Startup Edtech Dibimbing Cari Pendanaan Segar Lewat Platform SCF FundEx

Startup edtech Dibimbing mencari pendanaan segar melalui penerbitan efek saham di FundEx, startup securities crowdfunding. Dibimbing menargetkan pendanaan sebesar Rp1,2 miliar dengan masa penawaran selama 45 hari. Total saham yang dilepas adalah 2,4 juta lembar atau setara 5% dengan harga per lembar Rp500.

Dibimbing berdiri sejak November 2020, oleh tiga anak muda alumni Universitas Indonesia, yaitu Zaky Muhammad Syah, Alim Anggono, dan Wildan Gunawan. Dibimbing fokus membantu penggunanya meningkatkan kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Program pendidikan yang disediakan adalah data science, digital marketing & UI/UX, business intelligent & SEO.

Pertumbuhan industri digital yang begitu cepat di Indonesia, dihadapkan pada isu utama, yakni kebutuhan dan ketersediaan talenta digital. Data dari Bank Dunia menunjukkan, Indonesia membutuhkan sekitar sembilan juta talenta digital dalam 15 tahun atau rata-rata per tahun sekitar 600 ribu orang. Jika hanya mengandalkan sistem pendidikan konvensional, laju kebutuhan industri tidak akan dapat diimbangi.

Sebagai solusi dari kesenjangan ini, lahirlah Dibimbing sebagai platform edtech penyedia layanan belajar kemampuan digital, persiapan karier, dan penyaluran kerja bagi talenta digital Indonesia.

“Dibimbing punya visi mencetak talenta digital tanpa batas karena kami ingin membantu orang-orang mendapatkan pekerjaan dengan mudah dan mereka juga bisa mengakses pembelajaran yang murah. So, we need funding because we have to scale up our product, and we need a partner untuk bantuin share bahwa Dibimbing ini impactful for our customers,” ungkap CEO Dibimbing Zaky Muhammad Syah dalam keterangan resmi.

Pertumbuhan bisnis perusahaan sendiri menunjukkan tren kenaikan. Omzet perusahaan pada awal berdiri baru Rp2 juta, kemudian perlahan naik hingga mencapai Rp4,49 miliar pada akhir tahun lalu. Perusahaan sudah mencapai titik profit pada kuartal kedua 2021. Jumlah peserta yang telah lulus sebanyak 912 orang dibimbing oleh 147 mentor yang telah bergabung di Dibimbing.

Dalam prospektus perusahaan, Dibimbing menawarkan sejumlah benefit untuk para investornya. Selain capital gain, investor juga mendapat bonus spesial berupa kelas investasi gratis senilai Rp1 juta untuk setiap orang.

Sebanyak 80% dana yang digalang Dibimbing akan digunakan untuk meningkatkan kualitas produk yang berorientasi pada teknologi, termasuk pemanfaatan AI untuk memberikan pengalaman yang lebih baik bagi para penggunanya. Sisanya, sebanyak 20% akan dimanfaatkan untuk merekrut tim marketing terbaik guna mengakuisisi lebih banyak pengguna Dibimbing.

Proses mitigasi di FundEx

Dibimbing adalah perusahaan kedua yang melakukan penggalangan dana melalui startup yang dirintis oleh Agung Wibowo. FundEx sendiri menawarkan saham Dibimbing dapat dibeli mulai dari Rp500 ribu agar dapat menjangkau banyak kalangan.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial.id, Agung menjelaskan proses mitigasi yang dilakukan perusahaan dalam pendanaan Dibimbing ini cukup ketat, sejak awal proses registrasi/pra pendanaan hingga pendanaan. Termasuk pula, keputusan untuk memilih menerbitkan efek berbasis utang atau saham juga disosialisasikan oleh FundEx.

“Kami mensosialisasikan perbedaan dan konsekuensi atas dua produk efek di platform SCF, sehingga calon penerbit dapat memilih efek yang sesuai dengan kebutuhan dan rencana strategis perusahaan.”

Dijelaskan lebih jauh, di fase awal calon penerbit diharuskan melakukan proses e-KYC untuk memastikan bahwa perusahaan/calon penerbit adalah badan hukum yang sah,” kata dia. Setelah e-KYC selesai, masuk ke tahap selanjutnya, yakni proses penandatanganan perjanjian antara calon penerbit dengan FundEx, baik secara elektronik maupun alternatif manual.

Tujuannya demi memastikan apabila ada kendala kepada berbagai pihak bahwa dalam proses penawaran efek ke calon investor merupakan perjanjian yang sah dan mengikat. Berikutnya, masuk ke fase uji kelayakan. Calon penerbit akan dianalisis dari segi kinerja, prospek bisnis, dan profil risiko bisnisnya.

Tahapan ini juga dilakukan secara transparan dapat dipantau bersama calon penerbit melalui platform FundEx, e-mail, atau media komunikasi lainnya. “Setiap calon penerbit yang lolos uji kelayakan dan launching penawaran efeknya di FundEx, calon investor dapat memperoleh prospektus dan bisa mulai mendanai penerbitan efek tersebut.”

Agung melanjutkan, “Dana calon investor tidak serta merta masuk langsung ke rekening calon penerbit, melainkan disimpan di escrow account. Hanya akan dipindahbukukan ke rekening giro calon penerbit apabila target urun dana atas efek yang diterbitkan telah terpenuhi. Dan apabila tidak tercapai target pendanaannya, maka dana calon investor akan dikembalikan, serta penawaran efek batal demi hukum.”

FundEx menargetkan setidaknya sampai akhir tahun ini perusahaan dapat menyediakan platform alternatif pendanaan bagi 30 perusahaan. Sembari, melakukan edukasi yang intensif melalui berbagai kegiatan di berbagai platform online dan offline. Langkah tersebut penting untuk meluruskan pemahaman masyarakat mengenai ragam dunia investasi yang memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh OJK per Desember 2021, total penghimpunan dana melalui platform SCF mencapai Rp412 miliar atau meningkat 115,48% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp191,2 miliar. Begitu pula dengan jumlah pemodal pada 2020 sebanyak 22.341 orang, meningkat sebesar 319,56% mejadi 93.733 di 2021.

Startup SCF FundEx Resmi Beroperasi, Incar Bisnis Digital Peroleh Alternatif Pendanaan

FundEx meramaikan jajaran pemain securities crowdfunding (SCF) dalam menyediakan alternatif pendanaan untuk UKM, sekaligus alternatif investasi bagi investor ritel. Startup ini telah mengantongi izin usaha dari OJK per 6 September 2021, direncanakan segera meresmikan diri ke publik pada akhir Oktober 2021.

FundEx didirikan pada 2019 oleh Agung Wibowo, Purwanto, dan Tri Mukhlison yang merupakan rekan satu almamater di Universitas Indonesia. Awalnya mereka tergerak untuk membangun ekosistem pendanaan untuk startup, setelah mendapat sosialisasi tentang equity crowdfunding (ECF) dari OJK. Kemudian pada 2020, OJK menyempurnakan aturan ECF menjadi SCF melalui POJK 57, sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya, yakni POJK 37.

“Dengan diberlakukannya POJK 57 ini, model bisnis FundEx berubah. FundEx tidak hanya dapat menyelenggarakan penawaran efek bersifat ekuitas saja, tetapi juga efek bersifat utang, yaitu obligasi dan sukuk,” ucap Co-founder dan CEO FundEx Agung Wibowo kepada DailySocial.id.

Dia melanjutkan, dibandingkan pemain sejenisnya, diferensiasi yang ditawarkan FundEx adalah mereka lebih spesifik mencari bisnis digital yang kreatif dan inovatif dengan pertumbuhan yang tinggi, bahkan eksponensial. “Berinvestasi pada startup adalah keunggulan yang FundEx miliki, di mana pemain SCF lain tidak mengambil pasar tersebut.”

Melalui FundEx, bisnis bisa mendapatkan pendanaan mulai dari Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. Masyarakat sebagai investor ritel akan mendapatkan kepemilikan saham dari bisnis yang berupa startup, sehingga berpeluang memperoleh dividen bahkan capital gain yang bersifat eksponensial.

Sementara bisnis yang berupa UMKM, seperti bisnis indekos, restoran, minimarket, akan mendapatkan dividen sharing secara rutin, setidaknya setahun sekali. Ada pula bisnis yang berupa proyek, yang memungkinkan investor ritel memperoleh pembagian hasil dari profit yang proyek tersebut dapatkan.

Mitigasi risiko

Setiap jenis bisnis memiliki instrumen investasi yang berbeda, ada yang efek bersifat ekuitas (EBE) untuk berinvestasi pada startup dan UMKM. Sementara untuk bisnis yang berjenis proyek, instrumen investasinya berupa obligasi dan sukuk, yang merupakan efek bersifat utang (EBU).

Tiga instrumen investasi yang FundEx tawarkan dapat menjadi alternatif investasi dan melakukan diversifikasi bagi para investor sesuai dengan profil risiko masing-masing. Sesuai dengan dorongan OJK, investor yang memiliki penghasilan kurang dari Rp500 juta/tahun, hanya bisa menginvestasikan 5% dari seluruh penghasilan tahunannya. Sementara, untuk mereka dengan penghasilan tahunan di atas Rp500 juta, bisa menginvestasikan antara 5%-10% dari penghasilan tahunannya.

Selain itu bagi sisi bisnis itu sendiri, FundEx juga melakukan langkah mitigasi sebelum suatu bisnis dapat melakukan penggalangan dana. Agung menerangkan, untuk EBU, keamanan lebih terjamin daripada yang bersifat ekuitas karena yang bersifat utang tentunya harus dikembalikan. “Kami harus memastikan bahwa penerbit memiliki kemampuan untuk mengembalikannya.”

Untuk aspek keamanan, perusahaan bekerja sama dengan perusahaan asuransi, serta meminta jaminan. Sementara untuk EBE, umumnya ada yang meminta dividen sharing dan capital gain. Jika ada yang mengarah ke dividen sharing, FundEx akan bermain di property management, jadi harus ada penguasaan aset.

“Baiknya properti yang bisa kami jadikan aset di perusahaan. Jadi misalkan perusahaan tersebut bangkrut, asetnya bisa kami likuidasi dan bisa kita kembalikan lagi ke pemodal.”

Dia melanjutkan, untuk investasi ke startup yang termasuk dalam kategori risiko tinggi, proses kurasinya akan jauh lebih ketat. Oleh karenanya, FundEx akan lebih selektif dan efek jenis ini akan dikeluarkan secara terbatas, sekitar tiga sampai lima startup per tahun.

“Karena kami yakin bahwa startup ini tidak punya banyak aset untuk diagunkan, tidak punya kepemilikan tanah, dan sebagainya. Yang bisa kami andalkan adalah bagaimana prospek mereka ke depan. Selain itu, tim atau founder startup juga akan sangat kami perhatikan. Apakah mereka punya masalah keuangan atau tidak.”

Menurutnya, semua indikator tersebut dapat dipantau melalui Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang telah bekerja sama dengan FundEx. “Dari situ kami bisa lihat apakah startup tersebut punya catatan keuangan yang buruk atau tidak.”

Agung menuturkan, agar dapat mengakomodasi lebih banyak usaha memperoleh alternatif pendanaan di luar perbankan. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pendekatan ke penerbit, asosiasi, hingga komunitas-komunitas pengusaha. “Untuk efek bersifat utang, FundEx akan banyak bermain di ranah konstruksi, terutama untuk proyek-proyek yang sudah memiliki jaminan SBK dari pemerintah, yang kami nilai lebih aman dari segi risikonya.”

Mengingat perusahaan baru bisa beroperasi setelah mendapatkan izin, sejauh ini perusahaan sudah menerima aplikasi lebih dari 100 penerbit. Dari jumlah tersebut, ada dua penerbit yang sudah melalui uji kelayakan (due dilligence). “Pada akhir bulan ini [saat grand launching] kami akan luncurkan dua penerbit yang sudah ready to invest,” tutup Agung.

Platform SCF Bizhare Luncurkan Layanan Syariah, Incar Potensi Bisnis Halal

Platform securities crowdfunding (SCF) Bizhare merilis layanan syariah “Bizhare Syariah” untuk menggarap potensi bisnis halal yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Mereka mengklaim jadi perusahaan pertama di industri SCF yang memiliki unit bisnis syariah.

Dalam keterangan resmi, Co-CEO Bizhare Syariah Gatot Adhi Wibowo menjelaskan saat ini pangsa pasar syariah masih di angka 9,03%. Kesempatan tersebut mendorong perusahaan untuk menghadirkan ekosistem investasi syariah yang lebih terintegrasi bagi masyarakat luas.

Tak hanya menjadi platform pembiayaan, Bizhare telah memiliki jaringan edukasi, pelatihan, ekosistem UMKM industri halal, supplier management system, dan pustaka aplikasi digital halal.

“Bizhare Syariah bersama berbagai macam UKM, lembaga pendidikan, dan komunitas muslim di Indonesia akan membangun ekosistem bisnis syariah yang menguntungkan dan bermanfaat bagi para investor,” terangnya.

Bizhare menjalankan bisnis syariahnya dengan membentuk unit bisnis khusus yang dipimpin langsung oleh Gatot. Serta, memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) sendiri yang dikepalai oleh Awang Muda Satria. Di ALUDI, Gatot juga menjabat sebagai Ketua Eksekutif Bidang Syariah.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent menjelaskan perbedaan konsep equity crowdfunding (ECF) syariah dengan konvensional terletak di sisi bisnis penerbit yang harus menerapkan syariat Islam dalam menjalankan bisnisnya. Penerbit tersebut sebelumnya sudah melakukan penelaahan kesyariahan oleh DPS yang sudah direkomendasikan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Kemudian memakai empat jenis akad untuk pembagian hasilnya. Akad yang dimaksud ialah Akad Ijarah (sewa menyewa barang/jasa), Akad Mudhorobah (pengelola tidak setor modal uang), Akad Musyarakah (pengelola juga setor modal), dan Akad Murabahah (jual beli barang).

Lalu dari sisi due dilligence juga lebih mendalam karena tidak hanya dari sisi legal, finansial, dan proyeksi bisnis saja, tapi juga menambah unsur syariah di dalamnya. “Proses pengajuan bisnis syariahnya sendiri, prosedurnya kurang lebih sama, tetap akan dilakukan due dilligence mendalam dari sisi legal dan finansial. Namun akan ditambah dengan penelaahan kesyariahannya oleh DPS,” kata Heinrich.

Gatot turut menambahkan, saat ini cakupan layanan syariah mereka baru di ranah ECF, ke depannya Bizhare Syariah akan diperluas hingga ke SCF, mengingat Bizhare sendiri saat ini sudah meng-upgrade lisensinya di OJK. Perusahaan menargetkan pada 2025 mendatang dapat membuka lebih dari 2 ribu bisnis syariah.

Saat ini, Bizhare Syariah membuka dua penawaran saham bisnis syariah, yakni Tihama Klinik Hemodialisa untuk kategori bisnis di bidang kesehatan yang berlokasi di Cirebon dan SALSA untuk kategori bisnis grosir dan ritel di Banyumas.

Selain Bizhare Syariah, sebelumnya perusahaan juga telah merilis layanan Pasar Sekunder pada Februari kemarin. Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor.

Pada Mei kemarin, Bizhare baru mengumumkan pendanaan pra-Seri A senilai $520 ribu yang dipimpin oleh AngelCentral. Diikuti oleh investor sebelumnya, seperti GK Plug and Play, GDILab, dan Billy Boen. Dana segar ini salah satunya akan dimanfaatkan untuk pengembangan aplikasi mobile.

Startup ECF Santara Kini Miliki Pasar Sekunder, Tempat Jual-Beli Saham Bisnis UKM

Startup equity crowdfunding (ECF) Santara meresmikan Pasar Sekunder untuk jual-beli saham bisnis UKM, secara resmi mulai bisa diakses pada esok hari 19 Maret 2021 sampai 1 April 2021. Dalam periode pertama ini akan diisi oleh 13 bisnis (penerbit saham) yang terdiri dari bisnis peternakan, perikanan, F&B, kecantikan, dan lainnya.

Co-Founder & CEO Santara Reza Avesena menjelaskan, Pasar Sekunder dapat menjadi ajang pertukaran saham, investor bisa menjualbelikan saham miliknya. Sebaliknya, menjadi kesempatan kedua bagi investor yang dulu tidak sempat membeli saham tersebut di pasar perdana.

“Pasar Sekunder ini merupakan momentum besar bagi pengguna Santara, terlebih berdasarkan aturan POJK 57, Pasar Sekunder hanya dapat dilakukan dua kali dalam setahun. Sehingga ini merupakan kesempatan bagi para investor (pengguna) untuk melakukan exit atau memperkaya portofolio saham bisnis yang sudah terbukti survive,” terangnya dalam keterangan resmi, Kamis (18/3).

Sebanyak 13 penerbit saham yang masuk dalam periode pertama ini dipastikan sudah memenuhi syarat berdasarkan aturan dan OJK. Di antaranya, sudah listing di Santara selama minimal satu tahun atau lebih, memenuhi syarat administrasi, dan sudah memasuki dua kali periode pembagian dividen.

Transakasi sepenuhnya melalui aplikasi Santara, pengguna dapat menjual dan membeli saham di pasar sekunder pada hari Senin sampai Jumat di jam operasional pukul 09.00-17.00 WIB.

Pengguna dibekali dengan informasi dan data terkait kinerja perusahaan selama beberapa tahun terakhir, berikut rencana pengembangan usaha ke depannya melalui berbagai fitur di aplikasi. Seluruh informasi yang disajikan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengguna dalam mengambil keputusan pembelian.

Secara terpisah saat dihubungi DailySocial, Reza menuturkan sebelum Pasar Sekunder dirilis secara resmi di aplikasi, perusahaan sudah melakukan kegiatan edukasi sejak Februari kemarin, baik dari sisi wawasan maupun teknikal kepada pengguna Santara.

“Berbagai informasi mulai dari definisi, cara kerja, fitur yang tersedia, hingga aturan yang menjadi landasan terselenggaranya pasar sekunder secara bertahap telah kami sosialisasikan melalui berbagai kabal mulai dari sosial media, email, hingga webinar.”

Dari sisi teknis, sebelum benar-benar digunakan, perusahaan telah menyelenggarakan masa Open Beta Testing (OBT) di Februari 2021. Pada masa OBT, pengguna bisa mencoba dan mempelajari fitur-fitur yang ada di pasar sekunder, sehingga harapannya pengguna sudah familiar dan siap menggunakan fitur di pasar sekunder pada esok hari.

Bila tidak ada aral melintang, Santara berencana untuk menggelar Pasar Sekunder periode kedua pada kuartal terakhir tahun ini. Sebelum Santara, pemain sejenisnya Bizhare sudah lebih dahulu memperkenalkan Pasar Sekunder pada awal Februari kemarin.

Rencana tahun ini

Diterangkan lebih lanjut, sejak Santara beroperasi hingga per 18 Maret 2021, terdapat 83 bisnis yang memperoleh dana di Santara dengan total pendanaan lebih dari Rp130 miliar. Bisnis tersebut tersebar di 42 kota di Indonesia.

Adapun, total investor terdaftar mencapai 270.319 orang yang tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan beberapa kota di luar negeri. Lima lokasi terbesar tersebut adalah Jawa Barat (21.21%), Jawa Timur (16.07%), DKI Jakarta (12.62%), Jawa Tengah (12.24%), Banten (7.55%).

Sepanjang tahun ini perusahaan menargetkan kenaikan hingga 10 kali lipat dari pencapaian di tahun lalu, kurang lebih mengejar total 400 penerbit.

Terkait rencana pengembangan menuju securities crowdfunding (SCF), Reza menerangkan saat ini Santara sudah dalam tahap finalisasi proses perizinan SCF. Pihaknya juga tengah menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak, mulai dari OJK hingga DSN MUI terkait pemenuhan persyaratan SCF.

“Sementara dari sisi platform, per minggu kedua Maret kami sudah menyelesaikan tahap development. Paralel dengan proses perizinan, aturan-aturan baru di SCF sudah mulai kami terapkan di platform Santara,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here