Bose Pamerkan Prototipe Kacamata AR yang Berfokus Murni pada Audio

Augmented reality selama ini selalu berkaitan dengan visual, akan tetapi Bose percaya hal itu tidak selamanya benar. Di event SXSW 2018, produsen speaker dan headphone itu memamerkan sebuah kacamata AR yang berfokus murni pada audio.

AR tapi audio memang terdengar aneh, tapi beberapa skenario yang dijabarkan Bose terkesan cukup masuk akal. Salah satunya misalnya, saat sedang berkunjung ke sebuah lokasi bersejarah, kacamata AR ini bisa membantu menyimulasikan peristiwa yang terjadi di tempat itu.

Penggunanya bakal mendengar suara derapan kuda dari sisi kiri, lalu lanjut ke depan wajahnya sebelum akhirnya hilang secara perlahan. Contoh lain, ketika menghampiri patung seorang tokoh bersejarah, pengguna bisa mendengar salah satu pidatonya yang terkenal.

Bose AR glasses

Tim Engadget yang berkesempatan mencoba langsung punya cerita cukup menarik. Saat mengamati sebuah restoran bernama “El Naranjo” di kota Austin (tempat SXSW dihelat) dan menyentuh tangkai kacamata dua kali, perangkat langsung mengutarakan informasi lengkap mengenai restoran tersebut, mulai dari jam bukanya sampai siapa nama chef yang bertanggung jawab.

Dari mana kacamata bisa mengetahui lokasi penggunanya dan ke arah mana ia melihat? Dari perpaduan data lokasi yang ditangkap GPS milik ponsel (yang tersambung ke kacamata) dan sensor inersial yang tertanam di dalam kacamata. Suaranya sendiri berasal dari speaker super-tipis yang memproyeksikan suara langsung ke telinga, dan bukan mengandalkan teknologi bone conduction.

Bose AR glasses

Lalu kenapa harus kacamata? Sebenarnya tidak harus, mungkin Bose memilih wujud ini karena paling gampang diasosiasikan dengan AR. Teknologi yang sama sebenarnya juga bisa diimplementasikan pada beragam perangkat, termasuk headphone yang sudah menjadi keahlian Bose sendiri.

Untuk sekarang Bose belum punya rencana terkait komersialisasi produk ini. Mereka baru akan merilisnya ke kalangan developer guna memperkaya ekosistem kontennya. Kasusnya kurang lebih sama seperti kacamata AR buatan Intel, yang menurut saya sejauh ini punya penampilan paling menarik dibanding produk sejenis lainnya.

Sumber: 1, 2, 3.

Kacamata Sekaligus Activity Tracker Level Akhirnya Siap Dipasarkan

Agustus 2016 lalu, VSP selaku salah satu penyedia layanan kesehatan mata terbesar di Amerika Serikat memamerkan sebuah kacamata pintar bernama Level. Level bisa dianggap sebagai Fitbit untuk wajah, sebab terlepas dari wujudnya yang menyerupai kacamata biasa, ia mampu memonitor aktivitas fisik penggunanya.

Sejak diumumkan, Level sudah diuji oleh ratusan relawan lewat program kerja sama antara VSP dan University of Southern California. Tujuan dari pengujian tersebut adalah memastikan Level bisa memiliki peran yang lebih besar ketimbang activity tracker berbentuk gelang atau jam tangan pada umumnya.

Hasil tesnya terbukti positif. Dari 284 partisipan, 221 terus menggunakan Level dari awal sampai akhir program berdurasi 15 minggu tersebut. Sisanya berhenti menggunakan di tengah jalan, dan ada beberapa yang memutuskan untuk tidak berpartisipasi sama sekali.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari pengujian Level adalah, konsumen lebih suka dengan activity tracker yang menjadi satu dengan kacamatanya ketimbang yang berwujud perangkat wearable terpisah. Ini senada dengan pemikiran VSP: kalau seseorang memiliki gangguan penglihatan, ia tak akan lupa mengenakan kacamatanya, dan kalau kacamata yang digunakan adalah Level, berarti orang tersebut bisa terus memonitor aktivitas fisiknya.

Level Smart Glasses

Berangkat dari hasil pengujian yang positif itu, VSP pun akhirnya memutuskan untuk mulai memasarkan Level. Versi retail-nya ini nyaris tidak berbeda dibanding yang diumumkan sebelumnya, dengan desain yang stylish dan tidak menyerupai gadget – meski menurut saya masih kalah stylish dari Intel Vaunt yang baru-baru ini diungkap.

Semua komponen esensialnya – accelerometer, gyroscope dan magnetometer – disematkan dengan rapi di tangkai sebelah kiri. Level murni merupakan sebuah activity tracker, ia siap memonitor jumlah langkah kaki, kalori yang terbakar dan durasi aktivitas fisik, tapi tidak untuk meneruskan notifikasi.

Semua data yang dikumpulkan akan diteruskan ke aplikasi smartphone via Bluetooth. Level dilengkapi baterai rechargeable yang diperkirakan bisa tahan sampai sekitar lima hari, sebelum perlu di-charge kembali via micro USB, dengan port yang tersembunyi di engsel sebelah kiri.

Level Smart Glasses

Sebagai pemanis, VSP turut menambatkan fitur-fitur seperti “Find My Glasses”, serta “Eyes of Hope”, di mana target harian masing-masing pengguna bakal diterjemahkan menjadi poin terakumulasi. Ketika poinnya sudah mencapai 50, VSP akan menyediakan tes mata sekaligus kacamata kepada yang membutuhkan secara cuma-cuma – bisa anak-anak, lansia, tuna wisma atau veteran perang, tergantung pilihan masing-masing pengguna.

Soal desain, frame Level terbuat dari bahan selulosa asetat yang biasanya digunakan untuk film fotografi, lalu diimbuhi aksen stainless steel. Warna yang tersedia ada empat: hitam, abu-abu, classic tortoise dan grey tortoise.

Kekurangan Level menurut saya ada dua. Yang pertama, harganya cukup mahal di angka $270. Kedua, bahkan di AS sendiri perangkat ini bakal sulit didapatkan, mengingat VSP baru akan memasarkannya di segelintir kota besar saja mulai April mendatang.

Sumber: Engadget dan VSP.

Kepolisian Tiongkok Uji Kacamata Facial Recognition ala Mission Impossible

Pernah menonton Mission: Impossible – Ghost Protocol? Kalau pernah, kemungkinan besar Anda ingat dengan adegan di mana seorang agen berhasil menemukan targetnya menggunakan lensa kontak super-canggih yang dapat mendeteksi dan mengenali wajah orang-orang di sekitarnya. Di tahun 2011 – tahun film itu dirilis – teknologi semacam ini mungkin terkesan mustahil, akan tetapi 2018 menunjukkan bahwa realisasinya sudah di depan mata.

Wall Street Journal belum lama ini melaporkan bahwa kepolisian Tiongkok sedang menguji kacamata pintar yang dibekali teknologi facial recognition dan integrasi artificial intelligence (AI). Kacamata canggih ini dibuat oleh perusahaan asal Beijing bernama LLVision Technology, dengan fitur-fitur yang dirancang khusus mengikuti kebutuhan aparat kepolisian.

Kacamata facial recognition polisi Tiongkok

Menurut penjelasan CEO LLVision, Wu Fei, modul kecil yang terpasang di kacamata (seperti pada foto) tersebut mampu mengidentifikasi tiap-tiap individu berdasarkan database berisikan 10.000 orang dalam waktu 100 milidetik saja. Wu percaya kinerja modul ini lebih cepat ketimbang CCTV berteknologi serupa, yang memang sudah diterapkan secara luas oleh pemerintah Tiongkok.

Untuk bisa bekerja secepat itu, modulnya harus tersambung ke semacam perangkat genggam yang menampung database secara offline. Keuntungan lain mengandalkan kacamata facial recognition dibanding CCTV adalah, tim polisi bisa mengambil tindakan secara instan.

Kacamata facial recognition polisi Tiongkok

Pengujiannya berlangsung di sebuah stasiun kereta api di kota Zhengzhou, di mana tim polisi setempat bakal menggunakan kacamata canggih tersebut untuk mendeteksi para pelaku tindak kriminal. Sebelumnya, perangkat ini sudah membantu kepolisian dalam meringkus tujuh buron besar, serta menangkap 26 orang yang bepergian dengan identitas palsu.

Momen pengujiannya bertepatan dengan Tahun Baru Imlek yang sudah tinggal hitungan hari, di mana stasiun tersebut pastinya akan terus dipenuhi dengan para pemudik sampai setidaknya pekan depan. Kalau memang terbukti efektif, saya yakin kepolisian Tiongkok bakal menerapkannya di lebih banyak kawasan.

Kacamata facial recognition polisi Tiongkok

Mungkinkah produk semacam ini dijual ke konsumen secara umum? Untuk sekarang masih belum. Ini demi menjaga privasi masing-masing individu, dan LLVision pun tidak sembarangan dalam memilih klien besar yang tertarik dengan teknologi mereka. Kendati demikian, kerja samanya bersama kepolisian setidaknya bisa menumbuhkan image yang positif di tengah-tengah kekhawatiran seputar privasi.

Sumber: WSJ dan QQ via Wareable.

Prototipe Kacamata Pintar Intel Sama Sekali Tidak Kelihatan Seperti Gadget

Intel membuat gebrakan dengan menyingkap prototipe kacamata pintar bernama Vaunt. Dipamerkan secara eksklusif kepada The Verge, Vaunt cukup istimewa karena penampilannya benar-benar menyerupai kacamata biasa dan sama sekali tidak kelihatan seperti gadget.

Tidak ada layar yang tertanam pada kedua lensanya. Yang ada hanyalah perpaduan semacam proyektor laser dan reflektor hologram pada lensa sebelah kanan. Perpaduan tersebut menghasilkan konten dalam tampilan monokrom berwarna merah, dengan resolusi sekitar 400 x 150 pixel.

Yang kedengaran begitu canggih, konten tersebut diproyeksikan langsung ke retina, sehingga semuanya akan selalu kelihatan fokus. Bukankah laser berbahaya bagi mata? Dalam kasus ini tidak, sebab laser yang diproyeksikan termasuk kategori Class 1 yang tidak berbahaya dan tidak memerlukan sertifikasi khusus.

Hasil proyeksinya tidak serta-merta muncul tepat di tengah pandangan pengguna, melainkan agak sedikit ke bawah. Menariknya, ketika pengguna sedang tidak melirik ke sana, hasil proyeksinya bakal sirna. Lirik kembali, maka informasi yang ditampilkan bakal kembali kelihatan.

Intel Vaunt smart glasses

Orang-orang di sekitar juga tidak akan menyadari bahwa sedang ada informasi yang diproyeksikan ke retina kanan pengguna Vaunt, terkecuali mereka benar-benar memperhatikan dan menemukan ada bintik kecil merah yang tampak di lensa sebelah kanan. Aspek inilah yang semakin membuat Intel Vaunt tidak terkesan seperti gadget.

Hal ini jelas berbeda dari Google Glass atau Snap Spectacles. Vaunt bahkan tidak dilengkapi kamera. Fungsinya murni untuk menampilkan informasi seperti notifikasi, panduan navigasi, resep masakan, dan lain sebagainya.

Seluruh komponen elektroniknya, termasuk halnya accelerometer dan kompas untuk mendeteksi gerakan kepala, disimpan di sebagian kecil tangkai sebelah kiri dan kanan (di dekat bingkai), sehingga pengguna tak akan merasa berat sebelah. Bobot Vaunt sendiri pun diklaim tidak lebih dari 50 gram, meski di dalamnya tersimpan baterai yang bisa bertahan selama sekitar 18 jam dalam satu kali charge – kalau habis, tentu saja Vaunt masih bisa dipakai sebagai kacamata biasa.

Intel Vaunt smart glasses

Vaunt juga tidak dilengkapi panel sentuh yang bisa membaca gesture jari. Ke depannya, Intel berencana menambahkan mikrofon agar Vaunt dapat menerima perintah suara dan digunakan bersama asisten virtual macam Alexa. Selebihnya, Intel akan mengandalkan AI untuk menyajikan informasi yang sesuai konteks tanpa harus menunggu input dari pengguna.

Contoh pemanfaatan AI ini adalah ketika pengguna sedang berjalan kaki di suatu area yang banyak dihuni rumah makan. Selagi menoleh ke suatu restoran, Vaunt akan menampilkan review konsumen dari Yelp secara otomatis, berdasarkan ke mana arah pandangan pengguna dan data lokasi dari smartphone (Vaunt menyambung via Bluetooth).

Intel membayangkan bakal ada desain yang bervariasi ketika Vaunt diluncurkan sebagai produk final nantinya. Namun rencana terdekat mereka adalah merilis produk ini ke tangan para developer terlebih dulu agar mereka bisa bereksperimen dengan fungsionalitasnya.

Sumber: The Verge.

Mencoba Kacamata Pintar Vuzix Blade

Vuzix Blade adalah sebuah kacamata pintar yang mendapat perhatian di acara CES 2018. Meskipun booth-nya tidak sebesar brand-brand raksasa, seperti Sony atau Samsung, antusiasme orang-orang teknologi untuk mencoba produk yang mengutilisasi Augmented Reality (AR) ini tidak berkurang. Terbukti dengan lumayannya antrean, termasuk oleh pegawai beberapa perusahaan teknologi ternama, untuk mencoba prototipe produk yang diharapkan tersedia di pasaran akhir tahun ini.

DailySocial berkesempatan mencoba langsung bagaimana rasanya menggunakan kacamata pintar yang dibuat perusahaan yang berbasis di Rochester, New York ini. Menurut Wilfred S. Victoria, Marketing Manager Asia Pasifik dan Amerika Latin, yang kebetulan menjadi pemandu uji coba ini, Vuzix sudah berdiri selama 25 tahun dan awalnya membuat gear untuk militer. Vuzix Blade dan seri kacamata AR lainnya adalah upayanya untuk memasuki pasar yang lebih luas.

Vuzix Blade bukan satu-satunya kacamata AR Vuzix yang didukung Alexa. Versi M300 juga memiliki fitur Alexa enabled, tetapi seri Blade adalah bintang di ajang kali ini. Kebanyakan media memberi label Vuzix Blade sebagai “[produk] seperti Google Glass dengan dukungan Alexa”.

Meskipun kami tidak bisa memvideokan pengalaman menggunakan Vuzix Blade, tetapi tampilan dan cara penggunaannya sangat alami. Untuk menjalankan suatu fungsi, yang kita perlu lakukan adalah melakukan swipe (depan dan belakang) di sebuah area sentuh yang terletak di frame sebelah kanan untuk menggerakkan kursor dan melakukan tap untuk memilih suatu menu.

DailySocial mencoba bagaimana rasanya menggunakan Vuzix Blade
DailySocial mencoba bagaimana rasanya menggunakan Vuzix Blade

Menu AR-nya sendiri, meskipun masih raw, cukup menarik. Tampilannya lumayan jelas dan diklaim tetap baik meskipun dilihat di bawah terik matahari. Sayangnya saya tidak bisa mencoba menu Alexa karena konektivitas internet di dalam ruangan yang disesaki puluhan ribu (atau bahkan ratusan ribu) orang tersebut dianggap tidak memadai.

Belum ada konfirmasi resmi soal harga produk ini, tetapi desain yang menarik dan dukungan asisten Alexa akan menjadi modal mendorong Blade masuk ke pasar yang lebih luas. Menurut brosur yang diberikan, target pasar Blade adalah segmen B2B yang memiliki use case lebih jelas.

Contoh pemanfaatan yang diberikan adalah akses ke data pasien saat dokter sedang mengecek kondisi kesehatan seseorang, merekam video saat sedang berada di lapangan, atau mendapatkan notifikasi dari tempat kerja. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan produk ini juga akan tersedia untuk konsumen ritel.

Kacamata Ini Siap Rekam dan Siarkan Video Secara Langsung ke Media Sosial

Masih ingat dengan Spectacles, kacamata besutan Snapchat yang dirancang untuk mengabadikan momen dari sudut pandang orang pertama? Konsepnya memang menarik, tapi semuanya percuma kalau Anda tidak menggunakan Snapchat, mengingat hasil rekamannya hanya bisa diunggah ke platform andalan para muda-mudi tersebut.

Alternatifnya, Anda bisa melirik perangkat bernama Ace Eyewear berikut ini. Dikembangkan oleh produsen skateboard elektrik bernama Acton, salah satu keunggulan Ace dibanding Spectacles adalah kompatibilitasnya dengan banyak platform populer sekaligus, baik Facebook, Instagram ataupun YouTube.

Ace Eyewear

Cukup klik satu kali tombol di bagian atas tangkainya, maka Ace siap merekam video HD ke dalam memory internalnya yang berkapasitas 4 GB. Hasil rekamannya bahkan bisa disiarkan secara langsung ke tiga platform di atas. Kinerjanya ditopang oleh sensor kamera 8 megapixel, lensa bersudut pandang 120 derajat, dan prosesor dual-core MIPS 1,2 GHz yang irit daya.

Seirit apa? Well, baterai yang tertanam di rangka Ace hanyalah berkapasitas 260 mAh, tapi waktu standby-nya diperkirakan bisa mencapai 80 jam. Selagi merekam, perangkat bisa digunakan selama 90 menit nonstop, atau 40 menit jika disambi live streaming.

Ace Eyewear

Konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth tentu tersedia, dan semua ini dikemas dalam rangka berbobot tak lebih dari 50 gram. Tidak cuma itu, perangkat rupanya telah mengantongi sertifikasi ketahanan air dan debu IP55.

Singkat cerita, Ace Eyewear boleh dianggap sebagai Spectacles yang lebih fleksibel, plus yang berpenampilan lebih elegan. Acton berencana memasarkannya mulai musim panas tahun ini seharga $199. Namun bagi yang tertarik melakukan pre-order, mereka bakal mendapat potongan harga sebesar $100.

Sumber: Digital Trends.

Pakai Kacamata AR Mad Gaze Vader, Anda Bisa Memanipulasi Objek Virtual Seperti di Film Iron Man

Semenjak Google pertama kali mengungkap Glass untuk pertama kalinya, tidak sedikit pihak yang terinspirasi untuk mengembangkan kacamata AR-nya sendiri. Google Glass sendiri sudah bereinkarnasi menjadi perangkat untuk segmen enterprise, akan tetapi hal ini tidak mencegah ambisi sejumlah startup untuk merealisasikan fantasinya seperti yang tergambarkan di film Iron Man.

Kalau Anda pernah menonton film itu, Anda pastinya ingat dengan adegan di mana sang lakon, Tony Stark, bermain-main dengan hologram layaknya sedang berinteraksi dengan benda fisik. Teknologi semacam itu jelas masih belum eksis sampai sekarang, tapi setidaknya laju kita sudah semakin dekat.

Itulah yang hendak ditawarkan sebuah startup asal Hong Kong bernama Mad Gaze. Setelah bereksperimen dengan beragam prototipe perangkat selama beberapa tahun, mereka akhirnya menyingkap Mad Gaze Vader, sebuah kacamata augmented reality yang diharapkan bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia digital.

Mad Gaze Vader

Dari luar Vader kelihatan seperti kacamata biasa dengan bingkai yang cukup gemuk. Saya akui Google Glass memang tampak jauh lebih menarik, akan tetapi Vader dapat memproyeksikan layar yang hampir seukuran pandangan mata manusia, kurang lebih setara TV 90 inci yang dilihat dari jarak 3 meter.

Sudut pandangnya memang hanya terbatas di angka 45 derajat, akan tetapi resolusinya mencapai 1280 x 720. Karena ini kacamata AR, layarnya akan tampak agak transparan sehingga pengguna masih bisa memantau apa yang terjadi di sekitarnya dengan baik.

Mad Gaze Vader

Oke, layarnya lebih besar dari Google Glass, itu sajakah kelebihannya? Tidak, sebab Vader juga bisa membaca beragam gesture tangan seperti pinching atau drag-and-drop. Kapabilitas ini sejatinya memungkinkan kita untuk memanipulasi objek-objek virtual yang tampak pada layar layaknya Tony Stark di film Iron Man tadi, meski belum sekompleks dan sepresisi itu.

Berbekal Wi-Fi dan Bluetooth, Vader bisa disambungkan dengan smartphone Android atau iPhone, sehingga pengguna bisa langsung menerima panggilan telepon maupun notifikasi lain dari pandangannya. Vader bahkan bisa di-pair dengan keyboard Bluetooth, lalu dipakai untuk mengetik dokumen maupun email.

Mad Gaze Vader

Fungsi-fungsi ini sejatinya menjadikan Vader cukup ideal untuk kebutuhan hiburan sekaligus bekerja. Performanya sendiri ditunjang oleh prosesor quad-core 1,5 GHz, RAM 3 GB, penyimpanan internal 32 GB dan sistem operasi berbasis Android 6.0. Baterai 1.200 mAh-nya diperkirakan bisa bertahan selama 5 jam penggunaan.

Ke depannya Mad Gaze berjanji untuk menambahkan lebih banyak konten untuk Vader. Perangkat ini sendiri sekarang sedang dipasarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga AU$649, sudah termasuk keyboard Bluetooth. Memang termasuk mahal, tapi pada dasarnya konsumen bakal mendapatkan komputer mini yang bisa dipakai di wajahnya.

Olympus Luncurkan Smart Glasses ala Google Glass

Baru bulan Juli kemarin, Google Glass resmi berkiprah kembali di dunia enterprise. Salah satu keunggulan utama Glass versi baru ini adalah desainnya, di mana ia kini dapat dilepas dan dipasangkan ke kacamata apapun, sehingga penggunaannya bisa disesuaikan dengan beragam skenario.

Empat bulan berselang, rival potensialnya sudah mulai bermunculan. Salah satunya datang dari pabrikan kamera ternama, Olympus. Pelopor segmen kamera mirrorless itu baru saja memperkenalkan smart glassess-nya sendiri yang diberi nama lengkap Olympus EyeTrek Insight EI-10.

Olympus EyeTrek Insight

Sama seperti Google Glass EE, Olympus EI-10 juga dirancang untuk dipasangkan ke berbagai kacamata maupun pelindung mata. Dari situ penggunanya bisa menyimak informasi yang ditampilkan oleh layar OLED beresolusi 640 x 400 pixel, selagi mengambil video atau foto beresolusi 2,4 megapixel.

Melihat spesifikasi kameranya, Anda mungkin bakal langsung berpaling ke Google Glass yang lebih superior. Kendati demikian, Olympus mengklaim bahwa mereka telah menerapkan sistem optik khusus agar display milik EI-10 bisa terlihat jernih dan tajam terlepas dari dimensinya yang sangat kecil.

Wi-Fi dan Bluetooth sudah menjadi suatu keharusan, sedangkan pengoperasiannya mengandalkan sentuhan pada panel sampingnya. Olympus sengaja memilih sistem operasi Android guna mendorong developer untuk mengembangkan aplikasi yang dibutuhkan oleh target pasar EI-10, yakni kalangan enterprise.

Olympus EyeTrek Insight

Sepintas desainnya mungkin tidak seringkas Google Glass versi baru, akan tetapi bobotnya masih cukup ringan di angka 66 gram. Baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 1 jam penggunaan, dan yang menarik, pengguna dapat melepas dan menggantinya dengan unit baterai lain agar perangkat bisa terus digunakan.

Satu hal krusial lain yang membedakan perangkat ini dengan Google Glass adalah, besutan Google itu sudah dipasarkan ke perusahaan dari berbagai industri, sedangkan Olympus masih menawarkannya ke kalangan developer seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel dan Olympus.

Sasar Segmen Enterprise, Produsen Kacamata AR Vuzix Gandeng BlackBerry

Meski sudah tidak lagi bermain di ranah smartphone – terkecuali di beberapa negara – BlackBerry belum lama ini malah mencoba mencicipi ranah wearable, spesifiknya untuk pasar kacamata pintar berteknologi AR. Debut ini tidak mereka lakukan secara langsung, melainkan melalui kerja sama dengan produsen kacamata pintar Vuzix.

Seperti yang kita tahu, tahun kemarin BlackBerry memutuskan untuk berhenti memproduksi hardware sendiri dan memilih untuk berfokus ke pengembangan software sekaligus solusi enterprise. Piranti lunak itu dilisensikan ke pihak yang tertarik, dan salah satunya adalah Vuzix dengan kacamata pintar M300 besutannya.

Kendati demikian, sama seperti Google Glass, Vuzix M300 dengan dukungan software BlackBerry ini ditujukan buat pasar enterprise sebagai pengganti tablet ataupun laptop ketika pekerja sedang berada di lapangan, memudahkan proses inspeksi karena pengguna dapat mengecek informasi sekaligus mengamati apa yang ada di hadapannya tanpa perlu membagi porsi fokusnya.

Ke depannya mungkin kita akan melihat kelanjutan dari kiprah BlackBerry di segmen wearable, namun kemungkinan besar juga melalui proyek-proyek kolaborasi seperti yang dilakukan dengan Vuzix ini.

Sumber: Wareable dan Vuzix.

Google Glass Resmi Berkiprah Kembali di Segmen Enterprise

Terakhir kali kita mendengar kabar mengenai Google Glass adalah di penghujung tahun 2015, dimana pada saat itu beredar foto versi kedua Google Glass yang ditujukan untuk kalangan enterprise. Kabar tersebut ternyata akurat, sebab Google baru saja mengumumkan ketersediaan Glass Enterprise Edition (EE) secara resmi.

Glass EE bukan lagi sekadar produk eksperimental, melainkan versi final yang sudah digunakan oleh lebih dari 50 perusahaan dari beragam industri (agrikultur, manufaktur, medis maupun logistik), yang mencakup nama-nama besar seperti Boeing, Volkswagen, General Electric serta DHL.

Google Glass Enterprise Edition

Versi baru Glass ini sepintas kelihatan mirip seperti yang dulu, akan tetapi sejatinya ada satu perubahan desain yang sangat signifikan: modul Glass EE bisa dilepas dan dipasangkan ke kacamata apapun, termasuk pelindung mata yang biasa digunakan di kawasan industri.

Jeroannya tentu juga ikut di-upgrade. Selain mengemas prosesor yang lebih kencang, koneksi Wi-Fi yang lebih cepat dan baterai yang lebih awet, kameranya juga naik kelas dari 5 megapixel ke 8 megapixel. Yang tidak kalah penting, sekarang akan ada indikator yang menyala ketika pengguna memakainya kameranya untuk merekam video – meski ini tak lagi relevan tanpa eksitensi Glass di segmen consumer.

Google Glass Enterprise Edition

Penggunaan Glass di bidang industri memang jauh lebih masuk akal ketimbang di tangan konsumen sehari-hari. Pekerja pabrik yang kedua tangannya selalu sibuk bisa bekerja secara lebih efisien tanpa harus berhenti sejenak untuk mencontek buku manual, semua instruksi yang diperlukan bisa langsung ditampilkan di hadapan matanya oleh Glass.

Sebagai produk enterprise, wajar apabila tidak ada banderol harga yang tercantum pada Glass EE. Google sendiri memilih untuk memasarkannya lewat jaringan mitranya, yang berarti Glass EE bakal dibundel bersama solusi bisnis yang spesifik yang dibutuhkan oleh para konsumennya.

Sumber: TechCrunch dan X.