Huawei Umumkan Virtual Reality Headset untuk Ponsel Flagship-nya

Satu per satu pabrikan smartphone menyeriusi kehebohan tren virtual reality. Samsung memulainya dengan mengumumkan Gear VR di bulan September 2014, lalu LG menyusul jejaknya, dan kini Huawei pun tak ingin kehilangan momentum.

Namanya simpel, hanya Huawei VR, dan cara kerjanya pun tidak jauh berbeda ketimbang Samsung Gear VR. Pengguna tinggal membuka penutup depannya, selipkan smartphone ke dalamnya, dan ia pun siap dipakai.

Huawei VR kompatibel dengan dua handset flagship terbaru mereka sendiri, yaitu P9 dan P9 Plus, serta dikabarkan bakal ada versi lain untuk Mate 8. Resolusi display-nya tentu saja mengikuti layar milik smartphone yang digunakan, namun Huawei mengklaim VR headset-nya sebagai yang pertama yang menawarkan fitur 3D audio.

Sama seperti Gear VR, sisi kanan Huawei VR juga dihuni oleh panel sentuh, tombol Back dan tombol volume. Lensanya pun juga dapat disesuaikan untuk mengakomodasi pengguna bermata rabun (hingga minus 7).

Huawei VR akan datang bersama seabrek konten gratis / Sina Weibo
Huawei VR akan datang bersama seabrek konten gratis / Sina Weibo

Spesifikasi lengkapnya mencakup latency 20 milidetik dan sudut pandang 95 derajat – setara milik Gear VR. Huawei turut menambahkan sebuah filter blue light supaya mata pengguna tidak cepat lelah.

Sayangnya Huawei tidak mengungkapkan secara jelas platform apa yang dipakai Huawei VR, apakah Google Cardboard atau seperti Gear VR yang menggandeng Oculus. Namun pastinya, Huawei VR bakal datang bersama seabrek konten gratis, mencakup 4.000 video dan 40 game, plus 350 gambar panorama dan 150 tur virtual.

Belum ada keterangan juga terkait banderol harga dan ketersediaannya. Diduga Huawei hanya berniat memasarkannya di Tiongkok saja, namun tidak menutup kemungkinan pemasarannya akan mengikuti Huawei P9 dan P9 Plus.

Sumber: Engadget dan The Verge.

Berkenalan dengan Octagon Studio, Startup AR dan VR Pemenang Penghargaan Internasional

Bicara soal augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), nama-nama yang tebersit di benak kita mungkin adalah Microsoft HoloLens, Oculus Rift, Google Cardboard, dan lain sebagainya. Namun siapa yang menyangka kalau di Indonesia, tepatnya di kota Bandung, berdiri sebuah startup yang bergerak di kedua bidang tersebut, dengan prestasi di kancah internasional?

Mereka adalah Octagon Studio, dan belum lama ini, mereka berhasil membawa pulang trofi Best App dan Rising Star Awards dari event Wearable Technology Show (WTS) 2016 yang dihelat di kota London pada tanggal 15 – 16 Maret lalu.

Kemenangan ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Octagon. Dalam kesempatan pertama mereka mengikuti ajang WTS 2015 tahun lalu, Octagon hanya terpilih sebagai nominator untuk kategori Best App, Rising Star dan Best AR/VR Company.

Lalu apa sebenarnya yang membuat Octagon Studio begitu istimewa, hingga akhirnya mereka bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan luar? Well, portofolio produk mereka begitu luas, mencakup ranah edukasi hingga industri.

Octagon Studio Animal 4D+ AR Flashcards

Salah satu produknya yang paling populer adalah seri kartu pengingat (flashcard) edukatif berbasis AR. Produk ini dirancang untuk mengajarkan alfabet, bahasa Inggris, serta pengetahuan tentang dunia satwa, profesi, angkasa luar hingga makhluk-makhluk prasejarah. Berdasarkan keterangan yang diberikan CMO Octagon, Stella Setyiadi, sejauh ini mereka telah menjual lebih dari 200.000 unit AR flashcard ini baik di dalam maupun luar negeri.

Luar negeri? Ya benar, meski berbasis di tanah air, produk-produk besutan Octagon Studio rupanya telah dikenal cukup luas di mancanegara. Reseller produk-produknya sejauh ini sudah tersebar di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Hong Kong, Australia, Perancis, Irlandia, Inggris Raya, Amerika Serikat hingga Kanada.

Bagaimana sebenarnya cara kerja produk AR flashcard ini? Well, sepintas mereka hanyalah kartu biasa bergambar binatang, dinosaurus, planet dan lain sebagainya. Namun ketika dikombinasikan dengan aplikasi mobile, gambar-gambar tersebut akan ‘hidup’ dalam wujud tiga dimensi yang mendetail. Tak hanya itu, interaksinya pun beragam. Saat kartu bergambar sapi Anda dekatkan dengan kartu bergambar rumput misalnya, maka dari aplikasinya akan tampak seekor sapi yang tengah merumput.

Beralih ke VR, Octagon memiliki produk headset yang mereka juluki VR Luna. Headset ini dirancang dengan basis Google Cardboard, namun mengemas sejumlah penyempurnaan, di antaranya material yang lebih kokoh serta desain terbuka yang tidak mengisolasi kamera smartphone di dalam headset.

Octagon VR Luna

Dengan demikian, VR Luna sebenarnya juga bisa disinergikan dengan produk-produk AR flashcard tadi untuk menyajikan pengalaman mixed reality. Ketimbang hanya menyaksikan hewan-hewan tadi ‘hidup’ di layar smartphone, pengguna VR Luna bisa menikmatinya secara lebih immersive.

Ajang WTS 2016 kemarin turut dimanfaatkan Octagon untuk memperkenalkan produk terbaru mereka, yakni seri AR T-Shirt. Konsep AR flashcard mereka yang populer tersebut kini diusung ke pakaian kasual yang biasa dikenakan sehari-harinya.

Sama seperti AR flashcard, kaus-kaus ini sepintas tak terlihat berbeda dari kaus pada umumnya. Namun saat dilihat menggunakan aplikasi smartphone yang tersedia secara cuma-cuma, gambar hewan maupun makhluk prasejarah yang terpatri pada kaus tersebut akan ‘hidup’ seketika, seperti yang bisa Anda lihat pada video unggahan salah satu pengunjung acara berikut ini.

Kendati sudah bisa dibilang cukup sukses, perjalanan yang harus dilalui Octagon Studio sebenarnya masih panjang. Hal ini banyak dipengaruhi oleh tren AR dan VR yang masih tergolong baru di tanah air. Pun begitu, Octagon optimis bahwa konsumen tanah air tak butuh waktu lama untuk menjadi familier dengan AR dan VR.

Untuk itu, mereka akan terus meningkatkan brand awareness dengan aktif mengikuti berbagai pameran, konferensi maupun melalui media sosial. Di saat yang sama, Stella juga menuturkan bahwa Octagon tak akan berhenti melakukan ekspansi, baik dari segi produk maupun jangkauan pasar.

Berbagai ide kreatif dari timnya akan terus digodok hingga menjadi produk final yang inovatif. Stella bahkan sempat menyebutkan bahwa timnya sudah mulai menggarap VR headset untuk PC ala Oculus Rift, meskipun masih dalam tahap pengembangan awal.

Soal jangkauan pasar, Octagon saat ini tengah melangsungkan diskusi bersama sejumlah lembaga pendidikan yang tertarik untuk menerapkan sejumlah produk Octagon dalam kurikulum belajar-mengajar mereka.

Octagon Studio Octaland 4D+ AR Flashcards

Dilihat dari kacamata konsumen, prestasi yang dicapai Octagon sejauh ini memang sangat fenomenal. Mereka dikenal di kancah internasional, padahal tren AR dan VR di negara asalnya masih belum begitu meluas.

Fokusnya yang berawal di bidang pendidikan juga menjadi bukti bahwa mereka tidak hanya mengejar keuntungan saja di ranah yang masih baru ini, tetapi juga untuk memberikan sarana belajar alternatif yang lebih menarik dan sesuai dengan kemajuan teknologi.

Update: Sedikit tentang profil perusahaan, Octagon Studio didirikan pada tahun 2013 oleh pria berkebangsaan Irlandia, Michael Healy, yang kini bertindak sebagai CEO. Beliau ditemani oleh sepasang co-founder yaitu Aurelia Vina (COO) dan Hasbi Asyadiq (CTO). Saat ini Octagon Studio beroperasi di bawah PT Transport System Solutions. Markas besarnya sendiri berada di Irlandia, akan tetapi semua sumber dayanya ditempatkan di kantor mereka di kota Bandung.

Ikea VR Experience Suguhkan Etalase Ruangan Secara Virtual

Satu hal yang dikenal dari Ikea adalah bagaimana perusahaan mebel asal Swedia tersebut menampilkan barang-barang dagangannya dalam wujud etalase ruangan seperti ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi sampai dapur. Dengan begitu, konsumen bisa mendapat gambaran seperti apa kira-kira produk yang mereka beli saat ditempatkan di kediamannya masing-masing.

Namun kalau Anda pernah berkunjung ke Ikea di kawasan Alam Sutera, Tangerang, Anda pasti tahu betapa berkerumunnya pengunjung yang datang ke sana. Hal ini tentu saja dapat membuat pengalaman berbelanja jadi kurang nyaman. Beruntung Ikea sudah punya solusi alternatifnya, dengan bantuan teknologi virtual reality.

Ikea VR Experience

Didapuk Ikea VR Experience, ini merupakan aplikasi untuk headset HTC Vive. Prinsipnya sederhana, Anda akan dibawa menuju tiga ruangan virtual dengan gaya yang berbeda. Dari situ, pengguna dibebaskan melakukan kustomisasi ruangan, semisal mengganti warna atau finish perabot menggunakan controller milik Vive.

Fungsi motion tracking milik Vive memungkinkan pengguna untuk mengelilingi ruangan virtual tersebut dan melakukan beberapa interaksi sederhana, seperti misalnya membuka laci atau menempatkan wajan di atas kompor. Pengguna juga bisa mengubah perspektif tampilan menjadi sudut pandang seorang anak kecil, sehingga bisa memperkirakan apakah ujung sebuah meja berpotensi membahayakan buah hatinya masing-masing.

Ikea VR Experience

Melihat screenshot-nya di Steam, grafiknya terbilang bagus dan mendetail. Tidak kaget, mengingat pihak pengembangnya telah memanfaatkan Unreal Engine 4 yang punya kapabilitas fenomenal.

Ikea VR Experience ini sekaligus menjadi bukti keseriusan Ikea dalam mengaplikasikan kemajuan teknologi digital untuk kepentingan konsumen. Sebelum ini, mereka sudah lebih dulu merilis aplikasi Ikea Catalog untuk Android dan iOS yang berbasis augmented reality.

Sumber: Ikea via Engadget.

Anda Kini Bisa Menelusuri Abbey Road Studios dalam Virtual Reality

Sekitar setahun yang lalu, Google meluncurkan proyek unik bernama Inside Abbey Road. Lewat sebuah situs khusus, pengguna diajak untuk menelusuri studio rekaman legendaris di kota London tersebut, dimana band-band kenamaan seperti The Beatles dan Pink Floyd sempat menjadikannya sebagai rumah kedua.

Kini Google sudah siap membawa proyek tersebut ke tingkat yang lebih tinggi, yakni dalam wujud virtual reality dengan bantuan headset Google Cardboard. Format tampilan Street View 360 derajat yang sudah ada bisa dipastikan akan terasa lebih immersive, sehingga pengguna pun bisa merasa seakan-akan sedang berada di dalam Abbey Road Studios.

Inside Abbey Road versi Cardboard ini masih akan menawarkan tur virtual yang dipandu oleh Giles Martin, yang tidak lain dari anak almarhum George Martin, produser The Beatles yang sudah sangat mengenali seluk-beluk Abbey Road Studios.

Inside Abbey Road - Cardboard

Selain menikmati tur, pengguna tentunya juga dibebaskan untuk mengeksplorasi Abbey Road Studios dengan sendirinya, berpindah dari satu studio ke yang lainnya, hingga akhirnya tiba pada ruang mastering dimana sebuah rekaman lagu sedang mendapat sentuhan akhir dari tangan ahli sebelum dirilis.

Ada banyak pengalaman unik yang ditawarkan Inside Abbey Road versi Cardboard, yang memang secara spesifik dirancang untuk virtual reality. Di Studio 1 misalnya, pengguna bisa merasakan seperti apa rasanya menjalani sesi rekaman bersama London Symphony Orchestra. Agar terasa lebih realistis, audio disajikan dalam format surround.

Kalau Anda punya Google Cardboard dan smartphone yang kompatibel, silakan langsung unduh aplikasi Inside Abbey Road di Google Play. Versi iOS-nya dijanjikan akan menyusul dalam waktu dekat.

Sumber: Google Blog.

Application Information Will Show Up Here

Sony Berencana Hadirkan Kompatibilitas PlayStation VR dengan PC

Di saat Oculus Rift sudah dirilis dan HTC Vive tengah bersiap menyusul dalam waktu dekat, Sony rupanya lebih memilih untuk bersabar dengan merencanakan jadwal perilisan PlayStation VR di bulan Oktober mendatang. Ketiganya memang merupakan bintang virtual reality terbesar tahun ini. Kendati demikian, agak sulit membandingkan apakah PSVR bisa menawarkan pengalaman yang setara dengan Rift atau Vive.

Mengapa begitu? Alasan yang paling utama, target pasarnya berbeda. PSVR ditargetkan untuk pengguna console PS4, sedangkan Rift dan Vive untuk pengguna PC. Namun semua ini bisa berubah seandainya rencana terpendam Sony terealisasikan.

Berbicara kepada Nikkei, petinggi Sony Computer Entertainment, Masayasu Ito, menyebutkan bahwa Sony punya rencana untuk menghadirkan kompatibilitas PSVR dengan PC. Hal ini didasari oleh kemiripan komponen internal PS4 dengan PC, yang berarti kompatibilitas seperti itu pun sangat mungkin dilakukan.

Pun begitu, beliau belum berani memastikan kapan PSVR dapat disandingkan bersama PC. Sejauh ini Sony akan terus berfokus pada pengembangan game untuk PSVR, memastikan fiturnya terus bertambah seiring update dan mencoba bereksperimen dengan genregenre permainan baru untuk virtual reality.

Ditanya mengapa Sony menunda jadwal rilis PSVR dari awal tahun ini menjadi di musim semi, Ito menjelaskan bahwa penyebabnya adalah permintaan konsumen yang lebih besar ketimbang yang diestimasikan. Sony sendiri berencana memasarkan hingga 2 juta unit PSVR tahun ini saja.

Angka ini bisa mencuat lebih tinggi lagi jikalau PSVR benar-benar kompatibel dengan PC nantinya. Pasalnya, ia merupakan alternatif yang lebih terjangkau dari Rift dan Vive. Bukan dari segi banderol harganya saja, tapi spesifikasi PC yang diperlukan pastinya juga tidak sesangar permintaan Rift dan Vive. Pengguna PC yang spesifikasinya kurang mumpuni untuk Rift dan Vive tak perlu mengucurkan dana ekstra untuk upgrade hardware, beli saja PSVR seandainya sudah punya PC dengan spesifikasi yang setara atau di atas PS4.

Sumber: Polygon.

Cardboard Enabler Permudah Pengguna Gear VR Nikmati Konten Milik Google Cardboard

Meski secara teori Gear VR bisa menjalankan konten-konten yang diciptakan untuk Google Cardboard, pada prakteknya tidak semudah itu. Pasalnya, Gear VR akan selalu membawa Anda ke portal aplikasi yang berasal dari Oculus Store. Kalau Anda ingin membuka aplikasi Cardboard selagi di dalam Gear VR, selama ini solusinya harus mengandalkan rooting atau dengan tidak mencolokkan ponsel ke sambungan USB milik Gear VR.

Namun sekarang ada alternatif lain yang jauh lebih mudah. Bernama Cardboard Enabler for Gear VR, aplikasi ini memungkinkan ponsel Anda untuk menjalankan konten-konten milik Google Cardboard selama berada di dalam Gear VR tanpa memerlukan rooting ponsel sama sekali.

Cara kerjanya sederhana: buka aplikasi Cardboard Enabler, lalu pilih icon Google Cardboard dan aplikasi akan mematikan Gear VR Service. Selanjutnya, Anda tinggal membuka aplikasi Cardboard dan menyelipkan ponsel ke dalam Gear VR. Kalau ingin kembali mengakses aplikasi-aplikasi milik Gear VR, tinggal pilih icon-nya dalam Cardboard Enabler.

Cardboard Enabler for Gear VR

Hampir semua konten yang dirancang untuk Google Cardboard kompatibel dengan touchpad milik Gear VR, sehingga Anda pun punya input kontrol tambahan. Cardboard Enabler juga menawarkan opsi untuk mematikan fitur motion blur bagi yang sering merasa mual setelah menikmati konten VR terlalu lama.

Cardboard Enabler ini sangat ideal bagi pengguna Gear VR yang sudah merasa bosan dengan konten-konten yang tersedia, serta ingin menikmati keragaman konten milik Google Cardboard tanpa harus membeli headset yang terpisah. Aplikasinya bisa didapat langsung dari Google Play seharga kurang dari Rp 10 ribu.

Sumber: Road to VR. Gambar header: Oculus.

Application Information Will Show Up Here

Jaunt Ajak Anda Mengeksplorasi Dunia Lewat Serial Video VR Sinematik

Salah satu fungsi utama teknologi virtual reality adalah ‘membawa’ pengguna menuju ke lokasi-lokasi yang sangat sulit atau malah mustahil dikunjungi di kenyataan. Misi ini bisa dicapai dengan ekosistem konten yang luas, dimana pengguna akhirnya bisa mengeksplorasi banyak lokasi eksotis secara immersive. Pertanyaannya, apakah kontennya sudah ada?

Sejauh ini baik Google Cardboard maupun Samsung Gear VR sudah menawarkan konten serupa dalam jumlah yang cukup. Namun sebuah studio VR bernama Jaunt tampaknya ingin memberikan sesuatu yang lebih. Bekerja sama dengan biro pariwisata Mountain Travel Sobek, mereka ingin menciptakan deretan video VR sinematik guna memberikan kesan bertualang yang realistis.

Buah kolaborasi mereka yang pertama adalah video VR yang mengambil setting di Pegunungan Andes di Peru. Dalam video tersebut, pengguna akan diajak bertualang menikmati indahnya panorama di sekitar Gunung Salkantay hingga akhirnya tiba di situs bersejarah Machu Picchu.

Mountain Travel Sobek sendiri sudah menawarkan tur menuju ke lokasi ini selama lebih dari 40 tahun, jadi bisa dipastikan pengguna tak akan kelewatan satu titik pun yang menarik untuk dikunjungi. Video ini akan tersedia di aplikasi Jaunt yang dapat diunduh di App Store, Google Play atau Gear VR Store, dan Jaunt pun sudah berencana merilis aplikasinya untuk Oculus Rift, HTC Vive maupun PlayStation VR ke depannya.

Pengguna tidak diwajibkan memiliki VR headset untuk bisa menikmati tur virtual 360 derajat ini – video bisa langsung ditonton lewat smartphone – akan tetapi tentu saja pengalamannya akan lebih mengesankan ketika ditonton menggunakan Google Cardboard atau Gear VR. Kalau masih penasaran, simak trailer video VR sinematik yang ditawarkan Jaunt di bawah ini.

Sumber: Engadget. Gambar header: Machu Picchu via Pixabay.

VR Headset Optoma Tak Perlu Kabel untuk Terhubung ke PC

Setelah bertahun-tahun memproduksi proyektor, Optoma mulai keluar dari zona nyamannya dengan menarget ranah virtual reality. Di ajang Game Developers Conference 2016 yang tengah dihelat di kota San Fransisco, mereka memperkenalkan VR headset perdananya.

Dibandingkan Oculus Rift dan HTC Vive, ada sesuatu yang unik dari VR headet besutan Optoma ini: ia tidak memerlukan kabel untuk terhubung ke PC. Koneksinya memanfaatkan sinyal nirkabel yang beroperasi di frekuensi 60 GHz, jauh lebih cepat dibandingkan Wi-Fi.

Hal ini membuat Optoma cukup percaya diri dengan mengklaim bahwa konten yang di-stream oleh VR headset-nya dapat berjalan mulus tanpa lag. Pun demikian, VR headset Optoma masih memerlukan aksesori terpisah berupa transmitter USB guna mengaktifkan fungsi head tracking.

Perihal spesifikasi, headset ini mengemas layar AMOLED 5,46 inci dengan resolusi 1920 x 1080 pixel dan sudut pandang seluas 90 derajat. Optoma mengembangkannya mengikuti standar OSVR yang digagaskan oleh Razer, yang berarti ia bakal kompatibel dengan konten-konten yang dirancang untuk platform tersebut.

Pendekatan yang diambil Optoma ini jelas berbeda dari headset Sulon Q yang juga nirkabel karena mengemas komponen komputer terintegrasi. Ia pun juga tidak sama dengan Samsung Gear VR atau Google Cardboard yang mengandalkan smartphone sebagai pengolah konten.

Sejauh ini belum ada informasi mendetail lebih lanjut mengenainya. Optoma pun sepertinya belum menemukan nama keren untuk headset ini selain Virtual Reality Head Mounted Display. Rencananya headset ini akan dirilis di tahun ini juga, namun belum ada kepastian tentang banderol harganya.

Sumber: PC World dan Wareable.

MyDream Swift Siap Mengubah Game Biasa Menjadi Optimal untuk Virtual Reality

Di ajang GDC 2016, Valve akan mendemonstrasikan SteamVR Desktop Theater Mode, yakni sebuah fitur dimana pengguna Oculus Rift atau HTC Vive nantinya bisa memainkan game apa saja yang tersimpan dalam library Steam-nya menggunakan VR headset masing-masing. Namun Valve rupanya tidak sendirian, developer MyDreamVR juga punya ide yang serupa.

Mereka mengumumkan aplikasi MyDream Swift yang punya fungsi sangat mirip, yakni mengubah game non-VR menjadi siap untuk dikonsumsi via sebuah VR headset. Swift terintegrasi dengan Steam, yang berarti semua game yang ada di dalam library dapat dioptimalkan untuk tampilan VR.

Kendati demikian, Swift agak sedikit berbeda karena lebih diprioritaskan untuk gamegame berjenis first-person shooter (FPS) dengan sudut pandang orang pertama. Soal kompatibilitas, Swift telah mendukung game dengan teknologi grafik DX9 maupun DX11, dan performa game dipastikan tidak akan menurun ketika dikonversi menjadi tampilan VR.

MyDream Swift

Hal lain yang unik dari Swift adalah fitur Cinema Mode, yang memungkinkan pengguna untuk meneruskan konten non-Steam (video misalnya) menuju ke VR headset. Jadi ketimbang menonton film memakai monitor, pengguna bisa menikmatinya langsung di depan mata memakai Oculus Rift atau HTC Vive.

Saat ini MyDreamVR telah menerima pre-order Swift seharga $30 lewat situs resminya, dan pengguna dipersilakan mengunduhnya mulai tanggal 28 Maret mendatang. Paket pembeliannya turut mencakup game MyDream VR seharga $20.

Sumber: TechCrunch.

Berkat SteamVR Desktop Theater Mode, Game PC Biasa Nantinya Bisa Dimainkan Menggunakan VR Headset

Salah satu alasan yang membuat orang-orang merasa skeptis terhadap virtual reality adalah, karena teknologinya masih baru, jumlah kontennya bisa dipastikan terbatas, sama seperti yang dialami oleh TV 4K. Memang anggapan ini ada benarnya, tapi toh para pemain di industri VR tidak akan tinggal diam.

Kalau di TV 4K kita bisa menonton video 1080p yang di-upscale resolusinya, apakah di ranah VR kita tak bisa memainkan game biasa menggunakan VR headset? Menurut Valve yang juga bertanggung jawab atas pengembangan headset HTC Vive, jawabannya bisa. Belum lama ini, mereka mengumumkan adanya fitur SteamVR Desktop Theater Mode.

Fitur ini pada dasarnya memungkinkan gamegame PC biasa untuk dimainkan menggunakan VR headset yang kompatibel dengan platform SteamVR – sejauh ini baru HTC Vive dan Oculus Rift. Jadi ketimbang melihat tampilan game di monitor, pengguna bisa langsung ‘menjelajahi’ dunia virtual tersebut.

SteamVR Desktop Theater Mode sebenarnya sudah dicanangkan oleh Valve jauh sebelum ada desas-desus soal HTC Vive. Kini teknologinya sepertinya sudah siap untuk didemonstrasikan di hadapan pengunjung acara Game Developers Conference 2016 pekan depan.

Saat nanti fitur ini sudah dirilis, pengguna Oculus Rift maupun HTC Vive bisa memainkan seluruh game yang terdapat pada library Steam-nya masing-masing dalam mode VR. Saya pun langsung membayangkan betapa asyiknya mengeksplorasi Commonwealth di game Fallout 4 menggunakan Oculus Rift.

Sumber berita dan gambar: Road to VR.