[Review] ASUS ZenBook Duo UX481, Suguhkan Pengalaman Menggunakan Monitor Eksternal

Ngopi di kafe sambil kerja buka laptop sudah menjadi pemandangan yang umum dan laptop dengan logo ‘apel’ sudah terlihat terlalu mainstream. Lain cerita kalau laptop yang digunakan ialah ASUS ZenBook Duo, desain ‘nyeleneh’ dengan dual-screen ini sangat mudah mencuri perhatian – kesannya sangat futuristik.

Hari Jumat lalu, waktu menunjukkan jam 2 siang setelah menghadiri acara peluncuran smartphone baru. Karena balik ke kantor jauh, mampir ke tempat ngopi menjadi opsi terbaik untuk lanjut mengetik artikel. Saya bawa ZenBook Duo sekalian untuk mengetesnya dan berikut pengalaman saya menggunakan ZenBook Duo selama seminggu.

Desain Nyeleneh

PSX_20191211_155521

ZenBook Duo tiba dalam balutan warna Celestial Blue yang tampil elegan. Menurut saya warnanya ini lebih ke arah hijau tua dan hampir mirip dengan warna Midnight Green pada iPhone 11 Pro Max. Bagian depan ZenBook Duo ini menampilkan desain khas ZenBook dengan spun-metal finish yang berpusat di logo ASUS.

Saat membuka tutupnya, mekanisme engsel ErgoLift design akan membuat body utama ZenBook Duo sedikit terangkat dan membentuk rongga udara ekstra dengan sudut 5,5 derajat. Posisi keyboard dan layar sekunder yang sedikit miring tersebut membuat pengalaman mengetik lebih nyaman, memberikan sudut pandang layar sekunder lebih baik, serta meningkatkan performa sistem pendingin dan audio.

‘ScreenPad Plus’, begitu ASUS menamainya. Sebuah layar sentuh 12,6 inci yang besarnya sekitar setengah layar utama. Karena tempat yang seharusnya untuk keyboard digunakan untuk ScreenPad Plus, posisi keyboard pun tergeser ke bawah di tempat yang seharusnya untuk touchpad dan sandaran tangan. Touchpad pun diperkecil dan dipindahkan ke samping kanan keyboard, tapi setidaknya ASUS melengkapi touchpad dengan tombol klik kanan dan kiri.

Penempatan keyboard dan touchpad yang tidak biasa ini membuat aktivitas mengetik bikin sering typo dan mengoperasikan laptop menjadi canggung. Bagi yang gampang geregetan, sebaiknya menggunakan mouse.

Keyboard-nya sendiri bergaya chiclet, dilengkapi dengan full-size backlit, dan memiliki key travel sejauh 1.4mm. Keyboard-nya empuk saat ditekan, sejauh ini aktivitas mengetik di permukaan yang rata cukup nyaman. Namun karena tidak punya sandaran tangan, akan sulit mengetik di atas pangkuan paha.

Layar Utama & Dimensi

ASUS ZenBook Duo mengemas NanoEdge display 14 inci, dengan panel LED-backlit beresolusi Full HD (1920×1080 piksel) dalam rasio 16:9, dengan tingkat reproduksi warna color space sRGB hingga 100 persen, dan teknologi wide-view 178 derajat. Warna yang dihasilkan di layar laptop ini juga akurat karena telah dikalibrasi dan telah mengantongi sertifikasi Pantone Validated Display.

Bezel samping kanan kiri dan atas sangat tipis, hanya 3,5mm dan ASUS mengklaim rasio screen-to-body mencapai 90 persen. Sayangnya, bezel sampingnya ini terbuat dari plastik berpadu karet yang membuatnya terlihat kurang premium.

Mungkin hal ini terkait soal ketahanan body-nya, di mana ZenBook Duo telah mengantongi sertifikasi ketahanan standar militer MIL-STD 810G. Sertifikasi tersebut menandakan bahwa ZenBook Duo telah lolos dari berbagai pengujian ekstrem mulai dari uji penggunaan di ketinggian ekstrem, uji ketahanan jika laptop ini dijatuhkan dari ketinggian tertentu, uji ketahanan terhadap getaran, hingga uji penggunaan di suhu ekstrem.

Meski masuk dalam keluarga ZenBook, ZenBook Duo dengan dual-screen punya profil yang lebih tebal sehingga tidak masuk dalam kategori ultrabook atau laptop thin & light. Sebab dimensinya mencapai 323×223 mm dengan ketebalan 19,9 mm dan bobot 1,5 kg. Sebagai laptop 14 inci, bentukan ZenBook Duo masih terbilang ramping. Namun body-nya memang seperti laptop mainstream, cukup tebal dan agak berat.

Soal konektivitas, ZenBook Duo telah dilengkapi modem Intel Wi-Fi 6 dengan Gig+ (802.11ax). Lalu, pada sisi kanan terdapat port USB 3.1 Gen 1, audio jack 3,5mm, dan slot microSD card reader. Sementara, di sisi kirinya terdapat port charging, port HDMI, port USB 3.1 Gen 2, dan port USB Type-C 3.1 Gen 2.

ScreenPad Plus

Layar kedua bernama ScreenPad Plus menjadi sajian utama ZenBook Duo, ASUS merancangnya untuk meningkatkan produktivitas penggunanya lewat multitasking. Layarnya berukuran 12,6 inci dan uniknya ScreenPad Plus ini sudah touchscreen, padahal layar utama tidak mendukung touchscreen dan dibekali stylus dalam paket penjualannya.

Layarnya sendiri memiliki finishing matte, bukan glossy seperti pada layar utama. Mengingat penempatan layar pertama dan kedua saling berhadapan, finishing matte pada ScreenPad Plus akan mengurangi efek refleksi. Meskipun artinya akan ada perbedaan kualitas, tampilan yang kontras suka atau tidaknya tergantung dari preferensi pengguna masing-masing.

ScreenPad Plus ini dikenali oleh sistem sebagai monitor eksternal. Secara default berada di mode Extend, kita mengubah ke mode lainnya seperti mode duplicate, mode second screen only, dan mode PC screen only dengan menekan tombol F8.

Ya, kita dapat menyeret konten di layar utama ke layar kedua dengan mulus. Sebagai seorang content creator, saya bisa menulis review atau berita dan membuka banyak referensi di layar kedua.

Lalu, saat mengedit video – saya bisa menyeret file project dan timeline ke layar kedua – sehingga layar utama bisa digunakan sepenuhnya untuk preview video. Saat mengedit foto, saya bisa memindahkan tool ke bawah dan menggunakan stylus untuk meningkatkan akurasi lebih baik.

Kita bisa menampilkan dua hingga tiga window atau aplikasi di ScreenPad Plus. Cukup drag-and-drop konten yang diinginkan dan posisikan sesuai dengan layout yang disediakan. ASUS juga menyediakan antarmuka khusus agar lebih mudah dalam mengatur berbagai aplikasi yang sedang ditampilkan. Serta sejumlah fitur untuk membantu multitasking, meliputi App Switcher, Tas Swap, App Navigator, Task Group, dan fitur yang paling istimewa adalah Quick Key.

Fitur tersebut memungkinkan pengguna ZenBook Duo UX481 menampilkan tombol pintasan (shortcut) di layar ScreenPad Plus. Selain dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya, Quick Key juga dapat diintegrasikan dengan aplikasi apapaun yang sedang dijalankan. Dengan demikian Quick Key dapat menampilkan tombol pintasan sesuai dengan aplikasi yang sedang berjalan.

Hardware dan Performa

PSX_20191211_155131

Sebagai laptop yang dirancang optimal untuk melakukan multitasking, ZenBook Duo UX481 hadir dengan performa yang powerful. Unit ZenBook Duo yang saya review ditenagai prosesor Intel Core i7-10510U Comet Lake generasi ke-10, quad-core 1.8GHz dengan Turbo Boost (hingga 4.9GHz) dan cache 8MB.

Berbicara soal multitasking, ZenBook Duo UX481 telah dilengkapi dengan RAM DDR4 berkapasitas hingga 16GB. Didukung oleh penyimpanan berupa M.2 PCIe NVMe SSD berkapasitas 1TB.

ZenBook Duo UX481 juga hadir dengan chip grafis NVIDIA GeForce MX250 yang cukup powerful untuk berbagai kegiatan komputasi. Tidak hanya itu, chip grafis dengan VRAM sebesar 2GB ini bahkan dapat diandalkan untuk mengakselerasi performa ketika melakukan photo atau video editing.

Prosesor Intel Core 10th Gen memiliki konsumsi daya yang lebih rendah dari generasi sebelumnya. Lalu dengan kapasitas baterai 70Whrs, laptop ini mampu bertahan lama. Menurut ASUS dengan pengujian menggunakan PCMark 10 battery pada mode modern office menunjukkan ZenBook Duo UX481 dapat bertahan hingga 8 jam.

Verdict

PSX_20191211_154526

Layar 14 inci pada laptop memang dianggap sebagai ukuran yang proporsional, nyaman buat bekerja dan tetap portable. Namun untuk kegiatan multitasking, layar laptop terlalu kecil untuk menampilkan beberapa aplikasi atau tugas secara bersaam. Keberadaan monitor tambahan tentu akan sangat membantu kita dalam bekerja.

ScreenPad Plus adalah jawaban dari ASUS, tak hanya dapat membuka banyak aplikasi secara bersamaan – tapi juga ditampilkan secara efisien. Tampilan bisa dibagi-bagi, sehingga kita bisa dengan nyaman dan cepat menyelesaikan pekerjaan di layar utama.

Di sisi lain, desain revolusioner ZenBook Duo dengan dual-screen mengorbankan aspek ergonomis – ia bukanlah laptop ultrabook atau thin & light. Meskipun dimensinya tergolong padat dan ramping, body-nya cukup tebal dan agak berat seperti laptop mainstream. Selain itu, penempatan keyboard dan touchpad-nya yang agak canggung mungkin bisa jadi masalah dalam kondisi penggunaan tertentu.

Berikut harga ASUS ZenBook Duo UX481:

  • Rp16.299.000 (Core i5, UMA, 8GB/512GB)
  • Rp18.299.000 (Core i5, MX250, 8GB/512GB)
  • Rp20.299.000 (Core i7, MX250, 16GB/512GB)
  • Rp23.999.000 (Core i7, MX250, 16GB/1TB)

Sparks

  • ScreenPad Plus menyuguhkan pengalaman seperti layaknya menggunakan monitor eksternal, berguna untuk multitasking
  • Desain unik dan tampil futuristik
  • Termasuk stylus, case, dan dudukan lipat
  • Harganya mulai dari Rp16 jutaan

Slacks

  • Kualitas tampilan layar utama dan kedua kontras
  • Penempatan keyboard agak canggung dan touchpad-nya sempit 
  • Layar utama tidak touchscreen
  • Body agak tebal dan berat

 

[Review] OPPO Reno2 F, Jelmaan Smartphone F Series

Rilis di Indonesia pada awal bulan Oktober 2019 lalu bersama Reno2, Reno2 F merupakan perangkat baru OPPO yang menyasar segmen pasar Rp5 jutaan. Sekedar informasi, Reno series dari generasi pertama dikategorikan sebagai smartphone premium atau high-end OPPO yang dijual pada rentang harga cukup mahal yaitu Rp8 juta hingga Rp13 juta.

Dijual dengan harga Rp5,4 juta, Reno2 F mewarisi sejumlah fitur yang ada pada Reno series generasi pertama. Sementara, bedanya dengan Reno2 ialah smartphone ini masih ditujukan untuk para early content creator. Mereka adalah orang-orang yang membuat konten untuk media sosial, sedangkan Reno2 merupakan smartphone pertama OPPO yang berfokus pada fitur-fitur videografi dan ditujukan langsung untuk para content creator. Berikut review OPPO Reno2 F selengkapnya:

Desain

PSX_20191202_180345

Ada yang belum bisa move-on sama F11 Pro? Seolah tidak rela melepas keunikan mekanisme kamera depan pop-up rising camera begitu saja, OPPO menggunakan kembali desain peninggalan F series tersebut pada Reno2 F. Namun, dipadukan dengan elemen desain khas Reno series.

Bisa dilihat dari tampilan punggung Reno2 F, konfigurasi empat kameranya tersusun vertikal di tengah atas dan modul kameranya berada di bawah lapisan Corning Gorilla Glass 5. Tak lupa ada O-Dot, lingkaran kecil ini agak menonjol untuk melindungi bagian lensa kamera belakang saat diletakkan di permukaan datar.

PSX_20191202_180341

Selain itu, kamera depannya kini dilengkapi dengan atmosphere light. Di mana bagian samping kanan dan kiri kamera akan menyala saat terbit dan tenggelam. Serta, menjadi lampu indikator saat selfie menggunakan timer. Rerolusinya 16MP dan mekanisme kameranya dilengkapi free-fall protection, bila smartphone terjatuh – sensor akan otomatis menarik modul kamera depan.

Untuk kelengkapan atributnya, di sisi atas selain kamera depan terdapat mikrofon sekunder untuk noise cancelling. Lalu, jack audio 3.5mm, mikrofon utama, port USB Type-C, dan speaker di sisi bawah. Tombol power dan SIM Tray dengan tiga slot (dual nanoSIM dan microSD) di kanan dan tombol volume di kiri.

PSX_20191202_180304

Corning Gorilla Glass 5 juga melapisi panel AMOLED seluas 6,5 inci. Resolusinya Full HD+ dalam rasio 19.5:9 dengan kepadatan sekitar 394 ppi. OPPO sudah melengkapi Reno2 F dengan fitur hidden fingerprint unlock versi 3.0. Dari yang saya baca, area unlock-nya 16 persen lebih terang dan kecepatannya meningkatkan 11,3 persen dibanding versi sebelumnya.

Desain stylish dengan build quality yang cukup premium memang menjadi keunggulan smartphone ini. Unit Reno2 F yang saya review berwarna sky white, terus terang saya agak kurang sreg dengan kerangka logamnya yang di cat silver.

Menurut saya kesannya setengah-setengah dan terlihat kurang mewah, saya membayangkan ketika dipakai cukup lama mungkin akan korosi dan membuatnya terlihat murah. Lebih aman memilih warna lake green, warna hijau sendiri sudah menjadi ciri khas dari smartphone Reno series.

Kamera

Untuk aktivitas fotografi, kemampuan Reno2 F harusnya sudah cukup bisa diandalkan. Smartphone ini mengusung konfigurasi quad-camera, dengan kamera utama beresolusi tinggi 48MP (0.8µm) menggunakan sensor Samsung ISOCELL GM1.

Secara default, Reno2 F menghasilkan foto beresolusi 12MP dengan piksel berukuran 1.6µm yang ideal untuk menangani beragam skenario. Tetapi kita juga bisa memilih resolusi 48MP dengan piksel berukuran 0.8µm di pengaturan rasio foto.

Selain itu, pada mode 12MP kita juga difasilitasi fitur optical zoom 2x dan digital optimal 5x. Sayangnya, hasil foto zoom 5x mengerikan – pecah lebih baik jangan digunakan. Lalu, hasil foto pada mode 12MP ini entah kenapa detailnya terlihat kurang tajam dan beberapa kali menghasilkan foto yang cukup washed out. Berikut hasil foto kamera belakang Reno2 F:

Kamera kedua 8MP dengan lensa ultra-wide 13mm yang digunakan untuk mode ultra wide angle 119 derajat. Kabar baiknya, mode tersebut juga bisa digunakan pada perekaman video. Sayangnya, fitur perekaman video Reno2 F sangat pas-pasan. Bukan hanya tanpa OIS seperti yang dimiliki Reno2, tapi hanya mampu merekam video 1080p 30fps. Tak ada opsi 1080p 60 fps atau 4K 30fps.

Lalu ketiga, 2MP dengan lensa monokrom. Manfaatnya bisa ditemui pada filter O6 dan O7 untuk menghasilkan foto dengan gaya retro. Lalu, terakhir 2MP sebagai depth sensor dan untuk mode portrait, di mana intensitas efek bokehnya bisa disesuaikan.

Hardware

Reno2 F berjalan diatas sistem operasi Android 9 Pie dengan user interface ColorOS 6.1. Kemungkinan update ColorOS 7 berbasis Android 10 untuk pengguna Reno2 F akan tiba tahun depan.

Menyoal performa, smartphone ini ditenagai chipset yang sama seperti OPPO F11 Pro. Menggunakan chipset Mediatek Helio P70 yang terbukti sudah cukup untuk menangani beragam kebutuhan smartphone harian, bahkan untuk aktivitas gaming pun masih lancar. Berikut hasil benchmark Reno2 F:

Disokong besaran RAM 8GB dan penyimpanan internal 128GB yang bisa ditambah lagi dengan menyisipkan kartu microSD. Kapasitas baterai 4.000 mAh juga didukung fitur pengisian cepat VOOC Flash Charge 3.0 dengan adaptor charger 20W.

Verdict

Embel-embel F mungkin mengacu pada penggunaan elemen smartphone F series, di mana OPPO mengadopsi kembali mekanisme rising camera milik F11 Pro. Kesamaan juga ditemui pada spesifikasinya, jadi aman untuk mengatakan kalau Reno2 F merupakan penerus dari F11 Pro atau smartphone baru F series yang kini sudah melebur dengan Reno series.

Dapur pacu yang digunakan masih sama, yakni Mediatek Helio P70. Namun OPPO memberikan beberapa update signifikan berupa penggunaan layar AMOLED, fitur pemindai sidik jari di bawah layar, dan konfigurasi quad-camera.

Dengan harga Rp5,4 juta, yang ditawarkan oleh Reno2 F memang serba nanggung. Saya lebih merekomendasikan Reno2 saja, walaupun selisih harganya lumayan tapi kemampuannya tidak setengah-setengah dan memiliki fitur videografi mumpuni.

Sparks

  • Panel AMOLED dengan hidden fingerprint unlock 3.0
  • Mekanisme kamera depan pop-up camera dengan atmosphere light
  • Quad camera dengan kamera utama 48MP

Slacks

  • Belum mampu merekam video 4K, tanpa OIS
  • Masih menggunakan chipset Mediatek Helio P70

[Review] Samsung Galaxy Note 10+, Powerphone Untuk Kerja & Bikin Konten

Saya suka fotografi, memotret dengan kamera mirrorless, dan selalu menyimpannya dalam format Raw. Mostly, hasil tangkapannya pasti perlu diolah dan saya mengandalkan aplikasi Lightroom di smartphone untuk mengedit foto Raw.

Ya, karena lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mengolah foto lewat smartphone dibanding menggunakan laptop. Nah stylus S Pen yang dimiliki oleh Samsung Galaxy Note 10+ ini sangat memudahkan proses editing.

Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Itu satu skenario favorit saya, lalu yang kedua adalah video editing. Hanya bila benar-benar mendesak dan pengalaman saya mengedit video dengan S Pen menggunakan aplikasi Premiere Rush cukup baik. Terus yang ketiga, saat harus publish artikel lewat browser smartphone – dengan S Pen mengedit draft di Galaxy Note 10+ bisa lebih presisi saat memiringkan kata.

Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Masih banyak lagi skenario penggunaan S Pen, tentu saja selain untuk membuat catatan, menggambar, dan corat-caret. Samsung juga selalu meningkatkan kemampuan S Pen di setiap generasi, misalnya sejak Note9 – S Pen dilengkapi teknologi Bluetooth LE (low energy) untuk fungsi remote control.

Kita bisa memotret foto dengan S Pen, mengontrol slideshow PowerPoint, scrolling ke atas atau bawah saat browsing, dan banyak lagi. Nah fitur S Pen baru di Galaxy Note 10+ disebut Air Action, di mana dengan menekan tombol S Pen kita bisa mengendalikan smartphone dengan sejumlah gesture seperti kiri kanan dan naik turun.

Selain S Pen, fitur produktivitas lain pada Galaxy Note 10+ ini ialah Samsung Dex. Hubungkan smartphone ke laptop, install aplikasi Samsung Dex – lalu kita bisa melanjutkan pekerjaan yang dimulai dari smartphone dan mengakses semua yang dibutuhkan lewat laptop. Berikut review Samsung Galaxy Note 10+ selengkapnya.

Desain

Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Bila dibanding pendahulunya, tampilan Galaxy Note 10+ ini memang mengalami beberapa perubahan. Namun bukan perubahan signifikan, karena garis besar desainnya masih senada dan Galaxy Note 10 series disuguhkan dalam opsi warna bertema ‘aura’.

Kamera depannya kini tersimpan di punch hole seperti Galaxy S10 series, bedanya letaknya di tengah bukan di pinggir. Samsung menyebutnya Infinity-O display, mereka menggunakan panel Dynamic AMOLED seluas 6,8 inci yang sudah mendukung HDR10+, dengan resolusi Quad HD+ (1440×3040 piksel) dan aspek rasio 19:9.

Balik ke punggungnya, posisi modul kamera belakangnya tersusun secara vertikal dan Anda tidak akan menemukan fingerprint scanner di sana. Sebab, Galaxy Note 10+ sudah mengusung on-screen ultrasonic fingerprint scanner atau di berada bawah layar.

Mungkin tergantung preferensi pengguna masing-masing, menurut saya respon dan kecepatannya masih lebih baik sensor fingerprint fisik yang berada di punggung smartphone. Saya lebih menyukai dan di Galaxy Note 10+ lebih cepat menggunakan facial recognition dibanding fingerprint di bawah layar.

Build quality-nya sangat baik, dengan material premium kaca Gorilla Glass bagian depan dan belakang yang agak melengkung dan menyatu dengan kerangka logam. Untuk kelengkapan atribut di sekeliling body-nya, di sisi bawah ada rumah S Pen, speaker, port USB Type-C, dan mikrofon utama.

Sementara di sisi atas terdapat mikrofon sekunder untuk noise-canceling dan SIM Tray berbentuk hybrid. Sebelah kanannya tidak ada apa-apa, tombol power dan volume berada di sebelah kiri. Samsung telah melenyapkan tombol Bixby dan jack audio 3.5mm.

Kamera

Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Upgrade signifikan Galaxy Note 10+ salah satunya di aspek kamera, Samsung telah memfasilitasi agar para penggunanya bisa membuat konten kreatif pakai Galaxy Note 10+. Total ada lima buah, satu di depan dan empat kamera di belakang. Kamera depannya beresolusi 10 MP, dilengkapi teknologi Dual Pixel PDAF yang pasti sangat berguna untuk aktivitas vlogging, dan mampu merekam video 4K 30fps.

Sementara, kamera utamanya beresolusi 12MP dengan sensor berukuran 1/2.55 inci, punya variable aperture f/1.5 hingga 2.4, serta lengkap dengan teknologi autofocus Dual Pixel PDAF dan OIS. Kamera kedua 12MP juga dengan lensa telephoto 52mm dengan aperture f/2.1, serta dilengkapi PDAF dan OIS yang menyuguhkan kemampuan optical zoom sebanyak dua kali.

Lanjut ke kamera ketiga, 16MP dengan lensa ultra-wide 12mm dan aperture f/2.2 untuk menangkap lebih banyak area, konten, dan informasi. Lalu, yang terakhir ialah 3D ToF camera untuk memetakan kedalaman dan menopang fitur kamera berbasis AR. Berikut hasil fotonya:

Dengan perbekalan ini, Galaxy Note 10+ bukan hanya cakap dalam memotret di segala kondisi baik siang maupun malam, tapi juga bisa diandalkan untuk membuat konten video. Samsung telah membenamkan OIS dan fitur Super Steady untuk mengkompensasi getaran.

Lalu, ada pula fitur video seperti Slow Motion dan Super Slow Motion untuk membuat video gerakan lambat yang dramatis. Meskipun ada opsi lain yaitu dengan merekam video pada 60 fps di resolusi 4K atau 1080p dan mengeditnya pada timeline 24 fps. Tentu saja, ada timelapse dan kita bisa berkreasi dengan Live Focus Video dan AR Doodle untuk memberikan sentuhan coretan dalam video.

Performa

Phablet ber-S Pen ini menjalankan sistem operasi Android 9.0 Pie dengan One UI yang menyederhanakan user experience secara keseluruhan dan punya night mode, pasangan sempurna untuk smartphone dengan panel AMOLED. Di Indonesia, kita kebagian chipset Exynos 9825.

SoC ini dibuat pada proses fabrikasi 7nm, CPU octa-core yang terdiri dari dual-core 2.73 GHz Mongoose M4, dual-core 2.4 GHz Cortex-A75, dan quad-core 1.9 GHz Cortex-A55. Lengkap GPU Mali-G76 MP12 dan modem LTE 2.0Gbps yang memungkinkan Anda mengunduh file, live game, streaming konten dengan stabil. Serta, didukung besaran RAM 12GB dan penyimpanan USF 3.0 256GB. Berikut hasil benchmark-nya.

Kapasitas baterainya 4.300 mAh yang mungkin standar buat smartphone sekaliber Galaxy Note 10+, namun Samsung membekalinya dengan charger 25W dalam paket penjualan. Di mana hanya butuh waktu satu jam saja untuk mengisi penuh dari kondisi baterai kosong.

Bila masih kurang, smartphone ini mendukung charger 45W yang bisa mengisi penuh 30 menit saja. Selain itu, Samsung Galaxy Note 10+ juga mendukung fast Qi/PMA wireless charging 15W dan power bank/reverse wireless charging 9W.

Verdict

Samsung menyebut Galaxy Note 10 series ini sebagai ‘powerphone‘, dengan aspek unggulan pada desain, produktivitas, fotografi, dan kinerja. Paket komplet, dengan S Pen memberikan fleksibilitas lebih dalam bekerja, berkarya, dan sekaligus bermain. Pekerja kantoran, fotografer, dan content creator akan sangat terbantu dengan kelebihan S Pen.

Bila Anda merasa membutuhkan stylus, Galaxy Note series memang menjadi satu-satunya pilihan Anda. Tapi, bila Anda merasa tidak membutuhkan stylus – maka banyak opsi yang lebih terjangkau. Belakangan sudah bermunculan smartphone dengan SoC powerful dengan harga sedikit lebih terjangkau. Sebut saja, ASUS Zenfone 6 dan Realme X2 Pro.

Sparks

  • Kemampuan S Pen telah ditingkatkan, lebih banyak fitur
  • Tampilan Dynamic AMOLED 6,8 inci yang mengesankan
  • Baterai 4.600 mAh standar, tapi dibekali dengan teknologi fast charging yang cepat
  • RAM 12GB dengan opsi penyimpanan UFS 3.0 256GB atau 512GB

Slacks

  • Lenyapnya jack audio 3.5mm dan tak dibekali dongle Type-C ke 3.5mm dalam paket penjualan
  • Secara garis besar, masih memiliki desain yang identik seperti pendahulunya

[Review] ASUS ZenBook S UX392, Laptopnya Seorang Bos

Sejak tiba di DailySocial beberapa minggu yang lalu, saya belum pernah sekalipun mengajak jalan laptop ASUS ZenBook S UX392. Meskipun dimensi laptop ini super compact, ringan, dan praktis dibawa bepergian.

Alasannya karena harganya yang tergolong cukup fantastis, mencapai Rp30.999.000. Jujur saja, saya agak ngeri bila harus mengajaknya bolak balik Jakarta-Bogor naik commuter line yang berjejal-jejalan sampai di ujung pintu.

Langsung saja deh, kita ulik lebih dalam apa yang ditawarkan olehnya. Berikut review ASUS ZenBook S UX392 selengkapnya, spesifikasi menurut CPU-Z dan GPU-Z sebagai berikut:

Laptop dengan Notch

Bukan notch seperti yang ada di smartphone, desain notch pada laptop ini berbeda. Bentuknya mirip notch iPhone tapi terbalik, menonjol keluar dan bukan ke dalam layar sehingga tidak mengganggu sajian konten.

Pertama kali lihat sebelum laptop ini dirilis, rasanya agak aneh dan lucu sih. Menurut saya, ASUS cukup berani karena kalau komposisi dan penempatannya tidak seimbang bisa saja menurunkan nilai estetika.

PSX_20191028_175914

Ternyata bentuk notch yang memanjang ini tidak hanya menyediakan ruang untuk menempatkan webcam, tapi juga memudahkan kita membuka ZenBook S13 dengan satu tangan. Ya, bisa dibuka dengan hanya satu tangan.

Layar berukuran 13,9 incinya dikemas dalam desain NanoEdge display dengan bezel sangat tipis, sisi sampingnya hanya 2,5mm dan sisi atasnya 3,6mm. Menggunakan panel LED-backlit IPS, beresolusi Full HD (1920×1080 piksel) dengan dukungan 100 persen sRGB color gamut, brightness 400 nit, dan wide view technology 178 derajat.

PSX_20191028_181927

Berasa ada yang kurang? Ya, layarnya belum menginjak resolusi 4K dan bukan touchscreen. Perlu saya tekankan juga, ZenBook S UX392 ini memiliki desain classic – bukan convertible 2-in-1 yang engselnya bisa diputar 360 derajat.

Jangan protes dulu, lini laptop premium ASUS ZenBook memang terbagi dalam beberapa seri. Dari ZenBook saja, ZenBook Flip, ZenBook Pro, ZenBook S, dan ZenBook Classic. Jadi, tinggal sesuaikan saja dengan kebutuhan. Misalnya, kalau butuh layar 4K bisa beralih ke ZenBook Pro series dan kalau cari desain convertible tersedia di ZenBook Flip series.

Bagaimana dengan ZenBook S series? Bisa dibilang merupakan laptop ultra thin premium dengan desain classic. Target market dari ZenBook S UX392 sendiri ialah kalangan pebisnis di level executive atau manager yang kerap bepergian dinas.

Dimensi Ramping dan Modern

PSX_20191028_180359

Untuk laptop dengan layar 13,9 inci, ukuran ZenBook S UX392 ini benar-benar sangat ringkas. Dimensinya 31.6×19.5×1.29cm dengan bobot hanya 1,1kg, jelas ini sangat nyaman dibawa bepergian dinas maupun traveling.

Saat disentuh, kontruksi body ZenBook S UX392 terasa padat. Sebagian besar terbuat dari material aluminium yang diproses menggunakan teknik CNC milling. Layout desain yang minimalis dan balutan warna utopia blue menyuguhkan kesan berkelas, ramping, dan modern.

Ketika laptop di buka, engsel akan secara otomatis mengangkat bagian keyboard laptop. Ada tiga kelebihan desain Ergolift ini, pertama memberikan posisi mengetik yang lebih nyaman, sistem pendingin lebih efisien, dan membuat bezel bawah layar yang tipis menjadi tampak lebih tipis.

Keyboard ASUS ZenBook S UX392 menggunakan layout tenkeyless dengan key travel sejauh 1,4mm, dan dilengkapi dengan full-size backlit. Di pojok kanan atas touchpad bisa ditemui fingerprint sensor, penempatannya cukup cermat meskipun mungkin sedikit mengganggu

Bagaimana dengan kelengkapan konektivitasnya? Laptop ini punya dua port USB 3.1 Gen 2 Type-C di sebelah kiri, tapi satu digunakan untuk pengisian daya dan sudah mendukung fast charging. Di bawahnya ada slot microSD card reader, bukan SD card. Sementara, di sebelah kanan terdapat satu port USB 3.1 Gen 2 Type-A, audio combo jack, dan lampu indikator baterai.

Konektivitasnya cukup lengkap, sayangnya ASUS tidak membekali port yang mendukung Thunderbolt 3, Anda mungkin harus membeli docking station terpisah untuk memperluas konektivitas termasuk port USB tambahan dan SD card reader.

Hardware dan Performa

PSX_20191028_182044

Bicara performa, unit ZenBook S UX392 yang saya review ditenagai prosesor Intel Core i7-8565U masih di generasi ke-8. Entah kenapa ASUS agak lambat, di lini laptop gaming ROG mereka sudah datang dengan prosesor Intel generasi ke-9, tapi Intel sudah punya generasi ke-10.

Besaran RAM mencapai 16GB 2133MHz LPDDR3, penyimpanan berbasis PCIe SSD 1TB, dan punya discrete graphic NVIDIA GeForce MX150 dengan 2GB GDDR5 VRAM dan Integrated Intel HD Graphics 620.

Aktivitas standar seperti mengetik dan browsing sudah pasti ditangani dengan mudah. Tugas yang lebih berat seperti editing foto Raw di Lightroom, hingga editing video di Premiere Pro juga dikerjakan dengan baik.

Selain dimensi ringkas dan performa kencang, aspek penting lain dari sebuah laptop ‘jaman now’ ialah ketahanan baterainya. ZenBook S13 ini punya kapasitas baterai 50Wh, diklaim mampu bertahan sampai 15 jam per charge (tergantung pemakaian, dan mendukung fast charging. Di mana baterai akan terisi 60 persen dalam waktu 49 menit. Artinya, bekerja seharian di luar kantor juga tidak perlu khawatir lagi kehabisan daya dan cari-cari stop kontak.

Verdict

PSX_20191028_183148

Kalau yang dilihat hanya aspek spesifikasi, jelas harga ASUS ZenBook S UX392 yang mencapai angka Rp30.999.000 termasuk overprice. Sebaliknya laptop ini menawarkan desain classic dengan build quality premium, dimensinya sangat ringkas untuk seukuran laptop 13,9 inci, dan daya tahan baterainya panjang. Meski begitu, dapur pacunya bukan yang tercepat di kelasnya.

Lini laptop ZenBook ASUS terbagi dalam beberapa seri, masing-masing punya target market yang berbeda. Maka pastikan sesuaikan dengan budget dan kebutuhan. Nah ZenBook S UX392 ini ditujukan untuk kalangan pebisnis kelas eksekutif atau para bosPSX_20191028_175923. Jadi, sah-sah saja bila ASUS mematoknya dengan harga tinggi.

Sparks

  • Dimensinya ringkas, ringan, dan build qualty-nya sangat bagus
  • Baterai tahan lama
  • Hardware powerful dan punya discrete graphic

Slacks

  • Layar belum 4K
  • Tanpa TB3 dan SD Card Reader
  • Posisi fingerprint mengganggu
  • Belum layar sentuh

[Review] Samsung Galaxy Tab A 8.0 2019, Tablet Basic untuk Semua Kalangan

Lewat smartphone kita bisa melakukan segudang kegiatan, dari kerja sampai main-main. Namun ada beberapa aktivitas yang kurang nyaman bila dilakukan di layar smartphone yang sempit, di sini lah peran tablet dibutuhkan.

Tablet sendiri punya banyak macam, ada yang diciptakan sebagai ‘laptop replacement‘ lengkap dengan aksesori keyboard dan stylus. Ada pula tablet yang dirancang untuk digunakan bersama keluarga seperti Samsung Galaxy Tab A8 2019 yang akan kita review.

Dibanderol dengan harga yang cukup terjangkau (Rp 1,999 juta), tablet berlayar 8 inci ini menawarkan banyak sekali skenario penggunaan. Kita bisa memanfaatkannya sebagai alat pembelajaran di rumah, mendukung produktivitas memudahkan pekerjaan, dan banyak lagi.

Layar 8 Inci

PSX_20191024_115705

Samsung Galaxy A 8.0 2019 mengusung layar 8 inci, ukuran yang ideal karena menawarkan keseimbangan portabilitas dan fungsionalitas. Form factor yang slim dan compact dengan ketebalan 8mm dan bobot 345 gram, membuat tablet ini praktis saat digunakan, mudah diselipkan ke tas, dan dibawa bepergian.

Panelnya beresolusi 800×1280 piksel dalam rasio 16:10 dan punya tingkat kerapatan 189 ppi. Tidak begitu tajam, tapi masih mencukupi untuk melakukan banyak hal di layar 8 incinya. Mulai dari membaca artikel atau buku elektronik, monitor lewat media sosial, menonton video, melihat atau mengedit laporan, hingga menunjang kegiatan produktif lainnya.

Build quality-nya cukup baik, kontruksi body-nya terbuat dari material aluminium di belakang dan campuran plastik pada frame-nya. Unit yang saya review berwarna silver gray dan bezel depan layarnya berwarna putih. Cukup cantik, sayangnya bagian dagu dan dahinya masih terlihat tebal.

Dual Speaker

PSX_20191024_115614

Tablet ini menjalankan OS Android 9.0 Pie, tampilan antarmukanya sangat simple. Menariknya kita bisa menggunakan Galaxy Tab 8.0 bahkan dalam kondisi terbalik, karena launcher-nya mendukung rotasi 180 derajat.

Dapur pacu tablet ini mengandalkan chipset Qualcomm Snapdragon 429 yang terdiri dari CPU quad-core 2.0 GHz Cortex-A53 dan GPU Adreno 504. Ditemani RAM 2GB dan storage 32GB yang bisa diperluas lewat microSD. Jadi, bisa mengunduh film Netflix atau video di YouTube, dan juga musik di Spotify tanpa perlu takut kehabisan memori.

Untuk game-game casual, tetap dapat dimainkan dengan cukup lancar di tablet ini. Berkat dual speaker yang letaknya di sisi bawah, keluaran suara stereo membuat saat nonton video, mendengar musik, atau bermain game menjadi lebih seru.

Kapasitas baterai sebesar 5.100 mAh, tentunya dapat menemani aktivitas Anda seharian. Soal fotografi, Galaxy Tab A 8 dilengkapi kamera belakang 8MP dan depan 2MP.

Alat Pembelajaran di Rumah

Bagi orang tua yang punya anak kecil di rumah, tablet tentunya dapat dijadikan alat pembelajaran. Rasa ingin tahu anak yang besar, sering kali smartphone kita diambil alih oleh anak. Padahal pekerjaan kita ada di smartphone, kadang ada notifikasi penting masuk atau takut salah pencet menghapus sesuatu.

Dengan perangkat terpisah seperti tablet, kita tidak perlu khawatir lagi. Sebab tablet ini dilengkapi fitur Kids Home Samsung, yang memungkinkan kita membentuk lingkungan yang aman bagi anak untuk menjelajah dan terhubung dengan dunia digital.

Verdict

Mempertimbangkan harga, spesifikasi, dan fitur-fitur yang ditawarkan, Samsung Galaxy Tab A 8 adalah tablet basic yang dirancang untuk semua kalangan. Utamanya sebagai senjata pelengkap untuk menjaga produktivitas, memudahkan pekerjaan, dan perangkat yang bisa digunakan bersama keluarga.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Samsung.

Advertisement

[Speed Review] Black Shark 2 Pro; Smartphone Gaming yang Layak Ditunggu

Belakangan pasar smartphone Indonesia dibanjiri dengan banyak device kelas menengah. Mereka menawarkan kinerja yang sebenarnya sudah cukup baik dalam menangani beragam kebutuhan standar sehari-hari dengan harga lebih hemat.

Namun beberapa kalangan punya kebutuhan spesifik yang menuntut hardware dengan spesifikasi terbaik saat ini, misalnya bermain game kompetitif. Sayangnya, hanya ada sedikit pilihan smartphone flagship yang tersedia dan harganya tergolong mahal.

Bagaimana bila akan datang sebuah smartphone yang memang dirancang untuk bermain game, ditenagai dengan chipset paling gahar saat ini, dan kemungkinan harganya di bawah Rp10 juta? Ya, Black Shark 2 Pro lah yang sedang kita nantikan.

Setelah pada awal bulan September lalu dirilis di Malaysia, smartphone gaming keempat Black Shark tersebut juga seharusnya sudah dekat di Indonesia. Namun belum ada kepastian kapan, tapi Black Shark 2 Pro kini sudah mampir lebih awal di Dailysocial dan berikut review singkatnya setelah mencoba sekitar dua minggu.

Desain Black Shark 2 Pro

Berlabel ‘smartphone gaming‘, Black Shark 2 Pro memiliki konsep desain yang tidak biasa. Body-nya dirancang seergonomis mungkin dengan konstruksi yang solid dari material premium, yakni frosted metal dan glass.

Desain beraninya ini terinspirasi dari supercar formula one (F1). Kelihatannya memang cukup kompleks, sudut dan bagian sampingnya agak membulat, dan sedikit menonjol di tengah.

Saat memegangnya dalam posisi landscape seolah jemari kita ditopang olehnya. Terasa sangat grippy, desain sedemikian rupa ini dibuat untuk kenyamanan bermain game dalam durasi waktu lama.

Unit Black Shark 2 Pro yang saya review berwarna iceberg grey yang justru menyuguhkan kesan futuristis. Saya membayangkan ‘pesawat luar angkasa masa depan seperti di film-film sci-fi’, begitulah gambaran yang saya dapat.

Selain desain yang ergonomis, Black Shark 2 Pro juga dilengkapi lima buah LED RGB yang menambah kental nuansa gaming-nya. Ada tiga di belakang meliputi logo S yang terlihat mencolok, diapit oleh Shark Eyes atas bawah. Sisanya berada di sisi samping kanan dan kiri dengan bentuk memanjang.

Ada opsi khusus di pengaturan untuk menyesuaikan pola dan warna dari LED RGB ini. Untuk yang dibelakang tersedia tiga lighting effect mode, yaitu always on, breathing, dan rainbow.

Yang unik justru LED RGB yang berada di sisi samping, sebab fungsinya beragam termasuk sebagai LED notification dan memiliki pilihan sepuluh lighting effect mode.

Untuk kelengkapan atributnya, di sisi kanan ditemui tombol switch khusus untuk ke mode gaming; Shark Space dan tombol power di bawahnya. Sedangkan, tombol volume berada di sisi kiri. Sisi atas kosong, port USB Type-C dan SIM Tray ada di sisi bawah.

Tidak ada jack audio 3.5mm, sebagai gantinya Black Shark menyisipkan earphone dengan colokan Type-C dan adaptor Type-C ke 3.5mm. Video unboxing-nya bisa Anda saksikan di bawah ini.

Layar AMOLED

PSX_20191015_085046

Beralih ke bagian layar, Black Shark 2 Pro menggunakan panel AMOLED, lengkap dengan beberapa teknologi seperti TrueView Display technology dengan image DSP independen dari Pixelworks dan hardware DC Dimming 2.0.

True View mode dan DC Dimming bisa ditemukan di Setting > Display > Color. True View mode berguna untuk menghasilkan warna yang lebih akurat, meningkatkan ketajaman, dan membuat pergerakan terlihat lebih mulus. Sementara, DC Dimming berguna untuk mengurangi efek flicker saat menggunakan tingkat kecerahan rendah.

Beberapa opsi lain yang tersedia antara lain cinema mode, natural mode, eye care mode, video HDR mode, dan super cinema mode. Layarnya sendiri berukuran 6,39 inci beresolusi Full HD+ dalam rasio 19.5:9 dan punya dukungan DCI-P3 dengan color gamut sebesar 108,9 persen.

Sistem Kontrol

PSX_20191015_085601

Masih berhubungan dengan layarnya, Black Shark 2 Pro diklaim memiliki respon terhadap sentuhan layar dengan latensi terendah di dunia. Report rate sentuhannya 240Hz sehingga menghasilkan response time 34,7 ms dan punya tingkat akurasi layar sentuh 0,3 mm. Ditambah lagi fitur Master Touch, di mana kepekaan layar terhadap sentuhan bisa disesuaikan.

Selain itu, dalam paket penjualannya Black Shark menyematkan Gamepad versi 2.0 sebelah kiri yang terdiri dari tombol analog fisik, empat tombol arah yang bisa disesuaikan fungsinya, satu tombol untuk key mapping, dan dua tombol LT dan LB di sisi atas. Sementara, di sisi bawah ada tombol quick connect dan port USB Type-C. Black Shark juga menyediakan Gamepad 2.0 sebelah kanan, untuk memasangnya kita akan membutuhkan case khusus.

Hardware & Performa

Saat tulisan ini dibuat, masih belum ada smartphone yang ditenagai dengan chipset Snapdragon 855+ di Indonesia. Tercatat hanya ada satu smartphone yang menjajakan Snapdragon 855 versi standar yaitu OPPO Reno 10x Zoom yang saat dirilis dibanderol Rp13 juta.

Tentu saja, kehadiran Black Shark 2 Pro sangat ditunggu-tunggu. Sebab mungkin akan menjadi smartphone pertama dengan Snapdragon 855+ yang dirilis di Indonesia dan ada kemungkinan harganya di bawah Rp10 juta (setidaknya untuk varian dasarnya).

Snapdragon 855+ sendiri merupakan chipset Qualcomm paling canggih saat ini. Dibanding dengan Snapdragon 855 versi standar, versi ‘plus’-nya ini diciptakan untuk mobile gaming. Dengan kecepatan clock CPU hingga 2.96GHz (sedikit lebih cepat) dan kemampuan GPU Adreno 640 pada Snapdragon 855+ meningkat sebesar 15 persen.

Chipset Snapdragon 855+ tentunya bukan satu-satunya penompang kinerja Black Shark 2 Pro, smartphone gaming ini menggunakan media penyimpanan UFS 3.0 yang secara signifikan lebih cepat dari UFS2.1 dan membuat kecepatan transmisi data meningkat sebesar 82 persen. Kapasitasnya tersedia dalam pilihan 128GB atau 256GB tanpa slot microSD, dengan RAM sebesar 8GB atau 12GB.

Selain itu, fitur kunci lainnya pada Black Shark 2 Pro ialah teknologi sistem pendingin Liquid Cooling 3.0+ yang diklaim mampu meredam suhu panas smartphone hingga 14 derajat celcius. Sehingga memungkinkan Snapdragon 855+ bekerja maksimal secara terus-menerus tanpa terjadinya overheat.

Verdict

PSX_20191015_085652

Black Shark 2 Pro sangat layak untuk ditunggu dan jelas akan menjadi smartphone idaman bagi para hardcore mobile gamer atau mereka yang bermain game-game kompetitif. Dengan kombinasi desain unik yang ergonomis, layar responsif, sistem kontrol yang unggul, dan jaminan performa Snapdragon 855+. Yang pasti smartphone gaming ini tidak mudah diabaikan begitu saja.

Meskipun dibekali segudang fitur gaming, Black Shark 2 Pro juga tetap ideal bagi yang butuh smartphone dengan performa kencang untuk menopang produktivitas. Contohnya buat para fotografer, saya sendiri punya ratusan foto dalam format Raw yang menanti untuk diedit dan nggak punya cukup waktu untuk mengedit di laptop – makanya saya alihkan ke smartphone.

Semoga saja, Black Shark 2 Pro segera meluncur ke Tanah Air dengan harga yang tak jauh berbeda seperti di Malaysia yakni RM 2.499 atau sekitar Rp8,4 juta untuk varian RAM 8GB dan storage 128GB. Serta, RM 2.999 atau Rp10 jutaan untuk varian RAM 12GB dan storage 256GB.

Sparks

  • Desain unik yang ergonomis
  • Panel AMOLED dengan respon terhadap sentuhan layar paling cepat
  • Sistem kontrol yang unggul dengan dukungan aksesori gamepad
  • Chipset Qualcomm tercanggih saat ini;Snapdragon 855+

Slacks

  • Layarnya hanya mendukung frame rate hingga 60 fps
  • Tanpa jack audio 3.5mm
  • Tanpa slot microSD
  • Belum ada kepastian kapan masuk Indonesia

[Review] Samsung Galaxy A80, Suguhkan Rotating Camera dan Layar Tanpa Gangguan

Belakangan ini Samsung sangat gencar menghujani pasar smartphone Indonesia dengan seri Galaxy A barunya. Dari sederet Galaxy A series yang sudah dirilis pada tahun 2019 ini, ada satu yang berbeda.

Ya, itu adalah Samsung Galaxy A80 yang punya mekanisme rotating camera inovatif. Artinya, seharusnya kemampuan kamera depan dan belakangnya sama. Bisa mendapatkan foto selfie ataupun video vlog dengan kualitas kamera utama yang lebih menjanjikan.

Sebenarnya, fitur rotating camera bukan satu-satunya suguhan utama yang Samsung sajikan. Layarnya sangat lapang dan dapur pacunya juga cukup mumpuni. Dibanderol Rp9,5 juta, apakah smartphone ini layak dimiliki? Simak review Samsung Galaxy A80 berikut ini:

Layar 6,7 Inci Dalam Rasio 20:9

Penampang layarnya lebih besar 0,3 inci dari Galaxy S10+ dan hanya lebih kecil 0,1 inci dari Galaxy Note 10+. Bagian terbaiknya ialah tanpa gangguan punch hole camera maupun notch, benar-benar suguhan Infinity Display. Namun masih menggunakan panel Super AMOLED, belum Dynamic AMOLED dan disokong resolusi 1080×2400 piksel.

Tentu saja, pengalaman menonton film bioskop seperti di Netflix pada layar berukuran 6,7 inci dalam aspek rasio memanjang 20:9 pada Galaxy A80 ini sangat mengesankan. Dalam posisi landscape, konten memenuhi dari ujung ke ujung, hanya sedikit menyisakan frame hitam di sisi atas dan bawah.

Lain cerita kalau nonton video di YouTube, di mana standar aspek rasio videonya 16:9 – maka menyisakan frame hitam cukup tebal di samping kanan dan kiri. Kita mungkin saja memperbesar agar tampilan videonya memenuhi layar, masalahnya ialah masih banyak konten yang belum dioptimalkan sehingga mungkin ada yang terpotong.

Layar Galaxy A80 sudah dilengkapi fitur blue light filter, night mode, dan screen mode vivid atau natural. Bila memilih mode vivid, maka konten yang ditambilkan warnanya akan lebih memanjakan mata. Untuk aktivitas seperti editi foto di Lightroom, sebaiknya pilih mode natural agar warna yang ditampilkan lebih akurat sesuai aslinya.

Pengoperasian dan navigasi antarmukanya juga sudah dioptimalkan dengan One UI berbasis Android 9 Pie yang memang dirancang untuk smartphone layar besar. Anda akan menemukan fitur always on display, full screen gestures, dan under-display fingerprint reader tanpa face unlock.

Dimensi Bongsor

Review-Samsung-Galaxy-A80

Lebar body-nya 76,5 mm, masih cukup nyaman digenggam satu tangan. Namun, tingginya yang mencapai 165,2 membuat smartphone ini panjang – ditambah lagi saat kameranya menghadap ke depan. Dengan ketebalan 9,3 mm dan bobot 220 gram, dimensi Galaxy A80 memang termasuk bongsor.

Untuk kontruksinya, bagian depannya sudah dilapisi Gorilla Glass 3. Bezel samping layar dan sisi atasnya sangat tipis, sisi bawah hanya sedikit saja lebih tebal. Sensor ambient light ditempatkan di balik kaca dan earpiece dihilangkan, sebagai gantinya suara akan dihantarkan ke telinga lewat mekanisme getaran langsung dari layar.

Kerangkanya terbuat dari material aluminium dan bagian belakangnya diproteksi Gorilla Glass 6 yang terbaru. Unit Galaxy A80 yang saya review berwarna ghost white, sayangnya kerangka smartphone ini dicat silver sehingga terlihat kurang premium.

Mengenai kelengkapan atributnya, tombol power ditempatkan di sisi kanan dan tombol volume di sisi kiri. Sisi atas ada mikrofon sekunder dan sisi bawahnya ada SIM tray yang berisi dua slot nano SIM tanpa dukungan slot microSD, port USB Type-C, mikofon, dan speaker.

Review-Samsung-Galaxy-A80

Dalam paket penjualannya, kita mendapatkan case yang cukup keren, adaptor fast charging 25W, kabel data USB Type-C ke Type C, earphone ke Type C, dan kelengkapan standar lainnya. Sayangnya, Samsung tidak menyertakan adaptor USB type-C ke jack audio 3.5mm.

Rotating Camera

Satu paket kamera memiliki tugas ganda, untuk keperluan foto belakang dan depan. Karena menggunakan kamera yang sama, secara teori harusnya kualitasnya juga bakal identik. Namun tidak semua fitur yang ada pada mode kamera belakang juga tersedia pada mode kamera depan dan pada kondisi sunyi, motor kamera saat berputar terdengar agak keras.

Mode kamera belakangnya dilengkapi dengan fitur pengambilan gambar seperti night, panorama, pro, live focus, photo, video, live focus video, super slow-mo, slow motion, dan hyperlapse. Sementara, pada mode kamera depan yang bisa digunakan hanya live focus, photo, video, live focus video, dan hyperlapse.

Adapun konfigurasi triple camera yang digunakan ialah sensor Sony IMX586 beresolusi 48MP sebagai kamera utama, kamera kedua 8MP dengan lensa ultra wide 123 derajat, dan satu lagi merupakan time-of-flight 3D depth camera. Fungsinya untuk pemetaan kedalaman dan memisahkan subjek dari latar belakang, manfaatnya bisa dirasakan pada fitur live focus foto dan video.

Seperti biasanya, secara default foto yang diambil menggunakan resolusi 12MP. Namun kita bisa beralih ke mode 48MP dengan mengubah aspek rasio ke 4:3 High 48MP dan mode ini masih tetap didukung fitur scene optimizer.

Pada mode pro, hanya disediakan sedikit opsi yang bisa diotak-atik seperti ISO (100-800), exposure compensation, white balance, dan metering mode. Tidak ada opsi untuk menyesuaikan shutter speed atau manual focus.

Untuk perekam videonya, Galaxy A80 mampu merekam video hingga 4K 30 fps dengan kamera utama dan hingga 1080p pada 30fps dengan mode ultra-wide dengan dukungan codec H.265 dan H.264. Perlu dicatat, fitur
EIS hanya aktif pada resolusi 1080p 30/60fps.

Berikut hasil foto dari kamera belakang Samsung Galaxy A80:

Hardware & Performa

Buat yang mementingkan performa di atas aspek lain, Galaxy A80 mungkin bukan pilihan utamanya. Smartphone ini hanya mengandalkan chipset Snapdragon 730, sebenarnya sudah cukup powerful tapi perlu diingat harga Galaxy A80 mencapai Rp9,5 juta dan direntang harga ini kita sudah bisa mendapatkan smartphone dengan Snapdragon 845 atau Kirin 980.

SoC Snapdragon 730 sendiri punya CPU octa-core, yang terdiri dual-core 2.2 GHz Kryo 470 Gold, hexa-core 1.8 GHz Kryo 470 Silver, dan berpasangan dengan GPU Adreno 618. Kinerjanya disokong RAM 8GB dan memori internal 128GB tanpa dukungan slot microSD.

Sayangnya, untuk smartphone dengan layar besar tidak diimbangi kapasitas baterai yang besar juga. Hanya 3.700 mAh yang tergolong standar, untungnya didukung fast charging 25W. Untuk memperpanjang daya tahan baterai, ada tiga opsi mode daya yang bisa dipilih yaitu optimized, medium-power saving, dan maximum power saving.

Verdict

Review-Samsung-Galaxy-A80

Galaxy A80 menjadi salah satu smartphone paling unik dari Samsung yang sudah dirilis sejauh ini, mekanisme rotating camera-nya belum pernah ada sebelumnya. Layar Super AMOLED 6,7 inci tanpa gangguan punch hole camera ataupun notch juga menjadi suguhan utama, aktivitas membuka dua aplikasi secara bersamaan terasa lebih nyaman.

Konsep kamera berputar juga ada pada ASUS Zenfone 6, tapi sampai saat ini belum kunjung tiba di Indonesia sehingga Galaxy A80 masih menjadi satu-satunya smartphone dengan kamera berputar. Yang pasti kalau Anda seorang content creator di Instagram atau YouTube, rotating camera tentunya membuka kemungkinan-kemungkian baru. Tinggal cocok-cocokan sama harganya yang relatif agak mahal.

Sparks

  • Mekanisme rotating camera yang inovatif
  • Suguhan layar ekstra lapang tanpa gangguan

Slacks

  • Tidak punya slot microSD
  • Jack audio 3,5,
  • Harga relatif mahal

[Review] Huawei Nova 5T; Kencang dan Punya Potensi Kamera Lebih

Sejak Nova 2i hingga Nova 3i, lini smartphone Nova series milik Huawei ini memang diposisikan sebagai perangkat kelas mid-range dengan elemen premium.

Pada Huawei Nova 5T, generasi terbaru Nova series ini bisa dibilang sudah naik kelas. Menimbang harganya yang mencapai Rp6.899.000 dan kekompletan fitur-fiturnya, menurut saya Nova 5T bukan lagi berada di kelas mid-range, melainkan bisa diketegorikan sebagai smartphone high-end.

Dari aspek performa, Nova 5T bertenaga chipset yang sama seperti pada perangkat flagship Mate 20 dan P30 series; Kirin 980. Bisa dibilang, Kirin 980 berada pada level yang sama dengan Snapdragon 845.

Review-Huawei-Nova-5T

Konfigurasi quad rear camera-nya sama seperti kebanyakan smartphone quad camera lainnya. Meliputi kamera utama beresolusi tinggi, lensa ultra-wide, depth sensor, dan yang lagi banyak diadopsi akhir-akhir ini ialah lensa macro.

Pada Nova 5T, Huawei menggunakan sensor Sony beresolusi 48MP. Namun yang membedakan Nova 5T dengan yang lain ialah Super Ultra-wide Angle Camera-nya yang beresolusi 16MP. Sisanya masing-masing hanya 2MP sebagai depth sensor dan macro. Video unboxing Huawei Nova 5T bisa dilihat di bawah ini:

Desain Punch FullView Display

Review-Huawei-Nova-5T

Sebelum menguji aspek performa dan kameranya lebih jauh, kita bahas dulu sisi penampilannya. Unit yang saya review berwarna midsummer purple, bila diperhatikan bagian belakangnya memiliki pola logo Nova yang membuatnya terlihat unik.

Review-Huawei-Nova-5T

Body Nova 5T berdimensi 154.3x74x7.8 mm dengan bobot 174 gram, tiap sudutnya agak membulat, kerangkanya dari metal, dan bagian belakangnya punya finishing seperti kaca, kemungkinan menggunakan material komposit sejenis tempered glass.

Pada bagian muka, notch sudah pergi berganti dengan Punch FullView Display. Hanya menyisakan area untuk kamera depan di sudut kiri atas pada panel IPS seluas 6,26 inci.

Resolusi layarnya Full HD+ (1080×2340 piksel) dengan rasio 19.5:9. Dibanding notch, punch hole ini memang tidak begitu mengganggu saat nonton video maupun saat bermain game.

Kelengkapan atributnya, sisi kanan dapat ditemui tombol volume dan tombol power yang terintegrasi dengan sensor sidik jari. SIM tray berada di sisi kiri, hanya punya dua slot untuk nano SIM tanpa slot microSD.

Sementara, di sisi atas terdapat infra red dan mikrofon sekunder. Sedangkan, di sisi bawah ada mikrofon utama, port USB Type-C, dan speaker. Tidak ada jack audio 3,5mm, kabar baiknya Huawei masih menyematkan earphone dengan ujung Type-C pada paket penjualan Nova 5T.

Performa Kirin 980

Review-Huawei-Nova-5T

Kirin 980 merupakan mobile processor yang dibuat pada proses fabrikasi 7nm. Semakin kecil ukuran transistor pada sebuah prosesor, semakin banyak yang bisa dimasukkan ke dalam chipset sehingga performanya juga otomatis meningkat.

SoC ini mengusung CPU Cortex-A76 dan GPU Mali-G76, memiliki dual NPU (neural processor unit) mandiri untuk menangani tugas-tugas AI. Serta, modem smartphone Cat.21 yang mendukung kecepatan hingga 1.4Gbps, dan mendukung RAM LPDDR4X 2,133MHz.

Arsitektur Kirin 980 sendiri terdiri dari CPU octa-core, dual-core turbo performance 2.6 GHz Cortex-A76 yang akan bekerja saat menangani tugas-tugas berat seperti bermain game. Kemudian dual-core 1.92 GHz Cortex-A76 untuk long-term performance seperti aktivitas browsing atau membuka media sosial, dan quad-core 1.8 GHz Cortex-A55 untuk memaksimalkan efisiensi daya ketika smartphone standby.

Hasil benchmark-nya sebagai berikut:

  • AnTuTu 227.404
  • PCWork 7.868
  • Sling Shot 3.721
  • Sling Shot Extreme – OpenGL ES 3.1 2.388
  • Sling Shot Extreme – Vulkan 2.262
  • Geekbench Single-Core 681
  • Geekbench Multi-Core 2.254

Bagaimana performanya di dunia nyata? Berjalan pada Android 9.0 Pie dengan sentuhan EMUI 9.1, RAM 8 GB, dan storage 128 GB – membuat sistem operasi pada Nova 5T ini terasa ringan. Pergerakan pada antarmuka dan saat berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya sangat fluid.

Foto produk smartphone ini diambil menggunakan Sony A6400 dalam format Raw dan saya mengeditnya menggunakan Lightroom di Huawei Nova 5T. Proses import, loading saat memuat foto, dan export juga terasa enteng. Sebagai informasi, saat ini saya menggunakan smartphone yang ditenagai chipset Snapdragon 710 yang masih terasa agak berat saat edit foto Raw.

Review-Huawei-Nova-5T

Bagaimana untuk aktivitas gaming? Nova 5T sudah dilengkapi GPU Turbo 3.0 dan sudah ada 25 game populer yang dapat dimainkan dengan fitur ini. Di PUBG Mobile, level grafisnya bisa mencapai HDR dengan frame rate ultra. Game lain yang saya coba ialah Call of Duty dan Mario Mart, semua berjalan mulus.

Huawei juga merancang Nova 5T supaya kompatibel dengan aksesori gamepad model snap-on secara seamless. Gamepad-nya ini cuma berada di satu sisi saja, akan tetapi jumlah tombolnya ada enam di samping sebuah joystick analog.

Baterainya sendiri berkapasitas 3.750 mAh, lengkap dengan dukungan teknologi fast charging 22,5 W yang diklaim dapat mengisi 50% kapasitasnya dalam waktu 30 menit saja.

Konfigurasi Quad Camera

Review-Huawei-Nova-5T

Berkat penggunaan chipset Kirin 980, Nova 5T dibekali dual ISP (image signal processor) baru yang berpengaruh pada kualitas gambar. Total ada lima kamera dengan AI di body Nova 5T. Satu kamera ditempatkan di depan, beresolusi 32MP lengkap dengan fitur AI HDR+, mode beautification, dan AR lens yang cukup menghibur.

Review-Huawei-Nova-5T-15

Empat kamera lainnya disematkan di belakang, kamera utamanya menggunakan sensor Sony beresolusi 48MP dengan aperture f1.8 dan salah satu kamera sekundernya memiliki resolusi 16MP dengan lensa super utra wide-angle 117 derajat.

Kombinasi dua kamera ini cukup menghebohkan, sayangnya dua kamera sisanya masing-masing hanya beresolusi 2MP. Satu dengan lensa macro dan satunya lagi sebagai depth sensor.

Berikut beberapa catatan setelah mencoba kamera Nova 5T, pertama secara default resolusi foto yang digunakan ialah 12MP dengan ukuran per piksel 1.6µm. Ukuran per piksel yang besar (1.6µm) membuat kamera Nova 5T bisa diandalkan di kondisi low light dan foto 12MP harusnya sudah cukup untuk di-posting ke Instagram.

Kita bisa beralih ke resolusi 48MP dengan ukuran per piksel 0.8µm di pengaturan kamera. Selain 48MP tanpa AI, terdapat juga opsi 48MP AI Ultra Clarity. Bagi yang hobi traveling tapi kadang tidak mau repot membawa kamera mirrorless, Anda dapat menangkap momen liburan dengan detail pada resolusi 48MP.

Catatan kedua, saya akan bicara soal mode wide-angle. Opsi ini hanya akan muncul saat kita menggunakan resolusi 12MP dan tersemat bersama fitur zoom. Tekan sekali untuk fungsi zoom 2x dan tekan sekali lagi akan mengarah ke mode wide-angle.

Efek samping dari penggunaan mode wide-angle ialah distorsi yang sangat kentara dan akan menguji kreativitas kita dalam memotret. Sudut pengambilan gambar yang berbeda akan memberi kesan kuat yang dramatis.

Review-Huawei-Nova-5T

Catatan ketiga, antarmuka kamera dengan fitur dan mode pengambilan gambar yang bisa dibilang banyak. Meliputi mode night, portrait, panorama, pro, aperture, light painting, HDR, moving picture, filter, sticker, document, dan super macro.

Mode pro menjadi fitur kamera favorit saya pada Nova 5T, lewat mode ini kita bisa menyesuaikan metering, ISO, shutter speed, exposure compensation, focus, dan white balance. Kontrol penuh ini juga didukung dengan format Raw, di mana hasil fotonya bisa diolah lebih jauh.

Hasil foto Huawei Nova 5T:

Hasil foto Raw dan setelah di-edit:

Catatan terakhir mengenai kemampuan perekam videonya, kamera belakang Nova 5T dapat mengabadikan sampai 4K 30 fps, 1080p 30 fps, 1080p 60 fps, dan 1080p 30 fps di mode full screen. Sedangkan, kamera depannya mentok pada 1080p.

Fungsi zoom 2x, mode wide-angle, dan mode beautification dapat digunakan. Selain itu, terdapat beberapa efek untuk merekam footage agar lebih cinematic yaitu AI color, background blur, vintage, suspense, dan fresh.

Mode slow-mo dan time-lapse tersedia dalam mode terpisah. Pada mode slow-mo ini kita bisa merekam 1080p pada 120fps, 720p pada 240fps atau 960 fps. Sedangkan, mode time-lapse hanya bisa disimpan pada resolusi 720p.

Bila Anda merekam video dan hasilnya untuk di-upload ke YouTube, resolusi standar minimumnya ialah 1080p. Lain cerita bila Anda berkarya di Instagram yang justru masih menggunakan 720p, jadi Anda bisa mengoptimalkan slow-mo 960fps dan mode time-lapse-nya.

Verdict

Huawei-Nova-5T-2

Penggunaan chipset kelas atas yang powerful dan potensi kamera yang masih bisa dimaksimalkan lagi dengan dukungan format Raw, merupakan daya tarik utama yang ditawarkan oleh Huawei Nova 5T.

Tapi harganya yang mencapai Rp6.899.000, mungkin akan menjadi pertimbangan ulang mengingat Nova 5T bukanlah smartphone flagship – tapi mid-range premium atau high-end. Terakhir smartphone flagship Huawei seperti P30 dan Mate 20 Pro dibanderol Rp8-9 juta, sementara P30 Pro sekitar Rp10 jutaan.

Kalau tidak buru-buru, bisa nabung lagi buat beli P30 Pro. Namun bila budget-nya hanya segitu, harga Nova 5T juga sepadan dengan fitur-fitur yang ditawarkan.

Slacks

  • Ditenagai chipset flagship Kirin 980
  • Kamera utama 48MP dan 16MP dengan ultra-wide
  • Bisa simpan foto Raw di mode kamera Pro

Sparks

  • Belum menggunakan panel Super AMOLED
  • Tanpa slot microSD
  • Belum punya fingerprint sensor di bawah layar

[Review] Samsung Galaxy Tab S6, Tablet High-End Dengan Sensasi ala Laptop

Dampak negatif  dari era keemasan smartphone adalah makin sulitnya menemukan tablet berkualitas. Karena fokus pada ponsel pintar, sejumlah produsen pelan-pelan undur diri dari ranah produksi tablet, dan Samsung ialah satu dari sedikit brand yang hingga kini secara konsisten terus menyediakan perangkat bergerak berlayar lebar itu, meski metode penyajiannya turut bertransformasi.

Sejak Galaxy Tab S3, Samsung perlahan-lahan membenamkan kemampuan ala laptop di lini tablet high-end-nya dan fitur-fiturnya jadi kian matang di model-model selanjutnya. Walaupun tidak menggunakannya terlalu lama, saya cukup terkesan dengan apa yang ditawarkan oleh Galaxy Tab S4. Dan beberapa bulan lalu, perusahaan elektronik asal Korea Selatan meluncurkan penerus sejati perangkat flagship tersebut yang menjanjikan dukungan maksimal terhadap produktivitas.

Segera setelah memperkenankan saya meng-unboxing produk, tim Samsung Indonesia memberikan kesempatan pula untuk menguji Galaxy Tab S6 secara personal. Selama hampir sebulan, saya mencoba menggunakan tablet plus Book Cover Keyboard-nya sebagai pengganti laptop. Di sejumlah aspek, Galaxy Tab S6 memang mengagumkan, tapi tetap ada hal-hal yang masih dapat disempurnakan jika Samsung ingin agar perangkat ini bisa menjadi pengganti notebook konvensional.

Simak ulasan lengkapnya di bawah ini.

 

Desain

Tak seperti lompatan desain dari Galaxy Note 9 ke Note 10, tak ada perbedaan besar antara Galaxy Tab S4 dengan Tab S6 di sisi penampilan. Meski demikian, Samsung tetap berhasil melakukan pemangkasan pada volume dan bobot. Galaxy Tab S6 beberapa milimeter lebih ramping (244,5×159,5×5,7mm) dan 62-gram lebih ringan dari pendahulunya (berbobot 420g) terlepas dari penggunaan layar berspesifikasi serupa, yaitu Super AMOLED 10,5-inci beresolusi 1600x2560p.

Tab S6 28

Tab S6 23

Layar tersebut lapang, cerah, jernih dan kaya warna berkat pemanfaatan panel tipe Super AMOLED. Mengulik bagian tersebut lebih jauh, display mempunyai kepadatan pixel 287ppi dan rasio ke tubuh sebesar 82,5 persen berkat pemangkasan pada zona bingkai. Jangan cemas, kamera depan untuk selfie maupun video chat tetap berada di lokasi semestinya, yaitu area atas layar.

Tab S6 19

Unit review yang saya dapatkan mempunyai tubuh berwarna rose gold (Samsung menyebutnya rose blush), dan setelah memakainya sejenak, Anda akan segera menyadari konstruksi tablet ini terbuat dari logam. Segala kelengkapan yang ada di Tab S4 hadir lagi ke Galaxy Tab S6, dari mulai connector ke aksesori, port USB type-C, tombol-tombol fisik, slot kartu SIM dan microSD, empat buah speaker di ujungnya, hingga S Pen.

Tab S6 20

Tab S6 21

Perbedaan paling menonjol antara Tab S4 dan Tab S6 ialah pemanfaatan modul dua kamera yang diposisikan di pojok (kamera pada Tab S4 berada di tengah), serta zona menjorok di sisi belakang buat menempelkan S Pen. Kemudian bagian punggung mengusung bahan logam, bukan lagi lapisan kaca – mungkin dibutuhkan untuk menyematkan Book Cover Keyboard serta mengisi ulang S Pen secara wireless (akan dibahas lebih lengkap di bawah).

Tab S6 24

 

Book Cover Keyboard

Galaxy Tab S6 bisa segera Anda gunakan begitu dikeluarkan dari bungkusnya. Namun buat saya, potensi perangkat tak akan terbuka sepenuhnya tanpa Book Cover Keyboard. Aksesori ini mampu mentransformasi fungsi tablet menjadi laptop berkat dukungan papan ketik dan touchpad. Tentu saja, ia juga berperan sebagai pelindung tablet terhadap benturan atau insiden tak disengaja.

Tab S6 43

Book Cover Keyboad memiliki dua komponen terpisah. Bagian pertama ditempelkan ke sisi punggung Galaxy Tab S6, dan siap melindungi area belakang serta mengamankan S Pen. Cover tersebut tertempel ke body via magnet. Bagian kedua adalah keyboard/touchpad-nya, dapat segera aktif begitu disambungkan ke slot connector yang tersedia. Papan ketik juga terpasang dan mengunci ke tubuh tablet menggunakan magnet.

Tab S6 35

Setelah semuanya terpasang, Galaxy Tab S6 bisa digunakan layaknya notebook seperti Microsoft Surface Pro. Silakan buka bagian keyboard, lalu tarik sandaran untuk menyesuaikan kemiringan layar. Perlu diketahui bahwa bobot utama perangkat berada pada unit tablet, lalu karena Tab S6 dan papan ketik tidak tersambung secara kaku, perangkat harus diposisikan di bidang yang rata – tidak nyaman buat dipangku.

Tab S6 29

 

Susunan hardware dan performa

Galaxy Tab S6 diotaki oleh platform mobile tercanggih yang Qualcomm miliki saat ini, lalu ditopang oleh komponen-komponen berspesifikasi cukup tinggi, sehingga menempatkannya sekelas dengan smartphone high-end. Ini dia spesifikasi lengkap dari tablet flagship Samsung tersebut:

  • Sistem operasi Android 9.0 Pie dengan antarmuka One UI
  • System-on-chip Qualcomm Snapdragon 855 7nm
  • CPU octa-core (2,84GHz Kryo 485 plus 3×2,42GHz Kryo 485 dan 4×1,78GHz Kryo 485)
  • GPU Adreno 640
  • Memori RAM 6GB
  • Penyimpanan internal 128GB, dapat diperluas dengan kartu microSD 1TB
  • Kamera belakang 13Mp f/2.0 lensa wide 26mm plus 5Mp f/2.2 lensa ultrawide 12mm
  • Kamera depan 5Mp f/2.0 26mm
  • Baterai non-removable Li-Po 7.040mAh plus fitur fast charging 15W

 

Statistik memang menyenangkan, tapi kadang kala, hasil tes benchmark tidak mewakilkan kinerja perangkat di dunia sesungguhnya. Meski begitu, review tidak akan lengkap tanpanya. Untuk keperluan ini, saya menggunakan aplikasi-aplikasi ‘standar’ seperti PCMark, 3DMark dan AnTuTu (Serta CPU-Z buat mengetahui susunan hardare secara spesifik). Skor terbaiknya bisa Anda lihat di bawah.

 

PCMark

Tab S6 1

 

3DMark (Ice Storm Unlimited & Sling Shot)

Tab S6 3

Tab S6 2

 

AnTuTu

Tab S6 4

Tab S6 16

 

Saya hanya menginstal game Asphalt 9: Legends untuk mengisi waktu luang serta menguji kemampuan grafis Galaxy Tab S6. Sesuai dugaan, permainan berjalan dengan sangat fantastis di sana. Di setting visual tertinggi, saya tidak merasakan adanya penurunan frame rate meskipun game menampilkan seluruh mobil serta efek-efek visual – seperti blur, partikel, asap, pantulan/bayangan dan lens flare. Objek tampil sangat tajam, lalu efek jaggy-nya pun minimal meski permainan dihidangkan di layar lebar.

Satu aspek favorit saya di Galaxy Tab S6 ialah baterai 7.040mAh dengan daya tahannya yang tinggi. Terbiasa menggunakan laptop yang perlu di-charge penuh untuk penggunaan satu hari, perangkat Samsung ini mampu bertahan lebih dari seminggu di mode standby dengan Wi-Fi menyala. Ketika saya ingin gunakan, status baterai masih berada di kisaran 70 persen.

 

Pengalaman penggunaan

 

S Pen

Meskipun kita dapat berinteraksi dengan konten menggunakan sentuhan jari di layar, pengalaman pemakaian Galaxy Tab S6 sulit bisa dipisahkan dari S Pen. Menakar dari penyajiannya, ia merupakan produk yang lebih mendukung aktivitas produktif ketimbang sepupunya, Galaxy Note 10. Ada banyak aplikasi yang kompatibel dengan aksesori ini, namun Anda sudah dapat bersenang-senang cukup berbekal aplikasi Samsung Notes.

Tab S6 33

App bawaan ini punya tiga fungsi utama: mencatat via metode ketikan standar, mengubah tulisan tangan jadi teks digital, serta jadi medium menggambar atau membuat sketsa. Bagi saya, fungsi ilustrasi di Samsung Notes merupakan fitur favorit karena mengekspos semua kecanggihan layar berteknologi WACOM dan akuratnya S Pen. Bergantung dari besarnya tekanan, display merespons ketebalan goresan secara berbeda apapun perkakas yang Anda pilih: pensil, krayon, ataupun spidol.

Tab S6 25

S Pen pendamping Galaxy Tab S6 berukuran sedikit lebih kecil dari Tab S4. Meneliti lebih jauh, struktur pulpen digital ini terbuat dari plastik dengan tekstur doff metalik, tapi ia segera tertempel begitu Anda posisikan di zona wireless charging. Walaupun S Pen-nya lebih kecil, saya tidak merasa kesulitan untuk menggambar ataupun menulis. Pengalamannya bahkan lebih baik dari menggunakan S Pen Note 10 yang terlalu ramping.

Tab S6 27

Saya juga sangat mengapresiasi bagaimana Samsung mencoba menstimulasikan sensasi memakai alat tulis sesungguhnya dengan suara gesekan ketika S Pen Anda goreskan di layar. Mungkin satu keluhan kecil saya pada S Pen adalah kehadiran tombol fisik yang terlalu gampang ditekan. Tombol ini punya fungsi shortcut serta berguna buat mengaktifkan fungsi Air Action. Saat asik menggambar, sering kali saya tak sengaja menekannya.

 

Keyboard dan touchpad

Sempat saya singgung di atas, Book Keyboard Cover merupakan elemen krusial pendukung Tab S6. Konstruksinya terbuat dari kombinasi plastik dan bahan sejenis kain di luar. Ketika dipasang, Anda tak perlu mencemaskan S Pen jadi mudah hilang karena terlindung di dalam cover. Ia juga yang memberikan tablet kapabilitas ala notebook berkat adanya keyboard tenkeyless dan touchpad. Samsung bahkan menerapkan desain ala notebook, lengkap dengan area wrist rest kecil.

Tab S6 32

Keyboard tersebut mempunyai keycap berukuran kecil. Susunannya juga disesuaikan dengan luas papan yang tak begitu besar. Saya butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri, namun faktor resistensi tombol dan key travel-nya sangat mirip seperti laptop. Tuts sengaja dibuat sedikit membundar demi mengurangi peluang salah ketik. Dan mungkin karena jari saya yang mungil, jarang bagi saya salah menekan tombol.

Tab S6 42

Layaknya laptop, touchpad berfungsi untuk mengendalikan pointer mouse, baik di mode tablet maupun saat DeX dinyalakan. Sekali lagi, ia sanggup membaca hampir seluruh gesture khas touchpad laptop, termasuk fungsi tap buat klik, plus tombol fisik. Kata ‘hampir’ mesti ditekankan di sini karena ada sejumlah hal yang menyadarkan saya bahwa Galaxy Tab S6 tetap bukanlah notebook berbasis Windows atau MacBook.

Tab S6 39

Pertama, ia tidak mempunyai fungsi right-click. Saat browsing di Chrome, kita harus menekan tombol touchpad selama beberapa saat buat mengeluarkan menu ‘open in a new tab‘ atau ‘open in incognito tab‘. Lalu kedua, kursor mouse tidak akan bergerak saat touchpad membaca ada dua jari yang menyentuhnya. Gesture seperti itu malah akan mengaktifkan fungsi pinch to zoom. Tentu saja semua perbedaan ini menuntut proses adaptasi.

Tab S6 41

 

Samsung DeX

DeX merupakan salah satu pilar penting penyajian Galaxy Tab S6. Aktifkan dari shortcut tray, dan DeX akan menyuguhkan Anda tampilan ala desktop, dengan icon-icon app yang tersusun rapi di area kiri, akses mudah ke aplikasi ala taskbar, serta menu kecil mirip toolbar di pojok kanan bawah. Tiga tombol navigasi utama ala perangkat bergerak berbasis Google masih ada, kali ini diposisikan di dekat menu Dex (untuk menonaktifkan mode DeX atau masuk ke Dex Labs) dan kita tetap bisa membuka list app secara lengkap.

Tab S6 11

Mode ‘desktop experience‘ itu tampaknya memang sengaja mengekspos My Files, yaitu fungsi ala Windows Explore’ yang memungkinkan Anda menjelajahi dokumen di penyimpanan internal maupun eksternal, di Samsung Cloud Drive serta Google Drive, serta segala macam file unduhan dan APK instalasi. Sebagai pekerja remote, saya merasa berkewajiban untuk menaruh shortcut app-app penting semisal Slack dan WPS Office di desktop DeX.

Tab S6 14

 

Lain-lain

Setup empat speaker di Galaxy Tab S6 menjadi salah satu aspek esensial pendukung penyajian konten hiburan. Sistem audio ini berkarakteristik stereo, mengusung teknologi Dolby Atmos, dan di-tune up oleh AKG Acoustics – anak perusahaan Harman Kardon yang dipunyai oleh Samsung. Kualitasnya cukup memuaskan. Speaker mampu menghasilkan suara yang kaya serta jernih, cocok buat menikmati film atau video. Sayangnya, bass masih belum terasa menendang kemudian output-nya terdengar kurang lantang.

Tab S6 40

Galaxy Tab S6 juga tidak mempunyai port audio 3,5mm. Aspek konektivitas fisiknya mengandalkan sebuah port USB type-C. Untung saja untuk keperluan transfer file, saya memiliki removable drive PhotoFast iType-C yang dibekali berbagai macam connector, jadi tak sulit memindahkan data dari Tab S6 ke laptop ataupun sebaliknya. Minimnya konektivitas inilah yang menghentikan Galaxy Tab S6 jadi pengganti laptop sejati.

Tab S6 37

 

Kesimpulan

Upaya Samsung untuk menghadirkan pengalaman penggunaan ala PC desktop lewat tablet Galaxy Tab S6 mesti diapreasiasi. Di antara berbagai produk high-end buatan raksasa elektronik Korea Selatan itu, Tab S6 ialah model yang paling siap mendukung aktivitas produktif serta menawarkan faktor portabilitas maksimal. Ia akan memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi para profesional, khususnya mereka yang bekerja di industri kreatif.

Namun perlu digarisbawahi bahwa Galaxy Tab S6 baru akan mengeluarkan seluruh potensinya ketika Anda sudah beradaptasi penuh terhadap fungsi dan tool berbasis Samsung DeX. Bagi saya yang hampir seumur hidup bercengkerama dengan ekosistem Windows, proses penyesuaian diri butuh waktu cukup lama. Beberapa kali saya menyerah, dan kembali beralih ke PC Windows ketika saya harus bekerja cepat.

Tab S6 36

Walaupun begitu, saya lagi-lagi terkesan pada bagaimana tablet ini mampu mensimulasikan bagaimana instrumen tulis sesungguhnya bekerja. Berbekal S Pen, pengalaman menulis dan menggambar di sana terasa sangat intuitif, natural dan tentu saja presisi. Saya cukup yakin, Galaxy Tab S6 mampu memuaskan para penggemar ilustrasi yang paling rewel sekalipun, apalagi dengan adanya beragam app dan tool gambar yang tersedia di Google Play.

Samsung Galaxy Tab S6 dijajakan seharga Rp 12 juta. Book Cover Keyboard dijual secara terpisah, dipatok di harga Rp 2,2 juta.

Tab S6 18

 

Sparks

  • Performa hardware jempolan
  • Kombinasi sempurna antara layar serta S Pen untuk menggambar dan menulis
  • Kualitas layar memuaskan
  • Sistem audio empat speaker siap menunjang penyajian konten hiburan
  • Hampir bisa bekerja seperti laptop berkat bantuan Book Cover Keyboard

Slacks

  • Masih ada banyak hal yang perlu dipoles agar Tab S6 mampu menyajikan pengalaman ala laptop sesungguhnya
  • Konektivitas fisiknya terbilang minim
  • Anda perlu mengeluarkan uang lebih agar Tab S6 dapat bekerja layaknya notebook

[Review] Borderlands 3, Gameplay Nyaris Sempurna Terjegal oleh Performa yang Payah

Penantian panjang untuk penggemar seri Borderlands memang sudah berakhir dengan dirilisnya Borderlands 3 tanggal 13 September 2019 yang lalu. Sayangnya, Anda harus menunggu lagi untuk benar-benar mendapatkan pengalaman bermain yang ideal.

Sebelum kita masuk ke review Borderlands 3 (BL3) kali ini, saya harus jelaskan bahwa saya merupakan fans berat dari seri game yang satu ini. Saya memainkan semua seri BL (kecuali spin-off nya) mulai dari Borderlands (2009), Borderlands 2 (2012), dan juga Borderlands: The Pre-Sequel (2014). Borderlands 2 bahkan jadi salah satu game yang paling lama, dari total sekitar 2000 game PC, yang saya mainkan.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah review Borderlands 3 yang akan saya bagi ke dalam 3 kategori.

Gameplay: 93/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Di aspek inilah BL3 nyaris sempurna. Buat yang belum pernah memainkan seri Borderlands sebelumnya, Borderlands (2009) adalah game pertama dalam sejarah yang berhasil mengawinkan genre RPG dan FPS dengan sangat baik. Sebelumnya, memang sudah ada game-game lain yang mencoba menggabungkan 2 genre tadi namun tidak ada yang berhasil membuat ramuan yang pas dan menyenangkan. Borderlands 2 bahkan berhasil mengembangkan formula awalnya dengan jauh lebih baik. The Pre-Sequel (BL:TPS), meski dikritik banyak orang, juga tetap sangat saya nikmati.

BL3, Gearbox kembali berhasil mengembangkan formula hebat tadi jadi nyaris sempurna. Senjata-senjata yang ada di sini terasa unik dan lebih variatif dibanding dengan yang saya temukan di BL2. Demikian juga equipment lainnya seperti Shield, Class MOD, Relic, dan Grenade Mod. Di BL2, ada banyak senjata dan equipment yang terasa sia-sia karena jelas kalah kegunaannya dengan beberapa opsi yang ada. Misalnya saja semua pistol jadi tidak menarik jika dibandingkan dengan Unkempt Harold dan semua sniper rifle pasti kalah damage dengan Pimpernel. End-game build (OP8-10) juga dapat dipastikan bahwa The Bee yang akan dijadikan Shield pilihan untuk mayoritas build yang ada.

Di BL3, saya belum merasakan ada senjata ataupun equipment yang benar-benar begitu dominan seperti contoh tadi. Namun demikian, penting dicatat, saya memainkan BL2 itu bahkan mungkin sudah lebih dari 1000 jam. Jadi, bisa saja saya belum menemukan equipment yang dominan di BL3 karena keterbatasan waktu saya bermain (karena harus mengejar review ini).

Skill tree dari BL3 untuk Amara
Skill tree dari BL3 untuk Amara

Skill dari masing-masing karakter juga jauh lebih menarik dibanding game-game sebelumnya. Setiap karakter punya build lebih dari 1 yang sama menyenangkannya untuk dimainkan. Dengan 4 karakter yang bisa Anda mainkan sekarang, Amara, Moze, Zane, dan Fl4k; ada banyak sekali build yang bisa dicoba sehingga membuat BL3 akan terasa menyenangkan jika dimainkan berulang-ulang. Karena kompleksitas masing-masing skill karakter yang disuguhkan, terlalu panjang jika semuanya saya jelaskan di sini. Anda bisa mencari banyak video di YouTube jika ingin tahu lebih detail tentang masing-masing karakter dan skillnya.

Satu hal yang pasti, dibandingkan dengan semua seri BL yang saya mainkan tadi, variasi karakter, build, equipmentskill, ataupun setiap elemen RPG-nya, BL3 jauuuuuuuuuuuuuuh lebih variatif.

Itu tadi jika dibandingkan dengan pendahulunya. Bagaimana jika gameplay nya dibandingkan dengan FPS lain yang baru-baru ini dirilis? Kebetulan, belum lama ini saya juga menamatkan Singleplayer Campaign untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood. Saya tidak ragu mengatakan bahwa BL3 juga jauh lebih superior dibandingkan dengan 2 game tadi dari sisi kompleksitas gameplay-nya.

Jika dibandingkan dengan 2 game tadi, hanya Rage 2 yang lebih superior di satu aspek gameplay atas BL3. Rage 2 mampu menyuguhkan feel pertempuran (menembak, menggunakan skill, ataupun menghancurkan musuh berkeping-keping) yang paling asyik yang benar-benar belum bisa saya temukan di game lainnya. Namun di luar satu aspek tadi, BL3 menang di semua aspek gameplay lainnya.

Satu-satunya hal yang membuat saya belum berani memberikan skor sempurna (100/100) atas gameplay BL3 adalah soal balancing dan level scaling antar karakter. Pasalnya, dari semua BL yang saya mainkan, selalu ada 1 karakter yang jauh lebih superior dibanding yang lainnya. Lilith adalah karakter paling superior di BL(1), Salvador di BL2, dan Nisha di BL:TPS.

Misalnya saja di BL2, skala progress karakternya terlalu tinggi karena bisa sampai ke OP10 (dengan DLC terakhirnya). Namun hal itu tidak diimbangi dengan damage scaling yang sepadan untuk semua karakter. Hanya Salvador yang benar-benar bisa scaling dengan sangat baik di level tinggi (mulai UVHM). Hal inilah yang saya takutkan terjadi lagi di BL3.

Story-building: 74/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Buat yang suka dengan game-game gratisan, mungkin aspek ini tidak masuk akal untuk Anda… Namun untuk game-game kasta bangsawan alias AAA, aspek-aspek pembangun cerita merupakan elemen penting yang bisa menentukan apakah sebuah game layak dibeli atau tidak.

Di bagian ini, ada beberapa hal yang bisa kita bahas yang menurut saya berpengaruh dalam menentukan kualitas story-building dari sebuah game.

Soal plot cerita, berhubung saya memang tidak ingin membocorkannya di sini, saya hanya akan membandingkannya dengan beberapa game lainnya. Semua seri BL yang saya mainkan memang nyatanya tidak terlalu fokus pada kekuatan plot cerita. Jadi, jangan berharap akan menemukan level kualitas alur cerita yang sama dengan Skyrim, The Witcher 3, Wolfenstein: The New Order, GTA V ataupun game-game lain yang benar-benar menjunjung tinggi aspek ini. Namun demikian, alur ceritanya mungkin masih terbilang baik untuk game multiplayer (meski memang lebih berat ke Co-Op) — mengingat kebanyakan game multiplayer bahkan tidak menyuguhkan aspek ini sama sekali.

Selain alur cerita, aspek lain yang saya kira masuk ke dalam bagian kerangka narasi di sini adalah soal karakter dan karaterisasi. Meski BL2 juga memang tak punya alur cerita yang istimewa, game tersebut punya Handsome Jack yang sungguh sangat berkesan dan menghibur. Buat saya, Handsome Jack bisa masuk dalam salah satu penjahat (villain) di game yang paling ikonik sepanjang sejarah.

Sayangnya, hal itu tidak saya temukan di tokoh antagonis utama di sini. Calypso bersaudara (Tyreen dan Troy) bahkan bisa saya bilang terlalu cheesy. Memang, saya tahu membuat tokoh antagonis yang ikonik itu sulitnya bukan main. Namun, berhubung sebelumnya Gearbox berhasil menciptakan Handsome Jack, ekspektasi saya mungkin jadi lebih tinggi soal ini.

Untungnya, karakter-karakter yang ada di game-game sebelumnya muncul kembali di sini dengan ciri khasnya masing-masing. Walau memang dari semua karakter yang muncul kembali, favorit saya tetap 2 karena keunikannya: Claptrap dan (Tiny) Tina.

Soal story-building, BL3 memang (sekali lagi) tak bisa disejajarkan dengan banyak game yang menaruh perhatian besar ke sana. Namun demikian, bagi saya, aspek ini masih bisa membuat saya terhibur dan menikmatinya.

Features & Performance: 31/100

Sebelum kita masuk ke performanya, di atas kertas, ada satu fitur menarik yang coba ditawarkan oleh multiplayer BL3. Pasalnya, BL3 menawarkan 2 sistem Co-Op: Cooperation dan Coopetition.

Screenshot BL3
Screenshot dari BL3

Mode Coopetition sama dengan yang pernah diterapkan di BL2 dan BL:TPS. Loot drop yang ada di game bisa diambil oleh semua pemain. Hal ini memang bisa menyenangkan jika bermain bersama kawan. Namun jika bermain bersama dengan orang yang tak dikenal, Anda harus berebut loot dengan mereka. Selain itu, loot di game tersebut bisa jadi tidak relevan jika Anda bermain dengan karakter yang levelnya di atas atau di bawah.

Contohnya seperti ini, Anda memainkan karakter level 24 bersama dengan orang lain yang menggunakan karakter level 35. Di sistem Coopetition atau di kebanyakan game-game Co-Op lainnya, loot yang Anda berdua dapatkan ada di level 24 ataupun level 35. Buat Anda yang level 24, Anda tidak bisa menggunakan loot jika yang drop adalah level 35 karena ada level requirements. Sebaliknya, karakter level 35 tidak lagi butuh loot level 24 karena stats nya sudah tidak lagi relevan.

Sistem Cooperation BL3, teorinya, mencoba menyelesaikan persoalan tersebut. Di situasi tadi, buat Anda yang masih level 24, musuh yang Anda hadapi dan loot yang didapat akan scaling ke level Anda meski bergabung bersama pemain level 35 ataupun malah level 11. Inilah keistimewaan fitur multiplayer dari BL3.

Sayangnya, itu tadi sebatas teori — setidaknya dari pengalaman saya mencobanya sendiri. Saat saya mencoba fitur ini, karakter saya level 26 bergabung ke game orang tak dikenal lewat Matchmaking yang karakternya sudah mencapai level 32. Anehnya, musuh yang saya hadapi di kesempatan tersebut justru malah level 19-21. Padahal, jika saya bermain sendiri, musuh-musuh di Map tersebut adalah sekitar level 24-26. Sekali lagi, karena keterbatasan waktu, saya memang hanya mencoba fitur multiplayer-nya tadi 1x. Semoga saja, di lain waktu, saya benar-benar bisa merasakan sistem multiplayer BL3 yang ideal.

Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot diambil dari MSI Afterburner
Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot dan grafik framerate diambil menggunakan MSI Afterburner.

Jika tadi saya menemukan keanehan dari fitur Multiplayer BL3, performa BL3 yang saya mainkan di PC bahkan bisa dibilang menyedihkan. Performa yang menyedihkan ini tidak hanya saya yang mengalaminya namun juga banyak orang, di berbagai platform. Coba saja googling “borderlands 3 performance issues” jika tidak percaya.

Inilah spek PC saya saat memainkan game ini:

  • Procie: AMD Ryzen 3 1300X
  • Motherboard: GIGABYTE AB350-Gaming 3
  • Memory: Corsair Vengeance LPX 2x4GB DDR4 2666MHz
  • Graphic Card: Palit RTX 2070 SUPER JS
  • Storage: Corsair Force LS SSD (Game Directory), Palit PSP120 SSD (System Directory).

Saya tahu betul spek saya di atas memang hanya istimewa di kartu grafisnya, dan bottleneck juga (karena memang lagi menabung untuk upgrade CPU). Namun demikian, dengan spek tersebut, saya bisa mendapatkan 56-60 fps (90% of the time, V-Sync: On) di resolusi 1080p, 60Hz di banyak game baru yang saya mainkan beberapa bulan terakhir seperti Rage 2, Wolfenstein: Youngblood, Remnant: From the Ashes, Gears 5, ataupun Greedfall. Target saya yang memang hanya 1080p dan 60Hz di jaman sekarang juga sebenarnya sudah minimalis untuk PC gaming karena sudah ada resolusi 4K ataupun 1440p dan refresh rate 120Hz ataupun 144Hz.

Setting grafis BL3
Setting grafis BL3

Di sini? Minimum framerate yang saya dapatkan bahkan anjlok sampai 30 fps dan itupun sangat fluktuatif. Sayangnya, meski saya sudah mengutak-atik setting visual yang ada di BL3 cukup lama, saya tetap saja tidak bisa mendapatkan fps yang stabil. Setting Volumetric Fog, Overall Quality, atau apapun yang saya coba tidak berhasil membuatnya mulus. Padahal, untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood, saya bahkan tidak perlu repot-repot tweaking opsinya satu persatu.

Oh iya, saya kira perlu juga diketahui bahwa, selain sudah memainkan lebih dari 2000 game PC, saya juga hobi bermain modding di PC gaming — termasuk mainan ReShade (dulu dikenal dengan SweetFX) ataupun ENB. Jadi, saya sudah tidak asing lagi tweaking masalah grafis di PC gaming. Jika saya masih kesulitan mendapatkan framerate yang mulus di BL3, kemungkinan besar, banyak orang juga tidak akan mendapatkan yang smooth.

Average Score: 66/100

Akhirnya, Borderlands 3 tersedia di EPIC Games Store seharga US$44.99 (sekitar Rp632 ribu) untuk versi standarnya. Dengan harga yang harus Anda bayarkan, gameplay-nya memang sungguh istimewa dan paling asyik dari semua game FPS yang pernah saya mainkan. Ceritanya pun juga masih menghibur. Sayangnya, game ini seperti masih dalam tahap BETA untuk fitur multiplayer ataupun malah optimisasi performanya.

Jadi, buat Anda yang sudah mengeluarkan dana sampai Rp20 juta lebih untuk satu set PC gaming ataupun Rp8 juta lebih untuk satu buah kartu grafis dan tidak bisa menerima bermain game di bawah 50 fps (seperti saya), Anda mungkin harus bersabar sampai Gearbox menyelesaikan permasalahan performa BL3 sebelum membelinya. Pasalnya, ada alternatif game shooter ataupun RPG yang jauh lebih mulus dan tidak kalah menyenangkan yang dirilis belakangan ini.

Namun buat Anda yang punya standar framerate rendah (alias 30 fps) ataupun memang benar-benar mencari kombinasi FPS dan RPG yang ideal, BL3 wajib dimainkan.