Medico Peroleh Pendanaan Awal dari East Ventures

Layanan manajemen rumah sakit berbasis SaaS Medico mengumumkan perolehan pendanaan awal, dengan nilai yang tak disebutkan, dari East Ventures. Pendanaan akan digunakan untuk merekrut talenta dan meningkatkan kualitas sistem supaya siap diluncurkan awal kuartal kedua tahun ini.

Medico didirikan oleh Grace Tahir dan Jonathan Susantyo. Keduanya memang sudah lama terlibat di dunia layanan kesehatan. Selain mengurusi Medico, Grace juga mendirikan Dokter.id, situs konsultasi kesehatan online yang telah mendapatkan pendanaan dari RingMD.

Menurut data yang dikumpulkan Medico, saat ini belanja sistem teknologi informasi layanan kesehatan mencapai $2 miliar dan bakal berkembang menjadi lebih dari $6 miliar di tahun 2019. Layanan kesehatan yang berupa rumah sakit, klinik, dan apotek kini mencapai hampir 30 ribu buah dan diproyeksikan bakal naik 10-13% dalam 5 tahun ke depan.

Kewajiban rumah sakit untuk memiliki dan memelihara sistem ini sendiri sudah diatur di UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan RI (PMK) Nomor 82 tahun 2013 tentang Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.

Dengan menawarkan layanan berbasis SaaS, Medico mencoba memberikan perspektif berbeda karena selama ini biasanya sistem dikembangkan dan dipelihara oleh konsultan pihak ketiga, tetapi server biasanya tetap diletakkan di jaringan lokal.

Medico diperkirakan siap beroperasi di bulan April 2016.

Tentang pendanaan ini, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Potensi layanan kesehatan di Indonesia sudah lama dipandang sebelah mata. Pengalaman pengguna yang buruk di rumah sakit dan klinik banyak kita dengan di media. Kami percaya Grace dan timnya memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan ini dan membawa layanan kesehatan [berbasis teknologi] ke level selanjutnya.”

Bizzy Tunjuk Norman Sasono Sebagai Chief Innovation Officer

Layanan marketplace B2B untuk suplai perlengkapan dan layanan bisnis Bizzy, yang didukung Ardent Capital, mengumumkan penunjukan Norman Sasono sebagai Chief Innovation Officer. Norman, yang 7 tahun terakhir bekerja di sisi technical bersama Microsoft, bakal memimpin Bizzy mengembangkan produk yang ditujukan untuk pasar korporasi, khususnya produk baru fasilitas karyawan (employee perks) yang mengadopsi gaya korporasi Silicon Valley.

Bizzy, yang didirikan dengan modal awal 34 miliar Rupiah, telah memiliki sejumlah klien startup, seperti Tiket.com, Traveloka, Halomoney, dan GrabTaxi. Saat ini Bizzy memiliki layanan di delapan segmen dan setiap pesanan di Bizzy sudah mencapai nilai hampir $2000. Dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di industri, mereka menganggap Norman sebagai orang yang cocok untuk membantu Bizzy menyasar segmen ini.

Founder dan CEO Bizzy Peter Goldsworthy dalam pernyataannya mengatakan, “Norman telah membangun platform dari beberapa perusahaan terbesar di Indonesia untuk sektor keuangan dan asuransi. Kami senang memiliki seseorang dengan visi dan keahlian seperti beliau bergabung dengan kami dalam perjalanan untuk secara radikal mengubah cara perusahaan berbelanja.”

Norman akan memimpin Bizzy mengembangkan satu kategori segmen baru, fasilitas karyawan (employee perks). Kita sering mendengar bagaimana Google, Facebook, dan perusahaan teknologi lain di Silicon Valley memanjakan karyawannya dengan makan siang gratis, ketersediaan berbagai layanan dan fasilitas di dalam kantor, dan berbagai hal menarik lainnya supaya karyawan nyaman dan betah. Bizzy akan membantu perusahaan membangun sistem mengelolal hal ini, yang terutama ditujukan untuk tim HR.

“Kami melihat semakin banyak kecenderungan di mana tim HR menjadi pusat dari pembelanjaan kantor. Mereka menginvestasikan waktu yang banyak dalam memikirkan cara untuk menjaga tim mereka tetap bahagia. Sudah ada beberapa contoh baik yang menunjukkan hal ini.” ujar Goldsworthy.

Bizzy disebutkan telah memberikan konsultasi untuk grup MNC dalam membantu mendirikan taman dalam ruangan sebagai area karyawan. Selain itu mereka juga membantu Traveloka dan TNT Express berinvestasi dalam mengisi pantry untuk stafnya.

Tentang bergabungnya ia dengan Bizzy, Norman mengungkapkan, “Saya sangat senang bisa bergabung dengan Bizzy. Sebagai startup, Bizzy telah menunjukkan pertumbuhan pendapatan bulanan yang kuat, memvalidasi product-market fit mereka di pasar yang luas ini. Kami akan bekerja dengan pelanggan untuk menghasilkan produk dengan tingkat keunggulan teknologi internasional, membantu menyederhanakan cara pembelanjaan perusahaan, dan menciptakan standar baru dalam memberikan employee benefit.”

Dampak Akuisisi MelOn untuk Bisnis Kakao di Indonesia

Kakao hari ini mengumumkan niatnya mengakuisisi 76.4% saham Loen Entertainment senilai sekitar $1.54 miliar (lebih dari Rp 21 triliun). Loen Entertainment adalah pemilik platform layanan musik MelOn yang memiliki kerja sama erat di Indonesia dengan Grup Telkom. Bagaimana nasib kemitraan MelOn dan Grup Telkom pasca akuisisi ini?

Dalam setahun terakhir, ada dua akuisisi high profile yang dilakukan Kakao. Pertama terhadap media sosial privat Path yang didirikan oleh Dave Morin dan kedua terhadap MelOn ini. Benang merah yang menarik adalah keduanya memiliki basis massa yang signifikan di Indonesia.

Sinergi layanan konten musik dan media sosial atau messaging bukanlah yang pertama di kawasan ini. Sebelumnya LINE sudah mengakuisisi MixRadio dari Microsoft.

MelOn dan Langit Musik, meskipun secara nama tidak setenar Apple Music atau Spotify, sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia karena solusinya menggandeng dua penyedia layanan telekomunikasi terbesar, Telkom dan Telkomsel.

Dalam survei yang kami lakukan bersama JakPat, MelOn dan Langit Musik menduduki posisi kedua dan ketiga untuk urusan layanan streaming musik terpopuler di Indonesia setelah Google Play Musik

jakpat_streamingmusik_3

Meskipun kami perkirakan kemitraan MelOn dan Grup Telkom tidak akan serta merta berubah akibat langkah akuisisi ini, menarik ditilik bagaimana Kakao mengutilisasi MelOn untuk memperkuat basis penggunanya di Indonesia.

Sebelumnya kami sudah memberitakan bahwa Kakao bakal fokus ke Path tahun ini dan secara berangsur mengurangi dukungannya untuk KakaoTalk yang tak mampu bersaing dengan aplikasi sejenis. Mereka juga bakal mengimplementasi bank berbasis Internet yang dibawa melalui Path.

Dengan semua layanan Kakao di Indonesia dipusatkan mendukung Path, seharusnya bisa ditebak kemungkinan kolaborasi antara MelOn dan Path, misalnya tautan pengunduhan atau streaming konten MelOn langsung di dalam Path atau sharing status lagu yang sedang diputar di MelOn ke Path.

Kakao, dalam artikel di TechCrunch, mengkonfirmasi rencana untuk mendukung layanan di pasar internasional, mengisyaratkan bahwa sinergi akan dilakukan untuk sejumlah pasar penting dan Indonesia sudah ditegaskan sebagai pasar paling penting kedua bagi Kakao, setelah negara asalnya.

CEO Kakao Jimmy Rim dalam pernyataannya mengatakan, “Dengan mengkombinasikan berbagai platform dan layanan konten milik Kakao dan layanan konten musik milik Loen, kami mengekspektasikan sinergi yang luar biasa yang dapat membangun landasan yang kuat untuk ekspansi global.”

DailySocial.id Luncurkan Laporan Startup 2015

Tahun 2014 kami menginisiasi DS10, sebuah daftar startup-startup pilihan yang prestasi dan kegiatannya menghiasi pemberitaan media sepanjang tahun. Untuk tahun 2015, kami memperluas cakupan laporan kami dengan meluncurkan “Laporan Startup 2015”. Laporan ini berisi lanskap bisnis teknologi tahun 2015 dan prediksi para pemain industri tahun 2016. Tak lupa kami memilih 10 startup, 10 pendiri, dan 5 investor pilihan dalam rangkaian DS10 2015.

CEO DailySocial.id Rama Mamuaya mengatakan, “Dengan adanya laporan ini, kami ingin mengumpulkan semua informasi yang ada di luar sana, digabungkan dengan data-data yang kami kumpulkan, guna memberikan perspektif makro mengenai kinerja industri digital di Indonesia.”

Beberapa hal menarik yang disampaikan dalam laporan 60 halaman ini di antaranya:

  • 49% investment yang dilaporkan pada tahun 2015 adalah SEED funding
  • E-commerce masih mendominasi investment, dengan fintech di #2
  • East Ventures dan Lippo Group memimpin dengan 20 dan 7 investasi yang diumumkan ke publik
  • Layanan On-demand dan Financial Technologi (Fintech) jadi primadona incaran investor tahun 2016
  • Kurangnya talenta dan akses ke pendanaan jadi momok terbesar startup tahun 2016

Laporan lengkapnya dapat diakses secara cuma-cuma di https://dailysocial.id/startupreport2015.

Bukan HOOQ dan iflix, Netflix Lebih Dulu Masuk Indonesia

Di luar dugaan, layanan streaming video global Netflix memasukkan Indonesia ke dalam ekspansinya ke 130 negara baru hari ini. Sebelumnya HOOQ dan iflix, dua layanan serupa yang fokus di pasar Asia Pasifik, juga membidik Indonesia tahun ini. Tahun 2016 ini Indonesia bakal dimanjakan oleh layanan streaming serial TV dan film secara legal. Pada akhirnya, yang menjadi pertanyaan apakah layanan seperti ini bakal membantu menekan angka pembajakan.

Kehadiran Netflix di Indonesia cukup mengejutkan karena sebelumnya Netflix menyebutkan kehadirannya di Asia Tenggara hanya akan fokus di Singapura. Netflix hadir dengan tiga paket berlangganan yang semuanya hanya bisa dibayar melalui kartu kredit. Selain mendaftar langsung ke situsnya, konsumen bisa berlangganan melalui iTunes dan Google Play.

Secara umum, konten Netflix di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, belum selengkap konten Netflix versi Amerika Serikat. Cukup banyak serial TV dan film yang belum tersedia di sini, mungkin isu dengan distribusi dan hak cipta. Kami juga belum tahu apakah siarannya sudah menyesuaikan dengan standar sensor di Indonesia.

Layanan seperti Netflix bukan ditujukan untuk bersaing dengan bioskop, melainkan dengan layanan TV kabel, DVD, blu ray, dan layanan digital, seperti iTunes dan Google Play.

Apa arti kehadiran Netflix di Indonesia? Ada dua faktor yang kami lihat di sini. Pertama, sebagai layanan streaming video terbesar, Netflix bakal mendorong edukasi pemanfaatan konten legal dengan biaya yang relatif cukup terjangkau.

Dibandingkan konten di iTunes dan Google Play Movies, atau bahkan DVD dan blu ray sekalipun, biaya Rp 109 ribu sebulan (paket paling murah) akan dirasa ekonomis jika konsumen terbiasa mengkonsumsi lebih dari 5 judul film atau serial TV sebulannya. iflix dan HOOQ, jika nanti sudah tersedia, tidak perlu lagi menjelaskan model bisnisnya karena Netflix sebagai role model sudah tersedia di sini.

Kedua, di sisi kompetisi, kehadiran Netflix bakal membuat HOOQ dan iflix lebih kreatif untuk menarik pelanggan mengingat jangkauan layanan dua perusahaan ini tidak sebesar Netflix. Mereka harus dan bakal memanfaatkan dua keunggulan yang dimiliki, yaitu pemahaman terhadap selera lokal dan kerja sama dengan operator telekomunikasi lokal untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan menggunakan kartu kredit.

Secara umum, kehadiran layanan streaming seperti ini memberikan alternatif yang layak bagi konsumen. Setelah pasar musik yang sudah “diganggu” oleh berbagai layanan streaming berharga terjangkau, kini konsumen Indonesia memiliki pilihan legal untuk konten berbasis video.

Hambatan

Seperti halnya segmen musik, film dan serial TV memiliki musuh bersama, yaitu pembajakan. Berbeda dengan layanan streaming musik yang bisa mengakomodir layanan gratis dengan skema model bisnis berbasis iklan, agak susah memberikan perlakuan serupa untuk layanan streaming video. Model bisnis yang selama ini diadopsi siaran televisi tidak bisa dikopi mentah-mentah oleh layanan streaming.

Ada banyak hambatan yang menghadang layanan seperti ini. Belum luasnya adopsi Internet berkecepatan tinggi, belum tingginya penggunaan kartu kredit, dan rendahnya pemahaman untuk mengadopsi konten legal merupakan PR bagi Netflix, iflix, dan HOOQ supaya bisa bertahan lama di Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya. Pun masih menjadi pertanyaan apakah konten-konten yang dihadirkan oleh layanan seperti ini sudah sesuai dengan selera konsumen lokal.

Kita tunggu apakah masyarakat bakal menyambut baik layanan seperti ini dan mengurangi ketergantungan terhadap konten ilegal. Setidaknya, kini kita punya pilihan.

Moxy dan Bilna Merger Membentuk MoxyBilna

Mengawali tahun 2016, dua layanan e-commerce yang fokus pada perempuan dan keluarga mengumumkan penggabungan operasinya. Moxy, yang didukung Ardent Capital, dan Bilna mengumumkan merger kedua perusahaan menjadi MoxyBilna. Group CEO Moxy Jérémy Fichet menjadi Group CEO MoxyBilna, Co-Founder dan CFO Bilna Eka Himawan menjadi Group CFO, Co-Founder dan CEO Bilna Ferry Tenka menjadi Executive Chairman perusahaan baru dan memimpin operasional di Indonesia, sedangkan pemimpin operasional Moxy di Indonesia Andrew Senduk bakal menjadi Chief Revenue Officer.

Kuatnya cengkeraman layanan e-commerce besutan Rocket Internet berdana besar di Asia Tenggara, seperti Lazada dan Zalora, membuat sejumlah layanan e-commerce lainnya berkonsolidasi untuk menjadi pesaing tangguh. MoxyBilna adalah salah satunya.

MoxyBilna dibentuk didasari kesamaan pangsa pasar. Bilna yang awalnya menyasar pasar ibu dan anak kini melebar ke pasar barang kebutuhan keluarga. Moxy sendiri adalah layanan e-commerce yang fokus ke produk perempuan, termasuk di dalamnya produk untuk anak dan bayi. Moxy, sebelumnya bernama WhatsNew, diluncurkan di Indonesia sekitar 7 bulan lalu.

Secara statistik, perempuan di kawasan ini adalah pendorong utama kegiatan belanja online, dengan 63% melakukan browsing produk dan layanan setidaknya sekali sehari, sedangkan 49% kini memilih berbelanja online ketimbang offline. Setiap laporan dan survei soal e-commerce di Indonesia selalu menempatkan produk perempuan di urutan teratas untuk segmen produk paling dicari.

Dalam pernyataannya, Fichet mengatakan, “Kemitraan ini akan membuat MoxyBilna pemain e-commerce terdepan di kawasan [Asia Tenggara]. Posisi dan jejak Bilna yang kuat di Indonesia, dipadukan dengan kekuatan Moxy di ekosistem e-commerce produk perempuan di Thailand dan Indonesia bakal membentuk entitas serius yang menjadi ‘tujuan belanja perempuan #1 di Asia Tenggara’.”

Tenka menambahkan, “Dengan langkah ini, kami telah menggandakan daya beli dan volume transaksi, secara bersama membentuk skala ekonomi yang jauh lebih berarti dan memudahkan kami menawarkan hal yang lebih baik untuk konsumen kami. Dengan menjadi entitas bersama, kami sekarang memiliki posisi yang baik di Thailand dan Indonesia untuk mengakselerasi pertumbuhan dan ekspansi [ke negara lain] dalam waktu 18 bulan.”

Setelah merger, operasional Moxy di Indonesia akan dipegang oleh Bilna, sementara platform dan operasional Bilna bakal menjadi benchmark bagi ekspansi grup ke negara lain. Kantor Bilna di Jakarta akan menjadi pusat operasional MoxyBilna dan kami mendapatkan konfirmasi tidak bakal terjadi layoff akibat merger ini karena mereka sedang ekspansi besar-besaran.

Bilna telah dua kali mengumumkan perolehan pendanaan, yang terakhir sekitar dua tahun yang lalu, dan disebutkan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin juga berinvestasi ke layanan ini. Ferry Tenka sendiri merupakan Co-Founder Disdus yang diakuisisi Groupon dan menjadi Groupon Indonesia.

Di tahun 2016 ini, tren konsolidasi bakal menjadi bumbu menarik perkembangan ekosistem startup yang lebih solid, baik untuk pasar Indonesia maupun pasar Asia Tenggara secara umum.

Tony Keusgen jadi Country Director Google Indonesia yang Baru

Setelah hampir setahun kosong, pucuk pimpinan Google Indonesia bakal diisi oleh Tony Keusgen per awal tahun 2016. Tony bukanlah orang baru di Google, sebelumnya ia menjabat sebagai Managing Director Google Selandia Baru selama tiga tahun dan Head of Technology Google ANZ selama empat tahun. Di Indonesia, Tony bakal fokus menentukan strategi bisnis dan kemitraan untuk produk Google.

Sebelum bekerja di Google, Tony sempat bekerja di perusahaan telekomunikasi Grup SingTel. Dalam penyataannya, Tony mengatakan, “Adalah sebuah kehormatan memulai bekerja dalam sebuah pasar yang sangat penting bagi Google. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan smartphone tertinggi di Asia Tenggara, Indonesia membantu mendorong perubahan besar di dalam industri, seperti bagaimana masyarakat mencerna konten hingga bagaimana bisnis menjangkau targetnya.”

“Saya sangat antusias dapatt menjadi bagian dari sebuah dinamika suatu negara dan berharap dapat membantu perusahaan Indonesia mengembangkan bisnisnya dengan produk mereka sementara itu juga menyediakan masyarakat Indonesia dengan berbagai produk yang mereka cintai dan mereka nikmati saat menggunakannya,” lanjutnya.

Tidak ada keterangan tentang mengapa Google tidak mengisi posisi ini dengan orang lokal. Tampaknya Google cukup kesulitan memperoleh orang yang benar-benar mengerti pasar Indonesia, sebelum akhirnya menunjuk pegawainya dari kawasan lain.

Posisi Country Director Google Indonesia kosong sejak 11 bulan yang lalu karena Rudy Ramawy pindah ke Grup Lippo. Rudy kini menjabat sebagai Vice Chairman MatahariMall dan Managing Partner Venturra Capital.

Go-Tix dari Go-Jek Siap Bentuk Cara Baru Membeli Tiket Layanan Hiburan (UPDATED)

Penyedia layanan on-demandtidak lagi sekedar layanan transportasi berbasis aplikasi, Go-Jek siap menjadi pemain baru untuk pembelian dan pengantaran tiket layanan hiburan. Mereka telah menyiapkan Go-Tix, yang bakal beroperasi penuh dalam waktu dekat, untuk melayani kebutuhan di sektor ini. Tiket.com dan Rajakarcis adalah dua pemain yang mungkin bisnisnya bakal “diganggu” tahun depan.

Go-Jek telah menyiapkan situs tersendiri dan akun Instagram untuk Go-Tix. Meskipun demikian, Go-Tix tetap akan terintegrasi dalam aplikasi mobile Go-Jek. Kami memperoleh informasi bahwa Go-Tix dikembangkan bekerja sama dengan sebuah software house ternama di Jakarta.

Jika melihat beberapa imaji yang diunggah di akun Instagram-nya, bisa ditebak bahwa Go-Tix akan menjadi perantara pembelian tiket konser musik, tiket mengunjungi taman bermain, dan bahkan berbagai event. Biasanya tiket seperti ini, meskipun bisa dibeli secara online, masih harus ditukarkan dengan tiket asli di ticket box. Penukaran ini yang kadang-kadang cukup menyita waktu, belum lagi jika antriannya mengular.

Go-Jek bisa jadi telah bekerja sama dengan pemain yang sudah ada, baik online maupun offline, dengan solusi logistiknya yang sudah mulai menjadi bagian gaya hidup warga di kota-kota besar.

Peluncuran Go-Tix merupakan tindak lanjut Go-Jek dalam usahanya menjadi raja layanan on-demand, melengkapi 9 layanan “Go” lain yang sudah ada. Go-Jek sendiri sudah ditahbiskan sebagai salah satu aplikasi paling populer di Indonesia, baik untuk platform Android maupun iOS.

Google memasukkan Go-Jek dalam 10 aplikasi terpopuler di Google Play Indonesia tahun ini, sedangkan di platform iOS Go-Jek malah pernah menduduki posisi tertinggi di App Store, di atas berbagai layanan dan game populer global. Per akhir tahun ini tercatat Go-Jek memiliki 8 juta pelanggan dan lebih dari 200 ribu pengemudi di 10 kota besar di Indonesia.

Go-Tix bakal menjadi gong ekspansi Go-Jek di penghujung tahun 2015 atau awal tahun 2016.

Update: Go-Tix sudah tersedia di aplikasi Go-Jek versi Android. Tersedia tiga menu di dalam Go-Tix, yaitu What’s Happening, On Sale, dan My Tickets.

screenshot_2015-12-29-17-47-50_com.gojek.app_1024

KakaoTalk Berangsur Mundur dari Indonesia, Tahun Depan Fokus ke Path

Kakao mulai mengkonfirmasi mundurnya layanan messaging KakaoTalk dari Indonesia. Melalui statusnya di Facebook Page KakaoTalk Indonesia, mereka memutuskan untuk menutup akun tersebut. Pun setali tiga uang dengan akun Twitter-nya yang praktis tidak ada kegiatan sejak akhir September lalu. Menurut informasi yang kami peroleh, tahun depan tim lokal bakal fokus mengembangkan Path yang masih memiliki basis konsumen kuat di Indonesia.

Rumor soal hengkangnya KakaoTalk dari Indonesia sudah kami dengar dua bulan belakangan. Beberapa sumber menyebutkan pegawai yang dulu menggunakan kartu pegawai berwarna kuning (khas Kakao), kini mulai berganti ke warna merah (khas Path).

Informasi dari negeri asalnya Korea Selatan pun menyebutkan KakaoBank, bank virtual yang dikembangkan oleh konsorsium teknologi yang dipimpin Kakao, nantinya bakal masuk ke Indonesia melalui Path.

Sejauh ini, kami belum mendapatkan konfirmasi langsung dari tim Kakao Indonesia.

kakaotalk_indonesia_tutup

Bagi Kakao, Indonesia adalah pasar yang sangat penting. co-CEO Kakao waktu itu, Sirgoo Lee, sempat mengklaim pengguna di Indonesia adalah pengguna KakaoTalk terbesar kedua di dunia setelah Korea Selatan dengan 13 juta pengguna terdaftar. Mereka berharap KakaoTalk akan berangsur menjadi layanan messaging terbaik di Indonesia. Itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu.

Tahun 2015 bisa dibilang tahun yang suram bagi Kakao di Indonesia. Mereka hampir tak terdengar di kancah messaging di Indonesia, kalah bersaing dengan WhatsApp, LINE, Telegram, dan bahkan BlackBerry Messenger yang menolak untuk takluk dengan kehadiran BBM Money yang menyasar segmen e-commerce.

Salah satu upaya Kakao untuk tetap eksis di Indonesia adalah akuisisi terhadap Path yang konsumen terbesarnya berada di Indonesia. Meskipun sejauh ini belum ada manuver bisnis yang dilakukan Kakao untuk Path, masih tingginya engagement konsumen Indonesia di Path membuat Kakao harus berpikir ulang tentang strateginya di Indonesia.

Untuk menguasai pasar Indonesia, Path mungkin menjadi satu-satunya harapan Kakao.

Akuisisi Migme terhadap Hipwee dan Shopdeca adalah Manuver Tepat Sasaran

Dalam keterbukaannya di Bursa Efek Australia, platform social entertainment Migme mengumumkan akuisisi terhadap dua layanan lokal, Hipwee dan Shopdeca. CEO Migme Steven Goh kepada Tech In Asia menyebutkan total biaya akuisisi mencapai $2 juta (Rp 27 miliar) dalam bentuk tunai dan saham. Co-founder masing-masing perusahaan akan tetap berada di perusahaan dan menjadi bagian dari Migme per awal tahun 2016.

Akuisisi terhadap layanan e-commerce dan media populer ini bisa dibilang  manuver bisnis Migme yang signifikan di Indonesia setelah popularitasnya meredup sejak konsumen tradisionalnya beralih dari ponsel Java ke smartphone Android.

Tidak mengherankan jika dua startup ini yang akhirnya dipilih. Shopdeca adalah layanan e-commerce yang menjual barang-barang gaya hidup, sementara Hipwee merupakan media online yang menyasar gaya hidup anak muda. Cocok dengan segmen pasar yang diharapkan Migme.

Kami mengekspektasikan Hipwee akan tetap berdiri sebagai entitas bisnis tersendiri mengingat brand-nya yang cukup kuat di kalangan anak muda. Migme sendiri berniat mereplikasi metode bisnis dan konten yang dianut Hipwee ke India dan Filipina yang menjadi pasar potensial berikutnya bagi Migme.

Untuk Shopdeca sendiri, ada kecenderungan entitas bisnisnya bakal dilebur dalam entitas e-commerce Migme, apalagi Pendiri Shopdeca Andreas Thamrin bakal bergabung dengan Migme sebagai Global Head of Ecommerce. Migme sebelumnya juga telah mengakuisisi layanan e-commerce Singapura Sold.sg.

Sebagai platform hiburan sosial, langkah akuisisi terhadap dua layanan ini sangat menarik dan menurut kami tepat sasaran. Kita tunggu apakah proses akuisisi ini bakal menjadi awal kebangkitan bisnis Migme di Asia.