OnePlus 8 Jadi Smartphone Pertama yang Bisa Jalankan Fortnite di 90 fps

Apa yang membedakan Fortnite versi PC, console dan mobile? Jawabannya adalah performanya. Asalkan hardware-nya mumpuni, Fortnite versi PC bisa berjalan di ratusan fps (frame per second), dan ini dengan setting grafik yang tinggi atau bahkan mentok sekalipun. Di console dan mobile, Fortnite cuma terbatas pada 60 fps saja.

Namun itu tidak selamanya harus demikian. OnePlus hendak membuktikan bahwa Fortnite juga bisa berjalan di atas 60 fps di perangkat mobile. Demi mewujudkannya, mereka memutuskan untuk bekerja sama langsung dengan Epic Games guna mengoptimalkan Fortnite pada perangkat bikinannya.

Hasilnya, setelah sekitar 10 bulan keduanya berkolaborasi, Fortnite kini dapat berjalan di 90 fps pada OnePlus 8 dan OnePlus 8 Pro. Problem barunya, sesi baku tembak yang lebih mulus ini harus dijalani dengan mengorbankan kualitas grafik. Ya, saat memilih opsi 90 fps, setting grafiknya otomatis turun ke “Low”.

Fortnite 90 fps di OnePlus 8

Untungnya resolusinya tidak berubah, tetap 1080p di OnePlus 8, dan 1440p di OnePlus 8 Pro. Namun seperti yang bisa kita lihat pada screenshot-nya di atas, grafiknya tidak bisa lagi dibilang manis di mata. Kecuali Anda benar-benar berjiwa sangat kompetitif, menurut saya mengorbankan kualitas visual hingga sejauh ini demi mendapat tambahan 30 fps akan terasa cukup sulit.

Di luar duo OnePlus 8 dan masih dalam konteks mobile, cuma iPad Pro yang bisa menjalankan Fortnite di atas 60 fps. 120 fps lebih tepatnya, dan itu tidak mengejutkan mengingat GPU milik iPad Pro memang lebih perkasa ketimbang milik smartphone paling high-end sekalipun. Terlepas dari itu, pencapaian OnePlus ini tetap patut diapresiasi, sekaligus menunjukkan prospek yang cerah untuk ranah mobile gaming.

Sumber: GameSpot.

Unreal Engine 5 Disingkap, Bukan Sebatas Menawarkan Grafik yang Lebih Realistis Begitu Saja

Luar biasa! Kesan itulah yang langsung saya dapatkan saat menonton video demonstrasi Unreal Engine 5. Kalau Anda sudah terpukau melihat kualitas grafik game yang dibuat menggunakan Unreal Engine 4, tunggu sampai Anda melihat demonstrasi Unreal Engine 5 yang dijalankan di PlayStation 5 berikut ini.

Dibanding sebelumnya, Unreal Engine 5 membawa dua komponen yang sangat esensial: Lumen dan Nanite. Sesuai namanya, Lumen didedikasikan untuk menghasilkan efek pencahayaan yang sangat dinamis. Sorotan cahaya matahari misalnya, bisa berubah sudutnya sesuai dengan perubahan waktu dalam game.

Selain lighting yang lebih realistis, Lumen diharapkan juga bisa memicu lahirnya ide-ide gameplay yang kreatif, yang mungkin selama ini tidak bisa terwujud karena terbentur masalah teknis seputar pencahayaan. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana Unreal Engine 5 dapat dipakai untuk menciptakan game horor yang amat immersive.

Unreal Engine 5

Komponen yang kedua, Nanite, pada dasarnya dibuat untuk membantu meningkatkan efisiensi dalam proses pengembangan game. Ketimbang harus mengurangi tingkat detail suatu aset 3D agar performa game tetap optimal, developer bisa langsung menambatkan aset 3D berkualitas tinggi seperti yang terdapat pada Quixel Megascans, yang lebih umum dipakai untuk produksi film ketimbang game.

Unreal Engine 4 sendiri sebelumnya sudah beberapa kali dipakai dalam proses produksi film, dan saya tidak akan terkejut apabila ke depannya lebih banyak lagi sineas yang tertarik melibatkan Unreal Engine 5 pada karyanya.

Hasilnya tentu adalah tekstur yang sangat mendetail, dengan satu frame yang terbentuk dari miliaran poligon sekaligus. Andai game yang dikerjakan merupakan game multi-platform, Unreal Engine 5 juga bisa membuatkan secara otomatis beberapa aset 3D dengan tingkat detail yang berbeda-beda, yang disesuaikan dengan kapabilitas hardware tiap-tiap platform, console atau mobile misalnya.

Bicara soal hardware, GPU bukan satu-satunya komponen yang krusial buat Unreal Engine 5, melainkan juga SSD tipe NVMe berkecepatan tinggi. Seperti yang kita tahu, salah satu keunggulan PS5 dan Xbox Series X adalah storage yang sangat ngebut yang dapat meminimalkan atau bahkan mengeliminasi waktu loading, dan ini rupanya juga berperan besar dalam kemampuan perangkat me-render grafik.

Unreal Engine 5

Kalau boleh saya simpulkan, Unreal Engine 5 bukan sekadar menawarkan kualitas grafik yang lebih realistis ketimbang versi sebelumnya begitu saja. Epic Games pada dasarnya ingin memudahkan beberapa aspek game development dengan tujuan supaya developer bisa lebih berfokus pada aspek kreatif ketimbang teknis.

Kalau sebelumnya developer enggan menciptakan suatu level yang mendetail karena takut prosesnya sulit dan memakan waktu, kendala semacam itu tak perlu terjadi lagi nanti saat Unreal Engine 5 sudah tersedia, yang kabarnya baru akan dirilis di tahun 2021. Cukup buat aset level-nya sedetail mungkin, lalu sematkan langsung ke Unreal Engine 5 tanpa perlu menguliknya lebih lanjut supaya optimal.

“Kami mencoba membantu developer untuk menciptakan pengalaman next-gen yang luar biasa realistis, tapi juga ekonomis dan praktis untuk dikerjakan tanpa melibatkan tim beranggotakan 1.000 orang,” demikian penjelasan CEO Epic Games, Tim Sweeney, di wawancara Summer Game Fest, mengenai visinya terhadap Unreal Engine 5.

Mereka tampaknya tidak main-main soal visi ini, sebab mereka juga baru mengubah sistem royalti Unreal Engine. Berkat sistem barunya, developer baru akan dikenakan biaya royalti apabila game-nya telah menghasilkan pemasukan sebesar $1 juta. Semoga saja perubahan kebijakan ini bisa berujung pada lebih banyak developer indie yang mengerjakan game menggunakan Unreal Engine 5.

Sumber: Epic Games dan Ars Technica.

Epic Games Ubah Sistem Royalti Unreal Engine

Epic Games baru saja memamerkan Unreal Engine 5. Selain itu, mereka juga membuat peraturan baru terkait penggunaan Unreal Engine. Mereka menyebutkan, developer yang membuat game menggunakan Unreal Engine tidak perlu membayar royalti sampai game tersebut menghasilkan pemasukan sebesar US$1 juta (sekitar Rp14,9 miliar), menurut laporan PC Gamer.

Epic memang tak lagi memungut bayaran untuk Unreal sejak beberapa waktu lalu. Sebagai gantinya, developer atau pembuat software yang menggunakan engine tersebut harus membayar royalti sebesar 5 persen setelah pemasukan mereka mencapai US$50 ribu (sekitar Rp745,7 juta). Sekarang, developer yang menggunakan Unreal masih harus membayar royalti 5 persen pada Epic, hanya saja, Epic menaikkan batas pendapatan minimal menjadi US$1 juta.

royalti unreal
Epic menggunakan Unreal Engine untuk membuat Fortnite.

Misalnya, sebuah developer membuat game menggunakan Unreal. Dari game tersebut, sang developer mendapatkan US$2 juta (sekitar Rp29,8 miliar). Itu artinya, developer harus membayar royalti sebesar 5 persen dari US$1 juta, yaitu US$50 ribu (sekitar Rp745,7 juta) pada Epic. Sementara US$1 juta pertama yang developer dapatkan tidak dimasukkan dalam perhitungan royalti.

Sebagai perbandingan, Unity tidak menggunakan sistem royalti. Sebagai gantinya, semua pihak yang ingin menggunakan versi Pro dari Unity harus membayar US$1.800 (sekitar Rp27 juta) per tahun. Pihak yang diwajibkan untuk membeli lisensi Pro dari Unity adalah perusahaan yang telah mendapatkan US$200 ribu (sekitar Rp3 miliar) dalam waktu 12 bulan, baik dalam bentuk penjualan game/software ataupun investasi modal. Versi Pro dari Unity juga memilki fitur dan akses ke source code eksklusif yang tidak bisa diakses oleh pengguna gratis.

Keputusan baru Epic ini berlaku terlepas dari dimana developer akan meluncurkan game buatannya, baik di Epic Games Store, Steam, Humble, toko fisik, atau tempat lainnya, lapor Ars Technica. Menariknya, peraturan baru dari Epic ini juga berlaku untuk game-game yang diluncurkan sejak 1 Januari 2020. Promosi royalti kali ini tampaknya bukan ditujukan untuk developer game Windows dan Mac, tapi untuk developer indie game yang ingin meluncurkan game-nya untuk konsol next-gen. Selain sebagai developer Fortnite, Epic juga dikenal dengan Epic Games Stores mereka, yang sering menawarkan game-game eksklusif atau game gratis.

Epic Games Akuisisi Cubic Motion, Perusahaan Ahli Teknologi Animasi Wajah

Seberapa penting animasi wajah dalam sebuah video game? Kalau Anda pernah memainkan Hellblade: Senua’s Sacrifice, Anda pasti akan menjawab sangat penting. Tanpa facial animation yang baik, game setenar Mass Effect: Andromeda pun bisa terasa kurang menyenangkan.

Satu pemain besar di industri video game yang sadar betul akan pentingnya facial animation adalah Epic Games. Baru-baru ini, Epic mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi perusahaan bernama Cubic Motion. Didirikan pada tahun 2009, Cubic Motion punya spesialisasi dalam bidang facial animation.

God of War

Teknologi facial animation yang mereka ciptakan sudah digunakan di sejumlah game blockbuster macam God of War dan Marvel’s Spider-Man. Tim Cubic Motion juga berjasa atas demonstrasi real-time yang dipersembahkan tim Unreal Engine dan Ninja Theory (developer Hellblade) pada event GDC 2016 lalu.

Dalam demonstrasi tersebut, kita bisa melihat bagaimana teknologi rancangan Cubic Motion memungkinkan gerakan wajah seorang aktris untuk diterjemahkan secara langsung menjadi animasi dalam game. Di tahun 2018, Epic juga sempat memamerkan teknologi live motion capture yang ditawarkan Unreal Engine, dan itu juga tak akan bisa terwujud tanpa keterlibatan Cubic Motion.

Teknologi bikinan Cubic Motion juga digunakan di game Horizon Zero Dawn / Cubic Motion
Teknologi bikinan Cubic Motion juga digunakan di game Horizon Zero Dawn / Cubic Motion

Di samping Cubic Motion, pihak lain yang tak kalah besar kontribusinya dalam demonstrasi tersebut adalah 3Lateral, yang meminjamkan teknologi facial rigging besutannya. Menariknya, 3Lateral sudah diakuisisi Epic pada awal tahun lalu, dan sekarang giliran Cubic Motion yang menyusul bergabung ke tim Unreal Engine.

Ahli facial rigging dan ahli facial animation bertemu, ini berarti Unreal Engine bakal semakin superior dalam menyajikan manusia digital yang amat realistis. Lalu apa artinya bagi kita sebagai konsumen umum? Well, bersiaplah menemui karakter yang lebih mengenang lagi dalam gamegame yang dikembangkan menggunakan Unreal Engine ke depannya.

Sumber: GamesIndustry.biz dan Epic Games.

Peran Unreal Engine Dalam Serial Star Wars: The Mandalorian

The Rise of Skywalker rencananya akan jadi film Star Wars ‘terakhir’ sebelum Disney mengistirahatkan sementara franchise sci-fi raksasa ini. Sayang sekali, banyak fans skeptis pada Episode IX setelah dikecewakan oleh arahan sutradara Rian Johnson di The Last Jedi. Namun kabar baiknya, masih ada harapan bagi Star Wars. Perhatian para penggemar kini tertuju pada serial The Mandalorian yang tayang di layanan Disney+.

Jika Anda mengikuti The Mandalorian, mungkin Anda melihat sesuatu yang menarik ketika film ini usai dan bagian credit ditampilkan. Di sana, Lucasfilm/Disney mencantumkan nama yang tidak biasa di ranah perfilman: Epic Games, yaitu studio di belakang permainan Fortnite dan Unreal Tournament. Alasannya? Ternyata Jon Favreau selaku penulis sekaligus pencipta seri ini memanfaatkan teknologi Unreal Engine dalam pembuatan The Mandalorian.

Unreal sendiri ialah engine yang menjadi basis banyak permainan, baik blockbuster maupun independen: The Outer Worlds, We Happy Few, Street Fighter V, Sea of Thieves, hingga Star Wars Jedi: Fallen Order – ada deretan panjang game yang mengusungnya. Engine ini menjadi salah satu pilihan favorit developer karena ‘tingginya portabilitas tinggi’, fleksibilitas, serta kemudahan modifikasi. Pertanyaannya, apa yang dilakukan Unreal di film The Mandalorian?

Di sesi diskusi di konferensi SIGGRAPH 2019, Favreau menjelaskan bagaimana Unreal Engine betul-betul membantu proses previsualisasi. Mereka menggunakan sistem V-cam untuk membuat film dalam bentuk VR, mengirimkannya pada editor dan membiarkan mereka melakukan penyuntingan. Selain itu, kombinasi Unreal Engine serta sejumlah teknologi juga sangat berguna memuluskan alur produksi.

Satu contohnya: Unreal Engine bisa dimanfaatkan untuk membangun lingkungan virtual (computer-generated), kemudian pemandangan tersebut diproyeksikan ke dinding LED. Berdasarkan posisi kamera dan jenis lensa yang digunakan, perspektif pada hasil proyeksi dapat berubah secara natural dan otomatis. Dengan begini, teknologi Unreal dapat memberikan informasi visual langsung untuk para aktor, serta menyediakan sistem pencahayaan akurat bagi tim VFX.

Cara kerjanya seperti ini:

Pada pengambilan adegan tertentu, bergantung dari setting dan jenis lensa, kru dapat melihat jelas letak kamera, seperti apa pencahayaannya, interaksi cahaya terhadap objek/aktor, layout, latar belakang serta horizon. Mereka tidak perlu menyatukan bagian-bagian tersebut lagi karena engine sudah me-render lingkungan/pemandangan secara real-time.

Salah satu keuntungan utama dari metode visualisasi on-set berkat dukungan Unreal adalah, para aktor tak lagi mesti menebak-nebak. Seorang aktor mungkin dapat mendeteksi anomali saat melihat layar LED dari dekat, tapi dalam berakting ia bisa mengetahui jelas kondisi set, letak horison serta pencahayaan berkat pemakaian dinding LED – memastikan proses akting jadi lebih simpel.

Di luar akting, dukungan teknologi Unreal Engine menciptakan situasi yang memperkenankan lebih banyak kru di set memahami adegan yang sedang atau akan diambil. Itu berarti, tiap orang bisa lebih mudah berbagi ide dan saling memberikan masukan.

Peran Unreal Engine di serial The Mandalorian bisa Anda simak lebih lengkap di artikel Venturebeat ini.

Gambar header: StarWars.com.

Nickelodeon Gunakan Game Engine untuk Membuat Film Animasi

Setahun yang lalu, Nickelodeon membuka divisi baru bernama Nickelodeon Entertainment Lab untuk bereksperimen dengan teknologi-teknologi terkini, khususnya di bidang augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Di samping itu, Nickelodeon rupanya juga telah mengeksplorasi penggunaan game engine pada proses produksi film animasi.

Proyek mereka tersebut sudah hampir membuahkan hasil. Nickelodeon sedang mengerjakan sebuah serial TV berjudul “Meet the Voxels”, di mana proses pembuatannya melibatkan game engine. Engine apa pastinya belum diungkap, akan tetapi ada kemungkinan Unreal Engine kembali menjadi pilihan mengingat Nickelodeon pernah menggunakannya untuk beberapa proyek VR mereka.

Mengapa harus menggunakan game engine? Apa yang salah dengan rendering engine film animasi yang ada sekarang? Berdasarkan penjelasan salah satu petinggi Nickelodeon Entertainment Lab sekaligus pencetus proyek ini, Chris Young, kata kuncinya adalah kemudahan. Game engine seperti Unreal maupun Unity memang terkenal akan kemudahannya diadaptasikan ke berbagai platform.

SVP Nickelodeon Entertainment Lab sekaligus pencetus "Meet the Voxels", Chris Young / Variety
SVP Nickelodeon Entertainment Lab sekaligus pencetus “Meet the Voxels”, Chris Young / Variety

Di industri film, Nickelodeon melihat prinsip serupa juga berlaku untuk mengadaptasikan franchise barunya ini ke berbagai medium, termasuk medium AR dan VR. Nickelodeon cukup percaya diri karena mereka memang telah membuktikannya, bukan sebatas meracik konsep di atas kertas.

Mereka sempat membuat film pendek 2D, kemudian aset yang sama yang digunakan di film tersebut mereka olah kembali menjadi konten VR tanpa usaha terlalu besar. Setelahnya, konten VR tersebut mereka jadikan konten mixed reality untuk Microsoft HoloLens, semuanya berkat fleksibilitas game engine.

Tanpa harus terkejut, jalan cerita Meet the Voxels sendiri tidak jauh-jauh dari dunia gaming. Film tersebut mengisahkan kehidupan sebuah keluarga karakter video game, di mana masing-masing anggotanya merupakan (atau sedang berusaha menjadi) bintang dari suatu video game.

Sumber: Variety dan Nickelodeon.

Pencipta Unreal Engine Pamerkan Teknologi Live Motion Capture

Dewasa ini, motion capture sudah menjadi teknik yang umum diterapkan di industri perfilman. Memanfaatkan teknik ini, aktor dapat berakting seperti biasa, namun pada hasil akhirnya, penampilannya bisa diubah sepenuhnya dengan CGI (computer-generated imagery).

Tidak sedikit karakter film populer yang terlahir dari teknik motion capture. Salah satu yang paling tenar mungkin adalah Gollum di seri Lord of the Rings, yang diperankan oleh aktor ahli motion capture, Andy Serkis, yang juga merupakan pemeran Caesar di seri Planet of the Apes dan Supreme Leader Snoke di dua film terbaru Star Wars.

Motion capture melibatkan proses yang amat kompleks. Sederhananya, aktor akan berakting selagi mengenakan pakaian yang dipasangi sederet sensor. Yang direkam sejatinya adalah pergerakan sang aktor (lengkap sampai ke perubahan ekspresi wajahnya), sebelum akhirnya diganti dengan CGI dalam tahap pascaproduksi.

Bisa dibayangkan betapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memroses suatu adegan yang diambil menggunakan teknik motion capture. Namun dalam beberapa tahun ke depan, kondisinya bakal berubah drastis, terutama berkat inovasi terbaru hasil kolaborasi antara beberapa nama besar di industri gaming: Epic Games, Tencent, Vicon, Cubic Motion dan 3Lateral.

Proyek yang mereka kerjakan diberi nama Siren. Dipamerkan di GDC 2018, Siren pada dasarnya merupakan suatu karakter virtual yang diciptakan dengan teknik motion capture, hanya saja prosesnya berlangsung secara instan, alias real-time. Setiap kali sang aktor menggerakkan tangan atau sebatas mengedipkan matanya, karakternya juga akan tampak melakukan hal yang sama persis.

Karakternya sendiri di-render menggunakan Unreal Engine 4 (buatan Epic Games) secara real-time dalam kecepatan 60 fps, sehingga semuanya tampak mulus, dengan jeda nyaris tak terlihat. Unreal Engine 4 juga memungkinkan tingkat detail yang menakjubkan pada karakter virtual-nya (coba lihat bulu matanya), yang dimodel berdasarkan aktris berdarah Tiongkok, Bingjie Jiang.

Teknologi di balik Siren sejatinya sudah dikembangkan sejak lama, dan sempat digunakan pada lakon utama game indie fenomenal Hellblade. Selain Unreal Engine 4, komponen yang membentuk Siren mencakup teknologi computer vision rancangan Cubic Motion, yang sanggup membaca lebih dari 200 bagian wajah dalam kecepatan 90 fps, lalu memetakan datanya ke sang karakter virtual secara otomatis dan real-time.

Melengkapi kontribusi Cubic Motion adalah teknologi facial rigging besutan 3Lateral, sedangkan pergerakan tubuh sang karakternya sendiri berasal dari sistem motion capture rancangan Vicon. Semua komponen ini bekerja bersama-sama menciptakan animasi yang begitu realistis, dan yang terpenting, tanpa melalui proses pascaproduksi yang kompleks.

Teknologi live motion capture ini nantinya bakal ditawarkan ke industri perfilman sekaligus gaming. Meski belum ada jadwal resmi yang diungkap, petinggi Cubic Motion, Andy Wood, sempat bilang bahwa teknologi ini bakal tersedia secara universal di tahun 2020 mendatang.

Potensi penerapan teknologi ini jelas amat luas, tapi di saat yang sama juga bisa disalahgunakan. Yang paling meresahkan, seperti yang dibayangkan Engadget, mungkin adalah ketika teknologi ini dipakai untuk menciptakan berita bohong (hoax), di mana beredar video sosok terkenal yang mengatakan hal yang tidak semestinya, meski padahal sosok tersebut merupakan rekreasi digital memanfaatkan teknologi ini.

Setidaknya dalam waktu dekat ini, membedakan orang asli dan karakter virtual-nya masih gampang, tapi coba bayangkan kalau nanti Unreal Engine 5 dirilis, dan hasil render-nya bahkan lebih mendekati lagi dengan aslinya. Bukan berarti kita harus bersikap pesimis terhadap inovasi seperti ini, tapi setidaknya kita harus siap mengantisipasi potensi penyalahgunaan yang ada di masa yang akan datang.

Sumber: VentureBeat dan Engadget.

Seperti Sungguhan? Pemandangan Ini Dibuat Dengan Unreal Engine 4

Bahkan ketika game masuk ke era 3D, mungkin orang saat itu belum membayangkan teknologi grafis bisa seperti sekarang. Dengan Unreal, Epic Games ialah salah satu pionir di ranah visual. Ada deretan panjang daftar game yang akan ditenagai Unreal 4. Tapi jika sudah tak sabar ingin mencobanya, sejumlah karya seorang individu di internet ini dijamin membuat Anda terpesona. Continue reading Seperti Sungguhan? Pemandangan Ini Dibuat Dengan Unreal Engine 4

Virtual Drift Adalah Game Balap yang Memakai Mobil Asli Sebagai Controller-nya

Apa yang bisa kita manfaatkan dari teknologi virtual reality (VR)? Gaming? Desain? Bagi Castrol, VR bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan produknya, yaitu oli mobil. Namun karena memanfaatkan teknologi VR, iklan oli mobil Castrol Edge ini merupakan salah satu iklan paling keren yang wajib Anda simak jika Anda mengaku sebagai seorang penggemar teknologi. Continue reading Virtual Drift Adalah Game Balap yang Memakai Mobil Asli Sebagai Controller-nya

Gameloft Siapkan Sekuel Baru Game Brothers In Arms

Pengembang game terkemuka Gameloft telah bersiap untuk merilis penerus dari permainan bertema peperangan dengan judul Brothers In Arms, sekuel terbaru dari game ini akan memiliki judul yang sama yakni, Brothers In Arms 3: Sons of War. Continue reading Gameloft Siapkan Sekuel Baru Game Brothers In Arms