Review Catalyst Black: Sensasi Keseruan Pertandingan 10 vs 10

Secara mengejutkan, Super Evil Megacorp meluncurkan versi “Geo-Beta Indonesia” untuk game terbaru yang berjudul Catalyst Black pada 7 November 2020 kemarin. Sang pengembang game Vainglory tersebut memang sudah terlihat mulai sibuk mempersiapkan sesuatu sejak dari 6 November 2019. Ketika itu, Super Evil Megacorp mengumumkan sesuatu bernama “Project Spellfire” yang akhirnya diungkap sebagai sebuah game bernama “Catalyst Black” pada tanggal 30 April 2020 kemarin.

Sebagai seorang penggemar Vainglory, rasa penasaran saya memuncak ketika Super Evil Megacorp mengumumkan akses terbuka terhadap Catalyst Black. Setelah meng-install dan mencobanya, ternyata Catalyst Black berhasil menyedot perhatian saya. Akhirnya sepanjang akhir pekan kemarin pun saya jadi keranjingan main Catalyst Black selama beberapa saat. Kenapa bisa begitu? Berikut ulasan saya terhadap game Catalyst Black.

 

Tiga Elemen Bersatu, MOBA + Battleground + Shooter

Menjadi inovatif sepertinya sudah ada di dalam nadi Super Evil Megacorp sebagai perusahaan pengembang game. Jika kita melihat ke belakang, Vainglory juga terbilang inovatif pada zamannya. Tahun 2014, ketika game bersifat real-time multiplayer untuk mobile masih seperti mitos, Super Evil Megacorp memutuskan mendobrak pintu tersebut dan menciptakan Vainglory.

Tak hanya itu, mereka juga menciptakan format 3 vs 3 di mobile. Dengan format tersebut Vainglory berhasil menyeimbangkan kesederhanaan game mobile dengan kompleksitas genre MOBA yang ada di PC. Walaupun begitu, Super Evil Megacorp terbilang tidak sepenuhnya mendobrak keadaan. Sebenarnya sudah ada juga beberapa MOBA untuk mobile pada zaman itu. Walau demikian, Vainglory terbilang menjadi salah satu MOBA pertama untuk mobile yang paling solid secara gameplay sebelum akhirnya Mobile Legends dan AOV rilis.

Dalam hal Catalyst Black, Super Evil Megacorp menyajikan konsep segar dalam bentuk genre yang disebut sebagai “Battleground Shooter”. Sebutan itu terbilang cukup asing karena nama genre Battleground Shooter terbilang belum pernah digunakan oleh developer game lain. Dibilang Shooter karena aksi peperangan Catalyst Black melibatkan tembak menembak antar pemain dengan menggunakan senjata api dari sudut pandang orang ketiga. Tapi apa maksudnya genre Battleground?

Dalam satu permainan, Catalyst Black bisa berisi sampai dengan 20 orang dengan format 10 pemain melawan 10 pemain. Walaupun begitu, jumlah dan ukuran medan pertempuran bisa bervariasi. Kadang Anda bisa bermain 5 vs 5 dengan map yang kecil atau bisa bermain di map yang besar dengan jumlah yang saya sebut di atas. Mungkin hal tersebut adalah alasan kenapa Catalyst Black dikelompokkan dalam genre “Battleground”.

Tapi jangan sampai salah kaprah antara Battleground dengan Battle Royale. Ciri khas genre Battle Royale adalah menjadi last-man standing. Sementara pada sisi lain, gameplay Catalyst Black bukan untuk menjadi last-man standing, melainkan bertarung dalam format tim vs tim dengan beberapa objektif. Jadi kalau harus dideskripsikan lebih sederhana lagi, Catalyst Black bisa dibilang punya gameplay mirip dengan Brawl Stars besutan Supercell tapi dengan tempo yang lebih cepat dan jumlah pemain yang lebih banyak di dalam satu pertandingan.

Bicara soal objektif permainan, Catalyst Black menyajikan tiga mode permainan pada fase geo-beta ini. Tiga mode tersebut adalah Capture The Flag, Flag Hunter, dan Core Rush.

Dalam mode Capture the Flag tugas Anda adalah untuk menyerang markas musuh, mencuri bendera, lalu membawanya ke markas Anda sendiri. Mode Flag Hunter agak mirip dengan mode Gem Grab di dalam game Brawl Stars. Tugas Anda sebagai pemain adalah mengalahkan monster besar yang memegang bendera. Setelah berhasil dikalahkan, ambil dan pertahankan bendera sebanyak mungkin sampai durasi permainan habis. Terakhir ada mode Core Rush. Dalam mode tersebut pemain memiliki tugas untuk mengalahkan monster besar bernama Keepers dan Alpha Keepers. Setelah sang monster dikalahkan, pertahankan area di sekitar tempat Anda mengalahkan monster selama beberapa saat. Mengalahkan Keepers memberikan 1 poin, mengalahkan Alpha Keepers memberikan 3 poin.

Sumber: Official SEMC
Sumber: Official SEMC

Menurut saya, Core Rush adalah mode yang membuat Catalyst Black unik. Mode tersebut juga menjadi salah satu mode Super Evil Megacorp menyelipkan sedikit elemen MOBA ke dalam Catalyst Black. Biasanya ada waktu tertentu Anda berebut monster besar demi mendapatkan Monster Buff di MOBA.

MLBB punya Lord, AOV punya Dark Slayer (DS), dan Wild Rift punya Baron untuk diperebutkan. Bertarung 5 vs 5 memperebutkan satu buah Lord/DS/Baron saja serunya sudah minta ampun. Sekarang coba bayangkan berebut 3 buah Lord/DS/Baron dalam format pertarungan 10 vs 10? Seperti itulah cerita saya kalau ada orang menanyakan “Catalyst Black seru atau enggak sih?” atau “seseru apa sih Catalyst Black?”.

 

Gameplay Kompetitif namun Terasa Casual Berkat Sistem Drop-In Drop-Out

Inti permainan Catalyst Black terbilang sangat kompetitif. Mode Core Rush mungkin bisa jadi contoh mode permainan yang paling kompetitif dari Catalyst Black. Dalam mode tersebut kita harus mengalahkan Keepers (Semacam Lord versi Catalyst Black) lalu mengambil Keepers Core untuk mendapat poin. Tim yang lebih dulu mencapai 15 poin (map besar) atau 10 poin (map kecil) akan menjadi pemenang.

Bayangkan apabila perolehan poin sedang sengit, 9-10 misalnya. Dalam keadaan tersebut pertarungan bisa menjadi begitu intens dan kompetitif karena ada 10 orang dari masing-masing tim saling memperebutkan satu area yang ditunjuk.

Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Serunya sensasi perang secara online lewat Catalyst Black. Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Menembak musuh adalah perkara mudah di Catalyst Black karena ada fitur auto-aim. Walau begitu Anda tetap butuh strategi yang tepat dalam memainkan Loadout yang Anda gunakan (lebih lanjut soal sistem Loadout akan kita bahas nanti). Salah langkah sedikit, Anda akan mati dan tim Anda akan kekurangan pasukan. Apabila kekurangan pasukan, maka usaha untuk memperebutkan area pun jadi jauh lebih sulit.

Meski saya menikmati Catalyst Black sebagai pemain kompetitif, saya merasa game ini membuka ruang yang cukup besar untuk para pemain casual. Mungkin ini juga terbilang sebagai pelajaran lain yang SEMC pelajari dari proses mereka mengembangkan Vainglory.

Dalam satu sesi Hybrid Talk saya sempat berbincang dengan Kevin Michael Johnson atau “Cloaken” selaku Live Design Director dari Super Evil Megacorp. Ketika itu Cloaken sempat menjelaskan bahwa salah satu yang mereka pelajari dari Vainglory adalah waktu matchmaking yang lama. Karena hal tersebut, beberapa pemain jadi merasa tidak nyaman.

Apalagi juga mengingat pola konsumsi game mobile yang cenderung ingin serba cepat. Menanggapi hal tersebut, maka Super Evil Megacorp menerapkan sistem Drop-In Drop-Out atau disingkat DIDO di dalam Catalyst Black.

Sebenarnya dalam perbincangan tersebut, Cloaken menjelaskan lebih lanjut cara sistem DIDO bekerja. Tetapi pada intinya, di dalam Catalyst Black Anda bisa keluar-masuk suatu pertandingan kapanpun Anda mau.

Saya tidak merasa terlalu takjub ketika awal mencobanya. Karena saya merasa bisa keluar pertandingan kapan saja bukan sesuatu yang spesial. Walau begitu, fitur tersebut tetap berguna terutama untuk menghindari hukuman AFK. Jadi Anda tidak perlu khawatir lagi kalau tiba-tiba disuruh mak membeli beras di warung ketika sedang main. Anda bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau dan tidak mendapat hukuman.

Tapi untuk saya yang bermental kompetitif sih, bisa keluar pertandingan kapanpun terbilang kurang terasa bermanfaat. Karena biasanya saya sudah meluangkan satu waktu untuk fokus sepenuhnya bermain game dan menyelesaikan pertandingan. Paling-paling, fitur tersebut baru berguna bagi saya apabila lagi asyik main lalu tiba-tiba ditelpon pacar… Hehe.

Istimewanya dari penerapan fitur tadi adalah kemungkinan untuk gabung pertandingan kawan kapanpun Anda mau. Ketika baru rilis, beberapa pemain sempat kelabakan karena bingung tidak ada fitur Party. Melihat keadaan tersebut, saya lalu mencoba Add Friend secara acak dari kawan-lawan yang saya temui di dalam pertandingan. Ternyata benar, fitur Party memang tidak ada. Tapi sebagai gantinya, kita bisa tahu apabila kawan sedang bermain dan mode permainan apa yang sedang ia mainkan. Apabila Anda ingin mabar, ada tombol Join di sebelah nickname yang langsung membawa Anda ke dalam pertandingan yang sedang dijalani sang teman.

Walau bisa Join kapapnpun yang kita mau, sistem DIDO tidak bisa memastikan apakah kita akan menjadi kawan atau lawan dari teman yang sedang bertanding. Fokus sistem DIDO adalah untuk terus menyeimbangkan pertandingan. Apabila ada satu orang dari fraksi biru keluar dari pertandingan, maka pemain baru yang join akan dimasukkan ke dalam fraksi tersebut demi menyeimbangkan jumlah pemain antar tim di dalam pertandingan.

Hal tersebut mungkin juga jadi alasan kenapa fitur Party jadi tidak ada. Mengapa begitu? Karena fitur Party bisa jadi membuat pertandingan tidak adil. Pemain dalam Party tentu berharap bisa disatukan di dalam satu tim tim.

Jika skenario yang saya sebut di atas terjadi, kehadiran fitur Party bisa saja membuat satu fraksi punya jumlah pemain yang lebih banyak dibanding fraksi lainnya. Kenapa begitu? Karena satu orang yang keluar jadi bisa digantikan dengan beberapa orang sekaligus dari Party. Dampak dari hal tersebut adalah jumlah anggota tim yang bertanding jadi tidak seimbang.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Game akan memberi tahu apabila teman dari Friend List bergabung ke dalam pertandingan Anda. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Selain itu, sistem Catalyst Black juga sangat informatif terhadap teman dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan. Selain diberi tahu dalam bentuk announcer, sistem juga akan membedakan warna Heatlh Bar teman di dalam Friend List yang bergabung ke dalam pertandingan kita. Berkat sistem ini, pemain jadi punya pilihan “mabar” yang menarik.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai lawan, Anda mungkin bisa cegat pergerakannya dan ajak duel adu tembak teman Anda terlepas dari kondisi yang sedang terjadi di dalam pertandingan.

Misalkan teman tergabung ke dalam pertandingan sebagai kawan, maka Anda jadi bisa koordinasi lebih mudah untuk memenangkan pertandingan. Jadi, bermain bersama kawan di Catalyst Black sebenarnya terbilang cukup mudah. Selain langsung Join dari pertandingan yang sudah berjalan, Anda mungkin juga bisa menyiasatinya dengan cara Find Match secara bersamaan agar tergabung di dalam satu pertandingan yang sama.

Selain bisa keluar dari pertandingan kapanpun Anda mau, saya juga merasa permainan Catalyst Black cenderung mudah dan sangat casual-friendly walaupun memiliki kedalaman mekanik yang bersifat kompetitif.

Berhubung format pertandingan bisa mencapai 10 vs 10, sekadar asal tembak dan membunuh lawan yang ada di hadapan juga sudah tergolong membantu memenangkan permainan. Tidak perlu repot memikirkan objektif apa yang harus direbut ataupun strategi tertentu untuk bisa memenangkan permainan.

Tapi Anda juga bisa main “mikir” dan kompetitif di dalam Catalyst Black. Penyebabnya adalah karena game ini memiliki beberapa objektif yang jelas, sistem Loadout beragam dengan gaya main yang berbeda-beda, dan mekanik permainan yang beragam layaknya sebuah game MOBA.

 

Grafis Ciamik yang Teroptimasi Berkat EVIL Engine

Catalyst Black masih mewarisi peninggalan Vainglory. Catalyst Black menggunakan EVIL Engine yang terkenal bisa memproduksi grafis ciamik serta frame mulus tanpa harus memberi beban yang terlalu berat kepada komponen hardware di dalam smartphone.

Walaupun SEMC tidak merilis kebutuhan minimum hardware smartphone untuk memainkan Catalyst Black, tetapi saya merasa bahwa game ini sangat ringan. Saya sangat jarang merasakan lagframe-drop, ataupun stutter sepanjang saya memainkan Catalyst Black. Padahal, Anda bisa bayangkan sendiri betapa hebohnya efek tembakan, ledakan, dan cabikan dari monster apabila pertarungan 10 vs 10 + monster Alpha Keepers sedang berjalan begitu intens.

Device yang saya gunakan memang tergolong kelas menengah menuju atas yaitu Pocopohone F1 dan Samsung Galaxy A31. Pengaturan grafis default pada Pocophone F1 adalah Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 70 poin. Sementara pada Samsung Galaxy 31 saya mendapat pengaturan grafis default berupa Medium Detail dan Graphic Scale sebesar 50 poin.

Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Hadir dengan gaya visual baru, Catalyst Black tetap menyajikan grafis ciamik khas dari game besutan SEMC. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Contoh lain keindahan visual yang ditampilkan oleh Catalyst Black. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Dengan pengaturan default, saya dapat menikmati Catalyst Black dengan animasi 60 fps yang mulus pada dua smartphone tersebut. Frame Rate game tetap bertahan pada kisaran 60an walaupun pertarungan sedang berjalan dengan intens.

Tapi memang, pengaturan default pada Samsung Galaxy A31 membuat game jadi terlihat “burik”. Model karakter jadi bergerigi dan terlihat “8-bit” walaupun lingkungan game secara keseluruhan masih sedap dipandang. Sementara pengaturan defaut pada Pocophone F1 terbilang tidak banyak memberi masalah. Animasinya mulus dan grafis juga lebih tajam karena tingkat Graphic Scale yang lebih tinggi.

Saya lalu mencoba mengotak-atik grafis sambil mencari pengaturan paling optimal. Saya menggunakan Samsung Galaxy A31 supaya hasil percobaan saya bisa lebih mewakili para pengguna device “kentang”.

Pertama-tama saya mencoba dengan pengaturan grafis rata kanan, High Detail, Graphic Scale sebesar 100 %, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya game jadi kurang playable walaupun grafis jadi sangat memikat. Game jadi kurang playable karena animasi menjadi sangat kasar, mungkin sekitar 10-15 fps. Karena animasinya tidak mulus, memperkirakan gerakan musuh jadi terasa sangat sulit.

Setelah itu saya lalu mencoba menjalankan game dengan Low Detail, Graphic Scale sebesar 100 poin, dengan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures menyala. Hasilnya adalah animasi game berjalan mulus 60 fps dengan mempertahankan kualitas grafis.

High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
High Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 0. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi - Akbar Priono
Low Detail, Graphics Scale 100. Tangkapan Gambar Pribadi – Akbar Priono

Selain itu, saya juga merasa perbandingan kualitas grafis antara pengaturan Low Detail dengan High Quality Detail tidak berbeda jauh. Jadi sepertinya Low Detail dengan Graphic Scale 100 poin adalah pengaturan paling optimal untuk mendapatkan grafis paling ciamik dengan animasi paling mulus. Perbandingannya bisa Anda lihat sendiri pada kumpulan tangkapan gambar saya di atas paragraf ini.

Selain opsi tersebut, pengaturan Fog of War Smoothing dan High Quality Textures sepertinya tidak terlalu mempengaruhi performa game. Saya jadi berpendapat demikian karena animasi game tetap kasar walaupun dua opsi tersebut dimatikan saat saya menggunakan pengaturan rata kanan. Pada sisi lain, animasi game tetap halus ketika saya menyalakan dua opsi tersebut pada pengaturan Low Detail.

 

Sistem Loadout Dengan Potensi Menjadi Game Pay to Win?

Catalyst Black menggunakan sistem Loadout yang bisa diganti-ganti sebelum Anda terjun ke dalam pertempuran. Selain jenis senjata, ada banyak komponen lain pada karakter Anda yang bisa diganti. Cloaken menjelaskan sistem Loadout dengan tingkat kustomisasi yang beragam tersebut dibuat dengan maksud agar pemain jadi bisa merasakan pengalaman membuat “Hero MOBA mereka sendiri”.

Anda mau main layaknya Assassin? Main layaknya Marksmen? Atau main seperti Tanker? Tinggal pilih saja Loadout untuk menyesuaikan gaya main Anda. Loadout memiliki 7 komponen yang dapat diganti. Ada Masks, Power, Relic, Abilty, Trinket, Primary, dan Heavy.

Primary dan Heavy adalah senapan utama dan sekunder. Senjata utama bisa berupa senapan Rifle, Sniper, Shotgun, Rocket Launcher, Flak, atau Mortar. Mirip seperti game Shooter lain, senjata Primary akan habis pelurunya setelah digunakan untuk beberapa saat. Pemain harus reload untuk mengisi ulang senjata dan bisa melanjutkan tembakkan. Heavy adalah senjata sekunder. Tipe senjatanya masih mirip dengan Primary, hanya saja punya damage yang lebih besar. Senjata Heavy baru bisa digunakan setelah Anda mengumpulkan “loot” peluru di dalam peperangan.

Tangkapan Pribadi Akbar Priono
Tangkapan Pribadi Akbar Priono

Masks ibarat seperti skill ulti di dalam game MOBA. Masks memungkinkan pemain berubah menjadi Ancient Primal, monster besar dengan kemampuan perusak yang kuat. Ketika memulai permainan, Masks akan cooldown selama beberapa ratus detik. Cooldown tersebut dapat berkurang apabila Anda mengumpulkan semacam loot energi di dalam peperangan. Hanya ada 5 jenis Masks di Catalyst Black. Masing-masing Ancient Primal punya karakteristik yang berbeda-beda. Sebagai awalan Anda menggunakan Sunder, Ancient Primal dengan serangan melee berupa cakaran yang kuat.

Selanjutnya, Power, Relic, Ability, dan Trinket sebagai pelengkap pertarungan Anda. Ability dan Trinket adalah pelengkap untuk bertarung dalam wujud manusia. Ability memberikan kemampuan tambahan kepada pemain. Ability yang diberikan di awal permainan adalah Catalytic Heal yang bisa menyembuhkan kawan di dekat Anda. Trinket ibarat seperti skill pasif di dalam game MOBA. Secara default Anda akan diberikan Belt of Phasing yang akan memberi Anda Shield setelah melakukan dodge.

Pada sisi lain, Power dan Relic adalah pelengkap pertarungan dalam wujud Ancient Primal. Power adalah pilihan skill yang bisa Anda gunakan ketika dalam wujud Ancient Primal. Secara default, Power Anda adalah Leap Slam yang memungkinkan Sunder melompat dan memberi damage mematikan ke arah lawan. Terakhir ada Relic yang mirip seperti skill pasif MOBA. Namun bedanya Relic hanya aktif ketika Anda dalam wujud Ancient Primal. Secara default Anda memiliki Relic bernama Feral Inspiration yang membuat kawan di sekitarnya memberikan damage lebih besar saat Anda dalam wujud Sunder.

Masing-masing Loadout bisa di-upgrade untuk menambah damage dan bonus stats yang diberikan. Masing-masing Loadout juga bisa ditempeli Mod untuk memberi tambahan kekuatan pasif.

Selain itu, masing-masing Loadout juga memiliki beberapa variasi. Namun variasi tersebut hanya bisa dibuka melalui progress permainan atau membeli. Karena Anda bisa membeli untuk membuka variasi kemampuan tambahan, banyak yang merasa kalau Catalyst Black punya kecenderungan pay-to-win.

Walau begitu saya merasa ungkapan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mungkin akan lebih tepat kalau dikatakan sebagai pay-to-progress. Mengapa demikian? Karena kemenangan Anda tidak terjamin 100% walaupun Anda membeli bundel Luma Issia Set yang harganya hampir mencapai Rp1,5 juta di dalam game.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Tapi, kesempatan menang Anda mungkin jadi lebih besar. Penyebabnya adalah karena dalam paket tersebut Anda mendapat variasi Masks, Power, Relic, Primary dan Heavy Weapon, serta Mod yang cenderung lebih kuat dibanding persenjataan Default. Walaupun begitu, pertarungan di dalam Catalyst Black tetaplah tim melawan tim, 10 vs 10. Satu orang dengan persenjataan yang sangat kuat belum tentu bisa mengalahkan semua pemain di dalam peperangan secara sekaligus.

Mungkin bisa dibilang monetisasi yang dilakukan SEMC dalam Catalyst Black mirip seperti Supercell dalam Brawl Stars. Tanpa membeli sekalipun, kekuatan karakter Anda masih bisa meningkat. Tapi jika Anda membeli, maka kekuatan karakter Anda akan meningkat lebih cepat. Mungkin satu-satunya yang kurang menyenangkan dari sistem monetisasi ini adalah pembatasan progress yang bisa didapatkan pemain dalam satu hari.

SEMC menerapkan semacam sistem “energi” di dalam Catalyst Black. Dalam keadaan energi penuh, Anda akan mendapatkan XP perlengkapan yang lebih banyak apabila menang pertandingan.

Tapi kalau energi sudah habis, XP yang Anda dapat akan menjadi sangat dikit sekali. Selain itu SEMC juga menerapkan sistem Quest harian yang terbilang terlalu sedikit. Hanya ada dua Quest yaitu First Win of the Day dan dapatkan 3 Win dalam satu hari. Selain itu ada Quest Mingguan yang cuma satu buah dan bahkan bisa diselesaikan dalam satu hari jika Anda niat. Quest berhadiah Dust dan Quint. Dust bisa digunakan untuk menaikkan level senjata sementara Quint bisa digunakan untuk membeli variasi Loadout.

Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Daftar Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Hadiah yang didapat dari Quest harian. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono
Bundle perkenalan seharga Rp15.000 yang isinya kurang memuaskan. Foto Hybrid.co.id oleh Akbar Priono

Berhubung semua kemungkinan progress sangat dibatasi, maka ada kemungkinan pemain yang bersifat kompetitif jadi terpancing untuk membeli demi bisa membuat karakter jadi lebih kuat. Saya sempat mencoba membeli Bundle “perkenalan” seharga Rp15.000.

Hasilnya saya sangat tidak puas karena bundle tersebut hanya membuka sedikit variasi Loadout yang ada di dalam permainan. Jadi… Mungkin Anda benar-benar harus membeli bundle seharga Rp1,5 juta apabila ingin punya banyak variasi Loadout di dalam peperangan.

Apakah sistem tersebut membuat Catalyst Black menjadi pay-to-win? Saya sih masih kurang setuju karena sejauh ini pertandingan masih berjalan dengan seimbang walau mungkin ada beberapa pemain punya Loadout lebih bervariasi karena uang.

Selain itu, Loadout yang lebih kuat dan bervariasi juga tidak menjamin kemenangan. Karena pada kenyataanya Anda masih tetap butuh skill, strategi, dan pemahaman terhadap permainan untuk bisa memenangkan pertandingan. Mungkin nanti pendapat saya akan berubah kalau ternyata saya terus-terusan kalah dengan pemain yang top-up Rp1,5 juta… Hehe.

 

Melihat Kemungkinan Catalyst Black Sebagai Esports

Di zaman serba esports seperti sekarang, sepertinya tidak salah untuk mempertanyakan kemungkinan dari Catalyst Black sebagai esports. Jika melihat dari sudut pandang gameplay, menurut saya jawabannya adalah sangat mungkin. Malah, Catalyst Black bisa menawarkan konsep esports yang unik karena mode pertandingannya bisa mencapai 10 vs 10. Selain itu, penyebab lainnya adalah karena bermain Catalyst Black mengharuskan para pemainnya memiliki kemampuan makro seperti taktik dan strategi, serta kemampuan mikro seperti kemampuan kalkulasi dan pemahaman mekanik menggunakan skill.

Tetap jika kita melihat dari sisi kesiapan game-nya itu sendiri, saya bisa bilang bahwa esports Catalyst Black sepertinya masih jauh dari pandangan SEMC. Bukti pernyataan saya tersebut bisa terlihat salah satunya dari mode Custom Game yang masih belum tersedia pada fase Geo-Beta Indonesia saat ini. Selain itu Cloaken juga sempat menjelaskan kepada saya bahwa fokus pihak SEMC untuk saat ini adalah menciptakan sebuah game yang solid terlebih dahulu.

Tidak heran juga apabila SEMC memilih untuk tidak terburu-buru menuju ke esports dalam prosesnya mengembangkan Catalyst Black. Hal tersebut mengingat pengalaman mereka bersama Vainglory yang justru malah jadi gagal berantakan ketika SEMC terlalu banyak berinvestasi untuk esports. Terlepas dari semua itu, saya sendiri sangat berharap suatu hari nanti bisa ada esports Catalyst Black. Gameplay-nya yang unik dan format pertandingannya yang beda, menurut saya, membuat Catalyst Black akan memiliki daya tarik baru di dalam ekosistem esports nantinya.

Review Command & Conquer Remastered Collection: Yang Menonjol Berkat Remaster Audio Visual Ciamik

Setelah cukup diantisipasi oleh para penggemar game RTS, Command & Conquer Remastered Collection resmi rilis pada 5 Juni 2020 kemarin. Anda pemain game yang datang dari generasi Z mungkin akan kebingungan mendengar nama yang satu ini. Namun, Command & Conquer sebenarnya bisa dibilang sebagai salah satu game klasik paling populer pada masanya.

Sebelum kita mengulas sajian remaster hasil buah tangan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mari kita bahas singkat terlebih dahulu apa itu Command & Conquer, dan bagaimana game ini berperan membentuk tren genre Real Time Strategy.

Rilis tahun 1995, Command & Conquer: Tiberian Dawn serta Command & Conquer: Red Alert adalah penantang keras dari game RTS besutan Blizzard Studios, Warcraft: Orcs & Humans. Namun alih-alih mengambil latar dunia fantasi, game besutan Westwood Studios ini mengambil tema militer yang realistis.

Tiberian Dawn menceritakan konflik antara dua fraksi yaitu sekte Brotherhood of Nod (NOD) dan pasukan militer buatan Persatuan Bangsa Bangsa yang diberi nama Global Defense Initiative (GDI). Konflik dua fraksi tersebut terjadi karena perebutan sumber daya dari planet asing bernama Tiberium, yang tercipta karena meteorit menghantam daerah sekitar sungai Tiber di tahun 1990.

Red Alert bercerita tentang dunia alternatif yang tercipta karena perjalanan waktu yang dilakukan Albert Einstein pada tahun 1946 menyebabkan Adolf Hitler muda hilang dari peradaban. Dampak dari hal tersebut adalah Uni Soviet (Soviet) berkembang menjadi negara adidaya, lalu berperang melawan pasukan sekutu (Allied Nations) yang dibentuk oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dua game ini berhasil memberikan pengalaman dan kenangan kepada para gamers di tahun 90an. Lewat remaster yang dikerjakan Petroglyph dan Lemon Sky Studios, mampukah dua seri Command & Conquer mengulang kenangan manis yang dirasakan pemain game ini di tahun 90an? Mari simak review Command & Conquer Remastered Collection dari saya.

Remaster Audio Visual yang Ciamik

Mengingat game ini remaster dari sebuah game yang terbit di awal tahun 90an, jadi Anda jangan berharap terlalu muluk-muluk terhadap kualitas grafis atas game ini. Saya tidak bilang bahwa grafis Command & Conquer Remastered Collection jelek. Hanya saja, jika Anda berharap grafis yang realistis dengan sajian dunia imersif layaknya The Outer World, mungkin Anda salah pilih game.

Salah satu alasannya adalah karena Command & Conquer Remastered Collection memiliki genre Real Time Strategy. Seperti genre XCOM: Chimera Squad, genre RTS memang tidak menjual kecantikan grafis untuk menarik konsumen. Namun, jika kita menilai seberapa bagus grafis Command & Conquer Remastered Collection hanya dengan membandingkan versi klasik dengan versi remaster, saya mungkin bisa berikan skor 80/100 untuk game ini.

Lemon Sky Studios yang mengerjakan proses remaster ini sungguh telah mencurahkan daya upaya terbaiknya. Studio CGI asal Malaysia ini berhasil membuat sebuah game yang dulu memiliki grafis pixelated, menjadi jauh lebih jelas, dan bahkan memiliki detail yang patut diacungi jempol.

Memang Lemon Sky Studios mungkin bisa dibilang sebagai salah satu studio CGI terbaik di Asia Tenggara ini. Mereka banyak terlibat dalam pengerjaan proyek remaster/remake bersama dengan pengembang game internasional. termasuk Warcraft III Reforged dan Final Fantasy VII Remake.

Lebih lanjut membahas grafis Command & Conquer Remastered Collection Ken Foong, Chief Creative Production dari Lemon Sky Studios sempat bercerita kepada saya dalam sesi wawancara Hybrid Talk. Ia mengatakan, bahwa dalam proses melakukan remaster, mereka menggambar ulang seluruh aset yang ada di dalam game Command & Conquer.

Hasilnya? Unit Rifleman Squad yang dulu hanya kotak-kotak saja, kini tergambar dengan detail, sehingga kita bisa melihat bagaimana pakaiannya, dan bagaimana animasi gerakan unit tersebut. Bahkan kita juga bisa melihat wajah unit tersebut, walau tak sepenuhnya jelas. Unit bangunan juga tergambar dengan jelas, termasuk untuk unit building sesederhana Barracks.

Ditambah lagi Petroglyph juga menyajikan fitur tambahan berupa Camera Zoom dan Graphics Switching, yang memungkinkan Anda untuk lebih menikmati lagi hasil remaster kawan-kawan dari Lemon Sky Studios.

Jadi untuk grafis in-game, tingkat detail yang disajikan Command & Conquer Remastered Collection menurut saya sangat ciamik. Kalau harus dibandingkan dengan remaster RTS klasik besutan Blizzard, StarCraft: Remastered Collection, saya bisa bilang Command & Conquer Remastered Collection ini menang telak.

Command & Conquer Remastered Collection juga melakukan remaster terhadap elemen audio visual lainnya, termasuk Cinematic Footage yang mengantarkan Anda ke dalam misi, dan musik in-game yang direkam ulang oleh sang komposer orisinil yaitu Frank Klepacki & The Tiberian Sons.

Jujur, saya tertawa sendiri ketika melihat Cinematic Footage yang disajikan, karena membayangkan bagaimana lucunya kreativitas pengembang game zaman dulu saat disajikan ulang di zaman sekarang. Gamers zaman sekarang mungkin sudah terbiasa dengan sajian cut-scene berupa pre-rendered graphics yang membawa pemain tenggelam ke dalam latar dunia sebuah game. Pada zamannya, Command & Conquer bisa dibilang kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pengembang original game ini, Westwood Studios mencoba sedikit kreatif dengan menampilkan cut-scene berupa aktor asli, berperan sebagai karakter dari dunia Command & Conquer.

Dalam versi remaster ini, cut-scene yang disajikan tetap berasal dari footage asli dari Command & Conquer yang rilis tahun 90, namun dengan grafis yang lebih baik dan bisa dinikmati dalam resolusi HD. Jadi ketika akan menjalankan misi, Anda akan disambut kembali oleh sosok General Sheppard yang merupakan pemandu utama dalam melakukan misi pasukan GDI dan sosok Kane sang antagonis dari fraksi NOD.

Musik in-game yang direkam kembali juga menjadi salah satu alasan Command & Conquer Remastered Collection menjadi sangat bisa untuk dinikmati di zaman ini. Ketika mendengarnya, saya merasakan sedikit perasaan campur aduk, karena perasaan nostalgia yang muncul namun sekilas membuat saya lupa kalau ini adalah game zaman dulu yang di-remaster karena kualitasnya.

Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa audio visual Command & Conquer Remastered Collection adalah elemen terbaik dari sajian remaster ini.

Gameplay Klasik Minim Perbaikan

Setelah banyak pujian terlontar dari sisi audio visual, sayangnya Command & Conquer Remastered Collection dari sisi gameplay malah terbilang keteteran. Ini mungkin karena memang remaster audio visual adalah nilai jual utama Command & Conquer Remastered Collection. Gameplay Command & Conquer Remastered Collection tidak bisa dibilang jelek, namun hanya begitu-begitu saja, tidak beda jauh dengan versi orisinil.

Memainkan Single-Player Campaign tetap terasa menyenangkan, walau misi di awal-awal permainan cenderung terasa monoton. Kebanyakan misi di awal permainan hanyalah bangun markas dan hancurkan markas musuh. Namun karena mekanisme permainan di dalam Tiberian Dawn serta Red Alert yang cenderung cepat, kebanyakan misi ini bisa selesai dalam waktu mungkin hanya 5 sampai 15 menit saja.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Efeknya adalah, saya jadi ketagihan untuk melanjutkan misi-misi berikutnya, sambil keasyikan menonton sajian Cinematic Footage yang dihadirkan. Memainkan misi Command & Conquer ini ibarat seperti keasyikan menonton series Netflix yang sebenarnya tidak terlalu Anda suka, tetapi lama kelamaan jadi keasyikan karena pada akhirnya memiliki keseruannya tersendiri.

Walau awalnya cukup monoton, namun seiring waktu misi akan menjadi semakin rumit. Pada satu misi dari fraksi GDI contohnya. Dalam misi tersebut, Anda hanya mengendalikan satu unit saja, namun diberi tugas untuk menghancurkan seluruh markas musuh. Unit tersebut adalah unit khusus, yang bisa kalahkan Infantry dan bangunan dengan satu kali klik saja, walau akan keok jika berhadapan dengan kendaraan perang.

Maka dari itu, Anda harus cerdik menghindari kendaraan yang sedang melakukan patroli, sambil menyusup ke markas musuh sembaru menghabisi pasukan musuh satu per satu. Entah kemampuan saya melakukan misi stealth yang memang buruk atau misi ini yang memang susah. Dengan difficulty Casual, saya sampai harus mengulang misi ini lebih dari 5 kali, baru akhirnya bisa terselesaikan… Haha.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Command & Conquer Remastered Collection masih mempertahankan mekanisme gameplay klasik. Sayangnya, mempertahankan mekanisme versi klasik tidak hanya sekadar mempertahankan cara menggerakan unit yang menggunakan klik kiri, tetapi juga termasuk sistem AI serta pathfinding dari masa lalu yang masih bertahan walau sebenarnya kurang praktis di masa kini.

Anda tidak perlu terlalu mengkhawatirkan mekanisme kontrol klasik, karena Petroglyph dan Lemon Sky Studios juga menyediakan skema kontrol modern yang menggunakan klik kanan sebagai tombol utama untuk memberi komando terhadap unit. Namun sistem AI dan pathfinding jadi hal yang cukup mengganggu pengalaman bermain. Ini terjadi mungkin karena ingatan terakhir saya terhadap sistem AI dan pathfinding dari game RTS datang dari Warcraft III.

Salah satu contoh yang menurut saya paling terasa adalah behavior atau pola tingkah laku unit ketika mereka melihat musuh. Pada Warcraft III, Anda tak perlu repot memberi command kepada unit untuk melawan musuh yang menyerang mereka. Semua unit akan secara otomatis melawan unit musuh, jika mereka berada di dalam jarak serang sang unit. Tapi, jangan harapkan hal itu di Command & Conquer Remastered Collection. Jika Anda tidak menggerakan sang unit untuk menyerang, maka ia hanya akan diam tak bergeming walaupun sedang ditembaki hingga sekarat sampai akhirnya mati.

Sumber: Screenshot Pribadi
Sumber: Screenshot Pribadi

Juga jangan tanya lagi jika bicara soal pathfinding. Mungkin Command & Conquer Remastered Collection memang tidak ada pembaruan apapun dari sisi kemampuan unit mencari jalan menuju suatu titik yang diperintahkan, sehingga ini sedikit banyak akan menyulitkan pemain ketika memerintahkan unit. Satu contoh yang menggambarkan betapa kakunya sistem pathfinding Command & Conquer Remastered Collection adalah ketika unit diperintahkan untuk berjalan dengan jarak yang cukup jauh dan mengarungi medan yang rumit.

Terkadang, unit jadi terdiam di tengah jalan karena kebingungan harus lewat mana. Jadinya Anda harus menggerakan unit secara lebih rinci dengan jarak yang lebih dekat-dekat. Untungnya, Petroglyph menambahkan sistem “Shift-Queue”, yang memungkinkan pemain memasukkan antrian perintah yang akan dilakukan satu per satu setelah perintah yang lain selesai.

Skor Command & Conquer Remastered Collection dari segi gameplay mungkin bisa lebih baik lagi, jika saja remaster ini juga menyertakan perbaikan terhadap sistem AI serta pathfinding dalam permainan.

Meski begitu, sistem AI dan pathfinding tadi mungkin lebih digemari oleh Anda yang sudah jauh lebih terbiasa bermain game RTS karena memberikan tantangan lebih dan kontrol yang lebih spesifik. Sedangkan untuk mereka-mereka yang belum terlalu lama bermain RTS, Anda mungkin memang jadi merasakan kerepotan tadi karena micro-management yang terlalu kompleks.

Sajian Story Rasa Serial Televisi

Genre RTS memang cenderung punya cerita yang cenderung dangkal jika dibandingkan dengan game RPG. Walau demikian, para pengembang tetap melakukan usaha terbaiknya untuk dapat memberikan konteks cerita kepada para pemain lewat cara-cara lain. StarCraft dan Warcraft contohnya yang menyajikan cerita lewat potongan cut-scene yang pada beberapa aspek membuat game ini jadi terasa seperti RPG.

Seri Command & Conquer Remastered punya caranya tersendiri untuk menyajikan cerita tersebut. Cinematic Footage yang tampil di awal dan akhir misi, dengan diperankan aktor sungguhan menurut saya adalah  usaha terbaik EA untuk melakukan story-building dalam seri Command & Conquer; yang bahkan akhirnya menjadi ciri khas dari seri Command & Conquer.

Pada seri Command & Conquer setelahnya, EA sampai menyewa aktor kawakan hanya untuk bagian Cinematic Footage saja. Beberapa contohnya adalah sosok George Takei untuk memerankan Emperor Yoshiro dan David Hasselhoff untuk memerankan wakil presiden Amerika Serikat di Command & Conquer Red Alert 3.

Tapi mungkin sebatas itu saja penyajian cerita di Tiberian Dawn dan Red Alert. Seperti juga saya sebut saat membahas aspek visual, menikmati story di dalam game Command & Conquer Remastered Collection itu layaknya menonton serial Netflix. Yang bisa Anda lakukan hanya menonton, tanpa memiliki kontrol apapun terhadap jalannya cerita. Terlebih saat sudah memasuki game, tidak akan ada lagi cut-scene apapun. Pokoknya Anda hanya bermain saja, sampai misi Anda selesai.

Versi remaster tidak menyajikan perubahan dalam cerita. Seperti saya sebut di awal, fokus ceritanya masih sama, yaitu konflik antara GDI dengan NOD pada Command & Conquer, dan konflik antara Soviet dengan pasukan sekutu pada Command & Conquer: Red Alert. Namun, rekaman behind-the-scene dari Cinematic Footage yang sudah Anda saksikan bisa dibilang menjadi nilai tambah aspek story atas game ini.

Selain Bonus Gallery untungnya Command & Conquer Remastered Collection juga memberikan pemain akses terhadap semua Cinematic Footage atas misi yang telah diselesaikan. Semua itu bisa Anda akses lewat menu Mission Collection, yang berisi semua misi yang telah ataupun belum Anda lakukan.

Kehadiran fitur menonton ulang semua potongan Cinematic Footage dari misi yang telah dilakukan ini juga menjadi nilai tambah lain dari aspek story Command & Conquer Remastered Collection. Bagaimanapun, story game Command & Conquer tetap menjadi sesuatu yang memberikan kesan nostalgia saat disaksikan kembali.

Koleksi Lengkap yang Minim Replayability

Dari semua hal, durasi permainan mungkin bisa dibilang juga menjadi nilai jual lain dari game ini. Ini karena Remastered Collection menyertakan hampir semua seri awal dari Command & Conquer, yaitu Tiberian Dawn dan Red Alert, berserta dengan tiga Expansion Pack, yaitu The Covert Operations, Red Alert – Counterstrike, dan Red Alert – The Aftermath.

Jadi, Anda tidak perlu khawatir mengalami keadaan seperti saat Senior Editor kami memainkan The Outer World; yang masih punya hasrat ingin main namun tidak bisa melakukan apa-apa karena konten di dalam game-nya sudah habis. Jika melihat dari catatan HowLongToBeat, memang ada yang hanya mencatatkan 28 jam permainan saja untuk Command & Conquer Remastered Collection. Tetapi, itu hanya baru menyelesaikan main-story saja.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Jadi sebenarnya, dengan mengasumsikan pemain tersebut menyelesaikan main story dari Tiberian Dawn dan Red Alert juga, maka diperkirakan butuh tambahan 37 jam lagi untuk bisa menyelesaikan cerita dari tiga Expansion Pack yang ada dalam koleksi. Belum lagi, Command & Conquer Remastered Collection juga menyajikan permainan online, yang tentunya bisa membuat Anda jadi kembali lagi memainkan game ini.

Terlebih Command & Conquer Remastered Collection juga menambahkan beberapa hal pada fitur online, yang membuat game ini jadi bisa hidup lebih lama lagi. Pertama adalah fitur matchmaking yang memungkinkan Anda bermain dengan orang lain hanya dengan satu kali klik. Lalu ada juga fitur Leaderboard, yang membuat Anda berjiwa kompetitif tentunya akan semakin terpatri ke dalam game ini.

Lalu bagaimana dengan mod dan custom map? Jika berkaca kepada Warcraft III, dua hal tersebut adalah faktor terbesar mengapa game tersebut masih dimainkan orang-orang sampai akhir 2000an, walau game itu rilis di tahun 2002. Siapa yang tidak ingat custom-game bertema tower defense, pertarungan antar judul anime, dan tentunya Defense of the Ancient di Warcraft III. Semua itu tentu tercipta berkat dukungan komunitas modding, yang membuat para pemain tetap memainkan Warcraft III, walau sudah menyelesaikan main-story.

Jika berpatokan kepada Steam Workshop, saat ini sudah ada 3236 item terkait modifikasi ataupun custom map dari Command & Conquer Remastered Collection. Namun kebanyakan yang terlihat lebih kepada mod untuk meningkatkan Quality of Life game ini, seperti penambahan fitur Attack Move, Better Pathfinding, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan custom map yang bisa menambah panjang jangka hidup game ini layaknya DotA di Warcraft III.

Sayangnya, custom map di Command & Conquer Remastered Collection hanya terbatas untuk mengedit map untuk digunakan dalam Skirmish secara online saja. Jadi, kebanyakan custom map hanya menambah variasi tempat pertarungan saja, tanpa menambah variasi gameplay layaknya DoTA atau Element TD di dalam Warcraft III.

Kesimpulan – Game Terbaik Untuk Bernostalgia

Setelah mengulas Command & Conquer Remastered Collection panjang dan lebar, pertanyaan yang harus kita jawab di akhir artikel ini mungkin tentunya adalah apakah game ini pantas untuk dibeli? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Jika Anda adalah gamers generasi 90an yang rindu dengan game klasik ini jawabannya tentu saja IYA.

Kekurangan versi remaster ini menurut saya hanyalah tidak adanya perbaikan dari sisi AI dan pathfinding unit pasukan, yang sebenarnya masih bisa diatasi dengan menggunakan mod.

Kekurangan lain dari Command & Conquer Remastered Collection mungkin adalah ketidakhadiran mod atau custom game yang memberi variasi gameplay untuk Tiberian Dawn ataupun Red Alert. Jadi, mungkin setelah semua Single-Player Campaign selesai, saya akan meninggalkan game ini, dan hanya sesekali saja iseng bermain secara online.

Lalu, apakah game ini layak dibeli bagi Anda yang tidak kenal seri Command & Conquer sama sekali? Kalau saja Command & Conquer Remastered Collection dijual terpisah dengan harga per-game sekitar Rp100 ribuan, mungkin jawabannya adalah iya. Tapi berhubung game ini punya harga yang cukup mahal, yaitu Rp282 ribu, maka jawabannya adalah tidak.

Karena bagaimanapun, nilai jual terbesar dari Command & Conquer Remastered Collection tetaplah perasaan nostalgia yang Anda rasakan ketika melihat Cinematic Footage ataupun mendengar musik saat berada di dalam game. Memainkan Command & Conquer Remastered Collection tanpa punya ingatan atas Tiberian Dawn atau Red Alert mungkin akan membuat Anda jadi merasa biasa saja atau malah jadi kebosanan saat memainkan game ini.

[REVIEW] Lokapala, Status Beta yang Penuh Keterbatasan

Awal Februari ini khalayak gamers Indonesia disemarakan dengan rilisnya Lokapala: Saga of Six Realms. Masuk masa pra-pendaftaran sejak November 2019 lalu di Play Store, iterasi MOBA pertama pengembang Indonesia ini segera mendapat sambutan positif. Banyak yang tidak sabar untuk mencoba dan memainkannya.

Proyek ambisius ini dibesut oleh ANANTARUPA Studio, gamedev lokal yang sudah beroperasi sejak tahun 2011. Kini, walau masih menyandang status beta, Lokapala sudah dapat diakses secara terbuka di Play Store. Namun demikian, saya merasa bahwa perilisan beta terbuka Lokapala masih terlalu terburu-buru. Kenapa? Karena banyak hal di dalam game ini yang terlihat seperti masih setengah jadi. Lebih lanjut, mari simak ulasan saya terhadap MOBA lokal Indonesia yang satu ini.

MOBA Indonesia yang Kurang Indonesia

Dalam MOBA, satu hal yang konsisten selalu muncul adalah karakter yang dapat kita gunakan di dalam permainan. Ada beberapa sebutan untuk karakter ini, ada yang menyebutnya Hero ada yang menyebutnya Champion. Lokapala sendiri memilih menyebut karakter-karakter heroik yang akan bertarung bersama Anda di dalam permainan sebagai Ksatriya.

Untuk rilisan pertama, Lokapala menghadirkan 15 Ksatriya, yang semuanya bisa Anda coba dan mainkan. Namun sayang, beberapa karakter yang dihadirkan pada Lokapala mungkin belum tentu dikenal oleh orang Indonesia sendiri. MungkIn pendapat saya ini muncul karena nilai pelajaran sejarah Indonesia saya tidak terlalu baik, saat masih bersekolah dulu…hehehe.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Beberapa Ksatriya yang dihadirkan di dalam Lokapala. Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Hal ini mungkin karena beberapa Ksatriya mungkin memang bersifat orisinil atau dibuat sendiri oleh tim ANANTARUPA Studio. Tetapi saya merasa agak sayang jika tidak ada karakter-karakter populer, karena bisa jadi membuat pemain enggan mencoba game ini. Padahal Lokapala bisa saja memunculkan Ksatriya dari sejarah atau cerita rakyat populer seperti Gajah Mada sang Mahapatih Kerajaan Majapahit , atau tokoh kenamaan dalam pewayangan seperti Gatot Kaca.

Untungnya ANANTARUPA Studio sudah melakukan beberapa usaha untuk memperkenalkan cerita orisinil Lokapala kepada khalayak. Salah satunya seperti contoh di bawah ini, sebuah postingan media sosial yang bercerita asal pertarungan Lokapala. Ceritanya, pertarungan di Lokapala berdasarkan kepada konsep multiverse, yaitu penggabungan berbagai ruang dan waktu dalam satu semesta.

Sumber: Facebook Fanpage Lokapala
Sumber: Facebook Fanpage Lokapala

Mengutip dari laman resmi Lokapala, para Ksatriya yang bertarung datang dari enam Loka (alam semesta) yang tergabung di dalam Lokapala, yaitu Narakaloka, Pretaloka, Tiraccanaloka, Manusyaloka, Asuraloka, dan Svargaloka. Dari 6 Loka yang diceritakan, muncullah karakter-karakter yang ada di Lokapala. Beberapa ada yang datang dari sejarah Vijaya atau Pangeran Wijaya dan beberapa ada yang orisinil seperti Ilya yang ceritanya datang dari masa depan.

Selain soal daftar Ksatriya yang dihadirkan, ada satu hal lagi yang buat saya merasa menjadi poin penting kenapa Lokapala menjadi game Indonesia yang kurang Indonesia. Lokapala kehilangan satu hal penting yang bisa membantu game ini lebih mudah diterima oleh gamers Indonesia, yaitu in-game language Bahasa Indonesia. Ya Anda tidak salah dengar, versi beta Lokapala yang menekankan khasanah lokal Indonesia lewat latar tempat dan cerita karakter Ksatriya malah hadir menggunakan Bahasa Inggris, dan tidak ada opsi Bahasa Indonesia.

Ini sebenarnya cukup membingungkan, karena saya merasa tidak ada alasan yang tepat untuk menggunakan bahasa Inggris pada Lokapala. Jika alasannya untuk mengincar pasar global, rasa-rasanya Lokapala terbilang sudah ketinggalan cukup jauh jika dibanding beberapa pengembang lain yang sudah lebih dulu terjun di pasar MOBA untuk mobile.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Amat disayangkan, Lokapala versi beta malah tidak memiliki opsi bahasa Indonesia, Alhasil,cerita Pangeran Wijaya dari kerajaan Singhasari jadi agak sulit dipahami karena menggunakan bahasa Inggris. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika alasannya untuk mengenalkan budaya Indonesia ke khalayak global, orang Indonesia sendiri saja mungkin belum mengenal Ksatriya yang dihadirkan dalam Lokapala. Jawaban untuk semua ini sebenarnya adalah dengan menghadirkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ke dalam game. semoga saja update berikutnya dapat menghadirkan in-game language, dan mungkin juga menghadirkan voice-act bahasa Indonesia. Apalagi, menurut opini saya personal, membaca cerita legenda Indonesia dengan bahasa ibu akan terasa lebih nyaman dan mudah dimengerti.

Walau dengan segala kekurangannya, saya cukup mengapresiasi bagaimana tim pengembang ANANTARUPA membangun cerita dunia Lokapala, terutama dari cerita 6 Loka yang menjadi satu di dalam arena pertarungan Lokapala. Dalam hal lore Ksatriya, walau orisinil, namun sayangnya cerita yang disajikan masih  terlalu singkat. Hal ini membuat saya tidak bisa mengenal asal muasal sang Ksatriya secara lebih mendalam.

Sisi Indonesia lain yang menurut saya patut diapresiasi adalah musik yang disajikan oleh Inharmonics. Composer yang juga mengisi musik pada game Legrand Legacy ini berhasil memunculkan nuansa peperangan penuh semangat khas MOBA sembari tetap menonjolkan khazanah Indonesia dalam musik yang mereka sajikan pada menu utama. Dalam musik tersebut, musik orkestra yang modern melebur halus dengan aksen khas etnis lewat gamelan Jawa, yang hampir membuat saya lupa dengan pengalaman bermain Lokapala yang akan saya jelaskan pada poin berikutnya.

Esports Game Pertama Indonesia yang Belum Esports Ready

Istilah “esports ready” pertama muncul sebagai meme di tengah perbincangan komunitas ketika PUBG dijadikan esports untuk pertama kalinya. Istilah tersebut muncul karena pada awal rilis, PUBG mendukung kegiatan esports untuk game tersebut. Sementara core gameplay PUBG masih memiliki terlalu banyak kendala teknis seperti respon yang tidak sinkron, serta bug di sana dan sini.

Pada kasus PUBG, kendala tersebut terjadi karena PUBG adalah game multiplayer online pertama yang mempertemukan 100 orang sekaligus secara real-time. Kejadiannya Bluehole mungkin mirip dengan ANANTARUPA. Lokapala sudah dicap sebagai game esports pada saat perilisan beta, mungkin karena mereka memilih genre MOBA. Namun nyatanya, Lokapala belum esports ready, yang mungkin disebabkan karena ANANTARUPA belum punya banyak pengalaman membuat real-time online multiplayer yang kompleks seperti MOBA.

Memang, pada kenyataanya membuat game online bersifat real-time seperti MOBA punya kerumitan dari sisi teknis. Jika Anda belum tahu, ada dua jenis online games berdasarkan cara game tersebut terkoneksi ke server. Ada real-time online seperti MOBA, yang mana satu player bertemu dengan player lain secara langsung. Ada asynchronous online games, yang mana walau online, namun player satu dengan player tidak bertemu secara langsung seperti Clash of Clans.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Menghubungkan 10 pemain bermain di dalam satu server secara berbarengan tidak bisa dibilang mudah, terutama bagi pengembang Indonesia yang masih minim pengalaman. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Walau ini adalah MOBA pertama, tapi Anantarupa bukanlah pengembang lokal Indonesia pertama yang bisa membuat real-time online multiplayer game. Sebelumnya ada juga Minimo, pengembang yang berbasis di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang membuat game bertemakan balap off-road bernama Mini Racing Adventures.

Kembali membahas Lokapala, kesulitan teknis ini diakui sendiri oleh sang pengembang. Jika Lokapala memang belum “esports ready“, jadi sudah sampai mana sebenarnya rilisan beta Lokapala? Maafkan jika saya terlalu jujur namun saya merasa Lokapala sebenarnya belum pantas untuk dirilis secara open beta. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya karena Lokapala memiliki beberapa masalah fundamental, yang membuat core game experience menjadi tidak nyaman.

Sebelum menuju ke dalam permainan, masalah sudah muncul, yaitu ketika kita tap tombol dan ingin melakukan Find Match. Setelah masuk Lobby dan menekan tombol Start, Lokapala malah memunculkan kode error seperti yang satu ini.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Melihat error seperti ini, yang terbesit di pikiran saya adalah melakukan reset Lobby dengan menekan tombol back yang ada di pojok kiri atas. Apa yang terjadi? Ya, muncul kode error lagi yang membuat saya terjebak di dalam Lobby.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono
Kalau sudah begini, apa daya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Jika hal ini terjadi, mau tidak mau jalan terakhir adalah tinggal melakukan reset game. Force close game tersebut lewat tombol recent apps, lalu buka kembali.

Setelah beberapa saat, saya akhirnya berhasil masuk ke dalam game. Saat berada di dalam permainan saya melihat banyak elemen lain di dalam game yang juga masih kurang sempurna. Seperti 3D model karakter yang terlihat kurang realistis, atau animasi karakternya yang terlalu kaku. Tapi itu mungkin tidak terlalu masalah karena 3D model karakter Mobile Legends pun demikian ketika baru pertama kali dirilis.

Masuk ke dalam game saya menemukan satu hal lagi yang cukup mengganggu, masalah tersebut datang dari model bush atau brush. Kalau Anda sering main MOBA, Anda tentu tahu mekanik bush, tempat berupa semak-semak yang bisa digunakan pemain untuk bersembunyi. Pada kebanyakan MOBA bush biasanya berbentuk seperti namanya, yaitu semak rumput yang tinggi dan lebat.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Edit: Akbar Priono
Perbandingan bentuk dan warna bush antara Lokapala dengan dua MOBA terpopuler di mobile. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Edit: Akbar Priono

Pada Lokapala visual bush memiliki dua hal yang menurut saya cukup mengganggu. Pertama, bentuknya bukan semak rumput, melainkan terlihat seperti tanaman berbunga dengan warna yang sangat mencolok. Kedua, warna antar bush juga tidak konsisten yang mungkin bisa membuat pemain baru kebingungan. Bush bagian tengah berwarna ungu, sementara pada bush bagian pinggir terlihat berwarna merah. Semoga saja nantinya model bush bisa diperbaiki sambil tetap menunjukan ciri khas tersendiri yang membedakan Lokapala dari MOBA lain.

Berlanjut ke dalam permainan, semua berjalan lancar, setidaknya sampai beberapa menit game berjalan. Seiring waktu, permainan jadi terasa laggy. Keadaan tersebut bisa jadi datang dari dua hal, masalah optimasi game engine dan masalah optimasi server.

Dari sisi optimasi game engine, saya saat itu mencoba bermain dengan menggunakan pengaturan grafis tertinggi rata kanan. Setelah beberapa saat bermain, semakin lama animasi karakter menjadi stutter atau patah-patah setelah beberapa saat bermain. Belum lagi animasi atau gerakan karakter ketika menyerang atau mengeluarkan skill juga terasa sangat kaku, yang juga membuat saya jadi sulit menilai apakah hal tersebut merupakan stutter atau memang animasi karakter yang kurang rapih.

Hal ini terjadi mungkin karena saya menggunakan mode High Frame Rate. Jika rumor Lokapala menggunakan game engine yang sama dengan AOV dan Mobile Legends benar, maka kejadian ini jadi cukup masuk akal. Karena pada AOV dan Mobile Legends sekalipun, mode High Frame Rate kerap kali tidak stabil.

Selain itu perasaan lag juga muncul dari sisi koneksi. Ketika itu ping permainan saya hanya 8 – 16ms saja, namun pada beberapa momen saya merasakan delay yang sangat mengganggu. Beberapa kali di dalam permainan, skill yang saya lempar malah telat keluar membuatnya jadi tidak mengenai musuh. Jika ini terus terjadi, tentunya akan menjadi sangat mengganggu bagi para pemain. Apalagi jika mengatakan Lokapala sebagai game esports, hal ini tentu akan menjadi sangat kontradiktif, karena dalam permainan esports respon adalah segalanya.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Glitch Haya menyebabkan pedangnya tidak kembali setelah dilemparkan. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Sisi gameplay berikutnya adalah dari sisi hitbox. Hitbox sendiri adalah sebutan untuk sebuah kotak tak terlihat yang mendeteksi tumbukan antar objek (contohnya hero dengan skill). Pada Lokapala hitbox bisa dibilang masih inkonsisten. Jadi jika kita melempar skillshot ke satu titik tipis tertentu di bagian tubuh Ksatriya musuh, efeknya bisa jadi kena bisa jadi tidak.

Belum lagi masih ada beberapa glitch grafis yang terasa, seperti pedang Ksatriya Haya yang tertinggal setelah dilemparkan. Lalu masalah targeting yang membuat skill terlempar entah ke mana jika kita mentargetkan skill secara otomatis. Ditambah lagi efek serangan dan angka indikator damage juga terlihat kurang jelas, yang bisa membuat bingung, apakah serangan Anda sudah kena atau belum.

Lalu bagaimana dengan balancing? Rasanya agak sulit untuk bisa menilai balancing pada Lokapala jika pengalaman bermain saja masih kurang nyaman, mulai dari awal hingga akhir permainan. Satu kali saya sempat bermain menggunakan Skar, menggunakan build tank, dan menemukan ternyata hero tersebut punya damage yang cukup lumayan besar meski mayoritas item yang saya gunakan adalah item defense.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Ksatriya Haya sedang menaiki Vahana. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Mungkin satu yang cukup berbeda adalah ketidakhadiran mekanik Recall di dalam Lokapala. Recall digantikan dengan Vahana, semacam tunggangan yang sifatnya mempercepat pergerakan Anda dari satu titik ke titik lain di area map. Vahana bisa digunakan kapanpun, namun untuk mengaktifkannya Anda harus berdiam sejenak atau chanelling selama beberapa detik. Jika Anda terkena damage saat sedang mengendarai Vahana, Anda akan terjatuh dan terkena stun untuk sesaat.

Jika Anda sudah pernah memainkan MOBA mobile lainnya, mekanisme ini mungkin terasa cukup menyulitkan. Saya pun merasa demikian, karena walau Vahana mempercepat pergerakan, tanpa mekanisme Recall Anda bisa saja tertangkap ketika darah sedang sekarat. Belum lagi mekanisme ini juga terbilang cukup boros waktu, terutama jika Anda sedang push tower terdalam musuh namun sekarat dan harus pulang, menyebabkan Anda harus berjalan dengan jarak yang sangat jauh.

Kesimpulan

Pada akhirnya saya personal merasa keputusan ANANTARUPA merilis Lokapala secara publik agaknya terlalu terburu-buru. Masih terlalu banyak kekurangan pada core gameplay Lokapala. Beberapa contohnya sudah saya jabarkan saat menceritakan pengalaman saya memainkan Lokapala, mulai dari bug untuk Find Match, masalah optimasi grafis dan server, masalah hitbox dan lain sebagainya.

Kalau soal animasi dan grafis, saya rasa hal tersebut masih bisa ditoleransi, karena MOBA lainnya pun punya grafis yang tidak sebegitu bagus pada hari pertama rilis. Namun kalau soal core gameplay, saya rasa keputusan untuk merilis Lokapala secara terbuka ini berpotensi memunculkan masalah bagi sang pengembang. Bagaimanapun, impresi pertama tetap merupakan hal penting bagi pemain. Jika impresi pertama saja sudah buruk, karena terlalu banyak masalah teknis di dalam game, pemain bisa saja enggan untuk mencoba bermain kembali meski Lokapala sudah berkembang menjadi lebih baik.

Tetapi, tetap ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari Lokapala. Beberapa di antaranya seperti story dunia Lokapala yang orisinil atau art karakter yang cukup baik. Menurut saya salah satu elemen terbaik dalam game ini adalah soundtrack menu utama. Penggabungan aksen modern lewat musik orkestra khas MOBA dengan aksen khas etnik Indonesia lewat gamelan Jawa berhasil membuat saya lupa dengan segala permasalahan teknis yang ada di dalam game ini.

Lokapala saat ini masih dalam status beta. Semoga saja seiring waktu, pengembang bisa berkomitmen untuk terus memperbaiki Lokapala dari berbagai sisi dan menjadi game yang lebih baik. Karena bagaimanapun, mengembangkan game MOBA ibarat lari marathon, yang pengembangannya akan terus berjalan selama game-nya masih dimainkan…

[Review] Resident Evil 2, Hidangkan Sensasi Horor Klasik Dengan Penyajian Baru, Siap Rebut Gelar Game Terbaik di 2019

Saat itu tahun 1998. Mayat hidup memang sudah lama meneror pemirsa layar kaca, tapi kehadirannya di video game terbilang cukup jarang. Dua tahun sebelumnya, Resident Evil laris terjual di Amerika serta Inggris, menyemangati Capcom buat membangunnya jadi franchise raksasa. Setelah proses pengembangan yang panjang serta revisi besar-besaran, Resident Evil 2 lebih sukses lagi dari pendahulunya.

Di E3 2015, Capcom mengungkap rencana untuk membangun ulang Resident Evil 2 buat platform game current-gen berbekal teknologi engine dan grafis terbaru, namun baru tiga tahun setelahnya sang developer berkesempatan menyingkap apa yang sudah mereka kerjakan. Pengumumannya di E3 2018 disambut gamer dengan begitu antusias, dan ia menjadi salah satu permainan yang perilisannya paling ditunggu di 2019.

Meski demikian, banyak orang juga cemas mengenai nasibnya. Sejak Resident Evil 4, arahan franchise ini lebih condong mengedepankan action ketimbang horor. Pada akhirnya, Resident Evil 6 dikritisi akibat kualitas campaign single-player yang tidak rata serta melenceng jauhnya arahan game dari tema survival horror. Demi mengembalikan Resident Evil ke akarnya, Capcom nekat bereksperimen di permainan ketujuhnya, buat pertama kalinya menyajikan petualangan mendebarkan dalam perspektif orang pertama.

Salah satu alasan keberhasilan Resident Evil 7: Biohazard adalah, game ini berperan sebagai sekuel sekaligus gerbang masuk bagi mereka yang sama sekali belum pernah bermain Resident Evil. Anda tidak perlu menyelesaikan permainan-permainan sebelumnya agar bisa menikmatinya, melalui pengenalan tokoh-tokoh serta formula gameplay baru. Tapi bagaimana dengan remake Resident Evil 2?

RE2 3

 

Tradisi klasik dengan penyajian baru

Situasi sulit yang dihadapi Capcom dalam penggarapan remake Resident Evil 2 adalah tingginya ekspektasi gamer serta aspek cerita yang bukan lagi rahasia di kalangan gamer veteran. Itu artinya, tim developer  Jepang ini harus menemukan titik keseimbangan antara penyuguhan konten baru, sembari memastikan kengerian khas Resident Evil 2 tetap terjaga. Mereka juga tidak berniat untuk menawarkan formula yang pernah dipakai sebelumnya.

RE2 14

Aspek yang membuat Resident Evil 2 ‘lawas’ jadi tambah menegangkan adalah kurang bersahabatnya sistem kendali. Seperti game pertama dan ketiga, Resident Evil 2 mengusung metode kontrol ala tank dengan kamera fixed. Itu artinya, menghindar dan membidik musuh sangatlah sulit. Dari sisi presentasi, RE2 remake sendiri lebih menyerupai Resident Evil 4, tetapi ada banyak keputusan jenius dari Capcom yang membuat game baru ini se-mengerikan pendahulunya.

RE2 17

Resident Evil 2 remake memanfaatkan sudut pandang kamera orang ketiga over-the-shoulder. Bertolak belakang dari Resident Evil 7, pengendalian karakter terasa lebih intuitif dan kita bisa lebih mudah mengetahui keadaaan di sekitar – apalagi dukungan keyboard dan mouse di versi PC yang saya mainkan membuat kontrolnya lebih luwes lagi. Bahkan sebelum game dimulai, saya bisa merasakan bagaimana Capcom betul-betul memperhatikan hal ini.

RE2 18

Di PC, segala macam fungsi kendali karakter berada di jangkauan jari Anda. Selain untuk menggunakan persenjataan, tombol kiri dan kanan mouse berguna buat berinteraksi dengan objek. Lalu lewat kombinasi Tab dan tombol WASD, kita bisa mudah mengakses menu pause serta membuka dokumen, sangat berguna saat kita mencoba mencari petunjuk puzzle. Developer juga menyediakan fitur quick turn 180 derajat, tapi berkat ringkasnya mouse, fungsi ini jarang sekali saya gunakan.

 

Zombie jadi kembali menyeramkan

Seri Resident Evil 2 lahir sebelum ‘zombie berlari’ jadi tren di layar lebar dan video game. Di edisi remake ini, Capcom tidak mencoba mengubah cara mereka menyajikan teror pada pemain – malah terus berpegang pada tradisi lawas Resident Evil. Namun ada sejumlah hal yang Capcom utak-atik agar mayat hidup tetap mengerikan; pertama adalah lewat penempatan strategis serta efek suara, dan kedua ialah dengan mengubah karakteristik mereka.

RE2 2

Saat berjumpa pertama kali dengan mayat hidup di RE2 remake, insting yang terbentuk dari pengalaman menikmati puluhan game shooter mendorong saya untuk segera menembak mereka di kepala. Langkah ini ternyata keliru. Butuh sekitar tujuh tembakan di kepala buat merobohkan satu zombie. Dan itu artinya ada banyak peluru berharga yang harus dihabiskan jika Anda ingin mengalahkan mereka satu per satu.

RE2 12

Situasi ini membuat saya berpikir ulang tentang apa yang harus dikerjakan. Untungnya solusi muncul sebelum terlambat: tembak zombie di kaki untuk memutuskan bagian tersebut demi menghambat gerakan mereka. Lebih baik hindari lawan dari pada konfrontasi langsung, kecuali jika tak ada pilihan lain. Dengan cara itu, kita bisa lebih menghemat amunisi. Metode ini mengingatkan saya pada bagaimana cara menangani Necromorph di Dead Space.

RE2 13

Pola pikir ‘hidari ketimbang konfrontasi’  tersebut penting karena di satu titik dalam permainan, pemain akan berhadapan dengan lawan yang tak bisa dikalahkan. Kita hanya bisa melarikan diri atau membuatnya roboh secara sementara, namun ia baru benar-benar bisa tumbang ketika pemain mendapatkan senjata berukuran besar. Tyrant ber-codename Mr. X ini akan terus memburu Anda. Ia akan mengejar saat melihat Anda dan berpatroli tanpa lelah. Itu berarti, pengetahuan terhadap lokasi serta kesadaran lingkungan sangatlah esensial.

RE2 20

Berkaitan dengan faktor awareness tadi, saya sangat mengapresiasi desain audio edisi remake ini. Suara derakan nafas dan rintihan zombie terdengar sangat menyeramkan, apalagi jika muncul dari lokasi yang tidak disangka. Suara juga bisa sangat membantu, apalagi ketika Anda sudah mulai dikejar oleh sang tyrant. Bunyi derap langkah bisa terdengar ketika ia berada di dekat kita, dan itulah alasannya saya sangat menyarankan penggunaan headset berfitur surround 7.1.

RE2 15

Namun seperti mayoritas game survival horror sejenis, Resident Evil 2 (2019) masih mengandalkan elemen jump scare. Kejutan bisa saja bersembunyi di tiap lorong dan tikungan, atau di tempat-tempat yang Anda kira aman. Sejujurnya, pendekatan ini mulai terasa membosankan, terutama jika Anda punya pengalaman dalam menangani permainan-permainan semisal Bloodborne, Amnesia atau Alien: Isolation.

RE2 19

Bagi saya, bagian terbaik dari Resident Evil 2 remake adalah kehadiran Mr. X serta ketidakpastian dan kepanikan yang ia timbulkan. Sensasinya mirip ketika menghadapi Xenomorph di Alien: Isolation. Bedanya, sang tyrant tidak bergerak secepat alien sehigga lebih gampang dihindari. Dan bahkan di situasi terpojok sekali pun, kematian dini dapat dielakkan jika Anda bisa berpikir serta beraksi cepat atau kebetulan membawa peralatan yang tepat.

 

Nostalgia dengan wajah-wajah lama

Remake Resident Evil 2 kembali mempersilakan Anda bermain sebagai dua tokoh favorit di franchise ini, Leon S. Kennedy dan Claire Redfield. Penampilan keduanya disesuaikan dengan standar desain karakter modern, berbasis pada gaya tahun 90-an (rambut belah pinggir Leon tidak direvisi, sukurlah). Kedua tokoh ini tampaknya pernah menjalani pelatihan bela diri dan senjata api, tapi sama sekali belum berpengalaman dalam menghadapi mayat hidup. Claire ialah seorang mahasiswi, sedangkan Leon adalah polisi pemula.

RE2 11

Claire dan Leon akan menjalani pengalaman berbeda di Kota Raccoon, namun narasi yang mereka lalui kurang lebih sama. Kedua tokoh beberapa kali bertemu, mengunjungi lokasi serupa, serta menyelesaikan teka-teki yang sama. Walaupun demikian, cerita Leon menyuguhkan sensasi ala investigasi polisi, sedangkan kisah Claire berhubungan dengan tema keluarga. Perbedaan di sisi narasi terletak pada NPC yang mereka temui, lalu beberapa area cuma bisa diakses oleh karakter tertentu.

RE2 5

Game memang dirancang untuk diselesaikan minimal dua kali, dan Capcom sudah menyiapkan banyak hal untuk memotivasi kita melakukannya – misalnya lewat kostum baru, karakter rahasia, dan sistem achievement. Alternatifnya, menamatkan permainan secepat mungkin di tingkat kesulitan tertentu akan membuka bonus amunisi tak terbatas yang dapat digunakan di petualangan Anda berikutnya.

RE2 7

Selain menghadapi mayat hidup dan senjata biologis, puzzle merupakan elemen esensial dari Resident Evil 2. Mereka yang familier dengan seri ini akan segera menyadari bahwa segala sesuatu di game tidaklah sederhana. Contohnya sewaktu Claire mencoba membuka gerbang area parkir mobil. Ia harus mendapatkan kunci, buat memperoleh kunci berbeda, demi mendapatkan sirkuit listrik pengganti agar pintu bisa terbuka, untuk memperoleh keycard di dalamnya.

RE2 4

Penyelesaian teka-teki dipersulit dengan sistem inventory yang sangat terbatas. Bahkan tanpa item-item quest, kita akan terus mengadapi dilema soal barang-barang apa saja sebaiknya dibawa: apakah pisau, amunisi untuk senjata sekunder, atau obat? Sejumlah senjata berukuran besar memakan lebih dari satu slot penyimpanan. Bersediakah Anda meninggalkannya demi ruang penyimpanan yang lebih lega?

RE2 5

Satu hal yang sangat saya sukai ialah, banyak hal tak dijelaskan secara gamblang dan pemain sering kali harus mencari jawabannya sendiri – misalnya ‘mencuci film’ buat mencari petunjuk, melacak kode loker yang tersembunyi di lokasi berbeda, dan menyadari bahwa papan kayu berguna untuk menutup jendela untuk menghalangi zombie masuk. Dan di sejumlah skenario, beberapa item penting disembunyikan di benda lain (kunci atau batu permata), mendorong kita buat memeriksa objek secara teliti.

RE2 9

 

Konklusi

Bagi saya, edisi PC Resident Evil 2 remake ialah versi terbaik. Di sistem berprosesor Intel Core i7-6700HQ dan berkartu grafis GeForce GTX 1070, permainan berjalan sangat mulus di setting visual tertinggi dengan resolusi 1080p, rata-rata di atas 100-frame per detik. Di tingkat ini, detail wajah, lipatan di jaket, hingga efek basah pada pakaian terlihat jelas. Lalu, game juga bisa dibeli di harga lebih ekonomis.  Ketika Resident Evil 2 di PlayStation 4 dibanderol di atas Rp 700 ribu, edisi Steam dapat dimiliki cukup dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 500 ribu.

RE2 1

Remake Resident Evil 2 merupakan salah satu game yang dibahan-bakari konsep nostalgia. Namun berbeda dari upaya remake/remaster judul lain, Capcom tidak mengambil jalan pintas. Seluruh aset permainan dibangun dari nol, berbekal engine RE yang digunakan dalam penggarapan Resident Evil 7: Biohazard, dan upaya developer tidak sia-sia. Game ini menawarkan keseimbangan antara aspek-aspek baru dan lawas, membuat petualangan horor di sana terasa menyegarkan, dan siap merebut gelar permainan terbaik di 2019.

RE2 8

Resident Evil 2 mengingatkan kembali mengenai hal yang membuat saya jatuh hati pada franchise ini. Saya akan segera merekomendasikannya pada siapa saja yang mengaku fans berat Resident Evil atau penggemar permainan horor pada umumnya. Capcom berhasil menetapkan sebuah standar baru mengenai bagaimana sebuah remake video game seharusnya dikerjakan. Tapi sebelum membelinya, perlu diketahui bahwa permainan ini kental dengan tema kekerasan, sangat tak disarankan bagi Anda yang sensitif dengan kejutan dan darah.

RE2 6

Jika boleh diberi kesempatan untuk memberi masukan, saya pribadi sebetulnya berharap agar Capcom menghidangkan dunia game secara lebih luas dan ekspansif. Seperti edisi tahun 1998-nya, struktur level Resident Evil 2 remake terdiri dari lorong-lorong saling menyambung yang berujung pada area hub. Seandainya permainan menyuguhkan ruang lebih terbuka, akan ada banyak peluang buat membenamkan elemen gameplay lain. Lalu, bayangkan serunya bermain bersama kawan jika game juga dibekali mode multiplayer kooperatif.

Claire Redfield, Resident Evil 2 remake.

 

Sparks

  • Standar tinggi dalam penggarapan remake
  • Gameplay baru dengan sensasi horor khas Resident Evil klasik
  • Konten melimpah walaupun campaign-nya linier
  • Tingkat kesulitan teka-teki yang pas, tidak terlalu susah ataupun mudah
  • Desain audio jempolan
  • Berjalan mulus di PC

 

Slacks

  • Dunia permainan yang kurang terbuka
  • Jump scare jadi cara utama buat mengagetkan Anda
  • Absennya mode multiplayer

[Review] Assassin’s Creed Odyssey, Lembaran Baru Bagi Seri Action Berusia 11 Tahun

Assassin’s Creed Origins yang diramu menjadi pembuka saga ini merupakan game open world papan atas paling ambisius di 2017. Hasil kerja keras developer selama bertahun-tahun bisa kita lihat dari bagaimana detailnya tim Montreal menciptakan dunia Mesir Kuno di akhir era Ptolemaic sebagai medium untuk mengombinasikan kejadian bersejarah dan event fiksi.

Meluncur satu tahun kurang beberapa minggu dari Origins, Assassin’s Creed Odyssey mengusung konsep gameplay yang lebih berani dan mungkin bisa dikatakan sedikit radikal. Meski tetap mempertahankan sejumlah tradisi Assassin’s Creed, Odyssey dari awal sengaja diarahkan sebagai permainan action role-playing, untuk pertama kalinya membiarkan Anda memilih karakter utama dan menentukan dialog.

Langkah ini kemungkinan ialah cara buat menyegarkan kembali formula Assassin’s Creed. Tapi boleh jadi, transisi dari action-adventure ke formula role-playing belum bisa diterima semua fans dengan tangan terbuka. Kabar gembiranya, Ubisoft Quebec telah bersiap mengantisipasi hal tersebut melalui penambahan fitur baru dan penggunaan arahan unik.

AC Odyssey 13

 

Eagle-Bearer

Assassin’s Creed Odyssey menawarkan Anda untuk bermain menjadi salah satu dari cucu Raja Leonidas, antara Alexios atau Kassandra. Tidak ada perbedaan pada aspek gameplay dari keduanya kecuali pengisi suara dan siapa saudara tertuanya. Saya mencoba keduanya, dan secara pribadi lebih menyukai Kassandra karena perannya lebih natural dan sejauh ini hanya ada sedikit pilihan karakter utama wanita di seri utama Assassin’s Creed.

AC Odyssey 5

Meski demikian, Alexios sendiri bukanlah pilihan yang buruk dan mengingatkan saya pada Bayek of Siwa. Tentu saja, dua opsi tokoh utama mengharuskan Ubisoft melakukan prosedur pengisian suara sebanyak dua kali. Dan mengingat Odyssey merupakan game role-playing, jumlah dialognya tidaklah sedikit. Kesediaan developer buat melakukan hal tersebut perlu diapresiasi.

Diracik sebagai sebuah lembaran baru, hal positif lain dari Odyssey adalah ceritanya tidak membingungkan. Sesi Layla Hassan tetap ada, tapi porsinya telah dikurangi dan disederhanakan sehingga kita hanya cukup tahu siapa dia serta perannya di kisah ini. Dan tak seperti Origins, narasi Odyssey juga tidak lompat-lompat. Di sesi pembuka, Anda akan segera tahu siapa Alexios dan Kassandra, serta apa hubungan mereka dengan Leonidas.

AC Odyssey 7

Ketika Bayek of Siwa di Assassin’s Creed Origins merupakan seorang penegak hukum, Alexios atau Kassandra adalah Misthios, atau tentara bayaran. Ini artinya, sang tokoh tidak selalu berpihak dengan hukum. Beberapa kontrak yang diterima Kassandra sering kali mengharuskannya ‘membungkam’ individu tertentu, mencuri, atau membersihkan satu perkemahan berisi bandit. Dan demi menunjang desain gameplay seperti ini, Ubisoft Quebec mengimplementasikan sistem bounty.

 

Grand Theft Auto Greece

Assassin’s Creed Odyssey membawa pemain ke puncak Perang Peloponnesian, konflik militer yang dimulai di tahun 431 sebelum Masehi antara bangsa Sparta dan Athena. Di sana, Kassandra dan tim prajurit bayarannya tidak dituntut untuk mendukung salah satu faksi, bahkan dipersilakan bekerja buat keduanya. Ia bisa menghabiskan waktunya menyelesaikan kontrak, mengumpulkan kru, serta meng-upgrade peralatan dan perahu perangnya.

AC Odyssey 12

Satu Aspek menarik dari Odyssey adalah sensasai ala ‘GTA’. Memang tidak ada kendaraan ‘otomotif’ yang Anda bisa bajak, tapi Kassandra dapat mencuri kuda atau menyerbu perahu bajak laut, konvoi militer, serta kapal pedagang. Di dunia game, tersebar pula banyak benda-benda yang semestinya tidak boleh diambil (namun sayang buat dilewatkan).

AC Odyssey 10

Kekuatan Athena dan Sparta di satu daerah bersifat fluktuatif. Serangan yang Anda lakukan di lokasi tertentu akan melemahkan satu faksi, sehingga memungkinkan rivalnya mengambil alih. Menariknya lagi, kita bahkan bisa berpartisipasi dalam perang berskala besar, dan hasilnya akan memengaruhi siapa yang menguasai daerah tersebut.

Yunani masa perang Perang Peloponnesian versi Assassin’s Creed belum memiliki sistem penegakan hukum yang konkret. Aktivitas sosial di sana diawasi oleh pihak militer Sparta maupun Athena, namun jika tindakan kriminal Anda melewati batas, tentara bayaran lain akan mencoba menghentikan Anda. Semakin buruk perilaku Anda, maka level bounty jadi kian tinggi dan bertambah banyak pula individu-individu berbahaya yang datang mencari. Sebagai jalan keluarnya, Anda bisa bersembunyi atau membayar bounty.

AC Odyssey 6

Di sini, permainan mengadopsi pendekatan ala Nemesis System di Middle-earth: Shadow of Mordor walaupun tidak seekstensi game Warner Bros. itu. Odyssey hanya menunjukkan tentara-tentara bayaran yang sudah Anda kalahkan, peringkat Kassandra atau Alexios di sana, serta prajurit-prajurit berbahaya lain yang bisa jadi ancaman. Dan seiring keberhasilan Anda mengalahkan para kompetitor satu per satu, Anda dapat mendaki ranking Misthios terkuat.

 

Exploration Mode

Dengan begitu banyaknya game Assassin’s Creed serta sejumlah seri Ubisoft lain yang mengadopsi elemen gameplay permainan ini, gamer mungkin tidak kesulitan untuk menebak pola penyajian permainan. Umumnya, peta game Assassin’s Creed dipenuhi legenda dan lokasi menarik – penyuguhan yang informatif tapi menghilangkan misteri serta mengurangi serunya berjelajah.

AC Odyssey 9

Untuk mengubah status quo tersebut, Ubisoft Quebec menghadirkan fitur bernama Exploration Mode. Mode ini dirancang buat memandu pemain menemui hal-hal menarik sendiri tanpa memperlakukan kita seperti anak kecil. Dengan memilih Exploration Mode, kita perlu mengikuti petunjuk saat mengerjakan suatu quest. Contohnya, lokasi hewan buruan yang Anda cari berada di sebelah utara Sacred Lands of Apollo, biasanya terlihat di daerah dataran tinggi.

AC Odyssey 16

Setelah tiba di tempat tersebut, pencarian dapat dipermudah dengan memanggil Ikaros – burung elang peliharaan yang bisa membantu Anda mengunci posisi musuh dan menemukan objek, termasuk apapun yang Anda cari. Penyajian dan pengendaliannya sangat identik dengan Senu milik Bayek. Buat saya pribadi, kehadirannya masih terasa seperti metode curang yang memberikan pemain keunggulan tanpa efek samping; menghilangkan efek kejutan dan serunya ketidakpasian.

AC Odyssey 11

Banyak gamer mungkin menyukai kemudahan ini, namun buat saya, fitur Ikaros terasa mengganjal. Bagaimana bisa Kassandra mengetahui apa yang dilihat peliharaannya terus-menerus?

 

Action role-playing

Mengombinasikan tradisi Assassin’s Creed sebagai permainan action-adventure bertema stealth dengan prinsip role-playing memang tidak mudah. Ada banyak yang harus dikompromi oleh Ubisoft Quebec melalui penyingkiran beberapa elemen.

AC Odyssey 4

Bersembunyi di tempat tinggi atau di tengah-tengah lebatnya semak pepohonan, membuat pengalihan perhatian, dan menyerang tiba-tiba tetap menjadi gameplay inti Odyssey. Namun objek-objek ‘persembunyian instan’ seperti lemari atau tumpukan daun pohon tak lagi ada atau dapat dimanfaatkan, menuntut Anda buat mengendap-endap dan menghindari arah pandang lawan secara natural.

Pemain veteran juga segera merasakan kontrasnya sistem pertempuran antara seri Assassin’s Creed klasik dengan Odyssey. Ketika Ezio di Assassin’s Creed II bisa mudah mengungguli lawan yang mengepungnya, Kassandra harus mengalahkan musuh secara cermat dan sistematis. Anda perlu mengesksekusi gerakan dengan sigap, mengetahui kapan perlu menangkis dan menghindar, serta menentukan apakah fokus ke satu lawan merupakan strategi jitu atau tidak. Hal tersebut pada dasarnya tidak sulit, namun jadi sangat menantang jika kita menghadapi lebih dari dua lawan sekaligus.

AC Odyssey 14

Kassandra juga tak cuma berhadapan dengan manusia. Ada banyak fauna berbahaya yang menghadang dalam petualangan di Odyssey: kawanan serigala bisa menjatuhkan Anda dari kuda, lalu upaya mengendap-endap bisa berubah menjadi perjuangan bertahan hidup jika ternyata kita masuk ke wilayah kekuasaan beruang. Dan seperti menghadapi musuh lain di Odyssey, perlu strategi khusus buat mengalahkan hewan-hewan ini.

Selain musuh-musuh ‘biasa’, Anda juga akan bertemu dengan makhluk-makhluk mitos Yunani Kuno. Kehadiran mereka bertolak belakang dari game-game Assassin’s Creed lawas yang ‘berkomitmen’ pada keakuratan sejarah. Tapi kita tahu, arahan Assassin’s Creed mulai berubah sejak Origins.

AC Odyssey 2

Elemen role-playing yang paling menonjol di Odyssey tentu saja adalah opsi dialog. Dengannya, Anda bisa membangun karakter utamanya buat jadi individu yang terhormat atau brutal, serta memilih untuk menyelamatkan atau mengakhiri nyawa. Apapun keputusan Anda, efek dan konsekuensinya akan selalu menanti.

AC Odyssey 200

 

A bit desynchronized

Sebagai metode progres karakter, Odyssey memberikan kita pilihan untuk mengembangkan tiga aspek – terbagi dalam kategori hunter, warrior dan assassin. Hunter berkaitan dengan panah-memanah dan serangan jarak jauh; warrior memengaruhi kemampuan Kassandra/Alexios dalam bertempur; lalu assassin berperan dalam efektivitas serangan secara sembunyi-sembunyi.

AC Odyssey 3

Menariknya, apapun pilihannya, Anda tetap bisa mengubah dan memodifikasi ‘skill tree‘ kapan pun dengan mudah. Poin yang ditaruh di sana dapat di-reset, sehingga memberikan kita kesempatan untuk bereksperimen tanpa harus mengulang sesi permainan atau mengeluarkan credit dalam game. Beberapa pilihan Anda akan membuka ‘skill aktif’. Bagi pemain baru, proses pemakaiannya mungkin butuh adaptasi karena memerlukan kombinasi beberapa tombol.

AC Odyssey 15

Pemakaian skill aktif akan mengonsumsi poin adrenalin, yang akan bertambah secara otomatis ketika Anda bersembunyi atau sukses menumbangkan lawan tanpa ketahuan. Gamer casual juga mungkin akan mengapresiasi sistem regenerasi health otomatis, bisa bertambah sendiri jika Kassandra berada di luar konflik. Itu artinya, Assassin’s Creed Odyssey ialah RPG tanpa sistem consumable serta potion.

AC Odyssey 18

Layaknya permainan open world role-playing modern, Assassin’s Creed Odyssey mempersilakan Anda menjelajahi kepulauan Mediterania dan melupakan ceritanya setelah Kassandra atau Alexios mendapatkan perahu trireme-nya, Adrestia. Sebagaimana perlengkapan dan persenjataan yang dimiliki sang tokoh utama, pemain dipersilakan untuk meng-upgrade Adrestia serta menyewa kru yang lebih berpengalaman.

AC Odyssey 8

Bagi saya, satu hal mengganjal dari kombinasi antara open world dan penyajian narasi video game tradisional ialah tidak relevannya aspek urgensi di cerita. Misalnya: seorang anak diculik bandit dan Kassandra harus menyelamatkannya, tapi ia tetap bisa mengerjakan tugas lain serta berbelanja senjata tanpa beban. Di situasi lain, seorang pria meminta Kassandra membebaskan kakaknya yang ditangkap perampok, dan saya baru melakukannya berhari-hari sesudahnya tanpa efek samping.

Beberapa tugas yang bisa diterima Kassandra memang punya batasan waktu, namun dampak negatif yang Anda peroleh jika melewatinya hanyalah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan poin XP atau Orichalcum Ore – berguna buat membeli item-item langka/legendaris.

AC Odyssey 17

 

Verdict

Dijalankan dari sistem berprosesor Intel i7-6700HQ bersenjata kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1070, Assassin’s Creed Odyssey berjalan mulus di opsi ultra high 1080p, mampu mengamankan frame rate di atas 50 per detik. Odyssey merupakan salah satu game bergrafis paling cantik yang bisa Anda nikmati saat ini, dengan kualitas visual jauh di atas Red Dead Redemption 2 via PlayStation 4 Pro.

Berbicara soal desain game, Odyssey sesungguhnya tidak membutuhkan kepopuleran nama Assassin’s Creed untuk bersinar. Ia memang belum bisa disandingkan dengan RPG-RPG legendaris semisal The Witcher 3 atau Divinity Original Sin II, dan memang sejumlah elemen gameplay terasa sederhana. Tapi yang terpenting, Assassin’s Creed Odyssey sangat menyenangkan dan mudah dinikmati oleh siapa pun – baik mereka yang sudah lama mengikuti seri ini serta pendatang baru.

AC Odyssey 19

Permainan menyuguhkan konten yang begitu kaya, dan mungkin membuat pemula merasa kewalahan dan kehilangan fokus. Tapi saran saya, anggap saja semua hal di sana sebagai pilihan: Anda ingin menjelajahi daratan yang belum terjamah? Silakan. Mau jadi tentara bayaran paling disegani? Mengapa tidak. Berambisi menaklukkan lautan? Adrestia siap berlayar. Dan kapan pun Anda menghendakinya, cerita petualangan Kassandra dan Alexios siap dinikmati.

 

Sparks

  • Tidak rumit dan mudah dinikmati
  • Explorer Mode membuat gameplay Assassin’s Creed jadi lebih segar
  • Konten yang melimpah dipadu formula role-playing
  • Grafis sangat cantik

Slacks

  • Gameplay RPG-nya masih terasa sangat ringan dan kasual
  • Fans veteran mungkin tidak menyukai arahan baru ini
  • Ada microtransaction
  • Harga season pass sangat mahal

[Review Game] Contra: Return – Nostalgia Nyaris Sempurna

Ketika Garena mengumumkan perilisan Contra: Return, saya sangsi game ini dapat menyuguhkan hiburan yang menarik. Biasanya judul game yang diboyong dari console ke mobile pasti mengalami penurunan di suatu aspek. Entah dari cerita yang jadi tidak seru, grinding dan pay-to-win berlebihan, atau dalam kasus game setipe Contra, sistem kontrol yang tidak nyaman. Apalagi beredar kabar bahwa Contra: Return akan menambahkan unsur PvP, semakin ragu saja saya dibuatnya.

Ternyata, setelah melihat video-video gameplay yang beredar menjelang perilisannya, pandangan saya langsung berubah. Contra: Return terlihat sangat menjanjikan, terutama karena Tencent benar-benar serius menciptakan ulang gameplay Contra di NES dulu. Tentu saja ditambah berbagai pembaharuan yang membuatnya tampil prima di era modern.

Seri Contra adalah salah satu seri favorit saya di masa kecil. Apakah Contra: Return berhasil membawa saya bernostalgia? Dan bagaimana daya tarik game ini terhadap gamer generasi baru yang tidak mengenal seri Contra klasik? Simak ulasannya di bawah.

Contra: Return | Screenshot 1
Simpel tapi seru, klasik tapi modern

Kala nostalgia menggoda

Menyebut Contra sebagai judul nostalgia sebenarnya agak kurang tepat. Pasalnya, seri Contra selama ini tidak pernah mati. Setelah versi NES dirilis pada tahun 1988, judul-judul Contra selalu muncul di platform terbaru sesuai perkembangan zaman. Seri game ciptaan Konami ini pernah menyambangi console SNES, Mega Drive, GBA, PS1, PS2, NDS, bahkan PS3 dan Xbox 360. Hanya era PS4/Xbox One/Switch yang belum kebagian.

Meski demikian, judul-judul Contra selepas era NES memang kurang dikenal, terutama di Indonesia. Untuk genre “run and gun” seperti ini, popularitas Contra kalah oleh seri lain yang lebih mainstream, misalnya Gunstar Heroes atau Metal Slug. Mungkin banyak gamer tanah air yang tidak pernah memainkan judul-judul Contra baru tersebut, jadi strategi Tencent dan Garena untuk fokus pada nostalgia memang cocok untuk pasar Indonesia.

Faktor nostalgia ini kemudian juga berdampak positif pada gameplay inti dalam Contra: Return. Ingat, Contra pertama di era NES adalah sebuah game yang sangat simpel. Sistem kontrolnya hanya menggunakan tombol arah dan dua tombol aksi, satu untuk lompat dan satu untuk menembak. Sangat mudah dipelajari, bahkan oleh anak-anak.

Contra: Return | Screenshot 2
Contra: Return penuh bos musuh yang cukup spektakuler

Tencent menerapkan gameplay simpel yang sama dalam Contra: Return. Tampilan visualnya boleh modern, tapi Contra: Return tetap terasa seperti game dari era NES, di mana semuanya begitu mudah dimengerti namun tetap memberi tantangan seru. Penerapan kontrol sederhana ini cocok dan nyaman sekali untuk smartphone yang terbatas pada layar sentuh.

Saya yakin, bila game ini memiliki mekanisme gameplay a la Contra modern (ada gerakan dash, roll, slide, dan sebagainya) hasilnya malah akan merepotkan. Bukannya asik bertarung melawan musuh, kita justru dibuat sibuk “bertarung” melawan sistem kontrol yang ruwet. Untungnya Contra: Return tidak demikian. Game ini bisa dinikmati semua orang, bahkan mereka yang tak pernah menyentuh seri Contra sama sekali.

Bukan Contra biasa

Contra: Return memiliki beberapa tambahan fitur gameplay yang tidak ada di Contra orisinal. Misalnya kemampuan untuk membawa dua senjata sekaligus, serta adanya berbagai skill unik untuk tiap hero. Selain skill bawaan hero, Anda juga bisa mendapatkan skill dari sumber lain. Misalnya dengan membawa Super Weapon, atau menanamkan Soul (bagian tubuh monster) ke senjata Anda. Kombinasi senjata, hero, dan skill yang tepat adalah penting untuk menjadi prajurit terkuat di medan perang.

Contra: Return | Screenshot 3
Adegan sinematik keren memamerkan kualitas visual Contra: Return

Ketika seluruh skill sudah Anda lengkapi, layar Anda akan menjadi lebih penuh karena banyaknya ikon-ikon skill. Namun itu tidak membuat Contra: Return jadi terasa rumit, karena pada dasarnya mengeluarkan skill itu sama saja dengan menembak biasa. Cukup tekan satu tombol, hanya jenis serangannya yang berbeda.

Contra: Return juga menerapkan sistem aim assist yang sangat nyaman digunakan. Seperti bermain Mobile Legends atau Arena of Valor, serangan Anda otomatis akan mengarah ke musuh tertentu sesuai pilihan Anda. Anda juga dapat mengatur aim assist agar selalu mengincar musuh terdekat, terlemah, atau malah mematikannya sama sekali.

Variasi hero yang ada memang tidak sebanyak dua game MOBA yang saya sebut di atas, namun tiap hero di Contra: Return benar-benar dirancang unik. Strategi memainkan Sheena yang bersenjata meriam laser, akan jauh berbeda dengan Fang si manusia serigala yang ahli pertarungan jarak dekat. Bila Anda suka main frontal a la Rambo, Bill dengan roketnya adalah pilihan lebih baik. Catelyn si sniper dapat membekukan lawan, sangat berbahaya dalam PvP. Dan masih banyak lagi variasi lainnya.

Contra: Return | Screenshot 4
Koleksi pistol-pistolan virtual

Pemilihan senjata juga berpengaruh terhadap gaya permainan Anda, dan Contra: Return memiliki berpuluh-puluh jenis senjata untuk dikoleksi. Anda bisa mendapatkan senjata baru dengan cara mengumpulkan Weapon Fragment dari berbagai misi. Pengumpulan Weapon Fragment dan senjata inilah yang merupakan daya tarik utama Contra: Return. Berhasil mendapatkan senjata baru setelah susah payah grinding rasanya sangat memuaskan, apalagi bila senjata itu sangat cocok dengan hero favorit Anda.

Kerja keras bagai kuda

Bicara soal fitur, bila semua fitur dibahas di sini rasanya seperti tak akan ada habisnya. Contra: Return memiliki variasi mode permainan yang luar biasa banyak, juga memiliki segudang fitur yang dijamin tidak akan membuat Anda kehabisan hal untuk dikerjakan.

Karakter-karakter hero di Contra: Return dapat Anda upgrade untuk memperkuat skill mereka. Setiap senjata pun bisa Anda upgrade agar damage yang dihasilkan meningkat. Tapi selain upgrade, senjata juga memiliki fitur Enhance, Evolve, dan Mod, yang masing-masing akan memberi efek berbeda. Evolve merupakan fitur terpenting, sebab Evolve dapat memunculkan Mod (skill pasif) baru serta mengubah wujud peluru yang Anda tembakkan. Tentu saja, Evolve juga merupakan tipe upgrade yang materialnya paling susah dicari.

Contra: Return | Screenshot 5
Semua bisa di-upgrade

Ini masih belum semua. Tadi saya sempat menyinggung soal Super Weapon, senjata pamungkas yang hanya bisa digunakan sekali di setiap stage. Super Weapon juga dapat Anda upgrade. Bagaimana dengan Soul, yang bisa dipasangkan ke senjata agar muncul skill baru? Ya, Soul juga bisa Anda upgrade.

Anda dapat melengkapi hero dengan Equipment, seperti baju pelindung, sepatu, helm, dan sebagainya. Tentu saja, setiap Equipment pun bisa di-upgrade. Masih ada lagi fitur Pet, di mana Anda dapat membawa partner hewan tertentu untuk membantu pertarungan. Bisa Anda tebak, Pet pun bisa di-upgrade. Upgrade, upgradeupgrade!

Sekilas lihat fitur-fitur di atas bisa membuat kita kewalahan. Tapi setelah paham sistemnya, aktivitas grinding mengumpulkan material-material untuk upgrade akan terasa lebih asik dan santai. Setiap mode permainan menghasilkan imbalan berbeda-beda, jadi Anda cukup fokus pada mode sesuai material yang Anda incar saja.

Contra: Return | Screenshot 6
Musuh-musuh klasik seri Contra, lebih garang dari sebelumnya

Bila Anda sudah menyelesaikan suatu stage dengan baik, Contra: Return menyediakan fitur Raid untuk mengulang misi itu tanpa Anda harus memainkannya sendiri. Berbeda dari RPG mobile yang biasanya hanya menyediakan fitur auto battle, Raid di Contra: Return benar-benar langsung memberikan Anda imbalan tanpa bermain sama sekali. Jadi Anda tak perlu mengulang-ulang stage sampai bosan. Bila butuh material tertentu dari suatu stage, tinggal Raid saja. Kemudian Anda bisa fokus ke mode-mode lain yang lebih menantang.

Saat waktu memisahkan

Mengoleksi senjata dan hero dalam Contra: Return saya akui memang sangat asik. Tapi di sinilah muncul masalah yang mungkin merupakan satu-satunya komplain saya di seluruh game. Yaitu, terlalu banyaknya event yang dibatasi oleh waktu.

Memang event terbatas adalah hal yang lumrah di game online. Tapi untuk game kompetitif, biasanya imbalan yang diberikan tidak berpengaruh besar pada gameplay. Misalnya kostum hero, atau kesempatan mendapatkan hero tertentu secara gratis. Bila event itu kita lewatkan, hero yang kita incar tetap bisa didapatkan lewat grinding.

Contra: Return | Screenshot 7
Butuh merogoh kocek juga sesekali

Contra: Return tidak demikian. Beberapa hero memang bisa diperoleh secara gratis, tapi hero-hero peringkat S yang keren harus didapat dengan cara membeli atau mengikuti event terbatas. Begitu pula dengan senjata. Weapon Fragment yang diperlukan untuk mendapatkan senjata-senjata langka hanya tersedia dalam waktu terbatas.

Contra: Return seolah berambisi untuk menjadi game nomor satu di smartphone kita. Kebutuhan grinding yang tinggi, ditambah berbagai event terbatas, akan membuat kita merasa ketinggalan bila tidak rajin main setiap hari. Sah-sah saja sih berambisi demikian, tapi menurut saya itu melenceng dari sifat utama game bertipe run and gun seharusnya: hiburan ringan.

Saya memainkan Contra, Metal Slug, atau Gunstar Heroes bila butuh permainan sederhana yang seru, santai, dan bisa dinikmati bersama teman. Kalau ingin bermain lebih serius dan menghabiskan banyak waktu, saya akan beralih ke RPG atau MOBA saja. Dengan berusaha menjadi game yang lebih serius dari seharusnya, Contra: Return sedikit merusak kesenangan tersebut. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Contra: Return | Screenshot 8
Serasa menonton film Arnold Schwarzenegger

Serdadu jalanan

Satu aspek dari Contra: Return yang tak boleh kita lupakan adalah multiplayer. Menurut saya, multiplayer di game ini setengah berhasil, namun juga setengah gagal. Berhasil di sisi mode kooperatif, sementara untuk mode kompetitifnya masih terasa kurang maksimal.

Mode kooperatif Contra: Return yang disebut Duo Mode menurut saya adalah ide brilian. Ini merupakan modernisasi atau evolusi dari multiplayer zaman dulu, di mana dua orang pemain bekerja sama untuk menaklukkan stage yang seru. Bedanya, sekarang kita bisa melakukannya tanpa bertemu langsung, cukup lewat koneksi intenet yang dilengkapi voice chat.

Berkali-kali saya memainkan Duo Mode, baik bersama teman ataupun orang asing, dan saya selalu menikmatinya. Apalagi karena setiap pemain memiliki gaya dan build berbeda-beda, Duo Mode juga bisa jadi tempat mencari ide build untuk ditiru. Cara untuk “mabar” juga sangat simpel. Kita dapat menciptakan room publik, mengundang teman yang kita kenal, atau masuk ke Solo Queue dan menunggu dipasangkan dengan pemain lain secara acak.

Contra: Return | Screenshot 9
Berdua, dobel asyiknya

Sebaliknya, mode PvP di game ini justru terasa seperti ide setengah matang. Tersedia mode satu lawan satu serta mode keroyokan, dan sejujurnya ketika pertama kali mencoba keduanya terasa cukup seru. Tapi keseruan itu dengan cepat berubah jadi membosankan karena pertarungan terasa begitu repetitif.

Berbeda dari PvP di genre MOBA atau RPG yang butuh strategi, PvP di Contra: Return lebih rusuh, cepat, dan kacau. Karena semua orang memiliki aim assist, layar akan senantiasa penuh dengan hujan peluru, memaksa kita untuk berlarian ke sana kemari sambil sedikit panik.

Selain itu semua hero punya kecepatan jalan yang kurang lebih sama, dan permainan berjalan di arena 2D. Agak sulit menciptakan permainan taktis bila jarak antara kita dan musuh terasa seperti tak pernah berubah. Memang ada hero-hero yang punya skill dengan efek mobilitas, misalnya Han Feng. Namun tetap saja rasanya rusuh sebab tempo permainan sangat cepat.

Contra: Return | Screenshot 10
Tidak mau kalah dari Metal Gear Solid V

Mungkin di level profesional, PvP dalam Contra: Return bisa jadi lebih seru. Tapi saya tidak berharap banyak. Saya pribadi akan lebih senang bila Tencent dan Garena lebih fokus meningkatkan sisi kooperatif saja, karena itulah aspek seri Contra yang telah menghasilkan banyak kenangan.

Hiburan yang ceria untuk hari yang sepi

Secara keseluruhan, Contra: Return merupakan game dengan kualitas sangat baik. Tampilan visualnya sangat keren, lagu-lagu remix dari seri Contra lawas dengan aransemen rock juga selalu membangkitkan semangat. Cukup mengejutkan, game ini juga memiliki cerita yang cukup panjang dan dilengkapi dengan sulih suara serta adegan-adegan sinematik sesekali.

Sayangnya, game ini gagal menjadi nostalgia yang sempurna akibat terlalu berusaha menjadi sesuatu yang tak seharusnya. Mungkin Tencent ingin Contra: Return jadi judul esports besar di masa depan, sehingga mereka menambahkan unsur-unsur PvP dalam game ini. Tapi menurut saya genre run and gun lebih cocok untuk hura-hura saja ketimbang jadi ajang adu kemampuan. Meski demikian kemauan Tencent untuk berinovasi patut diapresiasi, walaupun masih belum 100% tepat sasaran.

Contra: Return | Screenshot 11
Mode paling susah, sudah masuk kategori “Nintendo Hard”

Bila kita abaikan sisi kompetitifnya, Contra: Return adalah hiburan sempurna ketika Anda butuh pengisi waktu luang yang bisa dinikmati kapan saja. Satu hal saja harapan saya, mudah-mudahan cara untuk mendapatkan hero bisa dibuat lebih mudah. Sebab saya ingin bisa menikmati game ini dengan cara dan gaya saya sendiri.

Sparks:

  • Kualitas visual sangat keren, baik model 3D maupun artwork para karakter
  • Remix lagu-lagu Contra lawas selalu berhasil membangkitkan semangat
  • Sistem kontrol yang sangat simpel, persis Contra era NES
  • Puluhan senjata menarik dengan variasi serangan yang sangat luas
  • Koleksi senjata tidak terlalu bergantung pada keberuntungan
  • Upgrade, upgradeupgrade, selalu ada alasan untuk bermain
  • Setiap hero punya gaya main yang jauh berbeda
  • Segudang variasi mode permainan, dari yang sangat mudah sampai level “Nintendo Hard
  • Fitur Raid sangat membantu untuk mengumpulkan material
  • Cerita yang cukup menghibur dan mengandung sulih suara lengkap
  • Duo Mode sangat asyik untuk main bersama teman

Slacks:

  • Banyak event terbatas yang menyebalkan
  • Mode PvP terasa repetitif

[Review] Game Dead Cells: Sang Penghancur yang Rapuh

Anda terbangun di sebuah penjara bawah tanah yang lembab. Tanpa ingatan, tanpa teman, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di balik dinding tebal yang mengurung Anda. Ragu-ragu, Anda membuka pintu sel yang ternyata tak terkunci, hanya untuk dikejutkan oleh sosok monster menjijikkan yang tiba-tiba menerjang. Beruntung, di sisi Anda tergeletak sebilah pedang berkarat dan tameng usang. Bukan perlengkapan paling meyakinkan, tapi jauh lebih baik daripada tak ada sama sekali.

Satu monster, dua monster. Satu lusin, dua lusin. Tak butuh waktu lama sampai Anda tak ingat lagi sudah berapa monster yang telah Anda basmi. Tanpa tahu harus ke mana, tiap langkah Anda berat oleh rasa takut dan penasaran. Setidaknya Anda tahu satu hal: bahwa Anda harus terus bergerak. Tidak ada pilihan lain. Diam berarti mati.

Dead Cells | Screenshot 1

Hampir-hampir Anda putus asa, kalau saja Anda tak melihat cahaya dari pintu di salah satu sudut lorong. Anda berlari mendekat, berharap menemukan jalan keluar, tapi sebelum sempat melewati pintu itu seorang kesatria menghadang jalan Anda.

“Bagaimana rasanya, jalan-jalan tanpa kepala?” sapa si kesatria.

Selamat datang di Dead Cells.

Dia yang tak bisa mati

Uraian singkat di atas adalah gambaran tentang apa yang Anda rasakan ketika bermain Dead Cells untuk pertama kali. Bingung, tegang, mungkin bahkan takut karena Anda merasa begitu tak berdaya. Dead Cells memang game yang sedikit “jahat”. Game ini tidak mengajarkan banyak hal. Anda langsung diceburkan ke dalam bahaya dan dipaksa untuk meraba-raba.

Dead Cells | Screenshot 2

Tokoh utama Dead Cells sebenarnya bukanlah manusia, melainkan sekumpulan sel yang menghuni tubuh orang mati. Karena sebenarnya Anda sudah mati, tentu saja Anda tak bisa mati lagi. Karena itulah setiap kali Anda game over, Anda dapat hidup kembali, namun dengan kehilangan nyaris semua progres dan barang yang telah Anda temukan.

Mekanisme permainan yang disebut “roguelike” ini selaras dengan konsep dunia yang ada dalam Dead Cells. Di sini, kematian bukanlah akhir, namun awal dari siklus yang harus Anda lewati untuk menyelesaikan game. Meski Anda harus mengulang dari awal, setiap pengulangan terjadi Anda pasti menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Dead Cells | Screenshot 3

Kekuatan itu datang dari berbagai upgrade permanen yang dapat Anda beli dari NPC bernama The Collector. Ketika Anda membunuh musuh, terkadang musuh itu bisa menjatuhkan sel yang dapat Anda serap. Sel itulah mata uang yang dapat Anda tukar dengan kemampuan baru. Misalnya membuka senjata-senjata baru, membuka beragam skill pasif yang disebut Mutation, mendapatkan Healing Potion lebih banyak, dan sebagainya.

Ketika baru mulai bermain, Anda mungkin akan merasa game ini susah sekali. Tapi seiring Anda mengumpulkan sel dan mendapatkan berbagai kemampuan baru, Anda akan merasa kemungkinan hidup Anda berangsur-angsur meningkat.

Tentu saja, sebanyak apa pun Anda mengumpulkan sel, tetap tak ada artinya tanpa disertai keahlian yang mumpuni. Di dalam Dead Cells, semua hal berusaha untuk membunuh Anda. Jebakan menanti di setiap sudut ruangan, dan bila tak hati-hati, musuh selevel kroco pun bisa membuat Anda tewas mengenaskan.

Dead Cells | Screenshot 4

Usaha takkan mengkhianati

Motion Twin, developer Dead Cells, menyebut bahwa game ini terinspirasi oleh tiga hal: Rogue, Castlevania, dan Dark Souls. Kemiripan dengan Rogue terletak pada dunianya yang dibuat acak secara prosedural. Jadi setiap kali Anda bermain, desain level serta musuh di dalamnya akan selalu berubah.

Kemiripan dengan Castlevania terletak pada tampilan visualnya yang menggunakan pixel art dua dimensi dan permainan yang memiliki fokus kuat pada eksplorasi. Anda akan menemukan bahwa banyak sekali jalur atau ruangan yang tidak bisa langsung dimasuki dari awal. Jalur-jalur rahasia tersebut hanya bisa Anda buka dengan memanfaatkan kemampuan tertentu, misalnya kemampuan untuk menghancurkan dinding atau teleportasi.

Dead Cells | Screenshot 5

Pengaruh Dark Souls terasa sangat kuat di dua hal: pertarungan dan cerita. Jangan bayangkan Anda bisa bermain asal pencet lalu semua musuh akan musnah. Dark Cells menuntut Anda untuk benar-benar mempelajari pola serangan tiap lawan, kemudian menyerang balik dengan metode yang tepat.

Selain itu, Dead Cells juga memiliki cerita yang misterius dan sulit dimengerti. Jangan bayangkan adegan-adegan teatrikal bersulih suara ala Castlevania: Symphony of the Night. Dead Cells justru menyajikan ceritanya secara implisit dan minimalis, tersebar di antara catatan-catatan yang dapat Anda temukan di seluruh penjuru kastil serta monolog si tokoh utama.

Walau tidak begitu koheren, saya cukup menikmati cerita Dead Cells karena cara penyajiannya yang eksentrik dan kental akan nuansa dark humor. Dipadukan dengan arahan visual yang berhasil berkali-kali menyajikan image kuat dalam ingatan, developer Dark Cells tampaknya ingin mengajak kita semua untuk tak lupa tertawa meski sedang merasa terkurung oleh kejamnya dunia.

Dead Cells | Screenshot 6

Satu hal pasti yang bisa saya simpulkan dari gaya penceritaan Dead Cells. Ini bukan game untuk anak-anak.

Geser keseimbangan neraca takdir

Dead Cells memiliki desain kesulitan brilian yang akan membuat Anda bersemangat sekaligus tegang pada waktu yang sama. Memang benar, mati adalah hal yang sangat mudah dalam Dead Cells. Tapi game ini juga membekali Anda dengan segudang senjata maupun gadget yang begitu variatif, Anda akan merasa bagaikan sedang menjadi Batman. Batman yang terjebak di dalam neraka, mungkin.

Dalam permainan, Anda hanya boleh membawa lima perlengkapan, terdiri dari dua jenis senjata, dua jenis gadget, dan satu aksesoris. Dua senjata itu bisa terdiri dari satu pedang dan satu tameng, atau dua buah pedang, atau satu pedang dan satu panah, atau dua panah, bahkan dua tameng bila Anda mau. Ragam senjatanya pun begitu luas. Tak hanya pedang, panah, dan tameng, ada juga tombak, cambuk, pisau, palu, sepatu, bumerang, bahkan The Force.

Dead Cells | Screenshot 7

Gadget (sebetulnya istilah asli dalam Dead Cells adalah Skill, tapi saya lebih suka menyebutnya gadget) yang tersedia pun tak kalah luas. Bermacam-macam granat, jebakan, ranjau, serta kemampuan spesial ada di sini. Dengan pemilihan gadget yang tepat Anda bisa membuat semua musuh tak berdaya, tapi tentu itu semua tergantung dari bagaimana Anda menggunakannya.

Dead Cells memaksa pemainnya untuk berpikir dan mengambil keputusan-keputusan sulit sepanjang permainan. Pasalnya, semua senjata dan gadget hanya bisa Anda dapat secara acak. Anda harus pintar memilih mana saja benda yang harus Anda bawa, yang sesuai dengan gaya permainan Anda, agar Anda dapat mengalahkan lawan-lawan secara optimal.

Dead Cells | Screenshot 8

Sinergi merupakan kata kunci penting di sini. Bisa saja Anda menemukan satu senjata dahsyat yang langka, tapi bila senjata itu tidak sinergis dengan gadget dan Mutation Anda, mungkin lebih baik buang saja. Mutation yang Anda pilih juga akan berpengaruh besar, karena Anda terbatas hanya bisa menggunakan tiga jenis Mutation. Keberuntungan tak bisa diprediksi, tapi bagaimana Anda memanfaatkan apa yang Anda punya, itulah yang menjadi penentu kesuksesan.

Bukan untuk semua orang

Dead Cells adalah game seru yang sangat memacu adrenalin. Kesenangan melakukan eksplorasi sambil melibas monster-monster dengan gabungan aksi heroik dan taktik benar-benar menimbulkan rasa candu. Persis seperti makan sambal, sebetulnya menyakitkan namun susah berhenti karena enak.

Dead Cells | Screenshot 9

Tak semua orang doyan makan sambal. Begitu pula tak semua orang cocok memainkan Dead Cells. Struktur permainan roguelike bisa membuat orang frustasi karena mereka harus mengulang dari awal lagi bila mati. Selera humor dalam ceritanya tidak cocok untuk orang yang anti pikiran-pikiran negatif. Kesulitannya yang tinggi pun memberikan tantangan baik kepada otak maupun jari-jemari kita.

Sesuai dengan tiga game yang menginspirasinya, Dead Cells hanya cocok untuk orang yang menyukai game setipe Rogue, Castlevania, dan Dark Souls sekaligus. Bila Anda merasa bagian dari kelompok itu, Dead Cells akan membawa Anda ke dalam pengalaman yang adiktif walau menyakitkan, kejam namun indah dipandang, dan membuat Anda terdorong untuk mencoba lagi dan lagi.

Tapi bila Anda tidak termasuk di dalamnya, sebaiknya jauh-jauh saja.

Sparks

  • Animasi pixel art yang mulus, setiap aksi terasa berbobot dan memuaskan
  • Cerita misterius, penuh dark humor serta referensi ke elemen pop culture lain
  • Desain level walau prosedural tetap terasa menarik untuk dieksplorasi
  • Progresi tidak linear, jalur-jalur rahasia dapat membawa Anda ke level berbeda bahkan bos musuh berbeda pula
  • Variasi senjata dan gadget sangat luas, menghasilkan segudang kemungkinan strategi berbeda
  • Sound effect didesain brilian, membuat setiap aksi terasa lebih epik dari kelihatannya

Slacks

  • Desain roguelike yang memaksa mengulang ke level pertama bisa memunculkan rasa frustrasi

Daftar Publisher Game Terbaik di Tahun 2017 Versi Metacritic

Berkat disediakannya bagian ulasan user di platform distribusi digital populer (misalnya Steam) serta adanya situs-situs agregat review, kita bisa mudah mempertimbangkan baik-buruknya sebuah game sebelum membeli. Di antara website agregator itu, Metacritic merupakan salah satu yang tertua dan terbesar, memulai layanannya sejak tahun 1999.

Setelah Steam dan Amazon masing-masing menyingkap permainan dengan pemasukan serta penjualan tertinggi di tahun lalu, kali ini giliran layanan perangkum review punya CBS Interactive itu mengungkap daftar publisher terbaik di 2017. Ketentuannya cukup sederhana: mereka mengurutkan perusahaan-perusahaan yang karyanya mendapatkan penilaian rata-rata tertinggi dari media game profesional.

Tahun 2017 lalu mungkin didominasi oleh judul-judul seperti Super Mario Odyssey, The Legend of Zelda: Breath of the Wild dan Nier: Automata, namun ternyata bukan Nintendo ataupun Square Enix yang menempati urutan teratasnya. Metacritic membagi daftar ke dalam dua tier: pertama adalah publisher yang melepas 12 permainan atau lebih, lalu tingkatan kedua ialah publisher yang merilis 5 sampai 11 judul dalam periode 12 bulan. Ini dia:

 

1. Bethesda – 79,9

Skor tertinggi: Wolfenstein II: The New Colossus (Xbox One) – 88
Skor terburuk: Doom VFR – 69
Favorit user: The Evil Within 2 (Xbox One) – 89

 

2. Nintendo – 78,0

Skor tertinggi: The Legend of Zelda: Breath of the Wild (Switch) – 97
IP baru terbaik: Snipperclips (Switch) – 80
Skor terburuk: Flip Wars (Switch) – 53
Favorit user: Pokemon Ultra Sun / Moon (3DS) – 90

 

3. Sega – 75,5

Skor tertinggi: Bayonetta (PC) – 90
Skor terburuk: Valkyria Revolution (PS4) – 55
Favorit user: Sonic Mania (Switch) – 89

 

4. Activision Blizzard – 75,7

Skor tertinggi: Destiny 2 (Xbox One) – 87
Skor terburuk: Destiny 2: Curse of Osiris (PS4) – 57
Favorit user: Crash Bandicoot N. Sane Trilogy (PS4) – 88

 

5. Capcom – 76,6

Skor tertinggi: Okami HD (PC) – 92
Skor terburuk: Ultra Street Fighter II: The Final Challengers (Switch) – 66
Favorit user: Okami HD (PS4) – 90

 

6. Ubisoft – 75,4

Skor tertinggi: Assassin’s Creed Origins (Xbox One) – 85
IP baru terbaik: For Honor (Xbox One) – 79
Skor terburuk: Monopoly for Nintendo Switch (Switch) – 53
Favorit user: Mario + Rabbids: Kingdom Battle (Switch) – 86

 

7. Sony – 74,9

Skor tertinggi: Horizon Zero Dawn (PS4) – 89
IP baru terbaik: Horizon Zero Dawn (PS4) – 89
Skor terburuk: Drawn to Death (PS4) – 56
Favorit user: Wipeout: Omega Collection (PS4) – 87

 

8. Square Enix – 73,6

Skor tertinggi: Final Fantasy XIV: Stormblood (PS4) – 89
IP baru terbaik: Children of Zodiarcs (PS4) – 81
Skor terburuk: Oh My Godheads (PS4) – 56
Favorit user: NieR: Automata (PS4) – 88

 

9. Bandai Namco Entertainment – 73,0

Skor tertinggi: Project CARS 2 (PC) – 85
IP baru terbaik: Little Nightmares (Xbox One) – 83
Skor terburuk: Mighty Morphin Power Rangers: Mega Battle (Xbox One) – 46
Favorit user: Dark Souls III: The Ringed City (Xbox One) – 86

 

10. Koei Tecmo Games – 69,7

Skor tertinggi: Nioh: Complete Edition (PC) – 84
IP baru terbaik: Blue Reflection (PS4) – 66
Skor terburuk: Berserk and the Band of the Hawk (PC) – 54
Favorit user: Fire Emblem Warriors (Switch) – 81

 

11. NIS America – 68,2

Skor tertinggi: Ys VIII: Lacrimosa of DANA (PS4) – 85
IP baru terbaik: A Rose in the Twilight (Vita) – 75
Skor terburuk: Tokyo Tattoo Girls (Vita) – 36
Favorit user: Disgaea 5 Complete (Switch) – 87

 

12 . Telltale Games – 70,9

Skor tertinggi: Marvel’s Guardians of the Galaxy – Episode 2: Under Pressure (Xbox One) – 78
Skor terburuk: The Walking Dead: The Telltale Series – A New Frontier Episode 4: Thicker than Water (PS4) – 62
Favorit user: The Walking Dead: The Telltale Series – A New Frontier (PS4) – 67

 

Dan di bawah ini adalah daftar publisher ‘tier dua’:

  1. Nicalis79,8
  2. Paradox Interactive – 80,6
  3. Devolver Digital76,5
  4. Warner Bros. Interactive 73,7
  5. Electronic Arts73,2
  6. Daedalic Entertainment 73,0
  7. Plug In Digital75,3
  8. Hamster73,6
  9. Take-Two Interactive – 72,8
  10. Adult Swim71,0
  11. XSEED Games 73,0
  12. Microsoft Game Studios 72,0
  13. Headup Games68,2
  14. Aksys Games71,0
  15. THQ Nordic68,2

Sumber: Metacritic.