Investree Akan Spin-Off Unit Bisnis Syariah Jadi Badan Usaha Tersendiri

Investree mengungkapkan tengah memisahkan (spin off) unit bisnis syariah menjadi perusahaan tersendiri. Dalam prosesnya, Investree telah menutup kegiatan operasional usaha Investree Syariah sejak Januari 2023. Informasi ini sudah disampaikan ke publik melalui berbagai kanal media sosialnya.

“Karena kita mau spin off. Sesuai aturan OJK yang baru harus di spin off,” ucap Co-founder dan CEO Investree Adrian Gunadi saat dihubungi DailySocial.id.

Dia melanjutkan, terkait pembentukan badang hukum Investree Syariah pun sudah disiapkan tinggal menunggu moratorium perizinan dicabut oleh OJK. Nantinya tim existing di Investree Syariah sudah dipersiapkan untuk memimpin operasional perusahaan begitu sudah terima izin. “Semoga OJK bisa kasih ruang terutama untuk yang syariah.”

Sesuai dengan isi beleid POJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, memuat poin penting salah satunya arahan untuk penyelenggara konvensional menjadi penyelenggara berdasarkan prinsip syariah.

Disebutkan penyelenggara konvensional yang melakukan konversi menjadi penyelenggara berdasarkan Prinsip Syariah wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan konversi dari OJK. Nantinya, OJK akan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan konversi dalam jangka waktu paling lama 20 hari semenjak permohonan diterima dengan lengkap. Apabila disetujui, penyelenggara harus melaksanakan RUPS paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal surat persetujuan dari OJK.

Unit bisnis Investree Syariah sendiri sudah hadir sejak 2018. Ada tiga jenis produk yang ditawarkan, yakni Invoice Financing, Buyer Financing, dan Working Capital Term Loan, alias kurang lebih mirip dengan apa yang ditawarkan untuk bisnis konvensionalnya tapi dengan menggunakan prinsip syariah.

Adrian juga mengungkapkan, pendanaan seri D yang sedang digalang perusahaan beberapa waktu lalu, sebagian dana akan diarahkan untuk membangun Investree Syariah menjadi perusahaan tersendiri. “Ini bagian dari deal JTA [Holdings].”

Sayangnya ia tidak bersedia merinci apakah penggalangan seri D ini sudah rampung atau belum. Dalam pemberitaan sebelumnya dikabarkan, JTA Holdings sudah mengumumkan komitmennya untuk memimpin putaran seri D yang awalnya ditargetkan kelar pada Januari 2023.

Pasca-investasi ini, Investree akan ekspansi ke Qatar dengan membentuk perusahaan patungan. Solusi yang ditawarkan akan berfokus pada pembiayaan supply chain untuk UMKM.

Moratorium izin

Seperti diketahui, OJK moratorium perizinan untuk bisnis lending sejak Februari 2020. Setelah dua tahun, disebutkan moratorium tersebut bakal dicabut melalui penerbitan aturan baru. Dalam rancangan aturan tersebut nantinya akan mengatur sistem yang mempermudah perizinan fintech.

Mengutip dari data OJK, per Januari 2023 terdapat 102 fintech p2p lending yang telah mengantongi izin. Jumlah ini berkurang dari sebelumnya 164 perusahaan yang mengajukan perizinan. OJK juga mencatat hampir seperlima atau 22 fintech masuk dalam radar pantauan.

Pencabutan moratorium sebetulnya masih jadi pro-kontra di industri. Mengutip dari Kontan, jumlah pemain yang sudah ada saat ini dinilai terlalu banyak. Direktur Celios Bhima Yudhistira memandang banyaknya jumlah pemain fintech berizin menjadi salah satu alasan masih banyaknya masyarakat yang terjebak pinjaman online ilegal.

Masyarakat jadi sulit membedakan mana yang berizin mana yang ilegal. Jika jumlahnya sedikit, masyarakat dinilai bisa lebih mudah mengetahui mana yang legal. “Idealnya fintech 10 atau 20 perusahaan jadi masyarakat tahu cuma perusahaan-perusahaan ini yang legal,” jelasnya.

Terlebih itu, industri ini juga tak kebal dari imbas pandemi. Tercermin 21 perusahaan yang masih memiliki tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di atas 5%. TWP90 adalah tingkat pengukuran kredit macet dalam industri p2p lending yang menunjukkan tingkat keberhasilan nasabah mengembalikan pinjaman dalam 90 hari setelah jatuh tempo. Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022, untuk tahap awal, OJK akan melakukan supervisory action.

Tantangan lainnya juga harus dihadapi terutama dalam memenuhi ketentuan permodalan sesuai dengan beleid baru. Disebutkan perusahaan wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar. Waktu yang diberikan untuk memenuhi ketentuan ini maksimal tiga tahun setelah peraturan diterbitkan. OJK mencatat baru 58 perusahaan yang memenuhi ekuitas minimal.

Menurut AFPI, perusahaan yang kesulitan ini karena mereka masih mencatat kinerja yang rugi. Dari data OJK, masih ada 65 perusahaan yang merugi dari total 102 perusahaan. Ditambah lagi, beleid ini juga tidak memperbolehkan adanya pemegang saham baru dalam waktu tiga tahun sejak tanggal izin usaha dikeluarkan OJK. Artinya, peningkatan modal selama periode tersebut hanya bisa dari investor yang sudah ada.

“Asosiasi sudah membicarakan dengan OJK dan kelihatannya ke depan akan ada solusi atas hal tersebut,” kata Ketua Hukum, Etika, dan Perlindungan AFPI Ivan Nikolas Tambunan.

Application Information Will Show Up Here

Shafiq dan Optimismenya Tawarkan UMKM Alternatif Pendanaan SCF dengan Bendera Syariah

Lama berkecimpung di dunia finansial, Kevin Syahrizal menyadari bahwa selama ini praktik pembiayaan usaha di lapangan banyak yang tidak sesuai dengan yang ia pelajari dari fatwa yang disusun oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Diterbitkannya POJK 57 Tahun 2020 tentang kegiatan securities crowdfunding (SCF), menginisiasi dirinya untuk merintis Shafiq pada 2021.

Landasan dari POJK ini memantapkan dirinya bahwa produk pendanaan SCF bisa menjadi alternatif dan solusi bagi para pelaku usaha yang membutuhkan pendanaan atau pihak yang memiliki dana lebih untuk bekerja sama tanpa melanggar syariat. Tak hanya Kevin, ia dibantu oleh dua teman kuliahnya, yakni Gema Megantara (teknologi) dan Muhammad Syafii Antonio (syariah). Perpaduan disiplin yang beragam diwakili oleh ketiga co-founder ini melengkapi kehadiran Shafiq.

Shafiq sendiri adalah pemain SCF syariah pertama yang telah berizin OJK dan diawasi DSN-MUI pada Agustus 2021. Per Juni 2022, OJK memberikan izin operasi kepada 10 perusahaan SCF, salah satunya adalah Shafiq (PT Shafiq Digital Indonesia).

Secara garis besar, Shafiq selaku penyelenggara melakukan beberapa tahapan mitigasi sebelum penerbit dapat melakukan penawaran. Yakni, aspek kepatuhan syariah dan aspek bisnis. Pada bagian pertama, mengacu pada fatwa DSN No. 40 Tentang Pasar Modal, maka kriteria syariah bagi penerbit saham syariah juga berlaku bagi penerbit sukuk syariah.

Di antaranya, kegiatan usaha tidak boleh bergerak di perjudian, lembaga keuangan konvensional (ribawi), produsen, distributor dan pedagang makanan-minuman atau jasa yang haram/mudarat, dan melakukan investasi pada penerbit yang saat transaksi berhutang pada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.

Adapun untuk aspek bisnis, ada empat persyaratan yang harus dipenuhi. Yakni, profitable, accountable, sustainable, dan valuation.

Diferensiasi lainnya

Shafiq

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Co-founder & CEO Shafiq Kevin Syahrizal menjelaskan, di bawah bendera syariah terdapat sejumlah pembeda dibandingkan pemain konvensional. Dalam menangani proses uji tuntas, Shafiq memiliki Risk Acceptance Criteria (RAC) yang konsepnya sama dengan perbankan atau lembaga pembiayaan pada umumnya, sehingga dapat memitigasi terkait bisnis yang akan di-listing-kan. Namun yang berbeda, terletak dari sisi kecepatan dalam memroses pengajuan pendanaannya.

“Shafiq memiliki skema terkait dengan proses kepatuhan syariah dari suatu bisnis dan ditangani oleh unit tersendiri yang harapannya lebih independen, namun tidak menambah waktu proses due deligence karena tetap bersinergi dengan unit bisnis, sehingga ketika diminta opini dari DPS untuk menetapkan suatu produk/efek akan lebih singkat,” ujar Kevin.

Selain itu, perusahaan menerapkan kebijakan zero telorance terhadap utang/piutang dari bank konvensional atas bisnis yang ditawarkan. Kebijakan ini, menurut Kevin, jauh lebih ketat dibandingkan dengan kriteria yang ada di Daftar Efek Syariah (DES) OJK yang masih membolehkan adanya uutang/piutang dari bank konvensional.

Di samping itu, dari sisi operasional bisnis, bagi penerbit (pelaku usaha) tidak akan dibebankan denda saat membatalkan proses pendanaan yang sudah di-listing di platform dan proses pengajuan pendanaan setelah dokumen komplit hingga dana diterima maksimal 10 hari kerja.

“Sementara untuk pemodal (investor), tidak dikenakan biaya apapun dari Shafiq dan akan mendapatkan Monthly Investor Market Watch, informasi terkait hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk para pemodal dalam melakukan kegiatan investasi ataupun hal yang berkaitan dengannya.”

Tidak dijelaskan secara rinci segmen UMKM yang disasar oleh Shafiq. Namun dalam portofolionya, sejauh ini pendanaan yang telah sukses disalurkan bergerak di usaha telekomunikasi, rantai pasok, manufaktur, dan rumah sakit.

Kinerja Shafiq

Kevin melanjutkan, dalam rangka edukasi pasar, tiap pekannya perusahaan mengadakan kegiatan yang melibatkan influencer, komunitas, ustaz, serta praktisi bisnis. Tujuannya agar masyarakat paham bahwa investasi syariah adalah adil, dalam artian tidak ada satu pihak yang pasti akan untung dan pihak lainnya rugi. “Selama tidak ada wanprestasi, keuntungan ataupun kerugian dari suatu kerja sama akan ditanggung bersama-sama.”

Per Juli 2022, perusahaan telah membantu menyalurkan pendanaan sebesar Rp56 miliar dalam bentuk efek sukuk dan saham. Ditargetkan dana penyaluran sebesar Rp100 miliar dapat tersalurkan hingga akhir tahun ini. “Untuk pipeline berikutnya akan ada sekitar tujuh penerbit/perusahaan baru yang akan menerbitkan 15 efek syariah, diharapkan target yang telah ditetapkan dapat tercapai.”

Dalam sembilan bulan operasionalnya, Kevin mengakui sejauh ini perusahaan masih mengandalkan dana sendiri (bootstrapping). Namun, pihaknya terbuka untuk mendapatkan pendanaan dari pihak eksternal yang punya kesamaan visi memajukan industri keuangan syariah.

“Mengingat aktivitas operasional baru berjalan 9 bulan, dengan adanya tambahan dana, harapannya akan segera didapat product market fit untuk mencapai tujuan tersebut,” pungkasnya.

Dalam data OJK, dari 10 perusahaan SCF yang telah mendapat izin operasional, berhasil menghimpun Rp507,20 miliar sejak awal tahun hingga 3 Juni 2022. Angka itu meningkat 22,75% dari total dana yang dihimpun sepanjang 2021.

Jumlah penerbit atau pelaku UMKM yang memanfaatkan SCF juga mengalami pertumbuhan sebesar 89,60% secara (year-to-date/ytd) menjadi 237 penerbit. Sementara itu, total pemodal yang berinvestasi di SCF tercatat sebanyak 111.351 investor sepanjang tahun ini.

What Does It Mean to be a Shariah-Compliant Fintech Company?

Asia is driving new developments in fintech. With an estimated $22.7 billion in fintech funding funnelled into the region by the end of 2018, the region’s financial industry has been seeing a steady technological shift.

This includes the world of Islamic finance, which has been a focus in countries in Southeast Asia with significant Muslim populations, such as Indonesia and Malaysia. By definition, Islamic finance, or shariah-compliant finance, refers to financial activities conducted in accordance with Islamic shariah law. Asia has over 1.6 billion Muslims—the majority of which are in Indonesia—and they require shariah-compliant financing solutions that are inclusive and convenient, allowing a wider reach to various segments within society, including the unbanked or under-banked.

According to global accounting firm KPMG, there are around 438 million unbanked individuals in Southeast Asia, with the majority of consumers in economies like Indonesia, Malaysia, or the Philippines lacking access to financial services. For Southeast Asia’s 240 million Muslims, shariah-compliant fintech companies represent alternative financing solutions, such as crowdfunding and P2P platforms, with fast approval processes and wide accessibility.

Shariah-compliance

According to Shabana M Hasan, an expert at the Malaysia-based International Shariah Research Academy for Islamic Finance (ISRA), Islamic finance represents a financial system that is derived from the Islamic holy text (Qur’an) and prophetic traditions (Sunnah). The basic tenets of the Islamic financial system are the enforcement of justice and equality in all dealings and transactions. This is manifested through four fundamental prohibitions: usury (riba), speculation (qimar), unearned income (maysir), and uncertainty (gharar).

In a nutshell, usury (riba) refers to all forms of interest that provide a predetermined, fixed rate of return to the lender. In Islamic finance, this is forbidden as it may encourage wealth inequality, increase indebtedness, and lead to exploitation. Speculation (qimar) is a “zero-sum game” where, in financial transactions, the winner gains wealth at the expense of a loser. Islam forbids financial speculation as it represents a form of immoral inducement. Unearned income (maysir) refers to a type of income that is randomly generated or luck-based. Uncertainty (gharar) covers any transactions that possess elements of ambiguity, uncertainty, and hazard. For instance, a sale where the price or nature of the goods is unclear is considered invalid. This is also the main reason for the prohibition of various financial instruments such as derivatives—such as futures and options—in Islamic finance.

“In a bid to avoid usury and other prohibited elements, shariah-compliant financial institutions presently utilize various equity-based and asset-backed arrangements with the aim of promoting risk-sharing. The reason for this is to align the interests of all parties in a manner that is equitable and fair,” Shabana said.

The arrival of fintech, according to Shabana, could bring substantial benefits to customers, especially when it comes to financial inclusion and convenience. “Islamic fintech start-ups have opened up a new source of funding for SMEs [small and medium enterprises], who in reality will find difficulties in getting shariah-compliant financing from banks. Overall, with Islamic fintech services, the unbanked segment of society is now able to create a new form of credit history, thus achieving financial inclusion.”

Islamic fintech companies also make financial activities simpler, more convenient, and user-friendly for end customers who require their transactions to align with tenets set by their faith. “This efficiency and transparency enabled through fintech not only provides greater convenience to customers, but it also establishes public trust and confidence in the overall system.”

To date, fintech has transformed many areas of Islamic finance in Asia. The main types of services offered by Islamic fintech companies are peer-to-peer (P2P) lending, crowdfunding, money transfers, mobile payments, trading platforms, wealth management, and insurance.

Photo by Jonas Leupe on Unsplash
Photo by Jonas Leupe on Unsplash

A Thriving Landscape

With shariah-specific requirements, how challenging is it for a shariah-compliant fintech company to thrive? According to IFN Islamic Fintech Landscape—an international initiative mapping out fintech companies catering to the Islamic finance market—there are plenty of firms that are tossing their hats into the ring. As of the end of 2018, a total of 113 companies are active or at the launch phase; 46% of them are located in Asia.

Alami, a company that provides a marketplace for shariah-based SME financing, has managed to channel financing worth IDR 17 billion (USD 1.2 million) through its platform to various SMEs in Indonesia as of August 2019. According to Alami’s founder and CEO Dima Djani, there is a significant market demand for shariah-based fintech solutions in the country.

“Indonesia has the most Muslims in the world, with more than 200 million people, yet with only 8% penetration of Islamic banking industry,” Dima said. “We believe the total market potential will be at least double that amount in five years’ time, following the Indonesian government’s plan to increase market penetration to 15% by 2023. While the SMEs demand for shariah-compliant financing solution was skyrocketing, the Islamic banks moved slower than anticipated. This is why Alami decided to adopt our P2P financing approach to scale faster.”

P2P financing, which is also known as term-based shariah crowdfunding, is a common fintech solution offered in Islamic financing. Under this format for lending, investors contribute to shariah-compliant projects listed on the fintech’s company platform, in return for principal repayment with profits.

Dana Syariah, another Indonesia-based shariah-compliant fintech company, also operates on a term-based shariah crowdfunding basis. The company ended 2018 with IDR 80 billion channeled through its crowdfunding platform for the year, with a target of IDR 500 billion of annual financing by the end of 2019.

Atis Sutisna, founder and CEO of Dana Syariah, explains that in order to ensure that all projects on the platform are shariah-compliant, the company employs a high level of scrutiny during the selection process and until each project’s completion. “For instance, prior to financing a property project, our analysts will first analyze whether or not the project is eligible for funding. When all the requirements are met, our team will work together to determine the actual cost for building materials, as well as other operational costs that will require funding. We will then monitor the entire development project to make sure that everything is shariah-compliant and according to the contract.”

Atis also said that every transaction made on the platform has to follow shariah law, as it’s subject for approval from the Shariah Supervisory Board. In Indonesia, this advisory board is appointed by the Indonesian Ulema Council.

Dima Djani from Alami confirms this regulatory requirement. “Our business model and product must first be screened by the Shariah Supervisory Board, and then by the shariah division in the Indonesian Financial Services Authority (OJK). Our CEO and head of product also joined the shariah financial training provided by the Indonesian Ulema Council. In Alami, we are not only focusing on shariah compliance, but also shariah principles.”

In Indonesia, to be officially registered, OJK and the Indonesian Ulema Council require every shariah-compliant fintech company to have its own Shariah Supervisory Board.

Trust Issues

While the demand for Islamic financing remains buoyant, earning market trust is an uphill battle for shariah-compliant fintech companies. Dana Syariah’s Atis Sutisna says credibility is crucial within the sector. “Market demand for shariah-compliant financing is high, they’re looking for an alternative investment that has no element of usury. However, the biggest challenge that we’re facing is when it comes to our brand credibility.”

“There’s stigma around Islam-related businesses. In the past, there have been cases of business fraud using religion, and this has created negative perceptions among the public for businesses claiming to be shariah-compliant. This is why public outreach is very important for us,” Atis said. “We try to educate the public about our company through community engagement, digital marketing, radio talk shows, and TV appearances.”

Alami’s Dima Djani concurs. “We take our credibility seriously. Alami has won several prestigious awards, such as the INSEAD Venture Competition and Taqwatech at Malaysia Tech Week. Our team also consists of former bankers, who understand the business and the market.”

“However, there’s a credibility issue for Islam-related business in Indonesia for being run by individuals who are not professionals. This is related to the public understanding of the shariah finance concept itself. We feel that there’s a lack of market education for P2P models and shariah finance,” Dima said. “Indonesia is the country with the largest Muslim population in the world, but Islamic finance is not taught in schools, and we think this creates significant challenges when it comes to educating the public about our services.”

That makes it difficult for shariah-compliant fintech firms to recruit the personnel they need, particularly when major tech conglomerates are soaking up talented labor. “As an early-stage shariah-compliant fintech startup, we find it challenging to compete with the unicorns when it comes to hiring top IT professionals from the talent pool,” Atis said.


This article first appeared on KrASIA. It’s republished here as part of our partnership.

SyarQ Tawarkan Layanan Kredit Berbasis Syariah untuk Pembelian Barang Secara Online

Tingginya peminat layanan belanja online memberikan kesempatan bagi berbagai elemen industri untuk turut meraup untung dari konsumen yang terus meningkat. Salah satunya bagi SyarQ, sebuah startup fintech yang mencoba menyuguhkan layanan kredit dengan mekanisme ekonomi syariah. SyarQ sudah diluncurkan sejak Maret 2017 dan saat ini layanan sudah bisa digunakan secara umum.

Proses bisnis yang dijalankan bukan dengan sistem kredit bunga, melainkan mengacu pada fatwa Dewan Syariah MUI tentang Murabahah, yakni perjanjian jual-beli antara penjual dengan pembeli. SyarQ mendapatkan keuntungan dengan mengambil margin profit, oleh karena itu harga cicilannya lebih mahal daripada harga pasar. Setiap penawaran SyarQ akan ditambah dengan profit terlebih dulu, baru dibagi berdasarkan jangka cicilan yang dipilih.

Proses transaksi di SyarQ tidak meminjamkan uang untuk membeli barang, namun membeli barang kemudian menjual kepada pembeli dengan cicilan. SyarQ membeli barang dari supplier, setelah pembayaran lunas dan secara prinsip menjadi milik SyarQ, barang tersebut kemudian dijual kepada pembeli. SyarQ tidak menjual barang yang belum menjadi kepemilikan SyarQ. Berbasis syariah, SyarQ tidak akan menerima pembayaran melalui kartu kredit.

“Dengan semangat anti riba dan menjunjung tinggi konsep ekonomi syariah, SyarQ lahir di tengah masyarakat yang membutuhkan solusi bagi mereka yang butuh cicilan barang-barang kebutuhan mereka namun ingin terhindar dari riba. Visi terdepan SyarQ adalah untuk menyediakan solusi keuangan syariah bagi masyarakat yang membutuhkan,” ujar Chief Marketing Officer SyarQ Corina Indrianti.

Saat ini SyarQ telah menjalin kemitraan dengan BMT/Koperasi untuk penyediaan dana pembelian dan bekerja sama dengan beberapa pemain e-commerce di Indonesia untuk penyediaan barang. Cara menggunakan cukup simpel, ketika pengguna sudah terdaftar dan terverifikasi, cari barang di layanan e-commerce terkait, lalu masukkan tautan barang tersebut ke sistem SyarQ. Dari sana akan ditampilkan penyesuaian harga dan jangka waktu kredit yang diberikan.

Sistem pengajuan kredit di SyarQ

SyarQ didirikan oleh M. Salman Alfarisy (CEO), Wisnu Manupraba (CTO), Raden Nanda Teguh Perkasa (COO), dan Corina Indrianti (CMO). Saat ini SyarQ dijalankan dengan pendanaan sendiri atau bootstrapping. Untuk roadmap dalam waktu dekat, SyarQ akan segera meluncurkan aplikasi mobile. Selain itu pihaknya juga menginginkan layanan SyarQ dapat menjadi payment channel marketplace, dan menjangkau masyarakat umum, karena saat ini sebagian besar pengguna adalah dari kalangan pegawai.

“Pertumbuhan startup di bidang fintech sangat cepat setahun ke belakang, dari informasi yang kami dapat sudah lebih dari 100 fintech dengan berbagai jenis layanan. Khusus untuk ekonomi syariah juga, peluang untuk tumbuhnya masih sangat besar karena market share-nya kurang lebih 5%-an, harapannya dengan munculnya fintech dapat memberikan kemudahan bagi para pengguna sehingga gap antara potential market share dengan actual market share-nya bisa menipis,” pungkas Corina.