Sony Dikabarkan Bakal Genjot Produksi PlayStation 5

Pada April 2020, Sony dikabarkan mengurangi jumlah produksi dari PlayStation 5 menjadi enam juta unit. Ketika itu, alasan Sony menurunkan jumlah produksi PS5 adalah karena sebagian besar proses produksi PS5 dilakukan di Tiongkok dan virus corona tengah mewabah. Sekarang, wabah mulai mereda dan Sony memutuskan untuk meningkatkan produksi PlayStation 5.

Menurut Bloomberg, Sony akan menaikkan jumlah produksi PlayStation 5 menjadi 10 juta unit pada akhir tahun. Sementara Nikkei Asian Review memperkirakan, total produksi PS5 hanya mencapai sembilan juta unit. Alasan Sony meningkatkan produksi PlayStation 5 adalah karena mereka percaya, permintaan akan PS5 akan naik ketika gelombang kedua dari corona melanda, lapor GamesIndutry.

produksi PS5 naik
Produksi dari controller PS5 juga akan naik.

Sony telah memberitahukan rekan penyuplai dan perakitan mereka bahwa mereka ingin menaikkan jumlah produksi PS5. Namun, tidak diketahui apakah stok ekstra dari PlayStation 5 tersebut sudah akan tersedia pada musim liburan di akhir tahun ini. Untuk mengimbangi naiknya produksi PS5, Sony juga meningkatkan produksi dari controller DualSense.

Menurut laporan Bloomberg, PlayStation 5 mulai diproduksi secara massal pada bulan Juni. Dengan rencana Sony saat ini, mereka akan memiliki stok PS5 sebanyak lima juta unit pada akhir September. Dan lima juta unit PS5 akan tersedia pada sekitar Oktober dan Desember.

Selain Sony, Facebook juga dikabarkan meningkatkan jumlah produksi dari headset virtual reality mereka, Oculus. Perusahaan media sosial itu menaikkan produksi Oculus sampai 2 juta unit, 50 persen lebih banyak dari stok tahun lalu. Versi terbaru dari Oculus dikabarkan akan mulai diproduksi secara massal pada akhir bulan ini.

Sama seperti Sony, alasan Facebook menaikkan produksi Oculus adalah karena pandemi corona. Di tengah pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk bermain game, termasuk game VR.

Sony memperkenalkan PlayStation 5 pada pertengahan Juni lalu. Saat itu, mereka juga menampilkan game-game yang akan bisa dimainkan pada konsol barunya. Tak mau kalah, pada tahun ini, Microsoft juga akan meluncurkan konsol baru mereka, Xbox Series X, yang akan menjadi pesaing PlayStation 5. Namun, bahkan sebelum kedua konsol itu tersedia di pasar, analis memperkirakan, PlayStation 5 akan lebih laku dari Xbox Series X.

Sumber header: Twitter

Facebook Andalkan Teknologi Hologram untuk Ciptakan Prototipe VR Glasses yang Amat Ringkas

Sebagai salah satu pemimpin industri virtual reality, Facebook dan Oculus tentu punya ambisi menciptakan VR headset yang jauh lebih ringkas ketimbang yang sudah ada sekarang. Mereka tidak segan memamerkan sejauh apa progres mereka di bidang miniaturisasi teknologi VR ini, dan rumor yang beredar mengindikasikan eksistensi penerus Oculus Quest yang berukuran lebih kecil.

Sekarang, lewat sebuah publikasi ilmiah berjudul “Holographic Optics for Thin and Lightweight Virtual Reality”, divisi Facebook Reality Labs ingin menjabarkan pencapaian terbaru mereka, yakni struktur optik baru yang dapat disematkan ke perangkat sekecil kacamata biasa. Ketimbang memakai lensa refraktif seperti pada VR headset tradisional, struktur optik baru ini melibatkan lensa hologram dan teknologi optical folding berbasis polarisasi sehingga tebal keseluruhannya bahkan bisa kurang dari 9 mm.

Bukan cuma lebih tipis, komponen optik baru ini turut menjanjikan spektrum warna yang lebih luas berkat penerapan teknologi iluminasi LCD berbasis laser. Pun begitu, klaim tersebut belum bisa sepenuhnya dibuktikan, sebab prototipenya sejauh ini hanya bisa menampilkan satu warna (hijau) saja – Facebook punya prototipe lain yang dapat menampilkan warna, tapi bentuknya bukan kacamata.

Facebook holographic optics for VR headset

Prototipe kacamatanya sendiri disebut mempunyai resolusi 1200 x 1600 pixel per mata, dengan field-of-view seluas 93 derajat – setara Oculus Quest dan lebih luas daripada Microsoft HoloLens 2 maupun Magic Leap One yang juga sama-sama memanfaatkan teknologi hologram. Bobot prototipenya disebut berkisar 10 gram, tapi ini dengan satu panel display saja, dan itu juga belum termasuk komponen-komponen esensial lain macam sistem tracking, baterai maupun elektronik lainnya.

Facebook tidak lupa menekankan bahwa semua ini baru sebatas riset dan realisasinya masih cukup jauh. Facebook juga bukan satu-satunya pihak yang ingin mewujudkan visinya perihal miniaturisasi VR. Beberapa bulan lalu, Panasonic sempat memamerkan prototipe VR glasses besutannya, meski teknologi yang digunakan berbeda (micro OLED, bukan hologram). Huawei malah sudah memasarkan perangkat serupa di Tiongkok.

Sumber: 1, 2, 3.

VR Headset Oculus Go Resmi Dipensiunkan

Diumumkan sekitar tiga tahun lalu, Oculus Go merupakan salah satu pelopor kategori virtual reality headset bertipe standalone atau all-in-one. Harganya memang lebih mahal daripada VR headset macam Samsung Gear VR, akan tetapi penggunaannya jelas lebih praktis karena perangkat dapat beroperasi tanpa perlu diselipi smartphone atau tersambung ke komputer.

Namun kalau dibandingkan dengan headset non-portable macam Oculus Rift, Oculus Go jelas terkesan amat terbatas kemampuannya. Yang paling utama, Go cuma mendukung tracking 3DoF, bukan 6DoF. Ini berarti Go tidak bisa memonitor pergerakan kepala secara menyeluruh; perangkat tidak akan mengenali perpindahan posisi kepala (naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan).

Maka dari itu ketika Oculus Quest diperkenalkan setahun setelahnya, pamor Go pun langsung redup. Quest sama-sama berwujud standalone dan dapat beroperasi secara mandiri, tapi di saat yang sama ia menawarkan kapabilitas tracking 6DoF sehingga menjadikannya sangat cocok untuk keperluan gaming.

Singkat cerita, tracking 6DoF ibarat syarat wajib yang harus dipenuhi VR headset, terutama jika gaming merupakan ranah yang dituju, dan Oculus beserta Facebook menyadari hal itu. Mereka memutuskan untuk berhenti menjual Go tahun ini juga, dan mereka memastikan bahwa ke depannya tidak akan ada lagi VR headset baru dari mereka yang cuma menawarkan tracking 3DoF seperti Go.

Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus
Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus

Meski sudah di-discontinue, Oculus Go dipastikan tetap bisa dipakai seperti biasa. Oculus tetap akan merilis sejumlah perbaikan via software sampai tahun 2022, namun jangan mengharapkan adanya fitur baru buat Go. Menjelang akhir tahun nanti, Oculus Go juga tidak akan lagi kedatangan aplikasi baru maupun update terhadap yang sudah ada.

Dipensiunkannya Go ini berarti Oculus bisa mengerahkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk mengembangkan Quest beserta Rift. Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan suksesor Quest yang lebih ergonomis sekaligus lebih canggih. Namun sebelum itu terealisasi, Oculus akan lebih dulu menyempurnakan Quest yang ada sekarang.

Caranya adalah dengan mempermudah proses distribusi konten. Memasuki awal tahun depan, aplikasi untuk Quest tak hanya bisa didapat dari Oculus Store saja, tapi bisa juga dari developer-nya langsung dan tanpa melibatkan proses sideloading yang rumit. Mekanisme baru ini tentunya lebih memudahkan pihak developer mengingat mereka tak lagi perlu menunggu aplikasinya disetujui di Oculus Store, dan Oculus berharap ini bisa memicu gelombang baru konten berkualitas buat seluruh konsumen Quest.

Sumber: Upload VR dan Oculus.

VR Headset Terbaru HP Lebih Sempurna Berkat Campur Tangan Valve

Beberapa bulan lalu, beredar kabar bahwa Valve, HP dan Microsoft sedang mengembangkan VR headset baru, dan sekarang kita tahu bahwa headset tersebut adalah sekuel dari HP Reverb yang dirilis setahun sebelumnya.

Dinamai HP Reverb G2, perangkat masih mempertahankan keunggulan pendahulunya, yakni resolusi display yang sangat tinggi, persisnya 2160 x 2160 pixel per mata. Yang berbeda kali ini adalah lensa yang digunakan pada display-nya.

Lensa display baru ini merupakan hasil rancangan Valve, dan dipercaya mampu meningkatkan ketajaman gambar secara signifikan. Sayang refresh rate-nya tetap 90 Hz, bukan 120 Hz seperti yang Valve Index unggulkan, dan field of view-nya pun juga sama persis di angka 114 derajat.

HP Reverb G2

Selain peningkatan kualitas visual, Reverb G2 turut menawarkan kualitas spatial audio yang lebih baik, lagi-lagi berkat bantuan Valve yang mendesain speaker-nya. Tracking pergerakan controller juga kian sempurna berkat penambahan sepasang kamera, masing-masing di sisi kiri dan kanan perangkat. Berbekal 4 kamera ini, Reverb G2 mampu menawarkan tracking 6DoF tanpa bantuan sensor eksternal.

Bicara soal controller, perangkat pendamping itu juga ikut direvisi di sini. Desainnya kini semakin menyerupai controller Oculus Touch, dengan layout tombol yang optimal sehingga lebih mudah digunakan. Hilang sudah trackpad di setiap unit controller, digantikan oleh sepasang tombol action (A + B dan X + Y).

HP Reverb G2

Secara estetika, Reverb G2 tidak jauh berbeda dari Reverb orisinal. Kendati demikian, HP mengklaim Reverb G2 lebih nyaman digunakan berkat bantalan wajah yang lebih tebal sekaligus distribusi berat yang lebih seimbang. Headset juga dapat dilipat 90° ke atas sehingga pengguna tak perlu melepas headset secara menyeluruh ketika hendak melihat sekitarnya.

Di Amerika Serikat, HP Reverb G2 kabarnya bakal dipasarkan mulai musim semi seharga $599. Perangkat ini kompatibel dengan platform Windows Mixed Reality maupun SteamVR, menjadikannya sebagai alternatif yang lebih terjangkau dari Valve Index untuk mencicipi Half-Life: Alyx.

Sumber: HP.

 

XRSpace Mova Adalah Standalone VR Headset Persembahan Eks CEO HTC

Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru yang diperkirakan bakal dirilis tahun depan. Namun sebelum itu terwujud, ada perangkat lain yang ingin mencuri panggung. Namanya XRSpace Mova.

Sebagian besar dari kita pasti baru pertama kali ini mendengar nama XRSpace. Namun ternyata startup asal Taiwan ini punya pengalaman yang cukup panjang di industri VR. Itu dikarenakan pendirinya adalah eks CEO HTC, Peter Chou, dan XRSpace memastikan perangkat bikinannya lebih superior daripada yang sudah ada sekarang.

XRSpace Mova

Benar saja, dari segi spesifikasi, Mova selangkah lebih unggul ketimbang Oculus Quest maupun HTC Vive Focus. Chipset yang digunakan adalah Snapdragon 845 (bukan 835 seperti di Quest dan Vive Focus), RAM-nya berkapasitas 6 GB (bukan 4 GB), dan baterainya punya kapasitas 4.600 mAh (Quest cuma 3.648 mAh).

Istimewanya, semua itu dikemas dalam perangkat berdimensi hanya sekitar separuh Vive Focus. Bobotnya juga cuma berkisar 470 gram, jauh lebih ringan daripada Quest (571 gram) maupun Vive Focus (695 gram). Mova juga dipastikan kompatibel dengan jaringan 5G.

XRSpace Mova

Terkait display, Mova memakai panel beresolusi 2880 x 1440 pixel dengan refresh rate 90 Hz. Ukuran layarnya belum dirincikan, demikian pula luas sudut pandangnya, tapi semestinya lebih kecil dari biasanya mengingat kepadatan pixel-nya cukup tinggi di angka 702 ppi.

Juga menarik adalah bagaimana Mova dapat memonitor pergerakan kaki. Tracking-nya mungkin tidak sekomprehensif jika dibantu sensor eksternal, akan tetapi sudah cukup untuk memungkinkan penggunanya bermain sepak bola di dalam VR. Lebih lanjut, kemampuan tracking kaki ini juga mewujudkan pembuatan avatar digital berukuran satu badan penuh.

XRSpace Manova

XRSpace percaya avatar mereka jauh lebih immersive ketimbang milik platform social VR lain yang sering kali hanya menampilkan separuh tubuh ke atas. Avatar ini krusial untuk interaksi sosial antar sesama pengguna Mova, namun itu baru sebagian dari cerita lengkapnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah soal kemudahan. Setiap paket penjualan Mova dilengkapi satu unit controller untuk sesi gaming, akan tetapi metode navigasi utamanya mengandalkan hand tracking.

XRSpace Manova

Gesture yang dapat dikenali begitu beragam. Dari yang simpel seperti berjabat tangan antar avatar, sampai yang kompleks seperti mengambil objek dan melemparkannya. XRSpace menjanjikan banyak aktivitas yang dapat dilakukan di platform social VR-nya, Manova. Ya, XRSpace tidak bergantung pada platform seperti Viveport atau Steam. Mereka sudah menyiapkan sendiri platform konten untuk Mova.

Sepintas XRSpace Mova memang terkesan agak kelewat ambisius, apalagi mengingat harganya dipatok cukup mahal di angka $599. Untuk sekarang, perangkat ini baru dipasarkan di Taiwan, sebelum menyusul ke dataran Eropa dalam waktu dekat.

Sumber: Engadget.

Penerus Oculus Quest Rumornya Lebih Ringkas dan Punya Display Lebih Mumpuni

Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru, demikian laporan yang diberitakan Bloomberg berdasarkan informasi dari sejumlah sumber internal. Perangkat ini dimaksudkan menjadi penerus Oculus Quest, VR headset yang dapat beroperasi secara mandiri, tanpa harus tersambung ke PC maupun smartphone.

Beberapa prototipe standalone VR headset yang tengah diuji disebut 10% – 15% lebih ringkas ketimbang Quest. Bobotnya pun juga lebih ringan di kisaran 450 gram. Bandingkan dengan Oculus Quest yang berbobot sekitar 566 gram, yang mungkin terlalu berat untuk sejumlah orang, apalagi setelah digunakan cukup lama.

Salah satu cara yang sedang dipertimbangkan untuk memangkas bobot perangkat adalah dengan mengganti bahan kain di bagian samping menjadi plastik. Lebih lanjut, Oculus juga berniat mengganti material karet dan velcro pada bagian strap dengan bahan yang lebih elastis. Harapannya tentu supaya perangkat jadi lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Selain lebih ringkas dan lebih ergonomis, VR headset baru ini juga bakal menawarkan display dengan refresh rate 90 Hz agar konten bisa tersaji secara lebih mulus. Mengapa tidak 120 Hz sekalian? Oculus juga sedang sibuk mengujinya, namun 90 Hz sepertinya bakal menjadi pilihan demi memperpanjang daya tahan baterai.

Sebagai perbandingan, display Oculus Quest memiliki refresh rate 72 Hz, sedangkan Oculus Rift S yang lebih powerful menawarkan refresh rate 80 Hz. Belum diketahui seberapa tinggi resolusinya maupun jenis panelnya, namun semestinya tidak mungkin lebih rendah dari 1440 x 1600 pixel (resolusi display OLED milik Oculus Quest).

Oculus Quest

Pembaruan lain yang Oculus terapkan ada pada controller-nya. Berkat rancangan baru, controller-nya jadi lebih nyaman digunakan sekaligus tidak lagi terkendala penutup baterai yang mudah lepas. Kabar baiknya, controller anyar ini juga akan kompatibel dengan Oculus Quest.

Perihal tracking, perangkat ini masih akan menawarkan tracking 6DoF seperti Oculus Quest. Jadi menggunakan empat kamera bawaannya, perangkat bisa memonitor pergerakan kepala sekaligus tubuh pengguna tanpa harus dibantu oleh sensor eksternal.

Fitur-fitur lain yang masih akan dipertahankan mencakup tuas fisik untuk mengatur jarak antar display supaya pas dengan posisi mata, serta dukungan terhadap Oculus Link, yang memungkinkan perangkat untuk disambungkan ke PC (via kabel) demi meningkatkan performa secara signifikan.

Awalnya Oculus berniat meluncurkan perangkat ini menjelang akhir tahun 2020. Namun berhubung pandemi melanda, perilisannya tak akan berlangsung hingga setidaknya tahun depan. Belum diketahui pula apakah perangkat ini bakal menggantikan Oculus Quest sepenuhnya, atau malah dijual sebagai model yang berbeda.

Sumber: Bloomberg.

Berkat Bantuan Mod, Half-Life: Alyx Dapat Dimainkan Sampai Tamat Tanpa VR Headset

Half-Life: Alyx sudah resmi dirilis, dan lagi-lagi Valve berhasil menciptakan sebuah game yang fenomenal kalau melihat kumpulan review-nya. Kalau ditanya apa yang kurang dari Half-Life: Alyx, saya mungkin bakal menjawab “kurang versi non-VR”, tapi jawaban itu semata karena saya tidak punya VR headset untuk memainkannya.

Kalau Anda seperti saya, Anda mungkin bertanya-tanya kenapa Half-Life: Alyx cuma bisa dinikmati lewat VR. Singkat cerita, Valve melihat ada banyak ide brilian yang bisa mereka terapkan hanya melalui VR. Sebagai bonus, tentu saja game ini bisa membantu Valve menjual VR headset bikinan mereka sendiri.

Pantaskah membeli Valve Index hanya untuk memainkan Half-Life: Alyx? Kalau ada budget, kenapa tidak? Kalau budget terbatas, alternatifnya mungkin adalah memainkannya tanpa VR headset dengan bantuan sebuah mod.

Ya, menggunakan mod yang bisa diunduh dari GitHub ini, kita dapat memainkan Half-Life: Alyx di PC menggunakan keyboard dan mouse sampai tamat. Pengalamannya jelas jauh dari kata ideal. Yang paling utama, pergerakan karakter hanya bisa menggunakan tombol arah panah, bukan tombol WASD seperti biasanya.

Sejumlah adegan dalam game bahkan harus dijalani sesuai dengan panduan yang diberikan di laman GitHub-nya. Lebih lanjut, proses instalasi mod-nya tidak mudah dan memerlukan video penjelasan yang agak panjang. Terlepas dari itu, mod ini setidaknya patut dicoba buat yang benar-benar penasaran dengan Half-Life: Alyx tapi tak punya akses ke VR headset.

Pertanyaannya, apakah ini legal? Tentu saja, toh game-nya masih kita beli secara resmi lewat Steam. Bahkan Valve sendiri sudah memprediksi bakal ada seseorang yang menciptakan mod semacam ini. Menurut mereka, pemain pada akhirnya akan menyadari sendiri mengapa Valve mengambil jalur VR setelah menjajalnya via mod.

Sumber: PC Gamer.

Valve, HP dan Microsoft Sedang Mengembangkan Headset VR Next-Gen

Berbekal pengalaman serta pendekatan dari sisi software, upaya Valve melebarkan sayapnya ke ranah virtual reality terbilang sukses. Headset Index laris dan penjualannya melambung lebih tinggi lagi setelah diumumkannya Half-Life: Alyxgame yang hanya bisa dinikmati lewat VR. Begitu besarnya permintaan terhadap Index menyebabkan stoknya habis di mana-mana, dan kini Valve masih terus berupaya mengatasi masalah kelangkaan tersebut.

Ketika proyek Index telah mencapai ujungnya, Valve dikabarkan sudah memulai pekerjaan baru. Bersama dengan HP dan Microsoft, ketiga raksasa teknologi itu tengah mengembangkan head-mounted display virtual reality ‘generasi selanjutnya’. Produk sepertinya belum mempunyai nama resmi, hanya disebut Next Gen HP VR Headset baik di page Steam maupun di situs Hewlett-Packard.

Walaupun sudah muncul di dua situs, para produsen masih belum mengungkap detail mengenai perangkat ini. Mereka cuma menjelaskan bahwa headset dirancang untuk menyuguhkan konsen secara lebih immersive, lebih nyaman dikenakan, serta ditunjang aspek kompatibilitas yang lebih baik dibanding produk yang ada sebelumnya.

Produsen juga masih enggan memperlihatkan wujudnya. Foto headset di website sengaja digelapkan, namun secara garis besar penampilannya tak jauh berbeda dari HMD sejenis. Bagian visor tersambung ke strap vertikal dan horisontal, dan jika dugaan saya benar dan perangkat ini mempunyai poros di sisi samping yang memungkinkan layar dimiringkan ke atas (seperti PSVR), maka headset lebih mudah dikenakan sendiri tanpa bantuan.

Satu hal yang jelas ialah produk tampaknya akan mengusung branding HP. Microsoft kemungkinan akan mendukung dari sisi kompatibilitas ke platform dan ekosistem Windows, lalu Valve berpartipasi dari sisi teknologi. Sebagai contohnya, Index Controllers racikan Valve merupakan salah satu sistem input motion paling intuitif, memungkinkan kita melakukan aktivitas alami seperti lempar-tangkap, serta mampu mendeteksi gerakan dan arah jari.

Saat ini, satu-satunya cara untuk mendapatkan update info mengenai Next Gen HP VR Headset adalah dengan mendaftarkan email Anda. Belum diketahui spesifikasi dan fitur unik apa yang produsen bubuhkan di sana, begitu pula kapan perangkat akan dirilis serta berapa harganya.

Buat sekarang, membahas teknologi virtual reality dari Valve akan selalu dikaitkan dengan Half-Life: Alyx. Ia adalah game Half-Life pertama yang dirilis dalam periode 12 tahun, namun agar dapat menikmatinya, gamer mesti mempunyai headset VR. Meski awalnya banyak orang mengeluhkan keputusan itu, Alyx ternyata memang se-revolusioner janji Valve. Respons media terbukti sangat positif, dan Half-Life: Alyx merupakan salah satu game terbaik di tahun ini.

Via GameSpot.

Alasan Mengapa Half-Life: Alyx Hanya Disajikan Lewat VR

Menjelang peluncuran Half-Life: Alyx yang jatuh di minggu keempat bulan ini, Valve memublikasikan tiga buah video gameplay baru sembari mendemonstrasikan sejumlah opsi sistem navigasi. Semuanya terlihat kian menjanjikan, tapi keharusan untuk menikmatinya menggunakan perangkat VR sejujurnya memberatkan banyak orang. Padahal bagi studio sebesar Valve, seharusnya tak sulit buat menerjemahkan gameplay berbasis VR ke shooter tradisional.

Lalu mengapa Valve bersikeras untuk menghidangkan Half-Life: Alyx secara eksklusif lewat VR? Apakah langkah ini merupakan upaya mempromosikan Valve Index? Bisa jadi. Penjelasan lebih lengkapnya diungkap oleh Robin Walker dari Valve pada GameInformer dalam wawancara belum lama ini. Singkatnya: Alyx dari awal memang dibangun buat diakses via virtual reality.

IMG_06032020_103351_(1000_x_650_pixel)

Sejak dulu, Valve memang tidak malu-malu menunjukkan ketertarikannya pada VR. Developer sempat membantu HTC dalam menyajikan Vive lewat pengembangan SteamVR, dan pada akhirnya, Valve meluncurkan headset virtual reality mereka sendiri: Index. Anda mungkin juga tahu, begitu HTC Vive mulai dipasarkan, Valve telah menggarap The Lab sebagai upaya memahami VR lebih jauh. Respons pemain terhadap The Lab terbukti positif dan banyak dari mereka yang menginginkan ‘pengalaman gaming AAA’.

IMG_06032020_103402_(1000_x_650_pixel)

Versi purwarupa Half-Life: Alyx pada dasarnya adalah hasil porting Half-Life 2 ke VR. Menurut Valve, ini merupakan cara terbaik untuk mengeksplorasi aspek teknis permainan. Namun developer juga terkejut melihat naturalnya mekanisme Half-Life 2 ketika dinikmati melalui virtual reality, bahkan sebelum mereka mengutak-utik sisi teknis dan melakukan integrasi lebih jauh. VR menyadarkan Valve ada begitu banyak ide yang bisa digarap. Dari sana, dimulailah pengerjaan Half-Life: Alyx.

IMG_06032020_103338_(1000_x_650_pixel)

Meski secara dasar desain Half-Alyx: Alyx berkiblat pada first-person shooter, VR membuat pengalaman bermain jadi lebih unik. Di FPS tradisional, bidikan senjata terkunci pada kamera; sedangkan di virtual reality, kita bisa mengarahkan pistol secara leluasa – seperti di dunia nyata. Selain itu, sensasi membidik senjata secara fisik juga sangat berbeda dari menggunakan keyboard dan mouse.

IMG_06032020_103315_(1000_x_650_pixel)

Berpedoman pada hal ini, Valve kemudian mulai menggodok mekanisme permainan secara lebih luas, termasuk desain level, tempo, skenario pertempuran, hingga menentukan frekuensi pemberian amunisi. Para pemain Half-Life veteran mungkin akan segera merasa familier dengan apa yang Alyx sajikan, namun virtual reality menghidangkan pengalaman berbeda karena ada banyak elemen gameplay baru di sana.

IMG_06032020_103806_(1000_x_650_pixel)

Walaupun digarap sebagai prekuel dari Half-Life 2, narasi Alyx dirancang untuk memperluas jagat Half-Life. Walker bahkan menyarankan kita bermain hingga Episode 2 sebelum memulai petualangan di game anyar ini buat menyegarkan kembali ingatan – terutama terhadap detail-detail kecil.

Kabar baiknya, Robin Walker dan kawan-kawan juga berharap agar Alyx bukanlah proyek Half-Life terakhir yang mereka kerjakan. Beberapa anggota tim sempat berpartisipasi dalam mengembangkan game pertamanya, dan mereka ingin agar seri ini terus berlanjut. Itu berarti, masih ada peluang bagi kita untuk berjumpa dengan Half-Life 3.

Half-Life: Alyx sendiri siap meluncur di tanggal 23 Maret.

HTC Tunjukkan Visi Mereka Akan Extended Reality Lewat Headset Project Proton

HTC menyingkap tiga varian baru Vive Cosmos. Dalam kesempatan yang sama, mereka juga mengungkap visinya akan VR headset generasi mendatang. Gambar di atas adalah Project Proton, prototipe XR glasses yang tengah HTC kembangkan.

XR? Ya, cross reality atau extended reality tampaknya bakal menjadi fokus HTC kali ini. Jadi selain menyajikan realitas buatan (virtual), perangkat juga dirancang untuk menyuguhkan realitas tertambah (augmented). Sepasang lingkaran di depan itu adalah kamera, tapi belum jelas apakah gunanya untuk mewujudkan inside-out tracking (VR) atau sebagai passthrough view (AR).

HTC Project Proton

Bentuk Proton juga sangat berbeda dari keluarga besar Vive. Wujudnya mengingatkan saya pada Magic Leap dan Panasonic VR Glasses. Pada kenyataannya, HTC memang merancang Proton supaya lebih terasa seperti kacamata ketimbang headset.

Sejauh ini Proton terdiri dari dua model yang berbeda. Model yang pertama adalah yang bertipe all-in-one, dengan semua unit pemrosesan yang diposisikan ke bagian belakang strap. Dengan demikian, bagian depannya bisa jadi lebih ramping, namun distribusi bobotnya tetap seimbang berkat modul belakangnya.

HTC Project Proton

Model yang kedua malah lebih mirip lagi dengan kacamata biasa, sebab sepasang tangkainya tidak sampai mengitari seluruh kepala. Berhubung tidak punya unit pemrosesan sendiri, model ini harus mengandalkan bantuan perangkat lain, seperti smartphone misalnya. Juga absen di sini adalah sepasang headphone seperti yang terpasang pada strap model yang pertama.

Berhubung Proton masih berstatus eksperimental, HTC belum membeberkan banyak detail. Namun buat yang penasaran apa rahasia di balik wujud ringkasnya, HTC bakal menjawab “microdisplay“. Kekurangan microdisplay sejauh ini adalah viewing angle yang lebih sempit, dan kendala yang sama juga bisa kita jumpai pada prototipe Panasonic VR Glasses itu tadi, yang sendirinya mengandalkan panel micro OLED.

Sumber: Engadget dan Input.