Dua Izin Penyelenggara Telekomunikasi Bakrie Telecom Dicabut, Bagaimana Perusahaan Bertahan?

Selama tahun 2016 ini, Kemenkominfo telah resmi menerbitkan delapan surat keputusan pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi. Salah satu yang terdampak adalah izin penyelenggaraan jaringan Fixed Wireless Access (FWA) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) milik PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Pencabutan izin tersebut dilayangkan pada bulan Oktober ini, untuk FWA pada 10 Oktober, sedangkan SLI di 17 Oktober lalu.

Kemenkominfo menerbitkan surat pencabutan tersebut didasari oleh rekomendasi Direktorat Pengendalian Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika dan/atau Permohonan Pengembalian Izin Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dari Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi. Selain BTEL, beberapa penyedia layanan telekomunikasi lain turut terdampak, beberapa di antaranya Asia Cellular Satellite, Global Telecom Utama dan sebagainya.

Pencabutan dua izin tersebut tentu membuat perusahaan telekomunikasi berkode saham BTEL ini makin sulit untuk bersaing di era 4G/LTE ini dengan para pemain besar lain. Keterpurukan BTEL sebenarnya sudah mencoba disiasati sejak bulan April lalu. Menggaungkan taglineAwal Transformasi“, keputusan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) menyetujui pengangkatan dua direktur baru.

Bersama dua direktur barunya Mark Robson dan Andi Pravidia, BTEL berniat untuk mengejar ketertinggalan di pasar Triple Play (Internet, Telepon dan TV) yang sedang menjadi tren di Indonesia. Namun langkah awal tersebut sebenarnya dimulai dengan cukup berat, karena kala itu perusahaan dikabarkan tengah memiliki hutang hingga Rp 7,6 triliun. Sehingga hasil RUPSLB turut menyepakati untuk melakukan reformasi struktur permodalan dengan penerbitan saham baru.

MVNO dioptimalkan sebagai penggerak bisnis BTEL

Seperti diketahui BTEL telah mengubah dirinya dari penyelenggara jaringan seluler menjadi Mobile Virtual Network Operator (MVNO) 4G/LTE melalui jaringan Smartfren dan kapabilitas aplikasi EsiaTalk. Pendekatan yang sedikit berbeda juga terus digencarkan untuk memaksimalkan pengguna jaringan 4G/LTE yang dimilikinya. Salah satunya dengan menyediakan berbagai varian modem dan ponsel yang 4G/LTE-ready.

Dicabutnya izin sebenarnya dilakukan pada jaringan tetap lokal mobilitas terbatas dan jaringan tetap sambungan internasional. Artinya dengan izin sebagai Internet Services Provider (ISP), BTEL harusnya masih bisa melanjutkan cita-citanya untuk menjadi penyelenggara Triple Play. MVNO dan jaringan fiber optik miliknya diyakini menjadi modal besar untuk sukses Triple Play BTEL.

Konektivitas portabel sebagai ujung tombak layanan Smartfren

Konsolidasinya dengan Smartfren dalam penggabungan usaha telah diambil sejak tahun 2014 lalu. Pada akhirnya saat ini brand Smartfren yang paling digenjot, khususnya untuk perangkat modem. Minatnya pun tak sedikit, dan kalau dilihat apa yang ingin dibentuk memang mengarah ke perangkat konektivitas portabel. Ini pun yang mungkin bisa digencarkan untuk visi Triple Play miliknya.

Umumnya pesaing di Triple Play, sebut saja IndiHome, MyRepublik dan FirstMedia menggunakan konektivitas berbasis kabel untuk masuk ke pelanggan. Bisa dikatakan belum ada yang memberikan porsi serius jika penggunaan Triple Play berada di perangkat portabel, konektivitasnya. Sangat memungkinkan dengan kekuatan Smartfren yang ada saat ini, namun hal tersebut dikembalikan kepada strategi bisnis perusahaan.

Sedikit demi sedikit layanan BTEL menyusut. Cara untuk segera menguatkan bisnis harus dipikirkan matang. Masih ada harapan untuk bisa berjaya di era internet ini, dengan izin ISP yang dimiliki. Namun jika tidak ada inovasi, maka BTEL cukup menunggu waktu saja untuk kian tertinggal jauh dengan para pesaingnya yang sudah mulai gencar melakukan pendekatan lain, yakni berbasis konten (contohnya dengan kerja sama dengan OTT dan layanan streaming premium).

Young On Top Kembali Adakan Startup Connext Conference 2016

Startup Connext Conference 2016 merupakan acara bulanan dari Young On Top (YOT) Start Up Connext. Acara ini menghadirkan beberapa pelaku startup sukses dan investor untuk berbagai tentang apa saja yang perlu disiapkan ketika terjun dalam industri ini. Acara ini akan digelar dalam tiga sesi, yakni seminar, networking dan workshop, dan akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 5 November 2016 mulai 09.00 – 17.00 WIB di Ballroom Kuningan City.

Beberapa pemateri yang bakal berbicara di antaranya:

  • Kevin Mintaraga (CEO Bridestory)
  • Gunawan Susanto (IBM Indonesia)
  • Andy Zain (Managing Director Kejora Ventures)
  • Dani Oei Wirianto (GDP Ventures)
  • Djemi Suhenda (Deputy President Directur Bank BTPN)
  • Iman Usman (Co-Founder & CPO Ruangguru.com)
  • Jason Lamuda (Founder & CEO BerryBenka)
  • Sam Gadodia, (Founder & CEO LotusFlare, Sillicon Valley)
  • Rama Notowidigdo (Co-Founder & CPO Go-Jek)

Berbagai pembahasan akan menjadi diskusi hangat dalam sesi ini. Mulai dari melihat tren industri teknologi saat ini, menyiasati peralihan bisnis tradisional ke berbasis digital hingga memaksimalkan potensi media sosial untuk peningkatan traksi bisnis.

Dalam sesi workshop, turut dibahas secara khusus permasalahan startup terkait dengan kebutuhan operasional, seperti tentang pengelolaan keuangan, legal, media sosial, pembenahan visi hingga penguatan brand.

Young On Top sendiri merupakan komunitas mahasiswa yang dibimbing oleh Billy Boen yang bertujuan untuk menciptakan generasi muda unggulan dari berbagai perguruan tinggi. Saat ini, komunitas YOT sudah tersebar meluas di seluruh Indonesia dengan dibentuknya komunitas Young On Top di berbagai kota.

Jika rekan-rekan tertarik untuk mengikuti pagelaran ini, daftarkan diri melalui tautan berikut ini: http://www.youngontop.com/scc2016


Disclosure: DailySocial merupakan media partner acara Startup Connext Conference 2016.

Coral Pivot Jadi Prism, Hadirkan Fitur Chat-to-Buy untuk E-Commerce

Model layanan yang mengedepankan kecerdasan buatan yang menyajikan otomatisasi terus gencar dilahirkan oleh racikan tangan pengembang lokal. Baru-baru ini hadir sebuah layanan bernama Prism, sebuah sistem chat yang mampu terintegrasi dengan layanan e-commerce dan memudahkan customer service membantu pelanggan memenuhi kebutuhan transaksinya. Layanan ini digagas oleh tim pengembang Coral. Prism menjadi bentuk pivot dari Coral.

Co-Founder dan CEO Prism Batista Harap memberikan komentar:

“Yes, kita mengambil pelajaran-pelajaran yang kami terima di Coral untuk meningkatkan Conversion Rate di seluruh merchant kami.”

Segepok fitur telah disematkan pada layanan Chat-to-Buy ini, dengan pembagian kategori fitur berupa Conversation, Transaction dan Power Tools. Di kategori Conversation berbagai fitur yang mendukung percakapan diadakan, termasuk kemampuan kustomisasi widget, integrasi dengan email, autoresponder dan sistem persona agen.

Di kategori layanan Transaction, fitur belanja online tersematkan ke dalam sistem chat yang diintegrasikan dengan layanan e-commerce, sehingga memudahkan pengguna yang dibantu oleh sistem bantuan pelanggan memenuhi kebutuhan transaksi. Karena melalui sistem ini pengguna pun dapat melakukan pembayaran, misal menggunakan kartu kredit, tanpa harus meninggalkan chat. Sedangkan di kategori Power Tools berbagai kebutuhan untuk memudahkan pelanggan dan promosi dihadirkan. Termasuk kemampuannya untuk diakses dalam mode desktop ataupun mobile.

Saat ini layanan Prism dapat dilanggan dengan dua pilihan paket, yakni Startup E-Commerce dan Enterprise E-Commerce. Perbedaannya adalah kapabilitas dan kekayaan fitur. Dalam penerapannya pun sudah tersedia API integrasi yang siap pasang. Cukup baru memang untuk sebuah sistem e-commerce di Indonesia, namun bisa jadi ini membuka tren baru di dunia belanja online, terlebih sistem berbasis messaging sudah sangat akrab digunakan oleh pengguna smartphone di Indonesia.

Teknologi di balik kecerdasan layanan Prism

Dewasa ini pendekatan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Natural Language Processing (NLP), Machine Learning hingga Big Data memang sedang gencar untuk melakukan pengelolaan dan otomatisasi pada kumpulan data dan layanan. Namun dalam pengembangannya Prism mencoba untuk melakukan pendekatan lain di tengah maraknya pengembangan layanan berbasis AI.

“Kami optimis terhadap AI, tapi dengan data dan kemajuan NLP di Bahasa Indonesia sekarang, kami rasa belum prime-time, please prove us wrong. Oleh karena itu kami memilih untuk design Prism dengan prinsip Augmented Intelligence,” ujar Tista.

Dalam pengembangannya, tim Prism mengaku bahwa seluruh pemilihan teknologi, user experience dan sistem komunikasi semua terpusat pada efisiensi pengguna, dengan menyajikan layanan yang pintar dan upsell friendly.

“Jika sebelumnya seorang chat-agent dapat menangani sekitar 100 chat/hari, kami ingin meningkatkan efisiensinya menjadi paling tidak sampai 1000 chat/minggu, di mana conversion rate sama atau bahkan lebih dengan aplikasi Coral sebelumnya,” lanjut Tista.

Untuk menunjang peningkatan conversion rate, Pirsm turut mengembangkan White Label Chat App dan Mobile SDK untuk Prism yang diberikan gratis kepada merchant. Menurutnya semakin dekat mediumnya dengan customer, semakin tinggi conversion rate yang dapat dihasilkan.

“Lalu integrasi dengan situs-situs e-commerce kami buat lebih mudah lagi dengan menyediakan plugin di Magento, WooCommerce dan Prestashop. Ke depannya kami ingin membuat lebih banyak plugin lagi untuk lebih banyak e-commerce platform. Dengan plugin, hanya butuh beberapa klik untuk integrasi Prism,” ujar Tista.

Melayani transaksi pembayaran, Prism juga meyakinkan bahwa apa yang ditawarkan melalui rangkaian kategori fitur Transaction dapat berjalan secara aman. Sebagai bagian dari Midtrans, pihaknya menggunakan Midtrans Core API yang telah digunakan oleh mayoritas situs e-commerce di Indonesia.

“Khususnya untuk pembayaran kartu kredit, kami tidak pernah menyimpan data kartu kredit customer […] Kami melakukan charging on behalf of merchant lalu payment notification akan diteruskan langsung ke API merchant. Untuk merchant yang sebelumnya menggunakan VT-Web, kami juga support payment method tersebut. Ke depannya kami juga mengintegrasikan SNAP ke Prism,” jelas Tista menerangkan proses eksekusi transaksi di Prism.

Chat-to-Buy, strategi peningkatan conversion rate e-commerce

Ide yang mendasari pengembangan Prism masih seputar keinginan tim untuk meningkatkan porsi transakasi layanan e-commerce. Awalnya Tista, Andreas Fendri dan Dharma S. Utomo ingin membuktikan dua hal, yakni metode bank transfer di Indonesia bukanlah masalah e-commerce dan checkout flow yang sekarang biasa digunakan di e-commerce pada umumnya tidak dibuat untuk behavior orang Indonesia. Muncullah Chat-to-Buy. Kedua hal tersebut dibuktikan dengan Coral.

Conversion rate yang dihasilkan dari Coral mencapai angka 13% dengan UX yang kita funnel semua ke tombol Chat-to-Buy. Lalu untuk Bank Transfer, kami membuktikan bahwa semua chat yang sampai ke tahap invoice, 93% settled,” ujar Tista.

Dari persentase yang didapat tersebut, tim Prism meyakini bahwa conversion rate dipengaruhi oleh Chat-to-Buy. Fakta ini sebelum direalisasikan menjadi Prism juga telah didiskusikan dengan pemain e-commerce, salah satunya Tees.co.id. Obrolan tersebut memusatkan pada keinginan bersama untuk melakukan investasi waktu dan tenaga dalam mencari langkah meningkatkan conversion rate. PolkaBeauty.com dan Tees.co.id menjadi 2 situs pertama yang mengimplementasi Prism di front-end mereka.

Cita-cita utama Prism adalah ingin menjadi pengalaman bertransaksi e-commerce menjadi lebih personal dan nyaman. Untuk mewujudkan hal tersebut, tim Prism saat ini terus membuka umpan balik dari para merchant untuk dapat bisa adaptif terhadap berbagai proses bisnis.

“Setiap minggu kami release sesuatu yang baru, sprint cycle kita selalu 1 minggu. Kami menyadari agar dapat bergerak cepat, kami mesti membuat keputusan-keputusan produk yang tepat berdasarkan feedback dan lebih sedikit asumsi. Oleh karena sifat Prism sebagai platform, kunci sukses kami adalah membuat platform tersebut adaptive, simple, fast to integrate and deliver value. Long term kami melihat dunia di mana e-commerce cukup disebut commerce, pengalaman membeli menjadi personal,” pungkas Tista.

Media Muda VICE Hadir di Indonesia untuk Ekspansi Pertamanya di Asia Tenggara

Pengembang konten global yang fokus untuk kalangan muda VICE resmi mengumumkan akan segera hadir di Indonesia. Tepatnya pada 1 November 2016 mendatang, dan Indonesia menjadi tempat singgahnya pertama di Indonesia. Dengan brand Vice Indonesia, media ini akan memfokuskan pada pengembangan konten yang mengangkat talenta baru, seni, serta cerita-cerita tersembunyi yang berbicara mengenai keragaman di negara ini.

Inisiatif media barat untuk membuat basis di Asia Tenggara dan menempatkan timnya di sini bukan pertama kali ini saja, sebelumnya ada Mashable yang dikabarkan telah membentuk tim editorial dan bisnis di sini. Sebelumnya Business Insider juga sempat dikabarkan telah membangun bisnis di Indonesia, hanya saja sampai saat ini belum ada tim lokal yang mengerjakan secara intensif.

Pemilihan basis Indonesia dan target fantastis kalangan muda

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per tahun 2015 jumlah penduduk usia muda di Indonesia mencapai 62,4 juta atau setara 25 persen dari total penduduk. Angka ini menjadi target fantastis untuk diupayakan oleh Vice, terlebih kaum millennials di Indonesia tergolong cukup konsumtif dan mengagumi konten-konten “muda”. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Direktur Pelaksana Vice Indonesia Mo Morris.

Dalam sambutannya Morris mengatakan:

“Indonesia merupakan lokasi yang tepat untuk kantor pertama Vice di Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara yang menarik dengan kehidupannya yang dinamis. Negara ini memiliki kelas menengah yang tumbuh pesat dan populasi anak muda yang besar, kelompok yang sangat terkait dengan konten-konten kami.”

Vice Indonesia akan mengusung dua bahasa dalam konten-kontennya, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

“Vice akan menghadirkan pandangan segar yang mempertanyakan kearifan konvensional, sehingga sajian konten lokal akan lebih mendalam, menegaskan ciri dan gaya khas tulisan-tulisan Vice yang kerap hilang dari pusaran media yang hiruk-pikuk,” kata Morris.

Mendongkrak melalui komunitas dan konten populer

Melalui pemberitaannya, Vice sering kali menyajikan bahasan yang cukup tegang, tak sedikit pula yang mengundang kontroversial. Namun nyatanya konten seperti itu yang laris di media sosial, bahasan kritis yang membelah kelompok pro dan kontra. Dalam kedatangannya di Indonesia pun Vice mencoba menggunakan pendekatan yang matang untuk kalangan muda, termasuk dengan melibatkan selebriti ternama untuk membangun komunitas penikmat Vice Indonesia.

Vice akan segera menghadirkan basis bisnis di Indonesia
Vice akan segera menghadirkan basis bisnis di Indonesia

Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Medan akan menjadi sasaran utama di awal kehadirannya di Indonesia. VICE yang dikenal memiliki gaya jurnalisme yang mampu bercerita secara mendalam dan berani, mengawali bisnis di Montreal, Canada pada tahun 1994. Dengan pengalamannya berekspansi di lebih dari 25 negara, Vice kini telah membukukan pendanaan total senilai $770 juta.

Persaingan di ranah lokal merebut pangsa pasar kaum muda

Vice Indonesia akan dihadapkan langsung dengan puluhan situs populer yang biasa diakses kalangan muda di Indonesia. Selain memang situs spesifik ala MalesBanget, Hipwee atau KapanLagi, media berbentuk forum seperti Kaskus juga menjadi penantang yang siap berebut trafik kalangan muda pengakses internet. Kuncinya tentang bagaimana mereka menciptakan tren, dan tentu membangun kepercayaan, terlebih apa yang sering disampaikan berupa berita aktual.

Tantangannya bagaimana mereka mampu mengukur kepekatan unsur lokal pada setiap konten yang disajikan. Bagaimanapun karakteristik penikmat konten di Indonesia memiliki standar berbeda dengan negara-negara lain yang pernah menjadi basis Vice.

Kudo Rekrut Tokoh Senior untuk Dorong Akselerasi Bisnis

Di lanskap startup Indonesia perekrutan tokoh senior untuk ditempatkan dalam jajaran C-Level perusahaan cukup menjadi tren, terutama untuk startup yang tergolong sudah mapan. Contohnya ada Jim Geovedi di YessBoss Group, ada juga Kudo dengan merekrut Sukan Makmuri dan baru-baru ini Tiket dikabarkan melakukan hal yang sama. Lalu sebenarnya apa yang menjadi pertimbangan para Founder dari perekrutan tersebut, sehingga dirasa menjadi urgensi dalam alur bisnis yang mereka kerjakan?

Kami berkesempatan berbincang dengan Co-Founder dan CEO Kudo Albert Lucius. Alasan mendasar yang dipaparkan Albert mengapa Kudo merekrut Sukan Makmuri untuk masuk ke jajaran C-Level di bisnisnya karena dibutuhkannya skillset baru untuk mengakselerasi bisnis. Jelas saja, pengalamannya selama 25 tahun di Silicon Valley membuat veteran teknologi tersebut dinilai mampu memberikan sumbangsih besar untuk kemajuan Kudo.

Tak wajib memang untuk melakukan perekrutan tokoh senior seperti ini. Lebih detail Albert mengungkapkan bahwa perekrutan tokoh senior sangat bergantung pada tahapan sebuah startup. Ketika startup masih dalam tahap berkembang, semasa growth masih dipupuk, produk masih berubah-ubah, maka eksekusi cepat diperlukan dengan kendali pribadi Founder dan tim. Namun ketika tim sudah membesar, karyawan sudah banyak, maka figur senior sangat diperlukan untuk mengakomodasi berbagai hal.

Pertama ialah membawa stabilitas dan membagikan pengalamannya kepada startup. Umumnya startup didominasi oleh kalangan muda, sebagian besar. Untuk menjaga bisnis tetap merangkak maju, butuh mengimbanginya dengan senioritas yang ada membawa kestabilan perusahaan. Secara umum tokoh senior yang direkrut juga dinilai harus dapat diikuti dan menjadi inspirasi rekan-rekan pekerja yang masih junior. Maka dari itu pemilihan sosok ini akan menjadi langkah krusial yang perlu dilakukan Founder.

Berbagi tips kepada rekan-rekan startup lain, yang masih di tahap pemula, Albert menyampaikan sarannya. Menurutnya perekrutan dilakukan seperlunya saja, yang penting lakukan dengan proses eksekusi yang cepat, tidak menghambat keputusan lain yang diperlukan untuk proses bisnis. Tim manajemen kada merasa tiba-tiba perlu merekrut seorang senior begitu pertumbuhan sales dan organisasi berkembang. Di sini kuncinya startup harus memiliki hiring path (kandidat) sebelum benar-benar diperlukan.

Membangun hubungan (networking) yang dilakukan oleh seorang Founder startup akan memberikan peran yang besar dalam menentukan kandidat ini. Ketika startup sering terhubung dengan tokoh-tokoh senior yang inline dengan bidang bisnis yang dikerjakan, maka untuk mendapatkan kandidat tersebut tidaklah sulit. Terlebih ketika ada tuntutan untuk melakukan perekrutan seorang tokoh yang bisa memiliki gagasan selaras dengan visi startup.

Pada akhirnya bisnis teknologi dikembalikan kepada tantangan yang paling mendasar, yakni melakukan adaptasi secara cepat untuk bisa tetap berdiri tegak di tengah persaingan dan dinamika bisnis global yang terus melesat. Karena sekat dalam bisnis teknologi tergolong lebih transparan, berbagai tindakan strategis butuh segera ditentukan.

Budaya Riset Teknologi di Indonesia yang Terkesan Masih Kurang Diminati

Mungkin ungkapan seperti ini sudah sangat umum kita dengar, “di luar negeri sudah menyiapkan berkoloni di Mars, di negeri kita masih sibuk membesar-besarkan perdebatan agama di Facebook”. Sangat mudah untuk menemukan realitas tersebut, saat permasalahan yang cenderung tidak membangun lebih digemari untuk menjadi perdebatan sengit. Di sisi lain kita sudah berada di abad yang sangat bergantung pada percepatan pembangunan, yang banyak disokong keandalan teknologi. Tentu saja teknologi tidaklah hadir begitu saja. Banyak pemikiran yang terlibat di dalamnya.

Teknologi hadir karena inovasi. Siapa yang mau berinovasi maka dialah yang lebih dulu berkembang. Tak mudah memang. Selain semangat, inovasi membutuhkan pengorbanan yang tak gampang ditiru.

Figur yang paling sering menjadi kiblat inovasi saat ini adalah Elon Musk. Untuk bisa mengembangkan perusahaan seperti Zip2, PayPal, SpaceX, Tesla dan SolarCity, Elon menghabiskan waktu rata-rata 85 jam per minggu, membaca buku 60 kali lebih banyak dari orang pada umumnya. Bahkan ia memilih untuk mengetahui berbagai hal di saat orang lain mengira berfokus pada satu hal akan mendorong kesuksesan.

Melihat realitas tersebut, menjadi penting bagi kita untuk coba menilik kembali seberapa besar semangat, khususnya anak muda, dalam mengejar dinamika kemajuan teknologi. Melihat kembali semangat inovasi sebagai bagian usaha mengubah dunia ke arah yang lebih baik.

Kami mencoba menggali insight dari rekan yang kami rasa pantas untuk memberikan pendapatnya seputar semangat inovasi dan riset di dalam negeri. Tim Menembus Langit dewasa ini sedang banyak menjadi sorotan untuk inisiatifnya dalam mengarungi angkasa (statosfer). Bersama dengan salah satu anggota timnya, Daus Gonia, kami melakukan wawancara seputar tema tersebut.

Berikut ini hasil wawancara kami:

Tanya (T): Bagaimana Anda melihat semangat rekan-rekan muda Indonesia dalam kaitannya dengan riset dan inovasi?

Jawab (J): Secara umum, anak muda-anak muda sekarang buat saya sudah lebih baik, tapi kalau dibandingkan dengan negara lain, masih sangat jauh.

T: Jika inovasi dan riset di Indonesia bisa dikatakan lambat dan kurang memiliki daya tarik, menurut Anda faktor apa yang menyandung?

J: Saya selalu percaya, orang Indonesia itu banyak yang cerdas dan kreatif. Inovasi dan riset pun cukup banyak, tapi hal-hal yang seperti ini belum terlalu menjadi hal yang sexy dan keren di Indonesia, pemberitaannya pun sangat jarang sehingga hal-hal tersebut kalah menyebar dari pada seseorang yang mati karena minum kopi, mungkin itu menjadi penyebab susah ketemunya orang-orang riset dan industri komersial.

Untuk hanya jadi prototype saja mungkin banyak, tapi prototype menjadi sebuah produk jadi dan punya nilai jual, di Indonesia masih cukup sulit. Diperburuk dengan masuknya produk-produk teknologi inovasi dengan harga murah dari negara lain.

T: Apakah pemerintah saat ini terkesan kurang memperhatikan berbagai hal terkait dengan riset (terutama di bidang teknologi)?

J: Menurut saya pemerintah Indonesia sudah melakukan apa yang mereka harus lakukan, yaitu setengah hati. Karena dalam kampanye presiden sudah banyak disinggung tentang menumbuhkan ekonomi kreatif, ya tapi seperti itu sih, setengah hati jadi menurut saya harusnya pelaku industri yang banyak mengambil peran dalam hal ini, terlalu lama kalau kita harus menunggu pemerintah melakukan aksi yang nyata. Seperti industri sepeda bermotor, kita masih jadi jajahan negara Jepang. Padahal saya yakin dengan investasi yang tepat, Indonesia dapat mandiri dan berdikari dalam menciptakan produk-produk transportasi yang mumpuni.

Bayangkan saja Harley Davidson itu Amerika buat dalam kondisi perang tahun 1900, sedangkan kita 116 tahun ke mana saja? Apa sampai 2016 tidak ada yang sanggup? Mustahil menurut saya. Makanya peran pemerintah untuk mengatur regulasi pasar, agar produk-produk lokal dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, agar tercipta sebuah mekanisme pasar yang kompetitif, agar masyarakat pun tergerak untuk mendukung dan membeli hasil produk-produk yang inovatif dan menarik.

T: Inisiatif seperti Menembus Langit muncul dan datang seperti sebuah panggilan untuk para pelakunya. Sebenarnya apa motivasi Mas Daus dan rekan melakukan ini?

J: Saya dan teman-teman di tim Menembus Langit selalu percaya, produk atau solusi yang bagus tercipta karena kolaborasi. Dengan proyek ini, diharapkan banyak individu atau industri lain tahu kalo misalnya teknologi di Indonesia sudah lumayan berkembang dan bisa dijadikan solusi-solusi untuk permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat umum dan industri-industri ekonomi lain.

Selain itu, kita ingin menggelitik baik pihak lain ataupun pemerintah, untuk membuat suatu hal-hal yang baru dan terus berinovasi. Menembus Langit ini rencananya tidak hanya akan berakhir di ekspedisi di stratosfer, ini merupakan langkah awal untuk muncul-munculnya inovasi lain baik dari kita yang berbentuk Menembus Langit lain ataupun pihak lain yang punya mimpi dan teknologi jauh lebih baik dari kita.

Pernah pada suatu ketika saya mendapat pertanyaan seperti ini: “Iya, kalian bisa Menembus Langit, terus gunanya untuk apa? Manfaatnya apa?”

Dan pertanyaan itu yang saya harapkan.

Saya jawab: “Iya, memang Menembus Langit sekarang manfaatnya secara langsung belum ada selain dari data-data yang kita dapat dan hasil dari riset proyek Menembus Langit ini akan kita bagikan secara open source yang bebas di-download. Dan kita malah ingin ada orang-orang yang kepikiran apa yang bisa dilakukan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dengan teknologi ini, dan setelah ini selesai kita lakukan itu bareng-bareng.”

Menembus Langit ini pun ingin memberi tahu ke orang lain, kalau membuat sesuatu itu tidak selalu butuh sponsorship berupa uang atau funding yang banyak. Selama kalian bertemu dengan orang-orang yang tepat dan punya visi-misi yang sama dan tujuannya baik, itu bisa dilakukan.

T: Jika ditanya tentang dukungan, seperti apa dan dari mana yang diharapkan untuk menyukseskan riset teknologi di Indonesia?

J: Terlalu muluk jika orang-orang kreatif di Indonesia mengandalkan bantuan dari pihak mana pun. Google (mesin pencarinya) sudah banyak membantu. NUHUN GOOGLE. Dan menurut saya anak-anak muda atau para inovator bahkan pelaku bisnis harus melakukan hal-hal dengan cara bootstrap, karena dengan hal tersebut para investor atau bahkan daya beli masyarakat di pasar dapat memberikan bantuan atau dukungan yang konkret kepada industri ini.

Hadirnya WeShop dan Realitas Panasnya Persaingan Bisnis E-Commerce Lokal

Dalam laporan startup digital yang diterbitkan DailySocial, baik di tahun 2014 dan 2015, sektor e-commerce diprediksikan akan tetap menjadi tren yang terus diburu oleh para pemain bisnis. Benar saja, penguatan pemain lama dan hadirnya pemain baru terus bergeliat di sektor ini. Baru-baru ini salah satu penyedia jasa e-commerce asal Singapura bernama WeShop Global Group tengah mempersiapkan diri untuk bermanuver di Indonesia.

Bersama investasi $5 juta yang baru saja digenggam, WeShop akan menyediakan alternatif belanja online bagi konsumen yang menginginkan produk-produk impor dengan harga terjangkau. Saat ini situs Weshop Indonesia sudah dapat diakses. Dengan memastikan produk yang dijual asli, WeShop yakin akan berhasil memikat dengan spesialisasinya.

Founder dan CEO WeShop Global Group Emme Dao dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa di lanskap bisnis e-commerce saat ini belanja lintas negara sedang menuju puncak tren. Dari analisis yang dilakukan WeShop peminatnya telah tumbuh dua kali lebih cepat di pasar B2C (Business to Consumer) dunia. Diprediksi pertumbuhannya akan mencapai lima kali lipat di tahun 2020 mendatang. Tak lain karena terbukanya jalur dagang global yang semakin mudah diakses.

Visi WeShop ingin menghadirkan mode penjualan yang memudahkan konsumen dengan efisiensi pada biaya logistik, sistem pembayaran dan risiko yang mungkin terjadi. Simpelnya WeShop ingin menjadikan transaksi belanja di luar negeri seperti belanja di dalam negeri.

Kurasi dari produk online shop ternama

WeShop mengaku saat ini telah memiliki lebih dari 200 juta daftar produk yang bersumber dari berbagai situs e-commerce populer dunia, tak terkecuali Amazon dan eBay. Salah satu hal yang dinilai memudahkan adalah terkait pembayaran, karena kurs mata uang akan disesuaikan dengan rupiah. Sistem transaksinya pun demikian, dihadirkan dengan model yang umum digunakan oleh layanan lokal.

Layanan WeShop kini telah bisa diakses di Indonesia
Layanan WeShop kini telah bisa diakses di Indonesia

Salah satu tantangan yang coba ingin dipecahkan juga terkait dengan perpajakan. Di WeShop pelanggan harus membayarkan secara terpisah biaya pajak dan biaya lainnya (jika ada) sebelum proses pengiriman berlangsung.

Tren layanan e-concierge di Indonesia

Di Indonesia saat ini ada banyak sekali layanan yang menyuguhkan jasa sejenis, salah satu yang cukup tampak adalah HargaDunia. Sistem yang ditawarkan mirip, melakukan kurasi produk dan bertindak sebagai perantara proses transaksi penjualan dari situs e-commerce di luar negeri. Ada juga yang secara khusus menghadirkan layanan e-concierge (perantara pembelian online), salah satunya Uskoop, keberadaannya di pasar Indonesia didukung oleh Bhinneka.

Namun di tengah tren belanja online yang sering dikatakan masih dalam tahap pertumbuhan, layanan e-commerce dan marketplace lokal masih sangat mendominasi. E-concierge di Indonesia bisa dikatakan lebih menyasar segmentasi konsumen tertentu. Melihat hal tersebut nyatanya beberapa layanan e-commerce internasional dikabarkan tengah bersiap untuk melakukan ekspansi ke Indonesia, baik dalam bentuk kerja sama dengan rekanan lokal, ataupun berniat mendirikan brand sendiri.

Gejolak persaingan bisnis e-commerce belum usai

Dengan kompensasi jumlah konsumen yang luar biasa besar (dan terus bertumbuh), dengan berbagai cara layanan e-commerce terus menguatkan cengkeramannya di Indonesia. Layanan lokal terus mendulang investasi, dan layanan luar pun terus datang bersinggah. Amazon salah satunya, beberapa waktu terakhir sempat dikabarkan tengah bersiap hadir ke Indonesia, walaupun sampai saat ini belum terkabar bentuknya. Di tengah persaingan sengit ini pun tak sedikit yang pada akhirnya memilih untuk menyerah.

Rasanya konsumen di Indonesia saat ini sudah tidak lagi terpaku pada penawaran fitur seperti mudahnya pembayaran ataupun logistik. Persaingan antar pemain e-commerce sudah tidak lagi bisa mengandalkan platform, karena hal tersebut kini menjadi fundamental yang tidak diindahkan lagi, kendati performa tetap menjadi harga mati sebuah layanan. Belum ada pola jelas dari konsumen yang masih berkembang saat ini. Di titik kenyamanan tertentu konsumen terhadap layanan, masih sangat mudah goyah jika inovasi dari layanan lain dimunculkan.

Yang paling umum model “perang harga” yang dilakukan untuk akuisisi pengguna, tapi nyatanya hal tersebut tidak membawa sektor tersebut sehat. Formula ini yang kini harus terus dianalisis oleh para pemain e-commerce untuk bisa menundukkan gaya konsumtif jutaan konsumen prospektif di Indonesia. Tidak mudah memang.

Grab Resmi Luncurkan Layanan GrabHitch (Nebeng) di Jakarta

Setelah sempat disinggung sebelumnya di Echelon Indonesia 2016 beberapa waktu lalu, hari ini (19/10) Grab resmi meluncurkan layanan berbagi kendaraan roda duanya GrabHitch (Nebeng). Layanan ini menawarkan perjalanan jarak jauh door-to-door dengan biaya terjangkau bagi para komuter yang tinggal di wilayah seputaran Jakarta, meliputi Bekasi, Depok dan Tangerang. Cara kerja GrabHitch (Nebeng) ialah mencocokkan pengemudi yang akan menuju ke rute yang sama dengan orang yang akan nebeng.

Mengacu pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik DKI Jakarta tahun 2014 lalu, sebanyak 69,46 persen dari 1.38 juta komuter melakukan perjalanan harian dengan kendaraan pribadi, kendati akan berhadapan dan menyebabkan kemacetan semakin parah. Sembari infrastruktur transportasi dibangun, GrabHitch (Nebeng) berupaya menjembatani kesenjangan yang ada dengan memberikan peluang bagi pengemudi ke pusat kota dengan menerapkan sistem carpool atau bikepool dengan penumpang.

Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata meyakini bahwa GrabHitch (Nebeng) dapat menjadi alternatif yang baik, menjadi pilihan kepada komuter yang menggunakan layanan berbiaya rendah seperti bus dan kereta untuk menuju tempat kerja. Hal ini turut didukung dengan studi internal Grab terhadap 10.000 komuter di Jabodetabek, 73 persen di antaranya melakukan perjalanan seorang diri ke tempat kerja, baik dengan mobil maupun motor.

Tarif perjalanan dengan GrabHitch (Nebeng) dihitung berdasarkan jarak perjalanan dan diinformasikan di muka sehingga memungkinkan penumpang untuk mempertimbangkan biayanya sebelum melakukan pemesanan. Pengemudi sepeda motor yang melakukan perjalanan menuju tempat kerjanya kini dapat mengurangi biaya perjalanannya dengan tarif GrabHitch (Nebeng) yang dirancang untuk menutupi variabel biaya pengemudi, seperti bahan bakar dan depresiasi kendaraan.

“Kehadiran GrabHitch (Nebeng) akan membantu sebagian besar dari pengemudi yang melakukan perjalanan seorang diri ini untuk mencari penumpang dengan mudah guna berbagi biaya perjalanannya dan juga bersosialisasi saat di pemberhentian dalam perjalanan panjangnya. Hal ini merupakan pengembangan dari budaya nebeng di Jakarta dan kami meningkatkannya melalui sistem pencocokkan pengguna yang efisien serta tingkat keamanan yang lebih tinggi,” ungkap Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar.

Untuk menjamin keamanan penumpang, seluruh pengemudi GrabHitch (Nebeng) dan kendaraannya akan dicek dan diverifikasi oleh pihak Grab sebelum mereka diperbolehkan untuk membawa penumpang. Mereka diwajibkan untuk menyediakan dokumen-dokumen sah, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) hingga Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Tim Grab juga akan melakukan pengecekan informasi pelanggaran apapun yang akan membahayakan penumpangnya.

GrabHitch (Nebeng) bukan yang pertama kali di Jakarta, sebelumnya telah dikenalkan Nebengers dan UberPool.

Application Information Will Show Up Here

Apakah Pemblokiran Efektif Memerangi Pembajakan?

Beberapa waktu lalu, melalui Satgas Anti-Pembajakan yang pernah diinisiasi, Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) mengumumkan telah menutup puluhan situs online yang menyebarkan karya musik dan film digital bajakan. Mungkin langkah semacam ini bukan hal baru yang pernah kita dengar. Sebelumnya pemerintah melalui badan lainnya juga sering melakukan perang konten negatif dengan cara yang sama. Hasilnya terlihat booming sesaat, namun tak signifikan mengubah. Mati satu, tumbuh seribu.

Muncul sebuah pertanyaan, “apakah proses pemblokiran adalah langkah tepat di tengah lautan digital Indonesia yang makin terfragmentasi?”.

Menurut Ketua Satgas Anti-Pembajakan Bekraf Ari Juliano Gema, pemblokiran dinilai efektif menurunkan arus pengguna, meskipun selalu ada cara untuk mengakali, misalnya dengan mengganti nama domain. Selain itu langkah penutupan situs ini juga dilakukan untuk mengurangi periklanan judi dan pornografi yang biasa dipakai situs film dan musik bajakan.

“Dengan hancurnya traffic, iklan tidak mau datang. Situs ilegal itu pasti kesulitan bertahan karena mereka butuh server yang biayanya tidak murah,” ungkap Ari seperti dikutip dari BeritaSatu.

Layanan streaming belum mendominasi, tapi ada potensi tinggi di dalamnya

Sebagai representasi pemerintah untuk membereskan kasus di industri kreatif, Bekraf sudah menawarkan beberapa alternatif untuk suksesi industri ini. Sebut saja rencana pengembangan Gempita, sebuah paket komplit yang menyajikan kepada industri musik keperluan pemasaran, perlindungan HAKI hingga penyampaian produk ke konsumen. Layanan yang dinilai akan mirip Spotify tersebut (di sisi konsumen) dilansir lantaran tren pengguna sudah mulai ke sana.

Dalam sebuah survei tentang penikmat musik di Indonesia, DailySocial mengemukakan sebuah fakta bahwa tren ini masih belum menyeluruh. Tercatat hanya 29,54 persen dari responden survei yang mendengarkan musik melalui layanan streaming, sedangkan 70,46% sisanya masih memilih jalur offline. Namun menariknya lebih dari separuh responden mengatakan memiliki kemauan untuk segera beralih ke layanan musik streaming yang saat ini sudah mulai ramai di pasaran.

Model streaming adalah salah satu yang bisa dioptimalkan untuk penyampaian karya digital ke tangan konsumen dengan cara yang legal. Cara lain pun masih banyak yang bisa dioptimalkan, misalnya dengan memberikan ruang penjualan yang lebih luas dan edukasi dini tentang HAKI. Di lapangan sangat banyak orang yang sebenarnya tidak sadar, bahwa apa yang mereka konsumsi (karya digital) adalah sesuatu yang tidak legal. Carut-marut konten di internet membuatnya kadang sulit dibedakan oleh masyarakat awam.

Membatasi yang ilegal, menyuburkan yang legal

Kami pun coba meminta pendapat dari pelaku di industri musik sekaligus digital di Indonesia saat ini, terkait dengan langkah antisipasi yang pas untuk melindungi bisnis tersebut.

“Aksi anti pembajakan oleh Bekraf is politically necessary. Efektivitas nomor dua. Bayangkan, aksi anti pembajakan itu kayak satpam dan metal detector di mall. It acts as a deterrence rather than actual enforcement or prevention,” ujar Ario Tamat, salah satu profesional di bidang entertainment dan digital.

Jika dilihat dari satu sisi, aksi pemblokiran ini akan terlihat efektif. Memburu sumber konten pembajakan dan menghentikannya bisa menjadi cara yang pas dengan tujuan dan strategi yang jelas.

“Pokoknya hidup pembajak dibuat sesusah mungkin, begitu sih kata Bekraf. Kalau objektifnya ini sih saya setuju. Gempita, TELMI, tidak cukup. Harus bisa membuka jalan untuk pengusaha creative economy dengan membuat solusi-solusi bagi industri musik dan film juga. Buka peluang bisnis sebesar-besarnya untuk bisa bersaing di pasar, jangan cuma memikirkan inisiatif level nasional.” lanjut Ario.

Nyatanya pembajakan seperti sebuah virus yang sudah bertahun-tahun dihadapi tapi tak pernah punah.

“Pembajakan sih tidak akan hilang, tapi untuk mereka beroperasinya saja yang dipersulit. Dengan dukungan yang sesuai untuk alternatif pilihan layanan dan metode distribusi musik lain, baru jalan. Harus jalan bareng,” pungkas Ario.

JobSmart Pivot Menjadi Screening Management System

Beroperasi sejak tahun 2015, situs pencari kerja JobSmart hari ini mengumumkan telah melakukan pivot menjadi screening management system. Sistem ini akan membantu perusahaan menemukan kandidat pekerja dengan spesifikasi yang telah didefinisikan. Sebelumnya JobSmart menghadirkan layanan menyerupai JobStreet atau JobsDB dengan kelebihan fitur pencocokan otomatis.

Terkait dengan pivot ini, Co-Founder dan COO JobSmart Peter Wijaya mengatakan:

“Kami memutuskan untuk beralih dari platform pencarian kerja menjadi screening management system. Langkah ini kami ambil karena berdasarkan review selama satu tahun kami beroperasi. Khususnya terhadap pertumbuhan jumlah kandidat yang tergabung di JobSmart. Nyatanya di JobStreet sendiri jumlah kandidatnya sudah mencapai lebih dari 3,5 juta. Tentunya akan sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memiliki jumlah kandidat sebanyak mereka.”

Saat ini persaingan dalam pencarian kandidat pekerja terbaik mengalami persaingan yang luar biasa. Perusahaan pastinya ingin menempatkan lowongan pekerjaan di situs pencarian kerja yang memiliki banyak kandidat, dengan harapan semakin banyak jumlah kandidat yang ada tergabung di situs tersebut, semakin banyak juga yang melamar pada lowongan pekerjaan di perusahaan mereka.

“JobSmart melakukan pivot, dan fokus pada kekuatan kami saja, yaitu membantu menyaring kandidat yang sesuai dengan kriteria perusahaan dengan menggunakan fitur pencocokan otomatis. Karena dengan layanan kami ini, perusahaan tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk menyaring kandidat yang berkualitas, melainkan hanya dalam hitungan detik saja,” tambah Peter.

Di versi sebelumnya fitur-fitur unggulan yang ditawarkan JobSmart antara lain tes kepribadian online, video interview, dan pencocokan otomatis. Dengan fitur inilah diharapkan JobSmart dapat membantu perusahaan menemukan calon pekerja dengan efektif.

Fitur-fitur yang diunggulkan ini menurut JobSmart menjadikan dirinya bukan sebagai kompetitor bagi para situs pencari kerja seperti Jobstreet atau JobsDB, melainkan menjadi pelengkap bagi perusahaan yang ingin lebih mudah menyaring kandidat hingga akhirnya menemukan kandidat yang dibutuhkan lebih cepat.