Satgas Waspada Investasi Tutup Hampir 700 Fintech Ilegal di Paruh Pertama 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan telah menutup 694 fintech lending ilegal pada paruh pertama tahun 2020. Dibandingkan tahun lalu saja, angka ini sudah hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ditutup SWI sebesar 1493 perusahaan.

Momentum pandemi, menjadi kesempatan para pemain ilegal itu lebih berkembang lebih liar, terlihat dari jumlahnya yang berlipat ganda dibandingkan sebelum pandemi. SWI mencatat sepanjang Maret-Juni 2020 telah menutup 574 perusahaan ilegal. Adapun pada Januari saja ada 120 perusahaan. Bila ditotal secara akumulatif dari 2018 hingga sekarang SWI telah menutup 2591 entitas.

“Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan orang buat aplikasi, sebar SMS, fintech ilegal ini jadi semakin sulit diberantas. Jadi yang kita rutin lakukan setiap hari adalah cyber patrolling bersama Kemenkominfo sebelum jatuh korban lagi,” terang Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam konferensi pers secara online, Senin (13/7).

Dia merinci lebih jauh dari temuan SWI, fintech ilegal tersebut memiliki server mayoritas dari luar negeri. Server dari lokasi tidak terdeteksi jumlahnya mencapai 44%, lalu dari Amerika Serikat (14%), Singapura (8%), Tiongkok (6%), Malaysia (2%), lain-lain (3%), dan sisanya dari dalam negeri (22%).

Seluruh fintech ini menurutnya tidak melakukan kegiatan pinjam meminjam uang seperti apa yang dilakukan oleh perusahaan p2p lending yang sudah tercatat di OJK. Mereka justru bertindak kurang lebih seperti perusahaan pembiayaan (multifinance). Ditambah itu, mayoritas aduan yang diterima berasal dari sisi peminjam, bukan pemberi pinjaman.

“Dari sisi pendana tidak pernah ada yang mengadu, yang mengadu adalah korban yang sering kena tipu karena persyaratan sering berubah-ubah, denda tidak terbatas, dan ada tindakan intimidasi saat mereka tidak mampu membayar,” tambahnya.

Dalam menjalankan kegiatan penutupan ini, SWI mengaku telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, mulai dari perbankan, antar kementerian, kepolisian, hingga Google. Dengan perbankan misalnya, SWI meminta untuk memblokir rekening yang terdeteksi melakukan transaksi yang dicurigai dan tidak melayani fintech lending sebelum mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengingatkan masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman, perlu dipastikan pihak yang menawarkan pinjaman online tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

“Yang legal itu harus terdaftar di OJK dan sudah menjadi anggota AFPI. AFPI adalah asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada anggota bila terbukti melanggar aturan dan kode etik,” ujar Tumbur.

Kesulitan karena tidak ada payung hukum

Tongam mengaku, dalam praktiknya pelaku memanfaatkan celah dari kekosongan hukum. Adapun perangkat hukum yang dibutuhkan antara lain ketiadaan UU Fintech untuk menjerat yang ilegal dan penyebaran data pribadi dan penagihan tidak beretika dengan KUHP, UU ITE, dan lainnya.

Dari sisi korban, mereka cenderung tidak melapor ke polisi malah lebih memilih lapor ke media sosial yang sebenarnya tidak akan memberi efek jera untuk pelaku fintech ilegal. Pun dari sisi SWI sendiri sulit untuk mencatat nilai valid kerugian ekonomi buat negara dari potensi pajak yang berhasil lari ke luar dari negara. Juga data rill jumlah peminjam dan investor tidak berhasil diperoleh.

Berikutnya, dari sisi penegak hukum belum ada prioritas penanganan perkara. Proses hukum lebih ke arah desk collection. Ditambah, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. “Kerugian ada di masyarakat, selain rugi materil ada juga psikis karena mereka diteror dan intimidasi saat penagihan.”

Langkah preventif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengetahui ciri-ciri fintech lending, antara lain tidak terdaftar di OJK; bunga dan jangka waktu pinjaman tidak jelas; alamat peminjaman tidak jelas dan sering berganti nama; media yang digunakan tidak hanya memakai aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.

Berikutnya, ada penyebaran data pribadi peminjam; dan terakhir, tata cara penagihan tidak hanya kepada ke peminjam, tapi juga kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan, penyebaran fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual, dan biasanya penagihan sebelum jatuh tempo.

Satgas Waspada Investasi Kembali Blokir 231 Entitas P2P Lending Ilegal

Satgas Waspada Investasi kembali memblokir 231 entitas aplikasi fintech p2p lending ilegal di awal tahun ini. Bila ditotal, ada 635 entitas yang telah diblokir oleh Satgas Waspada Investasi sejak 2018.

Tak hanya dari lokal, mayoritas mereka datang dari Tiongkok, Rusia, dan Korea; bahkan ada yang tidak terdeteksi lokasi servernya. Kebanyakan bergerak di segmen kredit konsumtif.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan, semakin banyaknya pelaku yang nakal ini membuat pihaknya harus lebih cepat melakukan pencegahan dan penanganan yang lebih tegas.

Beberapa upaya yang dilakukan adalah mengumumkan identitas p2p lending ilegal kepada masyarakat; mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Kominfo; memutus akses keuangan dengan mengimbau perbankan untuk menolak pembukaan rekening atau existing tanpa rekomendasi OJK.

Selain itu satgas juga meminta Bank Indonesia untuk melarang fintech payment system memfasilitasi p2p lending ilegal; menyampaikan laporan informasi kepadaBareskrim untuk proses penegakan hukum; meningkatkan peran AFPI untuk penanganan.

“Yang terpenting adalah mengedukasi dan sosialisasi kepada masyarakat secara berkelanjutan untuk tidak menggunakan fintech ilegal, sebab kunci utamanya di situ,” terang Tongam, Rabu (13/2).

Upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi gerak pemain ilegal untuk mengambil keuntungan dengan yang tidak baik. Pasalnya, membuat aplikasi dan merilisnya ke Google Play itu cukup mudah. Ketika sudah diblokir, mereka kembali membuat aplikasi dengan nama yang mirip-mirip.

Mereka juga melakukan berbagai modus untuk mengelabui masyarakat agar menggunakan layanannya, seperti proses pencairan cepat dengan mengunggah KTP. Namun di balik kemudahan tersebut, aplikasi ilegal ini menjebak dengan bunga dan denda tinggi. Apabila tidak dipenuhi, tidak segan-segan melakukan penagihan yang tidak beretika.

“Ada salah satu kasus yang pernah kita publikasi di Bareskrim, ada tiga tersangka yang ditangkap karena kasus intimidasi penagihan. Ini akan terus berlanjut.”

Edukasi masyarakat

Sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen secara berkelanjutan, Satgas Waspada Investasi memberikan sejumlah tips kepada masyarakat yang ingin melakukan pinjaman. Pertama pinjam pada layanan yang sudah terdaftar di OJK; kemudian pinjam sesuai kebutuhan dan kemampuan; pinjam untuk kepentingan yang produktif; dan pahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda, dan risikonya.

Informasi mengenai daftar entitas yang terdaftar atau memiliki izin dari OJK dapat dilihat lewat situs resmi OJK yang rutin diperbarui.

Sejauh ini ada 99 perusahaan p2p lending yang telah terdaftar dan berizin OJK. Adapun perusahaan yang sedang mengajukan izin, diungkapkan ada sekitar 25 perusahaan yang sudah mengajukan dokumennya.

Hanya saja, OJK masih menunggu AFPI untuk membuat kelas pelatihan selama sehari penuh yang wajib diikuti direksi dan komisaris sebagai salah satu persyaratan mengajukan izin usaha.

“Kami masih menunggu kesiapan dari AFPI untuk kelas pelatihan itu. Nanti ada bukti sertifikat yang harus ditunjukkan ke OJK bahwa mereka telah mengikuti kelasnya. Katanya awal Maret bakal ada, kalau diundur tentu kami akan fair untuk proses dokumen yang sudah ada dulu,” ucap Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi.