Ramalan Investasi Startup di Tahun Ayam Api

Tahun 2016 menunjukkan sikap baiknya kepada kancah startup Tanah Air. Berdasarkan Indonesia’s Tech Startup Report 2016, setidaknya ada empat catatan khusus yang dapat ditinjau dengan seksama.

Laporan tahunan yang disusun oleh DailySocial ini menunjukkan bahwa ranah e-commerce dan fintech masih bersaing ketat sebagai ranah tech startup dengan investasi terbanyak, masing-masing sebesar 21% dan 20%. Itulah fakta pertama yang kemudian diikuti dengan fakta kedua bahwa fintech diprediksi menjadi sektor terpopuler di tahun 2017.

Catatan ketiga, 40% dari investasi startup tahun 2016 ditujukan untuk startup tahap awal (seed) sedangkan 24% ditujukan untuk startup yang telah mencapai tahap Seri A.

Sayangnya, menyambung fakta di atas, catatan keempat dari annual report DailySocial ialah mengenai kurangnya talenta dan akses ke pendanaan yang diproyeksikan masih akan ‘menghantui’ tech startup di 2017 ini.

Tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang oleh para pelaku startup, asalkan mereka dapat memahami secara komprehensif apa yang telah dan akan terjadi pada ekosistem bisnis teknologi rintisan di Indonesia.

Go-Jek, contohnya. Startup yang telah mengakuisisi empat perusahaan teknologi India ini telah memasang standar tersendiri dalam memanfaatkan peluang tersebut, hingga akhirnya berhasil mengeruk pendanaan $550 juta dan secara resmi menjadi startup unicorn pertama di Indonesia.

Bagaimana langkah yang tepat untuk mencapai peluang agar mendapat pendanaan? Apakah pintu untuk meraih gelar unicorn seperti Go-Jek masih terbuka lebar di tahun Ayam Api? Menjawab pertanyaan semacam ini, Mandiri Capital Indonesia (MCI), Metra Digital Innovation (MDI), dan DailySocial.id berinisiatif kembali menggelar DigiTalks yang kali ini mengambil tema Investment Trend in 2017.

DigiTalks: Investment Trend in 2017 / DailySocial
DigiTalks: Investment Trend in 2017 / DailySocial

Diskusi panel DigiTalks pada kesempatan ini akan mengajak para startup owner/founder, revenue officer, business development officer, dan mereka yang ingin terlibat di dalam tubuh tech startup untuk mengenal dan berdiskusi mengenai lanskap pendanaan di tahun 2017 bersama pengamat industri dan venture capitalist, antara lain Raditya Pramana (Investment Manager Venturra Capital) Antonny Liem (CEO Merah Putih Incubator), dan Amir Karimuddin (Editor-in-chief DailySocial Business), yang akan dimoderatori oleh Aldi Adrian Hartanto (Head of Investments Mandiri Capital Indonesia).

DigiTalks yang akan diselenggarakan pada 31 Januari 2017 di Mandiri Inkubator Bisnis ini akan menguak cerita yang berkisar dari soal ekosistem startup Indonesia, pendanaan, juga tantangan dan masa depan tech entrepreneurs, venture capitalist, dan startup anak bangsa.

Dengan mendaftar gratis di sini, Anda akan mendapatkan insight terkini agar bisnis semakin bergengsi di tahun Ayam Api.

Disclosure: DigiTalks adalah kolaborasi bersama Mandiri Capital Indonesia, Metra Digital Innovation, dan DailySocial

Kemitraan Strategis Telkom dan Plug n Play Buka Akses ke Silicon Valley

Plug n Play (PNP) merupakan salah satu perusahaan ventura di Silicon Valley yang dikunjungi oleh Presiden Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Amerika Serikat. Sebagai perusahaan yang saat ini tengah bermitra dengan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom), kerjasama strategis ini memungkinkan Telkom memiliki akses ke Startup dari Silicon Valley sekaligus juga sebagai physical of presence untuk Telkom Group dalam mengirimkan Startup Indigo Telkom ke Silicon Valley melalui program Startup Global Telkom.

Plug n Play merupakan platform inovasi global, yang menghubungkan startup dengan perusahaan. Saat ini Plug n Play telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan setiap tahun. Beberapa startup yang telah mendapatkan investasi dari Plug n Play di antaranya adalah PayPal, Dropbox, SoundHound, dan Lending Club.

Terkait kerja sama Telkom dengan PNP, Indra Utoyo menjelaskan bahwa Telkom telah membuka kantor pertamanya di Silicon Valley melalui anak perusahaannya Metra Digital Investama (MDI).

”MDI merupakan perusahaan pertama dari Indonesia yang melakukan kerja sama dengan Plug and Play (PNP), ini penting terutama untuk mendukung pengembangan Ecosystem Startup Indonesia, sebagai jembatan penghubung antara Indonesia dengan Silicon Valley,” kata Indra.

Nantinya, diharapkan melalui Immersion program (program experiencial learning di Silicon Valley) dan jaringan mentorship global, dapat menciptakan kualifikasi startup di Indonesia lebih baik, meningkatkan kemampuan, dan bisa membangun ekosistem digital yang ideal.

“Kita mencari bibit inovasi/teknologi dari startup-startup dari Silicon Valley untuk sinergi market dengan Telkom group dan juga untuk mengirimkan startup-startup Indigo terpilih untuk mengikuti program Immersion minimal 2 startup (yang qualified) di Q2 tahun ini.” kata Direktur Innovation & Strategic Portfolio Telkom Indra Utoyo yang turut serta dalam kunjungan tersebut.

Pemerintah sendiri diwakili oleh Kominfo saat ini tengah menjajaki kerjasama dengan pelaku startup, perusahaan teknologi, akselerator hingga inkubator untuk bisa membantu pemerintah Indonesia menyiapkan 200 startup pada tahun 2016.

Dalam kesempatan tersebut Presiden menyampaikan pesan kepada Tim Telkom yang dipimpin oleh Deputy EGM Divisi Digital Service Ery Punta dan didampingi oleh Direktur Portfolio Management Metra Digital Investama (MDI) G.N. Sandhy Widyasthana, agar Telkom dapat mendukung target pemerintah. Telkom menargetkan untuk membina 40 Startup baru di tahun 2016 ini dalam rangka mendukung program pemerintah tersebut.

Program Akselerator Indigo Batch Pertama Tahun 2016 Diikuti 9 Startup Terpilih

Lanskap startup tanah air masih akan terus menggelora. Dari sisi pengembang dan juga pendukung perkembangan startup (dalam hal ini termasuk investor) masih terus semangat berkolaborasi mengembangkan potensi bisnis digital Indonesia. Semangat ini salah satunya ditunjukkan oleh Telkom dan MDI Ventures dalam mengusung program akselerator Indigo 2016.

Hari ini program akselerator Indigo batch 1 tahun 2016 resmi dimulai. Setelah sebelumnya sejak November tahun lalu telah masuk lebih dari 100 aplikasi, akhirnya 9 tim siap untuk dibina dan dimatangkan.

Deputi Eksekutif General Manager Telkom Digital Ery Punta mengatakan bahwa 9 startup tersebut terpilih setelah melalui serangkaian proses wawancara dan mengenal lebih dekat startup dan sang pendiri. Startup terpilih akan dibagi menjadi tiga stage yang disesuaikan dengan fase perkembangan startup.

Berikut daftar startup dan kategori pembagian stage-nya:

  1. Product Validation Stage (product market fit): JKN App, Rumah Sinau (rumahsinau.org), dan Bigalia (bigalia.com).
  2. Business Model Validation Stage (traction): Zelos (zelos.id), Kartoo (kartoo.co), Minutes (minutesapps.com/barber), dan Trax Center (trax.center).
  3. Acceleration Stage (scaling up): Paket ID (paket.id) dan Sonar Platform (sonar.id).

Menanggapi mulainya program Indigo di tahun 2016, CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan:

“Batch tahun lalu menjadi indikator untuk kita semua bahwa program seperti ini memainkan peran yang sangat penting dalam membangun ekosistem kewirausahaan.”

Nicko juga menambahkan bahwa sedari pengamatannya ia melihat bahwa program akselerator Indigo mampu menghasilkan sinergi yang baik antara startup dan para pendukung di belakangnya. MDI Ventures juga berkomitmen untuk membuat program tahun ini lebih sukses dari tahun sebelumnya. Bagi MDI program ini menjadi prioritas utama dari kerja sama bersama Telkom Group.

Sementara itu pihak Telkom mengatakan bahwa dibaginya proses akelerasi ke dalam beberapa stage memungkinkan startup untuk dapat bergabung ke dalam program kapan saja, dalam fase apa saja. Ery mengungkapkan:

“Akan sangat menarik untuk melihat startup di Acceleration Stage dalam batch kali ini. Startup ini telah terbukti mampu menciptakan pendapatan yang signifikan, bahkan sebelum masuk ke program kami. Idenya kami akan menciptakan sinergi untuk pendapatan yang lebih besar dengan jaringan luas yang dimiliki Telkom Group.”

Telkom berharap bahwa batch kali ini akan mampu menghasilkan bibit-bibit perusahaan rintisan sukses, seperti beberapa startup yang telah lolos di tahun sebelumnya, yang benar-benar mampu membangun bisnis berkelanjutan dengan memecahkan masalah nyata di masyarakat.

“Highlight” Kauffman Global Summit: Memandang dari Sudut Pandang Asia Tenggara

Kauffman Foundation menghadirkan Kauffman Global Summit yang pertama kali diselenggarakan di Asia Tenggara. Sebagai salah satu foundation yang paling ternama di dalam bidang venture capital, tahun ini Kauffman memilih negara Singapura untuk menjadi tuan rumah, yang dikenal memiliki ekosistem startup yang sangat vibrant dan matang di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya. Summit kali ini dilaksanakan di BASH Coworking Space yang terletak di Block 79 — sebuah hub startup terbaru di area One North Launchpad Hub — dan juga kampus INSEAD Business School.

Salah satu panel yang menjadi highlight dari summit ini adalah panel mengenai Corporate Venture Capital, yang dinilai oleh banyak ahli sebagai salah satu model venture investing yang lebih strategis. Panel ini dihadiri oleh John McIntyre (CEO Citrix Accelerator), Dr. Alex Lin (Head of Infocomm Investments/IDA of Singapore), Boon Ping (CEO SPH Media Fund) dan Nicko Widjaja (CEO Telkom MDI) yang dimoderasikan oleh John Fitzpatrick yang merupakan Asia Pacific Director for Venture Capital and Startup Ecosystem dari AWS Activate.

Pembicaraan seputar corporate venture initiatives ini berlangsung selama 50 menit, diawali dengan memperkenalkan masing-masing perusahaan di bawah bendera korporasi dan dilanjutkan dengan sesi interaktif antara moderator dan keempat panelis, serta diakhiri dengan sesi tanya jawab dengan peserta Summit yang terdiri dari wakil-wakil perusahaan modal ventura papan atas seperti Sequoia Capital, Andreessen Horowitz, Intel Capital, Accel Partners, BCG Ventures dan beberapa corporate venture capital regional lainnya seperti Mediacorp, NSI Ventures (North Star Group), Vertex Ventures (Temasek Group), Formation8 dan lainnya.

Moderator melemparkan kesempatan pertama kepada John McIntyre (MD Citrix Accelerator) untuk memberikan perbandingan kondisi ekosistem bagi startup di Amerika Serikat dengan Asia Tenggara.

“Pengalaman saya setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dalam corporate ventures and innovation di Amerika Serikat, adalah tren investasi dari corporate ventures di AS semakin lama semakin meningkat. Hal ini terjadi karena semakin banyak Venture Capital dan Startup di AS yang melihat pentingnya memiliki exit strategy yang solid di pasar teknologi digital yang sudah cukup matang, sehingga Corporate Venture Initiatives yang biasanya memiliki exit strategy yang lebih solid mulai dilirik oleh para startup dan investor. Hal ini belum terlihat di negara-negara Asia Tenggara dimana ekosistem startup-nya masih pada tahap early stage,” ujar John.

Pengalaman investor Asia Tenggara

Kondisi serupa yang dikatakan oleh Dr. Alex Lin bahwa Singapura dalam formasi awalnya juga berinvestasi dalam membangun ekosistem bagi entrepreneur melakukan eksperimen untuk mengembangkan startup early stage melalui dukungan network dari korporasi.

Alex mengatakan, “Banyak founder dari early-stage startup yang belum memahami bagaimana cara membangun perusahaan, mengembangkan bisnis, merekrut dan mempertahankan talenta, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi dalam corporate venture initiatives memiliki peran yang krusial di dalam memberikan arahan kepada para founder dari startup, dan juga network korporasi dalam rangka membantu meningkatkan growth dari startup tersebut.”

Indonesia yang merupakan pangsa pasar terbesar di Asia Tenggara menjadi topik pembahasan yang menarik karena melihat trend startup di Singapura, Malaysia, bahkan Thailand, ketika sudah menjadi besar di negaranya masing-masing mereka melakukan ekspansi besar-besaran ke Indonesia (GrabTaxi dari Malaysia, Carousell dari Singapura, dan 2C2P dari Thailand).

“Kondisi pasar di Indonesia unik dan tidak mudah ditaklukkan begitu saja, misalkan GrabBike dengan Go-Jek, dimana Go-Jek memiliki keunggulan dibandingkan GrabBike dalam hal business verticals yang telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama vertikal Go-Food yang menjadi komponen terbesar dalam traffic yang dimilili oleh Go-Jek,” ungkap Nicko Widjaja (CEO Telkom MDI).

Diskusi panel berlanjut kepada peranan korporasi dalam pembinaan startup. SPH Media Fund dengan SPH Plug and Play (kolaborasi dengan inkubator dari Silicon Valley, Plug and Play), Infocomm Investments yang juga merupakan program startup incubation and acceleration milik Infocomm Development Authority (IDA) of Singapore, Citrix Accelerator yang berbasis di Silicon Valley dan Telkom dengan program Indigo Incubator.

“Telkom yang telah memiliki inisiasi program Indigo Incubator sejak 2012 telah membuktikan bahwa peranan korporasi dalam membimbing digital entrepreneur menjadi hal yang sangat krusial dalam tahapan suatu negara untuk memupuk kesiapan dan kematangan dari ekosistem startup di Indonesia,” tutur Nicko.

“Kami melihat aspirasi yang terus bertumbuh dan yang menarik dari setiap batch terlihat kualitas founder yang semakin baik. Survival rate pun terus meningkat.”

“Indigo telah menjadi platform yang sangat baik dan kondusif untuk perusahaan yang masih berada pada seed stage, maka Telkom MDI dimandatkan menjadi platform untuk perusahaan yang sudah dalam growth stage”, lanjutnya.

Moderator melemparkan pertanyaan kepada keempat panelis, apakah yang menjadi fokus utama bagi sebuah corporate ventures: financial gain atau group synergy (strategic fit).

Boon Ping (CEO SPH Media Fund) mengatakan bahwa yang terpenting bagi sebuah korporasi dalam melakukan aktivitas corporate ventures and innovation adalah membangun kredibilitas melalui co-investment dengan investor atau venture capital lain yang prominent, untuk meningkatkan financial gain dari investasi yang telah dilakukan.

“Tentunya financial return merupakan fundamental dari setiap investasi. Strategic Fit dan Group Synergy dapat berubah seiring berjalannya waktu dan pergantian kepengurusan. Satu-satunya hal yang tidak akan berubah dalam skema investasi adalah fundamentalnya, yakni financial gain. Oleh karena itu, kita akan selalu fight untuk mendapatkan deal yang paling baik dari setiap investasi. Untuk mendapatkan deal yang baik, sangatlah penting bagi kami untuk melakukan co-investment dengan investor yang lain,” papar Boon Ping.

Nicko juga sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Boon Ping, bahkan dalam prakteknya, pada startup yang masih di tahapan Indigo sekalipun telah dilakukan validasi melalui follow-on funding dari investor pihak ketiga, baik oleh angel investor, Venture Capital, ataupun institutional investor yang lain.

Nicko mengungkapkan, “Selain faktor strategi, follow-on funding dari pihak ketiga sangatlah penting bagi startup untuk membuktikan bahwa solusi yang diberikan valid di pasar. Entrepreneurial mindset seperti ini yang selalu kita coba untuk tanamkan pada para startup founder yang mengikuti program Indigo, sehingga mereka memiliki attitude yang benar di dalam mengembangkan sebuah startup.”

Di akhir panel, keempat panelis sepakat mengatakan bahwa semakin banyak korporasi-korporasi besar yang ada di Asia Tenggara menyadari pentingnya untuk melakukan inovasi di dalam tubuh perusahaan untuk dapat tetap relevan di pasar, sehingga kita akan melihat semakin banyak corporate venture initiatives akan muncul di ASEAN. Hal ini dinilai dapat menjadi sebuah avenue baru untuk dieksplorasi lebih lanjut oleh para startup founder sebagai salah satu alternatif strategic pathway dalam mengembangkan perusahaan masing-masing.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Joshua Agusta. Joshua adalah Associate di Telkom MDI