Total Pendanaan Startup Asia Tenggara Anjlok 51% di 2023, Indonesia dan Singapura Sumbang 90%

Total pendanaan yang diraup startup (ekuitas dan debt) di kawasan Asia Tenggara anjlok hingga 51% (yoy) sepanjang 2023. Penurunan ini dilatarbelakangi oleh faktor makro ekonomi yang membebani sentimen investor.

Menurut laporan Southeast Asia Deal Review 2023 yang disusun DealStreetAsia dan Rigel Capital, terdapat 30% penurunan kesepakatan jadi 718 kesepakatan dengan total nilai $7,96 miliar (Rp 126,2 triliun).

Kesepakatan terbesar berasal dari Lazada yang disuntik oleh induknya, Alibaba, sebesar $1,89 miliar. Angka ini menyumbang sekitar 24% dari total pendanaan ekuitas di kawasan ini. “Besarnya peran yang dimainkan Lazada dalam menopang nilai transaksi secara keseluruhan membuat penurunan pendanaan startup menjadi lebih nyata,” kata laporan tersebut.

Urutan berikutnya disumbangkan oleh Kredivo yang menutup putaran seri D senilai $270 juta, startup insurtech Bolttech mengumpulkan pendanaan seri B senilai $246 juta, Investree mengumpulkan $231 juta dalam pendanaan seri D (kendati menurut kabar yang DailySocial.id terima pendanaan tersebut tidak jadi terealisasi), dan startup aquatech eFishery menyelesaikan putaran seri D senilai $200 juta.

“Kesepakatan ini merupakan salah satu kesepakatan langka yang bernilai lebih dari $100 juta, karena investor yang skeptis enggan menulis cek dalam jumlah besar di tengah ketidakpastian geopolitik, suku bunga tinggi, dan inflasi yang terus-menerus.”

Lebih jauh dipaparkan, tahun lalu adalah tahun tersulit dalam mencetak unicorn baru bervaluasi di atas $1 miliar. Hanya dua startup, yakni eFishery dan Silicon Box (berbasis di Singapura) yang merengkuh status tersebut

Tren ini terus menunjukkan penurunan. Di tahun sebelumnya, ada delapan startup yang mendapat status unicorn. Lalu pada 2021, tercatat ada 23 startup di wilayah ini yang valuasinya melampaui $1 miliar.

Singapura dan Indonesia raup 90% kesepakatan

Data menarik lainnya yang diungkap, tercatat Singapura dan Indonesia meraup hampir 90% dari total pendanaan ekuitas. Singapura memperoleh $5,5 miliar dari 415 transaksi, sementara Indonesia memperoleh $1,51 miliar dari 131 transaksi.

Baik Thailand dan Malaysia mengalami koreksi paling besar dalam total perolehan modal swasta, secara berurutan turun sebesar 86% dan 83%. Thailand memperoleh total $0,13 miliar dari 28 kesepakatan. Malaysia mencatat 52 transaksi yang menghasilkan total $0,11 miliar.

Vietnam terlihat relatif tangguh dengan penurunan nilai transaksi sebesar 9,55%, mengantongi $0,51 miliar dari 54 kesepakatan. Filipina memperoleh $0,19 miliar dari 34 kesepakatan.

Healthtech paling banyak didanai

Bila melihat dari vertikal startup, fintech tetap menjadi paling banyak disuntik oleh investor, kendati secara jumlah dan nilai transaksi tercatat menurun. Total kesepakatan di sektor ini turun 39% menjadi 142 transaksi dan nilai transaksi turun 67% menjadi $1,82 miliar.

Dikerucutkan lebih rinci, startup lending paling banyak raih pendanaan dengan nilai $734 juta dengan 35 kesepakatan. Disusul secara berurutan, insurtech ($361 juta dengan 15 kesepakatan), pembayaran digital ($287 juta dengan 37 kesepakatan), wealthtech ($148 juta dengan 37 kesepakatan), dan solusi fintech ($73 juta dengan 10 kesepakatan).

Berdasarkan nilai transaksi, posisi pertama diduduki oleh sektor e-commerce yang mengumpulkan dana paling banyak, yaitu $2,32 miliar, berkat Lazada. Lalu disusul fintech dan healthtech dengan 60 kesepakatan investasi, naik 20% dibandingkan tahun lalu. Namun, nilainya turun 34% menjadi $582 juta karena nominal kesepakatannya yang lebih kecil.

Startup healthtech yang berasal dari Singapura menyumbang kue terbesar di sektor ini dengan porsi 72,1%. Lalu disusul Indonesia dengan 21,7%. Layanan telemedis jadi turunan bisnis yang paling banyak didanai dengan nilai $191 juta dengan 17 kesepakatan. Lebih dari separuh nominal pendanaan ini datang dari putaran seri D yang direngkuh Halodoc.

Masa-masa sulit bagi startup tahap awal

Hal lain yang disoroti dari laporan ini, mengutip dari pengumuman perusahaan, pengajuan peraturan, laporan media, dan penelitian DealStreetAsia, mengungkapkan bahwa kesulitan penggalangan pendanaan pada 2023 melampaui startup late-stage karena kesepakatan tahap awal turun 29% menjadi 659 kesepakatan sementara total modal yang dikumpulkan turun 49% menjadi $3,42 miliar.

“Pendanaan tahap awal, yang dianggap sebagai penentu tren investasi tahap awal, telah menunjukkan tren penurunan sejak kuartal kedua tahun 2022, menandakan kemunduran dari puncak kegembiraan yang menjadi ciri pasar pada tahun 2021,” kata laporan itu.

Prospek untuk tahun 2024

Untuk tahun ini, beberapa sektor siap untuk tumbuh meskipun terdapat tantangan pendanaan saat ini dan tema-tema baru kemungkinan akan menarik investasi modal ventura. Sektor-sektor berkelanjutan, termasuk teknologi ramah lingkungan, kendaraan listrik, teknologi iklim, dan teknologi kesehatan semakin mendapat daya tarik. Ekosistem mobilitas bersih, kecerdasan buatan, dan sektor terkait keberlanjutan juga diperkirakan akan tumbuh.

Laporan tersebut mengungkapkan ada hikmah pada akhir tahun kemarin, bahwa tren kespakatan per kuartal memperlihatkan tanda-tanda stabilitas yang muncul dalam lanskap investasi startup.

Pada kuartal keempat tahun 2023 terdapat 167 transaksi, naik dari 151 transaksi pada kuartal sebelumnya ketika volume transaksi berada pada titik terendah dalam tiga tahun.

Kuartal keempat juga lebih kuat dalam hal perolehan investasi karena startup regional mengumpulkan $2,28 miliar, naik 9% dari kuartal sebelumnya.

“Namun, menjelang akhir tahun, kondisi sektor swasta di kawasan ini mulai menunjukkan tanda-tanda stabilitas, dengan kuartal keempat mencatat peningkatan volume kesepakatan sebesar 12% setelah mencapai titik terendah dalam tiga tahun terakhir pada kuartal ketiga,” tutup laporan tersebut.

Ada lima catatan lainnya yang patut diperhatikan untuk industri startup di kawasan ini. Berikut rangkumannya:

Startup Genome: Ekosistem Startup Jakarta Bernilai 1.063 Triliun Rupiah

Ibukota Indonesia, Jakarta, menempati urutan ke-15 dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar “Top 10 Emerging Ecosystems by Ecosystem Value” yang dirilis oleh Startup Genome bertajuk Global Startup Ecosystem Report (GSER) 2023. Nilai ekosistem startup Jakarta diestimasi sebesar $71 miliar (lebih dari Rp1.063 triliun).

Di urutan pertama dan kedua ditempati oleh Nanjing ($127 miliar) dan Detroit ($103 miliar). Lalu, setelah Jakarta secara berderetan ditempati oleh Hong Kong ($54 miliar) dan Kuala Lumpur ($46 miliar).

Bicara peringkat, bila dirunut dari tiga tahun lalu, posisi Jakarta merosot sejak 2022 keluar dari 10 besar. Di 2020, Jakarta masuk urutan kedua, kemudian turun ke urutan ketiga di 2021. Lalu di 2022, merosot ke urutan ke-12, jauh lebih unggul dari Hong Kong (2) dan Guangzhou (6), untuk skala Asia. Adapun pada tahun ini, peringkat Jakarta kembali turun ke peringkat 15.

Walau begitu, dilihat berdasarkan nilai ekosistem startup Jakarta dari tahun ke tahun mencatatkan tren peningkatan. Di 2021 diestimasi bernilai $34 miliar, melonjak hampir dua kali lipat menjadi $62 miliar di tahun berikutnya.

Global Startup Ecosystem Report (GSER) 2023

Ini adalah tahun ketiga Startup Genome merilis daftar ekosistem dari kota-kota sebagai bagian dari laporan GSER, dalam rangka menyoroti area metropolitan yang mendapatkan relevansi dan berdampak pada ekonomi dengan cara yang bermakna.

Dalam laporannya, Startup Genome menjelaskan Emerging Ecosystem Ranking merupakan komunitas startup pada tahap awal pertumbuhan. Metodologi yang digunakan untuk pemeringkatan ini dimaksudkan untuk menampilkan ekosistem yang menunjukkan potensi tinggi untuk menjadi pemain global teratas di tahun-tahun mendatang.

Bobot faktor yang digunakan untuk mengurutkan ekosistem ini sedikit berbeda dari yang digunakan dengan Global Startup Ecosystem Ranking untuk mencerminkan status kemunculannya dan menekankan faktor yang lebih berpengaruh dalam ekosistem yang baru mulai tumbuh. Bobot yang diberikan pun lebih sedikit dengan nilai exit lebih dari $50 juta dan aktivitas startup lebih terfokus pada pendanaan tahap awal.

Dari seluruh kota yang diurutkan, disimpulkan bahwa keseluruhan kota di Top 100 Emerging Ecosystem bernilai lebih dari $1,5 triliun, naik 50% dari 1 Juli 2019–31 Desember 2021 hingga 1 Juli 2020–31 Desember 2022. Kemudian, Eropa adalah wilayah yang paling terwakili di Emerging Ecosystem, terlihat dari kontribusinya dari 37% hingga 41% sejak GSER 2022.

Dijelaskan lebih jauh, pendanaan tahap awal mencakup pendanaan tahap awal dan seri A. Pendanaan tahap awal merupakan indikator penting dari kesuksesan potensial karena sebagian besar startup yang menerima putaran seri A telah menunjukkan potensi mereka dengan menciptakan produk yang layak minimal, dengan menghasilkan pendapatan, atau dengan menunjukkan bahwa mereka hampir meluncurkan produk.

“Oleh karena itu, jumlah dan jumlah putaran tahap awal dalam suatu ekosistem merupakan indikator keberhasilan dan pertumbuhannya,” tulis Startup Genome.

Untuk mendukung temuannya tersebut, laporan ini juga mencantumkan 10 kota dengan ekosistem total pendanaan tahap awal terbesar. Jakarta masuk ke dalam urutan ke-2 dengan nilai $1,52 miliar. Urutan pertama ditempati oleh Guangzhou ($1,56 miliar), setelah Jakarta diisi oleh Hong Kong ($1,45 miliar).

Selain itu, berdasarkan total perusahaan unicorn yang berhasil dicetak dalam satu dekade terakhir, Jakarta mendapat urutan ketiga dengan total tujuh unicorn. Sementara itu, Hong Kong memiliki 11 unicorn dan Guangzhou memiliki 10 unicorn.

Menariknya, dari 19 kota dengan pencetak unicorn terbanyak, lima kota di antaranya: Guangzhou, Chengdu, Nanjing, Wuhan, dan Wuxi, berasal dari Tiongkok. Bila ditotal mencapai 36 unicorn. Lalu disusul India, dengan total 11 unicorn dari kota Pune (7) dan Chennai (4).

Tren Pendanaan Startup Indonesia Sepanjang 2021

Di tahun 2021, Indonesia telah memiliki 12 unicorn dan lebih dari 50 centaur.

Banyak aspek yang dapat dijadikan variabel pengukuran untuk melihat kematangan ekosistem startup di sebuah negara. Adapun pendanaan atau investasi menjadi salah satu yang terpenting, karena di dalam sebuah proses pendanaan terdapat serangkaian tahapan validasi untuk menilai kualitas bisnis, pasar, teknologi, hingga founder. Bergulirnya sebuah pendanaan berarti ada sebuah startup yang berhasil tervalidasi melalui hipotesis-hipotesis yang dimiliki oleh pemodal.

Sepanjang tahun 2021, ada 213 putaran pendanaan startup yang diumumkan dan membukukan total nilai lebih dari $4,3 miliar dari 126 transaksi yang disebutkan perolehannya. Capaian ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 113 transaksi dengan nominal $3,3 miliar dari 50 transaksi yang diumumkan nilainya.

Berikut ini ulasan mengenai data pendanaan startup pendanaan startup Indonesia yang berhasil dikumpulkan oleh tim DailySocial.id.

Pendanaan tahap lanjut meningkat

Pendanaan tahap lanjut mendefinisikan putaran yang terjadi setelah tahap awal. Di tahun 2021, ada 45 startup yang membukukan pendanaan seri A, 33 seri B, 10 seri C, 2 seri D, dan 1 seri F. Jika digabungkan, angka ini melebihi perolehan pendanaan tahap awal yang jumlahnya mencapai 81 transaksi.

Tingginya angka pendanaan awal menyiratkan masih terbukanya kesempatan bagi generasi baru founder untuk melahirkan inovasi baru untuk mendemokratisasi aspek bisnis tertentu. Sementara pendanaan lanjutan menyiratkan sebuah model bisnis yang tervalidasi pasar – melahirkan kepercayaan lebih terhadap investor untuk meletakkan lebih banyak dana ke startup terkait.

Dalam sejumlah wawancara dengan pemodal ventura di Indonesia, para partner memang mengatakan bahwa di masa pandemi ini mereka akan memberikan porsi lebih untuk memberikan dukungan kepada portofolio yang sudah ada.

General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan, dengan dana kelolaan baru yang berhasil didapat tahun 2021 lalu, menyebut pihaknya meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

Pendanaan lanjutan ini juga berhasil membawa puluhan startup masuk ke jajaran centaur. Sebut saja Flip, Shipper, GudangAda, Lemonilo, hingga ALAMI. Bahkan melalui putaran pendanaan seri B, Ajaib berhasil mengokohkan diri dengan status unicorn; lalu Xendit dan Kopi Kenangan jadi unicorn setelah menutup seri C mereka.

Sektor bisnis terpopuler

Kendati fintech masih mendapatkan jumlah terbanyak dari sisi jumlah transaksi pendanaan –juga nominal pendanaan–namun mulai ada divergensi. SaaS (23), New Economy (21), dan Wealthtech (15) berhasil memikat perhatian investor.

SaaS dianggap masih memiliki potensi besar di tengah pertumbuhan bisnis UMKM di Indonesia. Berbagai solusi dikembangkan untuk mempermudah proses bisnis mereka, mulai dari layanan pencatatan, tata kelola operasional, manajemen sumber daya manusia, dan lainnya.

Sementara New Economy berhasil terangkat dengan adanya pemilik brand yang mulai melakukan transisi strategi ke arah digital – seperti merek fesyen yang fokus ke model direct to consumer untuk distribusi produknya. Diyakini bahwa cara ini akan memberikan value lebih terhadap bisnis yang dijalankan, karena adanya campur tangan teknologi dan data yang komprehensif didapatkan dari proses transaksi. Strategi ini juga memungkinkan pengembang merek untuk lebih fokus kepada inovasi produk – karena kanal penjualannya umumnya memanfaatkan layanan online yang sudah ada seperti online marketplace.

Wealthtech bahkan sudah memiliki unicorn dengan torehan gemilang Ajaib. Mereka berada di tengah momentum pertumbuhan investor ritel. Menurut data BEI, per Oktober 2021 jumlah investor pasar modal mencapai 6,7 juta SID, tumbuh 7,5x lipat sejak 2016.

Pendanaan terbesar sepanjang tahun

Tidak hanya tren tahun ke tahun, sepanjang 2021 nominal pendanaan yang berhasil dibukukan oleh ekosistem startup Indonesia juga meningkat dari kuartal ke kuartal. Mengindikasikan investor kembali membuka diri untuk kembali menyalurkan dana kelolaannya, setelah sebelumnya banyak memilik “wait and see” melihat keadaan yang belum kondusif akibat Covid-19.

Terdapat 22 transaksi pendanaan yang nilainya sama dengan atau lebih dari $50 juta. Sementara puluhan lainnya mendapatkan 8 digit dolar dalam pendanaannya. Di sisi nominal, GoTo, SiCepat, Ajaib, Xendit, hingga Halodoc mendapati perolehan tertinggi dalam putaran pendanaan lanjutannya. Adapun investasi yang didapatkan GoTo dan Kredivo berkaitan dengan rencananya melantai di bursa saham.

Jika membaca Startup Report di tahun-tahun sebelumnya, nominal pendanaan besar (puluhan juta dolar) selalu datang pada putaran lanjutan startup unicorn. Namun tren yang ada saat ini, tidak sedikit stratup yang masih berumur pendek mendapatkan dukungan fantastis dari investor.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, generasi founder baru yang lahir dari ekosistem. Tak jarang kita menemui startup baru yang didirikan oleh ex-pegawai unicorn atau ex-pegawai di modal ventura. Mereka adalah orang-orang yang sudah mempelajari bagaimana bisnis digital bermanuver. Pengalamannya membesarkan perusahaan sebelumnya, menjadikan pemodal memberikan nilai lebih terhadap inovasi yang coba diusungnya.

Kedua, pasar digital yang cenderung lebih terdidik. Jika setengah dekade lalu, para pengembang platform digital masih menjumpai tantangan melakukan edukasi pasar secara mendasar, berbeda kondisinya dengan saat ini. Effort untuk melakukan sosialisasi bisa dirasa lebih mudah, menjadikan proses scale-up atau growth menjadi lebih singkat. Dukungan modal besar dibutuhkan untuk memastikan startup terkait mendapati momentum pertumbuhan tersebut.

Angel Investor terus bergerak agresif

Dari total transaksi yang ada, sekurangnya terdapat 341 institusi yang terlibat dalam pendanaan startup Indonesia, baik datang dari venture capital, CVC, hingga korporasi. Yang menarik, ada keterlibatan angel investor di 51 transaksi pendanaan.

Adapun jajaran investor yang paling aktif mendanai [secara kuantitas transaksi] susunannya masih tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Para pemodal tersebut sebagian besar bermain di semua tahapan pendanaan, dari seed sampai dengan growth stage. MDI Ventures, sebagai contoh, juga mengoperasikan Arise Fund bersama Finch Capital untuk membantu startup-startup tahap awal yang bergerak di sektor riil, seperti pertanian dan peternakan.

Sepanjang Q3 2021, Startup Indonesia Bukukan Pendanaan 13,8 Triliun Rupiah

Iklim investasi di ekosistem startup Indonesia pasca pandemi menunjukkan tren yang terus meningkat. Menurut catatan DailySocial.id, didasarkan pada transaksi pendanaan yang diumumkan ke publik dan/atau dicatatkan ke regulator, sepanjang kuartal ketiga (Q3) 2021 terdapat 68 pendanaan startup yang membukukan nominal hingga $974.220.000 atau lebih dari Rp13,8 triliun dari 45 transaksi yang disebutkan nilai pendanaannya.

Secara kuantitas dan nominal, kondisi ini meningkat dibandingkan dua kuartal sebelumnya. Di Q1 2021 ada sekitar 40 pendanaan startup dengan total nilai $554.750.000, sementara di Q2 2021 ada 47 transaksi dengan nominal $750.520.000.

Jika dibandingkan dengan Q3 di dua periode tahun sebelumnya, nilai investasi yang diumumkan memiliki peningkatan hampir 2x lipat.

Hal ini menjadi indikasi menarik bahwa pandemi tetap memberikan efek akselerasi terhadap iklim investasi startup di Indonesia. Selama periode Juli s/d September 2021, ada 2 startup yang berhasil menggaet status “unicorn” dengan pendanaan barunya, yakni Xendit dan Kredivo. Blibli dan Tiket.com menjadi startup yang akhirnya mengonfirmasi saat ini valuasi mereka sudah di atas $1 miliar.

Tren pendanaan sepanjang Q3 2021

Ditinjau lebih dalam, didasarkan pada tingkatannya, putaran pendanaan Seri B di periode ini berhasil membukukan nilai paling banyak dengan jumlah transaksi yang cukup signifikan. Kecenderungan investor melakukan follow-on funding di later stage juga sebenarnya sudah tercatat sejak tahun 2020 lalu, seperti didata dalam Startup Report 2020.

Secara kuantitas, transaksi pada Q3 paling banyak berada di putaran seed dan Seri A.

Jika ditinjau dari segmen bisnis, fintech masih mendominasi perolehan. Tren ini berlanjut sejak 3 tahun terakhir di tengah ramainya pemain yang bermanuver di setiap sub-vertikal fintech, mulai dari e-money, lending, open finance, paylater, dan sebagainya.

Sektor populer berikutnya adalah logistik. Sejak paruh kedua tahun lalu, sektor ini tampak mendapatkan perhatian spesial dari investor. Selama masa pandemi, kinerjanya meningkat sebagai infrastruktur pendukung layanan e-commerce dan online marketplace.

Dua vertikal baru yang menjadi “rising star” pada periode ini adalah online grocery dan social commerce. Selain pendanaan bagi existing startup, beberapa investor turut mendukung para pemain baru di putaran seed. Online grocery dinilai memiliki potensi pasar yang cerah dengan adanya perubahan perilaku konsumen untuk mulai memenuhi kebutuhan sehari-hari secara online.

Sektor social commerce juga dinilai relevan di tengah penetrasi e-commerce yang belum maksimal, khususnya di kota tier-2 sampai tier-4. Konsep keagenan dan pemberdayaan komunitas yang diusung dianggap relevan dengan kultur dan kondisi di banyak wilayah di Indonesia.

Startup dan investor unggulan

Dari startup yang mendapatkan pendanaan sepanjang Q3, tiga di antaranya memperoleh nilai ratusan juta dolar. Sementara 17 startup juga mendapatkan pendanaan belasan juta dolar.

Berikut daftar 20 startup dengan pendanaan terbesar, yang diumumkan secara publik, sepanjang periode Q3 2021:

Startup  Nilai Pendanaan
 Xendit  $150.000.000
 Kredivo  $125.000.000
 GudangAda  $100.000.000
 Happy Fresh  $65.000.000
 AwanTunai  $56.200.000
 Migo  $40.000.000
 SIRCLO  $36.000.000
 Pintu  $35.000.000
 Pluang  $35.000.000
 Aruna  $35.000.000
 DOKU  $32.000.000
 AnterAja  $31.000.000
 Evermos  $30.000.000
 Oy!  $30.000.000
 Pinhome  $25.500.000
 Hypefast  $19.500.000
 Alami  $17.500.000
 Segari  $16.000.000
 Dekoruma  $15.000.000
 Dagangan  $11.500.000

Beberapa investor juga aktif berpartisipasi dalam putaran pendanaan startup di Indonesia. Jika dilihat di periode ini, mayoritas masih didominasi oleh pemodal ventura lokal, dengan East Ventures (EV) memiliki kuantitas paling banyak.

Melalui dana kelolaannya, EV berinvestasi pada startup dari tahap awal sampai tahap pertumbuhan (growth fund). Hipotesis pada model bisnis agnostik  membuatnya lebih fleksibel membantu startup-startup baru.

Investor paling aktif berikutnya adalah AC Ventures. Di beberapa kesempatan, mereka melakukan co-investment bersama EV.

Venture Capital Keterlibatan Investasi
East Ventures 17
AC Ventures 7
Jungle Ventures 4
Go-Ventures 4
Vertex Ventures 4
Alpha JWC Ventures 4
MDI Ventures 4
New Energy Nexus 4
BEENEXT 4
Insignia Venture Partners 4

Hal yang mulai terlihat tahun ini adalah keterlibatan aktif kalangan angel investor. Sebagian besar hadir dari kalangan founder startup tahap akhir dan  unicorn. Ada 15 putaran pendanaan startup yang di Indonesia pada Q3 2021 yang melibatkan angel investor. Jumlah ini sedikit meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya–di Q2 2021 mereka terlibat dalam 13 pendanaan startup.

Menilik Perkembangan Ekosistem Startup Indonesia Melalui Gelombang Baru Unicorn

Tidak dimungkiri, semenjak pandemi justru kucuran investasi banyak diberikan para investor kepada startup semakin subur hingga melahirkan potensi unicorn generasi baru dari Indonesia. Xendit menjadi startup selanjutnya dari vertikal fintech yang telah resmi menyabet status unicorn pada 15 September kemarin.

Ada sejumlah startup yang sudah mencapai centaur tahap akhir [valuasi di atas $500 juta], seperti Akulaku, Ruangguru, SiCepat, Kopi Kenangan, serta Ajaib yang diramalkan akan segera menyusul Xendit. Fenomena ini menarik karena bisa semakin banyaknya unicorn berdampak pada ekosistem startup yang jauh lebih kompetitif.

Untuk membahas hal ini, #SelasaStartup mengundang Founder & Managing Partners AC Ventures Adrian Li sebagai pembicara. AC Ventures merupakan salah satu investor awal Xendit. Ia banyak berbagi terkait kondisi pendanaan hingga impresi awal bagaimana dirinya bertemu dengan CEO Xendit Moses Lo. Berikut rangkumannya:

Faktor pendukung ekosistem startup

Dibandingkan kondisi saat AC Ventures pertama kali berinvestasi di Indonesia pada 2014, saat ini kondisi untuk merintis startup jauh lebih mudah. Infrastruktur, penetrasi smartphone, logistik, hardware sudah jauh lebih maju daripada sebelumnya. Di samping itu, generasi awal unicorn lahirkan bibit entrepreneur baru yang menjadi bekal bagus untuk mencetak unicorn berikutnya.

Adrian menuturkan, ekosistem yang berhasil dibentuk oleh generasi awal unicorn Indonesia sebelum era pandemi, memicu lahirnya entrepreneur baru yang berani untuk merintis startupnya sendiri. Berbagai bekal pengalaman yang mereka bawa dari kantor lama ke startupnya bisa dipastikan memiliki kualitas baik dan pemecahan solusi yang lebih tepat guna.

“Selain itu, kami sendiri juga sudah membangun jaringan dengan berbagai entrepreneur dari jauh-jauh hari. Setiap tingkatan kebutuhan founder, kami memiliki fund masing-masing,” kata Adrian.

Dari faktor-faktor tersebut membuat level disrupsi startup jauh lebih signifikan daripada sebelumnya. Indonesia pun dianggap sebagai pasar yang cukup besar untuk mencetak unicorn lebih banyak dari saat ini. Dari hitungan kasar saja, Indonesia sudah berhasil mencetak delapan unicorn, setidaknya, dari total 2 ribu startup yang ada saat ini.

“Dari awal kita berinvestasi di 2014, kita hanya berharap suatu saat nanti ada perusahaan bernilai $1 miliar yang akan muncul, tapi tidak mengantisipasi bakal ada decacorn lahir di Indonesia. Jadi ke depannya jangan heran kalau dalam lima tahun lagi akan ada lebih banyak perusahaan bernilai miliaran dolar lahir dari sini.”

Suplai pendanaan tahap awal masih kurang

Meski sudah didukung dengan banyak faktor pendukung, sambung Adrian, Indonesia sebenarnya masih kekurangan investor tahap awal. Jumlahnya pun perlu ditingkatkan setidaknya antara tiga sampai lima kali lipat dari jumlah VC tahap awal yang ada saat ini.

Di Tiongkok sendiri ada ribuan VC yang fokus berinvestasi tahap awal yang akhirnya mampu memproduksi ribuan unicorn pada beberapa tahun kemudian. “Jadi kita butuh lebih banyak backup dari banyak perusahaan lokal, jadi enggak harus mengandalkan investor dari luar saja.”

Bagi AC Ventures sendiri, mendanai startup pada tahap awal memang memiliki risiko gagal yang tinggi. Dengan berbagai pengukuran metriks, AC Ventures selalu memasang mindset dan mencari tahu apakah perusahaan yang akan didanai ini bisa bernilai jutaan dolar di kemudian hari.

Hal tersebut juga terjadi saat Adrian bertemu dengan Moses Lo (Co-founder Xendit). Ia menuturkan apa yang dilakukan Xendit pada awal berdiri dengan saat ini sangat jauh berbeda. Awalnya Xendit ingin permudah pembayaran dengan adanya split bill dan transfer uang jauh lebih mudah, kini menjadi perusahaan payment gateway yang fokus pada kemudahan untuk konsumen bisnis.

“Xendit sejak awal memiliki tim yang begitu solid, banyak credit yang saya berikan pada tahap awal itu untuk timnya karena ini bukan perjalanan yang mudah, membuat payment gateway dengan proses yang sangat user friendly.”

Prediksi unicorn berikutnya

Sesuai dengan prediksi Adrian sebelumnya, bahwa akan ada banyak cikal bakal unicorn yang datang dari berbagai vertikal startup dalam beberapa tahun mendatang. Dari berbagai faktor tersebut, dia meramalkan setidaknya dalam lima hingga 10 tahun mendatang akan ada banyak perusahaan bernilai $2 miliar hingga $3 miliar datang dari Indonesia.

Ia mencontohkan, vertikal fintech yang luas akan menjadi penerus unicorn berikutnya, setelah Xendit dan OVO. “Lending akan menjadi area lainnya yang menarik untuk menciptakan unicorn berikutnya, seperti Kredivo dan Akulaku. Pun juga digital bank yang akan agregate seluruh layanan keuangan digital.”

Startup logistik juga akan menyumbang sebagai generasi unicorn berikutnya, mengingat industri e-commerce yang tengah menggeliat sepanjang pandemi. Terlebih itu, industri e-commerce adalah penyumbang utama ekonomi digital di Indonesia menurut berbagai riset.

“Kalau healthtech dan edtech ini memang adalah market yang besar, tapi masih didominasi oleh bisnis tradisional. Ini old business jadi sulit untuk mengubah kebiasaan. Meski adopsi keduanya meningkat pesat selama pandemi, tetap saja akan butuh waktu yang lama [untuk mendominasi market].”

Kendati Adrian memprediksi tiap industri akan menyumbang unicorn, bukan berarti akan menjadikan startup  tersebut memonopoli pasar. Pasalnya, di industri startup teknologi menganut pasar oligopoli. Artinya, ada sejumlah pemain besar yang mendominasi pasar.

“Ada yang monopoli, ada juga yang multiplayer. Contohnya, di industri e-commerce ada Tokopedia, Shopee, Bukalapak yang unggul. Apalagi di fintech ada banyak vertikal yang muncul sebagai unicorn karena besarnya kesempatan dan keunikan di masing-masing produk sebagai value proposition-nya,” tutup dia.

[Video] Melihat Perbedaan Ekosistem Startup Indonesia dan Global dari Kacamata “Venture Capital”

Banyaknya pendanaan yang masuk ke startup yang ada di Indonesia menjadi salah satu pembeda antara ekosistem startup Indonesia dan startup global yang dilihat para investor.

DailySocial bersama Amra Naidoo dari Accelerating Asia membahas bagaimana ekosistem startup di Indonesia memiliki karakter tersendiri yang tak dimiliki startup global, yang justru bisa menjadi poin plus dalam mempercepat pertumbuhan bisnis.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Golden Gate Ventures’ Report on Startup Ecosystem Trend in the Next 10 Years

Celebrating their 10th Anniversary, Golden Gate Ventures (GGV) launched a report on the startup ecosystem in Southeast Asia. It elaborates essential points about the trend of the startup ecosystem in the last 10 years and its predictions in the next 10 years.

Founded in 2011, GGV has invested in around 60 startups and launched four fund initiatives. The investment thesis focuses on the growing presence of the consumer class in Southeast Asia. In Indonesia, its portfolio includes Alodokter, BukuWarung, Side, Alami, and GoPlay.

Startup ecosystem trend in the past 10 years

In the past decade, startups in the Southeast Asia region have experienced very fast growth. Especially in terms of capital inflows, it is estimated to have increased by 50x from $130 million in 2010 to $6.5 billion in 2020.

In its report, GGV noted more capital coming from the United States. These include Kleiner Perkins, Accel, KKR, Tiger Global and Warburg Pincus. In addition, funding also came from countries such as China and Japan. Not only are these countries leading large-scale funding, but these countries have also invested heavily in large companies in Southeast Asia.

The venture capitalists that later became leaders include Sequoia, Softbank, Tencent, and Alibaba. The business verticals that have received the most funding over the last 10 years are e-commerce, fintech, and entertainment. Meanwhile, GGV also noted that the fastest growing business verticals were food and logistics.

GGV’s report on Southeast Asia’s investment / GGV

An interesting fact discovered by GGV is that the expansion in various stages of funding is getting more mature in line with the growing interest of regional and global investors for SEA. Series A round became the funding stage that experienced the fastest growth. Meanwhile, later stage funding (series C and above) experienced the highest jump (worth 100x) considering that there was no such round in the previous decade. The number of early stage and seed funding rounds has increased by up to 30x.

GGV’s report on Southeast Asia’s investment / GGV

Another interesting point that GGV presented in its report is the increasing presence of Corporate Venture Capital (CVC) in Southeast Asia. There were only a handful of CVCs in 2010, which were usually branches of businesses established in family businesses, telecommunications companies, or super apps. Currently, there are more than 50 CVCs are listed.

In 2020, several CVCs have been involved in around 8.7% of all VC transactions and have led several funding rounds, especially in seed and series A. In Indonesia, several CVCs that are quite active in investing include MDI Ventures and Prasetia Dwidharma .

Indonesia also surpassed Singapore to become the country with the highest startups concentration with the best capital. On average, Indonesian startups have closed relatively larger funding rounds. Singapore recorded the largest VC capital is in 2010 (90%) but their share shrank to 40% in 2020.

Another captivating infornmation by GGV is that Indonesia has become a market demand for around 75% of unicorns in Southeast Asia, and is claimed to be the most successful market for investing in the Southeast Asian region.

Startup ecosystem trend in the next 10 years

In its report, GGV also conveys a number of trends in the startup ecosystem in the next 10 years. Among those is the increasingly widespread presence of social commerce. Its GMV is predicted to exceed $5 billion by 2025 and $25 billion by 2030 as it will continue to increase in e-commerce adoption, mixed with per capita GDP growth over the next decade.

In addition, another sector that is predicted to experience growth is healthtech. In this case, it is a platform that provides access to healthcare for a larger demographic, and improves infrastructure in Southeast Asia, especially after the pandemic.

Another prediction by GGV is the increasing number of IPO activities in Southeast Asia, which is expected to exceed 300 IPOs by 2030, as more local startups seek potential exits in the domestic public market.

Meanwhile, for Indonesia and Malaysia, it is estimated that there will be larger market growth for platforms that target Muslims. Indonesia and Malaysia’s market size will grow about 8x from its current size by 2030, including the Muslim lifestyle/halal economy in various industries such as fashion, food and finance.

Another trend that discussed in the report is that startups targeting media and entertainment will gain a stronger following and funding as the industry begins to shift its focus to digital solutions, including TV/film, live streaming, and esports. Funding in this area is predicted to exceed $700 million by 2030.

The large number of unbanked population in Southeast Asia creates huge opportunities that can trigger the growth of unicorn startups specifically for fintech. Potential services to be disrupted by fintech platforms include digital wallets, Neobanks, BNPL, and other forms of financing.

Mergers and acquisitions (M&A) activities are also predicted to increase in the next 10 years. As companies continue to compete for the top positions in its verticals, there will be more mega-mergers in Southeast Asia.

After Indonesia, which became the most targeted market by venture capitalists in the last 10 years, GGV predicts that within the next 10 years, Vietnam will become the targeted country for investors in Southeast Asia. Vietnam will emerge in 2022 as the premier startup ecosystem in Southeast Asia. This is visible with the increasing number of venture capitalists who then allocate their funds to invest in startups from Vietnam.

Meanwhile, for venture capitalists, it is predicted that within the next 10 years, the Assets Under Management (AUM) will be doubled. AUM has been increasing on a steady track over the last decade and it is estimated that it will exceed $300 billion by 2030.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Laporan Golden Gate Ventures tentang Tren Ekosistem Startup 10 Tahun ke Depan

Merayakan HUT mereka yang ke-10,  Golden Gate Ventures (GGV) meluncurkan laporan tentang ekosistem startup di Asia Tenggara. Di dalamnya memaparkan poin penting tentang tren ekosistem startup dalam waktu 10 tahun terakhir dan prediksi mereka dalam waktu 10 tahun ke depan.

Didirikan tahun 2011 lalu, saat ini GGV telah berinvestasi ke sekitar 60 startup dan meluncurkan empat inisiatif fund. Tesis investasi berfokus pada maraknya kehadiran kelas konsumen di Asia Tenggara. Di Indonesia portofolio mereka termasuk Alodokter, BukuWarung, Sampingan, Alami, dan GoPlay.

Tren ekosistem startup 10 tahun terakhir

Dalam satu dekade terakhir, startup di kawasan Asia Tenggara telah mengalami pertumbuhan sangat cepat. Terutama dalam hal masuknya modal, ditaksirkan telah meningkat hingga 50x lipat dari $130 juta pada tahun 2010 menjadi $6,5 miliar pada tahun 2020.

Dalam laporannya, GGV melihat makin banyak kapital yang datang dari Amerika Serikat. Termasuk di dalamnya Kleiner Perkins, Accel, KKR, Tiger Global, dan Warburg Pincus. Tercatat juga pendanaan datang dari negara seperti Tiongkok dan Jepang. Bukan hanya banyak memimpin pendanaan dalam skala yang besar, namun negara-negara tersebut juga telah banyak berinvestasi kepada perusahaan besar di Asia Tenggara.

Adapun pemodal ventura yang kemudian menjadi pemimpin di antaranya adalah Sequoia, Softbank, Tencent, dan Alibaba. Vertikal bisnis yang paling banyak mendapatkan pendanaan selama 10 tahun terakhir adalah e-commerce, fintech, hingga hiburan. Sementara GGV juga mencatat vertikal bisnis yang paling cepat mengalami petumbuhan adalah makanan dan logistik.

Hal menarik yang juga dipaparkan oleh GGV adalah ekspansi di berbagai tahapan pendanaan semakin mature seiring dengan tumbuhnya minat investor regional dan global untuk SEA. Putaran pendanaan seri A menjadi tahapan pendanaan yang mengalami pertumbuhan paling cepat. Sementara itu untuk pendanaan later stage (seri C ke atas) mengalami lompatan paling tinggi (bernilai 100x) mengingat tidak adanya putaran seperti itu dalam waktu satu dekade sebelumnya. Untuk pendanaan early stage dan putaran pendanaan awal telah bertambah jumlahnya hingga 30x.

Laporan GGV tentang investasi di Asia Tenggara / GGV

Poin menarik lainnya yang juga dipaparkan oleh GGV dalam laporannya adalah makin banyaknya kehadiran Corporate Venture Capital (CVC) di Asia Tenggara. Tercatat hanya ada segelintir CVC pada tahun 2010, yang biasanya merupakan cabang usaha yang didirikan dalam bisnis keluarga, perusahaan telekomunikasi, atau super app. Saat ini tercatat jumlahnya ada lebih dari 50 CVC.

Pada tahun 2020, beberapa CVC telah terlibat dalam sekitar 8,7% dari semua transaksi VC dan telah memimpin sejumlah putaran pendanaan, terutama di putaran seed dan seri A. Di Indonesia sendiri beberapa CVC yang cukup aktif melakukan investasi di antaranya MDI Ventures dan Prasetia Dwidharma.

Indonesia tercatat juga telah melampaui Singapura menjadi negara dengan konsentrasi tertinggi untuk startup yang memiliki modal terbaik. Rata-rata startup Indonesia telah menutup putaran pendanaan yang relatif lebih besar. Tercatat Singapura meraup bagian terbesar dari modal VC pada tahun 2010 (90%) tetapi bagian mereka menyusut menjadi 40% pada tahun 2020.

Laporan menarik lainnya yang juga dipaparkan oleh GGV adalah Indonesia telah menjadi menjadi kebutuhan pasar untuk sekitar 75% unicorn di Asia Tenggara, dan diklaim menjadi pasar paling sukses untuk berinvestasi di kawasan Asia Tenggara.

Tren ekosistem startup 10 tahun ke depan

Dalam laporannya GGV juga menyampaikan sejumlah tren ekosistem startup dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Di antaranya adalah makin maraknya kehadiran social commerce. GMV-nya diprediksi akan melampaui $5 miliar pada tahun 2025 dan $25 miliar pada tahun 2030 karena akan terus meningkat dalam adopsi e-commerce, bercampur dengan pertumbuhan PDB per kapita selama dekade berikutnya.

Selain itu, sektor lainnya yang juga diprediksi bakal mengalami pertumbuhan adalah healthtech. Dalam hal ini adalah platform yang menyediakan akses layanan kesehatan untuk demografi yang lebih besar, dan meningkatkan infrastruktur di Asia Tengara, terutama setelah pandemi.

Prediksi lainnya yang kemudian dipaparkan oleh GGV adalah makin besarnya kegiatan IPO di Asia Tenggara, yang diperkirakan akan melampaui 300 IPO pada tahun 2030, karena lebih banyak startup lokal yang mencari potensi exit di pasar publik domestik.

Sementara itu untuk Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan makin banyak pertumbuhan pasar untuk platform yang menyasar kalangan muslim. Ukuran pasar Indonesia dan Malaysia akan tumbuh sekitar 8x dari ukuran saat ini pada tahun 2030, termasuk gaya hidup muslim/ekonomi halal di berbagai industri seperti fesyen, makanan, dan finansial.

Tren lainnya yang juga dibahas adalah, startup yang menyasar kepada media dan hiburan akan mendapatkan jumlah pengikut dan pendanaan yang lebih kuat, sejalan dengan industri yang mulai mengalihkan fokusnya ke solusi digital, termasuk TV/film, live streaming, dan esports. Pendanaan di bidang ini diprediksi akan melampaui $700 juta pada tahun 2030.

Masih besarnya jumlah populasi yang tidak memiliki rekening bank di Asia Tenggara, menciptakan peluang besar yang dapat memicu tumbuhnya startup unicorn khusus fintech. Potensi layanan yang kemudian masih bisa di disrupsi oleh platform fintech di antaranya adalah dompet digital, Neobanks, BNPL, dan bentuk lain dari pembiayaan.

Kegiatan merger dan akuisisi (M&A) juga diprediksi akan makin banyak terjadi dalam waktu 10 tahun ke depan. Ketika perusahaan terus bersaing untuk posisi teratas dalam vertikal mereka, akan lebih banyak mega-merger di Asia Tenggara.

Setelah Indonesia yang menjadi pasar paling banyak dituju oleh pemodal ventura dalam waktu 10 tahun terakhir, diprediksi oleh GGV dalam waktu 10 tahun ke depan, Vietnam akan menjadi negara pilihan investor di Asia Tenggara. Vietnam akan muncul pada tahun 2022 sebagai ekosistem startup utama di Asia Tenggara. Hal ini mulai terlihat dengan semakin banyaknya venture capital yang kemudian mengalokasikan dana mereka untuk berinvestasi kepada startup asal Vietnam hingga saat ini.

Sementara itu untuk pemodal ventura di prediksi dalam waktu 10 tahun ke depan akan meningkatkan Assets Under Management (AUM) menjadi dua kali lipat. AUM telah meningkat pada jalur yang stabil selama dekade terakhir dan diperkirakan jumlah tersebut akan melampaui $300 miliar pada tahun 2030.

Gambar Header: Depositphotos.com

StartupBlink: Indonesia Masuk Peringkat ke-45 di Ekosistem Startup Global 2021

Ekosistem startup di Indonesia naik sembilan peringkat menjadi ke-45 secara global menurut laporan termutakhir yang dikeluarkan StartupBlink “Global Startup Ecosystem Index 2021”. Pada laporan di tahun sebelumnya, Indonesia masuk dalam urutan ke-54.

Dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, Singapura memimpin posisi di peringkat ke-10, disusul Malaysia (40). Posisi Thailand mengekor setelah Indonesia berada di peringkat ke-50, Filipina (52), dan Vietnam (59).

Lebih jauh dipaparkan, untuk di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masuk dalam peringkat ke-10. Jakarta adalah kota dengan peringkat tertinggi di Indonesia, naik tujuh peringkat ke peringkat ke-34 secara global dan peringkat ke-12 di antara kota-kota lain di kawasan APAC.

Secara global, kota ini juga mendapat label sebagai pusat inovasi kewirausahaan ke-12 untuk teknologi transportasi, ke-13 untuk e-commerce dan teknologi ritel, dan masuk dalam 50 besar untuk teknologi pendidikan, pangan, Teknologi pemasaran & penjualan, dan sosial & kenyamanan.

Di balik peringkat tersebut, masih ada kesenjangan yang cukup besar antara Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Misalnya, Bandung yang merupakan kota nasional terbesar kedua, namun secara global ada di peringkat ke-368. Lalu, Yogyakarta ada di posisi ke-668 setelah turun 21 peringkat, dan Surabaya turun 24 peringkat ke peringkat 759. Namun, secara total Indonesia memiliki 7 kota yang masuk dalam top 1000 secara global.

Dengan bonus demografi yang besar, negara ini masih memiliki tantangan dari lingkungan politik yang tidak stabil dan tingkat birokrasi regulasi yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, StartupBlink merekomendasikan sektor publik harus fokus pada penciptaan infrastruktur hukum dan sistem pendukung yang sesuai agar startup dan pengusaha berkembang.

Selain itu, kota-kota di Pulau Bali juga berpotensi menjadi hub startup Indonesia, mengingat di sana banyak pengusaha asing yang hidup nomaden digital bermukim. “Jika saja infrastruktur internet menawarkan konektivitas yang lebih andal, mempertimbangkan populasi dan ukuran negara, Indonesia sangat membutuhkan kota-kota dengan ekosistem startup yang lebih kecil untuk mempersempit kesenjangan besar dengan Jakarta,” tulisnya.

Dalam menyusun indeks ini, StartupBlink mengompilasi dari berbagai sumber data yang diproses oleh suatu algoritma dan terintegrasi dengan StartupBlink Global Startup Ecosystem Map yang interaktif dan crowdsourced. Data-data dari mitra global StartupBlink, seperti Crunchbase, Semrush, dan Meetup, juga digabungkan untuk melengkapi analisis.

Laporan tersebut memberikan dua set peringkat: yang pertama untuk negara, dan yang kedua untuk ekosistem individu di dalam kota. Setiap lokasi memiliki skor total, yang merupakan penjumlahan dari tiga skor pengukuran Kuantitas, Kualitas, dan Lingkungan Bisnis. Skor memiliki kepentingan komparatif, memberikan wawasan unik tentang perbedaan antara ekosistem yang berbeda secara absolut.

Berdasarkan algoritme tahun-tahun sebelumnya, laporan tahun ini memberikan bobot lebih kepada startup B2B, menambahkan lebih banyak parameter yang terkait dengan layanan teknologi dalam kumpulan data, dan meningkatkan pengumpulan data dari pusat R&D perusahaan internasional.

Foto Header: Depositphotos.com

e27 Luminaries Tampilkan Daftar Individu di Balik Perkembangan Startup di Asia Tenggara

e27 mengumumkan peluncuran “e27 Luminaries”, yakni sebuah daftar yang menampilkan 56 individu dari ekosistem startup di Asia Tenggara yang berhasil melewati tantangan akibat pandemi Covid-19. Mereka menjadi sosok penting untuk kesuksesan dan pertumbuhan perusahaan masing-masing. Inisiatif ini menyoroti “pahlawan tanpa tanda jasa” di ekosistem startup, individu yang tidak gentar dan berprestasi tinggi dalam mewujudkan visi perusahaan.

Secara spesifik e27 Luminaries menampilkan daftar non-founder yang telah memimpin proyek inovatif, menerapkan ide-ide yang bermanfaat bagi masyarakat, atau membuat pencapaian luar biasa meskipun di tengah situasi yang tidak menguntungkan — dan secara langsung dinominasikan oleh masing-masing perusahaan. Adapun perusahaan yang masuk ke dalam daftar tersebut juga dipilih oleh tim e27 berdasarkan pencapaian luar biasa mereka di salah satu dari lima kategori: Pivot, Pendanaan dan Akuisisi, Kemitraan, Ekspansi, dan Terobosan.

“e27 Luminaries adalah sebuah penghargaan untuk orang-orang yang bekerja di startup, yang berjuang untuk membuat hal-hal yang tidak mungkin terjadi dan bekerja melawan segala rintangan untuk mewujudkan misi-misi di balik startup,” ujar Co-Founder & CEO e27 Mohan Belani.

Lebih lanjut Mohan mengatakan, “Ekosistem teknologi yang berkembang tidak hanya membutuhkan founder visioner dan investor yang bersedia mengiyakan ide-ide gila, tetapi juga sekelompok orang yang berdedikasi kuat untuk menantang pasang-surutnya bekerja di sebuah startup untuk membantu mewujudkan visi dan ide tersebut. Tujuan kami adalah untuk menyoroti individu-individu tersebut dan beberapa pencapaian yang telah mereka buat yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang.”

Beberapa sosok penting startup dari Indonesia yang masuk ke daftar tersebut di antaranya: Victor Oloan (Senior Engineering Manager, Finantier), Ade Yuanda Saragih (Country Head Indonesia, GajiGesa), Severan Rault (CTO, Gojek), Andre Widjaja (Chief of Business Development, GudangAda), dan masih banyak lainnya. Untuk daftar selengkapnya dapat dilihat melalui tautan berikut ini: https://e27.co/luminaries-2021/.

Berkat upaya individu-individu ini, perusahaan mereka telah menciptakan lebih dari 13 ribu pekerjaan dan melayani setidaknya 200 juta pelanggan di pasar. Mereka juga menghasilkan valuasi gabungan lebih dari $50 miliar.

Ini adalah satu dari inisiatif yang terus digulirkan e27 untuk mengawal pertumbuhan ekosistem startup digital di regional. Sebelumnya mereka juga meluncurkan Perks, yakni benefit layanan digital yang bisa didapatkan startup untuk mendukung produktivitasnya sehari-hari.

Disclosure: Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27