkan dua game tersebut. Antoine Molant, EMEA Marketing Director di Capcom, dalam sebuah wawancara bercerita bahwa Resident Evil 7 dan 2 merupakan sebuah pertaruhan besar. Meski dari segi kualitas para developernya cukup percaya diri, mereka khawatir kalau-kalau apa yang mereka buat tidak sesuai keinginan penggemar. Bagaimana bila fans tidak suka Resident Evil 7 menggunakan sudut pandang orang pertama? Bagaimana bila fans ingin Resident Evil 2 remake tetap mempertahankan sistem kontrol ala tank, seperti era PS1 dulu?

Resident Evil 5
Resident Evil 5 sukses luar biasa, tapi melenceng dari genre aslinya | Sumber: Steam

“Ketika kami mengumumkan strategi kami beberapa tahun lalu, kami berkata kami akan fokus pada pilar-pilar utama kami: Street Fighter, Resident Evil, Monster Hunter, dan sebagainya,” ujar Molant. “Sebagian orang menilainya sebagai budaya menghindari risiko, tapi sebenarnya kami mengambil risiko. RE7 bisa saja gagal total. Dan dengan Monster Hunter World, kami berpotensi meninggalkan 4 juta pasar domestik (Jepang) demi mengejar pasar Barat.”

Sebagai perusahaan, Capcom jelas juga mengejar keuntungan finansial. Mereka punya karyawan untuk diberi makan, juga pemegang saham untuk disenangkan. Tapi secara internal, Capcom memiliki cara sendiri untuk menilai apakah sebuah game itu sukses atau tidak. Alih-alih mengejar angka penjualan setinggi-tingginya, mereka punya pertimbangan lain dari segi artistik dan penerimaan penggemar. “Kami lebih menyukai game yang mendapat skor 9 dan terjual lebih sedikit, daripada game yang mendapat 6 tapi terjual lebih banyak,” kata Molant.

Molant menyebut Capcom sebagai sebuah “penerbit butik”. Artinya, Capcom dari awal memang tidak merancang game mereka sebagai game yang akan dimainkan oleh semua orang. Capcom tahu bahwa mereka menciptakan sesuatu yang niche, dan mereka berusaha sebisa mungkin untuk mengoptimalkan niche tersebut. Caranya dengan benar-benar mencari tahu apa yang diinginkan penggemar, mencari momen yang tepat untuk merilis game, hingga menciptakan game dengan skala serta risiko yang lebih kecil.

“Kami tahu judul-judul dan para penggemar kami, dan kami tahu daya tarik yang kami miliki, dan kami juga tahu apa yang dilakukan dan dicoba oleh para kompetitor kami,” ujar Molant. “Kami tidak akan bisa bersaing melawan perusahaan-perusahaan yang menghabiskan puluhan juta dolar untuk marketing. Kami, bisa dibilang, adalah sebuah penerbut butik, dan jadwal rilis di bulan Januari itu cocok dengan kami.”

Resident Evil 4
Banyak orang berpendapat Resident Evil 4 masih yang terbaik | Sumber: Steam

Kata-kata Molant mungkin terdengar agak lucu karena rasanya lebih cocok diucapkan oleh developer indie, bukan developer AAA yang bisa menjual game hingga jutaan kopi. Tapi indie maupun AAA, keduanya sama-sama sebuah bisnis dan sama-sama butuh strategi yang tepat agar bisa terus bertahan hidup.

Dengan strategi pengoptimalan niche tersebut, Capcom berhasil membangkitkan kembali genre survival horror yang beberapa tahun lalu sempat dianggap telah mati. Mereka membuktikan bahwa Resident Evil sejati—bukan action shooter seperti Resident Evil 6—masih punya tempat di pasaran, sekaligus menunjukkan ke mata dunia bahwa mereka tidak takut menciptakan inovasi radikal. Yang lebih penting, Capcom mematahkan anggapan bahwa teknologi hanya membuat game semakin “cantik” namun mengikis kreativitas.

Di era di mana semakin banyak perusahaan yang “main aman” dan menciptakan game yang mirip-mirip, visi Capcom ini merupakan sebuah angin segar, dan saya berharap idealisme tersebut bisa terus dipertahankan. Meskipun kemungkinan besar saya tetap tidak akan main Resident Evil, sih.

Resident Evil 7 Akan Hadir di Nintendo Switch, Tapi Lewat Metode Stream?

Uniknya konsep hybrid, dukungan game-game eksklusif yang menakjubkan, dan keputusan Nintendo buat merangkul developer thrid-party lebih mesra adalah alasan mengapa Switch berjaya. Tak seperti pendahulunya, pengguna Switch tidak akan terisolasi lagi. Mereka diberikan kesempatan untuk menikmati permainan blockbuster semisal Doom, Dark Souls hingga Crash Bandicoot.

Kini pengumuman kehadiran game multi-platform di Nintendo Switch tak lagi jadi hal yang aneh, namun Resident Evil 7 merupakan perkecualian. Eksistensi versi Switch permainan survival horror ini diungkap Capcom lewat trailer baru, namun sang publisher tidak menggunakan metode penyajian tradisional. Di Switch, Resident Evil 7 dihidangkan lewat metode stream, sesuai judul lengkapnya, Biohazard 7 Resident Evil Cloud Version.

Dengan begini, versi Switch Resident Evil 7 disuguhkan lewat mekanisme menyerupai layanan PlayStation Now atau GeForce Now karena permainan sepenuhnya dioperasikan di cloud dan hampir tak ada komponen yang di-install di console Anda. Tentu saja, metode ‘cloud gaming‘ punya kelebihan dan kekurangan.

Hal lain yang perlu Anda ketahui ialah, Biohazard 7 Resident Evil Cloud Version tidak dijual seperti game biasa. Capcom menawarkan ‘tiket bermain’ selama 180 hari seharga JP¥ 2.000 atau sekitar US$ 18. Lalu apakah 180 hari merupakan waktu yang cukup panjang?

Sebagai gambaran, di tengah kesibukan sehari-hari, saya bisa menyelesaikan Resident Evil 7 dalam kurang dari seminggu. Namun mungkin sebagian orang tidak menyukai gagasan ia tak memiliki game secara permanen setelah mengeluarkan uang.

Resident Evil 7 cloud juga menuntut sambungan internet yang cepat dan konsisten. Karena alasan inilah Capcom baru menyajikannya kawasan Jepang saja. Dan boleh jadi, Anda bahkan juga tidak disarankan untuk bermain di luar jangkauan Wi-Fi. Sebagai sarana mencoba sebelum membeli, Capcom menyediakan demo selama 15 menit. Tebakan saya, durasi 15 menit hanya cukup buat menyelesaikan bagian prolognya.

Di sisi positifnya, Nintendo Switch Anda sama sekali tidak perlu bekerja keras. Resident Evil 7 kemungkinan besar dijalankan dari PC berspesifikasi tinggi, sehingga visualnya tersaji lebih baik dibandingkan kapabilitas maksimal hardware Switch. Selain itu, Anda juga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan buat membeli DLC. Versi cloud ini sudah dibekali dengan seluruh add-on yang pernah dirilis.

Biohazard 7 Resident Evil Cloud Version bukan satu-satunya game yang mengusung metode cloud: Sega sempat menerapkan pendekatan serupa untuk Phantasy Star Online 2 di Switch. Capcom tampaknya belum menyediakan opsi bahasa non-Jepang, memperkuat dugaan bahwa versi cloud permainan ini cuma tersedia di sana…

Via Nintendo Everything.

[Game Playlist] Review Singkat Resident Evil 7, ‘Game Wajib’ Pecinta Horor

Dengan mengubah perspektif Resident Evil ke sudut pandang orang pertama, Capcom mengambil langkah beresiko. Ada kemungkinan pendekatan ini malah mengasingkan fans yang terlanjur akrab dengan gameplay berbasis action. Tapi sejujurnya, Resident Evil memang perlu disegarkan kembali, dan arahan baru developer di Resident Evil 7 berhasil menyelamatkan seri game horor legendaris yang kepopularitasannya mulai meredup itu.

Resident Evil 7 Review 9

Resident Evil 7 Review 4

Perombakan di Resident Evil 7: Biohazard bukan sekedar diterapkan pada perspektif. Capcom mencoba meminimalisir action, dan menuangkan elemen survival lebih banyak dalam game. Untuk memaksimalkan efeknya, developer memperkenalkan tokoh-tokoh serta tema baru. Alhasil, Resident Evil 7 benar-benar mewariskan semangat Resident Evil Pertama, dan uniknya lagi, permainan juga lebih mudah dinikmati banyak orang.

Resident Evil 7 Review 1

Resident Evil 7 Review 15

Resident Evil 7: Biohazard menyeret Anda ke dalam rumah mengerikan di daerah Louisiana. Bintangnya adalah keluarga Baker. Sebuah insiden misterius membuat mereka kehilangan kewarasan dan mulai menculik orang-orang yang tersesat. Sang tokoh utama, pria bernama Ethan Winters, terjebak di sana setelah menerima pesan dari sang istri yang menghilang selama tiga tahun.

Resident Evil 7 Review 3

Resident Evil 7 Review 8

Berbeda dari karakter pol Resident Evil populer seperti Ada Wong, Chris Redfield atau Leon S. Kennedy, Ethan adalah orang biasa tanpa latihan militer. Hal ini tentu saja memengaruhi gameplay: ia harus membidik sebelum menembak agar peluru mengenai target dengan tepat, gerakannya terasa lambat, dan beberapa kali serangan musuh bisa membuatnya tewas. Dan RE7 dihuni oleh lawan-lawan tangguh: zombie digantikan oleh Molded, makhluk ganas bertubuh seperti aspal cair, dan Anda juga harus berhadapan dengan keluarga Baker.

Resident Evil 7 Review 13

Resident Evil 7 Review 6

Perlu berkali-kali tembakan di kepala untuk menumbangkan Molded, dan setidaknya Anda akan bertemu dua varian: tipe tangguh dan tipe lincah. Anggota keluarga Baker berperan sebagai boss, dan mereka bahkan lebih mematikan serta lebih sulit ditaklukkan. Game menantang Anda untuk menggunakan amunisi serta obat-obatan secara efisien, meng-upgrade peluru jika diperlukan, serta membawa peralatan yang tepat karena muatan Anda dibatasi. Kadang Anda juga harus ‘memecah’ item dengan item lain untuk mendapatkan zat tertentu yang dibutuhkan.

Resident Evil 7 Review 17

Resident Evil 7 Review 7

Bertempur bukanlah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri. Seringkali, lari dan bersembunyi jadi jalan keluar terbaik ketika Anda terluka parah dan amunisi menipis. Saat Resident Evil 7 tidak menyodorkan monster, game akan menyajikan elemen eksplorasi dan puzzle. Tingkat kesulitan teka-tekinya tidak terlalu tinggi, namun tetap asik untuk dikerjakan. Favorit saya sendiri adalah bagian mirip film Saw, akan Anda temui sekitar enam sampai tujuh jam setelah permainan dimulai.

Resident Evil 7 Review 10

Resident Evil 7 Review 2

Ketiadaan mode virtual reality di versi PC tergantikan oleh cantiknya visual Resident Evil 7 di platform ini. Di notebook gaming MSI GT72VR 6RE Tobii, permainan berjalan begitu anggun dan atmosfer horornya betul-betul terasa. Di tengah-tengah suasana mengerikan, saya masih bisa mengagumi cantiknya seorang karakter – masing-masing tokoh di sana didesain dengan meyakinkan. Selain mampu menghidangkan ratusan frame rate per detik di setting tertinggi, layar 120Hz GT72VR 6RE Tobii juta memastikan game tersuguh mulus dan nyaman di mata.

Resident Evil 7 Review 14

Resident Evil 7 Review 5

Menakar dari segi konsep gameplay, arahan first-person survival di Resident Evil 7 tidak sepenuhnya orisinal. Beberapa game seperti PT (demo Silent Hills), Alien: Isolation dan Amnesia telah mengusungnya lebih dulu. Beberapa kekurangan yang saya rasakan terletak pada variasi gameplay. Di satu titik, Anda akhirnya bisa membaca formula permainan, dan game tak lagi jadi mengejutkan. Di sisi positifnya, faktor pacing-nya boleh dibilang sempurna sehingga permainan tak pernah terasa membosankan. Meskipun takut, rasa penasaran akan mendorong Anda untuk menyelesaikannya.

Resident Evil 7 Review 16

Resident Evil 7 Review 12

Jika Anda seorang penggemar game horor atau sekedar pecandu adrenalin, maka tidak ada alasan untuk melewatkan Resident Evil 7: Biohazard. Untuk memperkaya konten, Capcom sudah melepas DLC berjudul Banned Footage Vol. 1 serta Vol. 2, dan rencananya mereka akan kembali merilis DLC gratis lagi di bulan Maret – di mana Anda bermain sebagai Chris Redfield.

Resident Evil 7 Review 10

Resident Evil 7 Review 11

Resident Evil 7 Review 19

Resident Evil 7 Review 20

Resident Evil 7 Review 21

Game Playlist adalah artikel gaming kolaborasi MSI dengan DailySocial.

Game dimainkan dari unit notebook MSI GT72VR 6RE Dominator Tobii, ditenagai prosesor Intel Core i7-6700HQ 2,6GHz, kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1070, RAM 16GB, penyimpanan berbasis SSD 256GB dan HDD 1TB, serta dilengkapi teknologi eye-tracking Tobii Technology.

Resident Evil 7 Review on MSI GT72VR Tobii

Five Most-Awaited Games of 2017

As the year 2016 is coming to an end, DailySocial has compiled a list of upcoming games in 2017 that are worth waiting for.

Red Dead Redemption 2

Release date: Fall 2017

Consoles: Playstation 4, Xbox One

Rockstar Games are so good in what they do that they do not need to announce their product at prominent gaming events to create hype and steal gamers’ attention. Despite almost nothing can be gained from the latest trailer of this Wild West-themed open world sequel, we found ourselves enthusiastically looking forward to it anyway.

Prey

Release date: Q1/Q2 2017

Consoles: PC, Playstation 4, Xbox One

Originally created as a sequel to the 2006’s Prey by Human Head Studios, this game will finally return as a reboot. From its trailer, we can see that it resembles a combination between System Shock ans Dead Space instead of puzzle-style shooter game as in the original one.

Resident Evil 7

Release date: Jan. 24

Consoles: PC, Playstation 4, Xbox One

This eleventh game from Capcom’s horror survival series is said to be the first Resident Evil game to feature a first-person perspective. Set four years after Resident Evil 6 ended, it will still bring a battle system, but the developers reportedly have made it more thrilling and challenging.

Mass Effect: Andromeda

Release date: Q1 2017

Consoles: PC, Playstation 4, Xbox One

This game has becomes the center of attention due to its “open world” premise and BioWare’s unique character presentation. Said to be the game with the biggest ever content created by the developer, its gameplay will combine both traditional role-playing aspects and exploration.

Tom Clancy’s Ghost Recon Wildlands

Release date: March 7

Consoles: PC, Playstation 4, Xbox One

The “open world” formula seems to be trending among prominent developers. As an effort to refresh its franchise, Ubisoft has decided to leave futuristic themes behind and return to the “present” by presenting gamers with varied battle arenas like mountains, forests and savannahs. (fmn/kes)


Disclosure: The original article is in Indonesian and syndicated in English by The Jakarta Post

Game-Game yang Paling Dinanti di Tahun 2017

Kita sudah memasuki momen penutup tahun 2016. Bagi para gamer, ini bukanlah akhir, melainkan sebuah awal dari era baru. Memegang tradisi kami, DailySocial sedang menggodok daftar permainan terbaik yang dirilis selama 12 bulan ke belakang. Tapi sebelum saat itu tiba, kami sudah mulai menerawang ke masa depan buat melihat game-game potensial yang akan dirilis di 2017.

Setelah penyingkapan banyak trailer baru di The Game Awards dan PlayStation Experience, antisipasi gamer jadi kian meningkat. Namun daftar ini sendiri hanya berisi judul-judul ‘upcoming‘ yang paling berpeluang jadi game terbaik di tahun depan. Ayo disimak.

Red Dead Redemption 2

Musim gugur 2017 – PlayStation 4, Xbox One

Hal paling mengagumkan dari permainan buatan Rockstar adalah, mereka tidak perlu mengumumkannya di ajang gaming ternama demi menciptakan hype dan mencuri perhatian konsumen. Seperti sebelumnya, gamer begitu antusias ketika trailer perdana Red Dead Redemption 2 dipublikasikan, terlepas dari fakta hampir tak ada info yang kita ketahui mengenai sekuel permainan open world bertema Wild West ini.

Prey

Q1/Q2 2017 – PC, PlayStation 4, Xbox One

Kisah di balik Prey membuat game ini sangat menarik: awalnya permainan dikembangkan oleh Human Head Studios sebagai sekuel dari Prey (2006) hingga akhirnya dibatalkan oleh Bethesda di tahun 2014. Tapi keputusan itu bukanlah akhir perjalanannya. Prey bangkit kembali, kali ini digarap sebagai reboot, dikerjakan oleh tim pencipta Dishonored. Dari trailer, Prey baru tersebut lebih menyerupai campuran System Shock dan Dead Space ketimbang shooter berelemen puzzle seperti game pertamanya.

Resident Evil 7

24 Januari 2016 – PC, PlayStation 4, Xbox One

Resident Evil 7 adalah permainan kesebelas di seri survival horror milik Capcom dan merupakan game Resident Evil pertama yang menyajikan perspektif first-person. Permainan tetap mengusung sistem pertempuran, namun developer telah memangkas elemen ini agar lebih menegangkan, menantang pemain memanfaatkan amunisi dan persenjataan secara lebih efisien. Game di-setting empat tahun setelah Resident Evil 6 berakhir, memperkenalkan tokoh protagonis baru, Ethan Winters.

Mass Effect: Andromeda

Q1 2017 – PC, PlayStation 4, Xbox One

Premis open world dan penyajian karakter khas BioWare membuat Mass Effect: Andromeda jadi pusat perhatian. Beberapa gamer cukup yakin dengan kemahiran BioWare dalam menggarap RPG, namun tak sedikit fans merasa cemas sekuel Mass Effect ini tidak mampu memenuhi semua janjinya. Satu hal yang pasti: Andromeda akan jadi permainan terbesar berisi konten terbanyak ciptaan BioWare. Gameplay-nya mengombinasikan aspek role-playing tradisional dan eksplorasi.

Tom Clancy’s Ghost Recon Wildlands

7 Maret – PC, PlayStation 4, Xbox One

Formula open world tampaknya terus menjadi tren di kalangan developer ternama, dan khususnya di Wildlands, Ubisoft bermaksud menyegarkan kembali franchise mereka. Ubisoft memutuskan untuk meninggalkan tema futuristis dan kembali ke ‘masa kini’, kemudian menghidangkan gamer dengan arena tempur yang bervariasi: Anda bisa menjelajahi pegunungan, hutan, padang pasir hingga padang garam. Demi menyempurnakan pengalaman bermain, Ubisoft juga menggarap kecerdasan buatan yang pintar, masing-masing mempunyai agenda dan motivasinya sendiri.

Dan ini dia sejumlah judul menarik lain yang juga tidak boleh lepas dari perhatian Anda:

Horizon: Zero Dawn

28 Februari 2017 – PlayStation 4

Scalebound

2017 – PC, Xbox One

Divinity: Original Sin II

2017 – PC

Battletech

‘Awal’ 2017 – PC, Linux