Alasan Mengapa Half-Life: Alyx Hanya Disajikan Lewat VR

Menjelang peluncuran Half-Life: Alyx yang jatuh di minggu keempat bulan ini, Valve memublikasikan tiga buah video gameplay baru sembari mendemonstrasikan sejumlah opsi sistem navigasi. Semuanya terlihat kian menjanjikan, tapi keharusan untuk menikmatinya menggunakan perangkat VR sejujurnya memberatkan banyak orang. Padahal bagi studio sebesar Valve, seharusnya tak sulit buat menerjemahkan gameplay berbasis VR ke shooter tradisional.

Lalu mengapa Valve bersikeras untuk menghidangkan Half-Life: Alyx secara eksklusif lewat VR? Apakah langkah ini merupakan upaya mempromosikan Valve Index? Bisa jadi. Penjelasan lebih lengkapnya diungkap oleh Robin Walker dari Valve pada GameInformer dalam wawancara belum lama ini. Singkatnya: Alyx dari awal memang dibangun buat diakses via virtual reality.

IMG_06032020_103351_(1000_x_650_pixel)

Sejak dulu, Valve memang tidak malu-malu menunjukkan ketertarikannya pada VR. Developer sempat membantu HTC dalam menyajikan Vive lewat pengembangan SteamVR, dan pada akhirnya, Valve meluncurkan headset virtual reality mereka sendiri: Index. Anda mungkin juga tahu, begitu HTC Vive mulai dipasarkan, Valve telah menggarap The Lab sebagai upaya memahami VR lebih jauh. Respons pemain terhadap The Lab terbukti positif dan banyak dari mereka yang menginginkan ‘pengalaman gaming AAA’.

IMG_06032020_103402_(1000_x_650_pixel)

Versi purwarupa Half-Life: Alyx pada dasarnya adalah hasil porting Half-Life 2 ke VR. Menurut Valve, ini merupakan cara terbaik untuk mengeksplorasi aspek teknis permainan. Namun developer juga terkejut melihat naturalnya mekanisme Half-Life 2 ketika dinikmati melalui virtual reality, bahkan sebelum mereka mengutak-utik sisi teknis dan melakukan integrasi lebih jauh. VR menyadarkan Valve ada begitu banyak ide yang bisa digarap. Dari sana, dimulailah pengerjaan Half-Life: Alyx.

IMG_06032020_103338_(1000_x_650_pixel)

Meski secara dasar desain Half-Alyx: Alyx berkiblat pada first-person shooter, VR membuat pengalaman bermain jadi lebih unik. Di FPS tradisional, bidikan senjata terkunci pada kamera; sedangkan di virtual reality, kita bisa mengarahkan pistol secara leluasa – seperti di dunia nyata. Selain itu, sensasi membidik senjata secara fisik juga sangat berbeda dari menggunakan keyboard dan mouse.

IMG_06032020_103315_(1000_x_650_pixel)

Berpedoman pada hal ini, Valve kemudian mulai menggodok mekanisme permainan secara lebih luas, termasuk desain level, tempo, skenario pertempuran, hingga menentukan frekuensi pemberian amunisi. Para pemain Half-Life veteran mungkin akan segera merasa familier dengan apa yang Alyx sajikan, namun virtual reality menghidangkan pengalaman berbeda karena ada banyak elemen gameplay baru di sana.

IMG_06032020_103806_(1000_x_650_pixel)

Walaupun digarap sebagai prekuel dari Half-Life 2, narasi Alyx dirancang untuk memperluas jagat Half-Life. Walker bahkan menyarankan kita bermain hingga Episode 2 sebelum memulai petualangan di game anyar ini buat menyegarkan kembali ingatan – terutama terhadap detail-detail kecil.

Kabar baiknya, Robin Walker dan kawan-kawan juga berharap agar Alyx bukanlah proyek Half-Life terakhir yang mereka kerjakan. Beberapa anggota tim sempat berpartisipasi dalam mengembangkan game pertamanya, dan mereka ingin agar seri ini terus berlanjut. Itu berarti, masih ada peluang bagi kita untuk berjumpa dengan Half-Life 3.

Half-Life: Alyx sendiri siap meluncur di tanggal 23 Maret.

Razer Luncurkan Mouse Gaming Teramping dan Teringan

Dengan begitu banyaknya pilihan, menentukan gaming gear yang tepat kadang bisa jadi membingungkan. Saat ini masing-masing brand punya penawaran menarik. Dan itu artinya ada banyak hal perlu dipertimbangkan sebelum membeli: anggaran, genre permainan favorit, hingga kebiasaan kita menggunakan periferal gaming. Setelah menemukan sejumlah kandidat, Anda disarankan untuk pergi ke toko dan mencobanya langsung.

Khusus bagi mereka yang memiliki ukuran tangan tak terlalu besar dan membutuhkan mouse gaming berbobot ringan, Razer sudah menyiapkan solusinya. Perusahaan asal Irvine, Kalifornia itu baru saja meluncurkan versi mungil dari Razer Viper. Mereka menamainya Viper Mini. Produsen mendeskripsikannya sebagai mouse paling enteng dan paling ramping yang pernah mereka produksi. Desainnya dimaksudkan agar tiap tombol bisa mudah dijangkau jari.

Dibanding tipe standar, Viper Mini memiliki tubuh yang lebih pendek dan langsing sehingga mudah digenggam. Razer bilang, Viper Mini cocok bagi mereka yang biasa memakai mouse dengan postur claw dan fingertip grip. Perangkat punya panjang 118,3mm, lebar 53,5mm dan tinggi 38,3mm. Desainnya terlihat simetris seperti mouse ambidextrous, namun karena thumb button hanya ada di sisi kiri, Viper Mini baru betul-betul optimal jika digunakan di tangan kanan.

IMG_05032020_105745_(1000_x_650_pixel)

Kabarnya dalam merancang Viper Mini, Razer berkolaborasi bersama sejumlah atlet esports dan gamer hardcore. Konstruksi tubuhnya terbuat dari plastik, memungkinkan produsen memangkas berat mouse – hanya 61-gram tanpa menghitung kabel USB Speenflex braided-nya. Di aspek estetika, Razer tak lupa menghias Viper Mini dengan LED RGB pada logo di bagian punggung dan ‘underglow‘ di bawah.

Razer membekali Viper Mini dengan sensor optik 8.500DPI, kabarnya juga mampu membaca gerakan di kecepatan hingga 300-inci per detik. Fungsi keenam tombol di sana bisa diprogram ulang via software Razer Synapse 3 dan hasil konfigurasinya akan disimpan di memori on-board dan dapat diakses kapan pun Anda butuhkan.

IMG_05032020_105716_(1000_x_650_pixel)

Selain desain, aspek paling unik dari Viper Mini terletak di tombolnya. Mouse  kembali mengusung switch optik, memanfaatkan cahaya inframerah dalam meregistrasi tiap tekanan pada tombol. Dengan menggunakan inframerah, mouse tidak memerlukan kontak fisik dalam menyampaikan input. Itu artinya, Viper Mini mempunyai komponen bergerak lebih sedikit, membuatnya lebih awet sekaligus mampu merespons input secara sangat singkat – di kecepatan 0,2-milidetik.

IMG_05032020_110305_(1000_x_650_pixel)

Saat ini Viper Mini sudah mulai dipasarkan. Razer membanderolnya di harga yang cukup kompetitif, yaitu US$ 40. Selain Viper dan Viper Mini, tersedia pula varian Viper Ultimate yang dilengkapi konektivitas wireless serta sensor lebih canggih.

18 Tahun Berselang, Halo: Combat Evolved Kembali Meluncur di PC

Ketika pemilik console biasa dimanjakan oleh judul-judul eksklusif, gamer PC tak lagi asing dengan keterlambatan. Versi Windows Red Dead Redemption 2 tersedia setahun lebih setelah permainan mendarat di PS4 dan Xbox One. Kondisi serupa terjadi lagi pada Death Stranding serta Final Fantasy VII remake. Satu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena kadang kami harus menanti sangat lama agar suatu game hadir di PC.

Satu contohnya adalah Halo: Combat Evolved Anniversary sebagai remake dari game Halo pertama yang dilepas 18 tahun silam. Awalnya, edisi Anniversary ini digarap untuk dirilis di Xbox 360 pada tahun 2011, kemudian di-port ke Xbox One di tahun 2014. Dan akhirnya di awal Maret 2020 ini, permainan meluncur di Windows sebagai bagian dari bundel Halo: The Master Chief Collection – menyusul pelepasan Halo: Reach PC Desember kemarin.

Walaupun dua permainan pertama seri ini turut disajikan di Windows, gamer PC tak pernah diberi kesempatan untuk menikmati Halo 3, 4 dan seterusnya. Kabar baiknya, Microsoft memutuskan buat mengubah strategi mereka dalam menyuguhkan konten. Pelan-pelan, tak ada lagi judul eksklusif Xbox. Game-game Xbox mulai berdatangan di PC, bahkan muncul di platform distribusi third-party seperti Steam.

Tentu ada banyak pembaruan yang Xbox Game Studios serta 343 Industries implementasikan pada versi PC Halo: Combat Evolved Anniversary. Game kini siap menyuguhkan resolusi 4K serta frame rate lebih dari 60 per detik, mendukung pemakaian monitor ultra-wide, dan memperkenankan kita buat mengustomisasi setting keyboard serta mouse hingga fitur grafis seperti field of vision. Menariknya lagi, permainan tidak membutuhkan PC high-end agar bisa berjalan lancar.

IMG_04032020_145537_(1000_x_650_pixel)

Dari aspek konten, developer tidak memodifikasi mode single-player maupun multiplayer terlalu jauh. Halo: Combat Evolved Anniversary kembali menyuguhkan 10 misi campaign serta pilihan 19 peta multiplayer. Sistem progres kabarnya turut disempurnakan, dan bagi Anda yang ingin bernostalgia, terdapat fitur buat mengaktifkan grafis lawas ala tahun 2001.

Meski Halo: Reach dirilis sembilan tahun setelah Halo: Combat Evolved, sesuai kronologis cerita, Reach merupakan kisah pembuka seri permainan ini. Baru di Combat Evolved pemain dipertemukan dengan tokoh protagonis Master Chief John-117. Selanjutnya, Xbox Game Studios berencana untuk meluncurkan Halo 2: Anniversary, Halo 3, Halo 3: ODST dan Halo 4 secara berurutan.

Masing-masing permainan Halo edisi remaster ini dapat Anda beli terpisah atau sekaligus via bundel The Master Chief Collection. Game dijajakan di harga yang sangat murah, hanya Rp 70 ribu atau Rp 170 ribu untuk versi koleksinya.

Game Ini Bisa Membantu Melawan Penyebaran Virus Corona

Pertama kali terdeteksi di kota Wuhan, provinsi Hubei Tiongkok, penyakit pernafasan akut yang disebabkan oleh virus corona (COVID-19) akhirnya tiba di Indonesia di awal bulan Maret. Sayangnya, konfirmasi Pemerintah malah disambut oleh kepanikan. Banyak orang kini menimbun bahan pangan, membuatnya jadi langka. Padahal panik ialah hal terakhir yang dibutuhkan masyarakat di tengah kondisi ini.

Antisipasi penyebaran penyakit COVID-19 kini menjadi prioritas Pemerintah dan berbagai organisasi kesehatan dunia. Meski solusi anti-virus sampai sekarang belum ditemukan, para peneliti terus berupaya melawan virus corona dengan berbagai cara, salah satunya lewat permainan multiplayer online seperti yang dilakukan oleh tim dari Universitas Washington ini. Mereka menamainya Foldit, dan game kabarnya berhasil menghimpun kurang lebih 200 ribu pemain.

IMG_04032020_124822_(1000_x_611_pixel)

Disajikan secara gratis, Foldit adalah game puzzle yang menantang pemain untuk melipat struktur protein sesempurna mungkin. Konsepnya sedikit menyerupai proyek Folding@home di PlayStation 3. Tapi ketika Folding@Home bersandar pada kekuatan komputasi console, Foldit diorientasikan pada solusi dari pemain. Menurut developer, kemampuan manusia dalam melipat rantai asam amino di bidang tiga dimensi tidak kalah – bahkan kadang lebih baik – dari komputer.

Tim dari Universitas Washington menjelaskan bahwa Foldit dirancang untuk membantu ekskplorasi di bidang biokimia yang dapat mendorong ditemukannya pengobatan suatu penyakit. Demi memastikan Foldit mudah dinikmati oleh orang awam, developer memangkas aspek yang terlalu teknis atau rumit; kemudian membekalinya bersama visual penuh warna dan musik gembira, serta menamai perkakas in-game dengan istilah-istilah lucu seperti ‘wiggle‘, ‘shake‘ dan ‘freeze‘.

Lewat update, Foldit menyuguhkan teka-teki baru untuk pemain: virus corona. Developer menantang pemain mendesain protein anti-virus buat menghalau spike protein SARS-CoV-2 berinteraksi dengan sel manusia. Tim menyampaikan bahwa di beberapa minggu terakhir ini, ilmuwan telah lebih memahami cara virus menginfeksi manusia. Jika kita dapat mendesain protein yang mampu mengikat spike protein virus corona, peneliti bisa memanfaatkannya untuk memblokir infeksi.

Selanjutnya, Ide-ide yang diajukan pemain akan dikumpulkan. Dan jika terlihat menjanjikan, desain tersebut akan dikirim serta diuji oleh Institute for Protein Design di Seattle. Walaupun gagasan ini terdengar prospektif, kreator Foldit juga mengingatkan bahwa proses untuk menanggulangi virus corona membutuhkan waktu. Dalam uji coba laboratorium, peneliti perlu memastikan molekul-molekul tersebut aman dan efektif menangkal SARS-CoV-2.

Foldit meluncur di tahun 2008 dan kontennya terus berkembang. Kemampuan visualisasi memang bisa membantu pemain dalam menyelesaikan puzzle, namun game pada dasarnya mudah dipelajari dan tidak menuntut keahlian khusus. Saat artikel ini ditulis, skor game tertinggi dipegang oleh pemain bernama toshiue dan grup Go Science.

Via Eurogamer.

Tiga Gameplay Video Baru Ungkap Fitur-Fitur Unik Half-Life: Alyx

Setelah hampir 13 tahun berlalu, gamer akhirnya bisa kembali bertualang di jagat Half-Life lewat peluncuran permainan terbaru di seri ini. Meski begitu, Half-Life: Alyx memang bukan sekuel yang banyak orang nantikan. Kisah permainan berlangsung sebelum Half-Life 2, dan (sayangnya) ia hanya dapat diakses menggunakan headset virtual reality. Langkah ini kemungkinan besar merupakan upaya Valve mempromosikan VR gaming.

Mendekati hari peluncuran Half-Life: Alyx, tim developer memublikasikan tiga video gameplay baru yang memperlihatkan potongan-potongan kecil permainan. Meski terbilang singkat, ada banyak informasi penting serta detail menarik tersingkap di sana. Kabarnya, Valve tadinya berniat untuk memamerkan video-video ini di ajang The Game Awards 2019, tapi di menit-menit terakhir, mereka memutuskan buat menundanya.

Seperti trailer perdana Half-Life: Alyx, ketiga video kembali mendemonstrasikan level interaksi yang tinggi antara pemain dan dunia game. Permainan mempersilakan kita untuk memanipulasi hampir segala objek. Berbeda dari mayoritas permainan shooter, item-item penting tidak berserakan atau tersimpan rapi. Seringkali mereka tersembunyi dalam wadah atau rak, dan kita perlu menggeledahnya secara cermat demi memastikan tak ada yang terlewat.

Half-Life: Alyx tersaji tanpa UI. Indikator health dan amunisi ditampilkan di sarung tangan kiri dan Anda bisa menyimpan sejumlah item di sarung tangan kanan. Sistem health disuguhkan secara tradisional: Anda hanya dapat mengobati diri di health station. Permainan mempersilakan kita meng-upgrade senjata dengan mengumpulkan ‘resin’, kemudian objek/item bisa diambil langsung atau ‘ditarik’ menggunakan sarung tangan gravitasi.

Menariknya lagi, sejumlah objek yang tampak remeh ternyata sangat berguna. Contohnya: helm proyek bisa menyelamatkan nyawa jika Anda secara tak sengaja terperangkap Barnacle (makhluk berlidah panjang yang menempel di langit-langit bangunan). Video juga menampilkan musuh-musuh familier yang akan Anda hadapi: Headcrab, zombie sampai prajurit Combine. Selain aksi baku tembak, Half-Life: Alyx menantang pemain dengan beragam puzzle.

Salah satu elemen paling krusial yang diperlihatkan Valve di tiga video gameplay ini adalah pilihan metode navigasi atau pergerakan. Half-Life: Alyx menyajikan tiga opsi sistem locomotion: berbasis teleportasi, gerakan natural, atau shift/bergeser secara cepat. Kita dibebaskan untuk menggonta-gantinya di tengah permainan melalui menu options.

Metode teleportasi cocok bagi mereka yang masih awam dengan VR gaming. Opsi ini mempersilakan pemain untuk menunjuk ke mana mereka ingin pergi, lalu game segera mematuhinya. Sesaat, permainan akan menampilkan layar hitam, gunanya ialah buat mengurangi disorientasi. Metode shift tersaji mirip teleportasit, tanpa black screen. Kita bisa melihat pergeseran lokasi secara langsung. Saya pribadi lebih memilih continous movement karena navigasi terasa lebih natural.

Half-Life: Alyx rencananya akan meluncur di PC lewat Steam pada tanggal 23 Maret 2020. Selain Valve Index, game juga dapat dinikmati via Oculus Rift, HTC Vive, Oculus Quest dan headset Windows Mixed Reality.

Doom Eternal Siap Sajikan 1000FPS Jika PC Anda Mampu Menanganinya

Seperti ketika id Software meluncurkan game pertamanya 27 tahun silam, Doom Eternal mungkin akan kembali menuai kontroversi karena tingginya tingkat kekerasan yang ditampilkan permainan. Namun bagi saya, Doom merupakan salah satu seri game paling religius yang pernah dibuat: kapan lagi Anda diberi kesempatan untuk menumpas iblis dalam beragam rupa serta ukuran dengan ‘cara-cara kreatif’ dan menyelamatkan manusia?

Doom Eternal adalah sekuel reboot yang developer luncurkan di tahun 2016. Selama masa promosi, video permainan telah banyak bertebaran di internet. Mereka semua memperlihakan gameplay bertempo cepat, dengan manuver-manuver mulus dan visual memukau. Hal tersebut tercapai berkat penggunaan engine id Tech 7. Selain lebih canggih, id Tech 7 juga lebih efisien sehingga memungkinkan Doom Eternal menghidangkan berbagai macam terobosan di sisi grafis.

Berbicara pada IGN, lead engine programmer id Software Billy Khan menyampaikan bahwa Doom Eternal versi PC siap menyajikan 1.000-frame per detik dengan syarat sistem Anda sanggup menanganinya. Sebagai perbandingan, Doom (2016) berbasis id Tech 6 mampu menampilkan maksimal 250FPS. Berkat kemampuan ini, Doom Eternal mendukung semua monitor gaming high-end dengan frekuensi refresh ratusan Hertz, serta memastikan game ‘tak cepat lekang oleh waktu’ karena kemampuannya mengerahkan kemampuan hardware-hardware anyar.

Dibanding engine sebelumnya, id Tech 7 mendapatkan upgrade besar-besaran di sisi kapabilitas pengolahan partikel. Dengannya, GPU dapat memproses lebih banyak partikel, sehingga permainan mampu menampilkan ledakan lebih besar, serta efek atmosfer dan pencahayaan secara lebih baik. Doom Eternal juga mampu menjawab pertanyaan konsumen ketika sebuah hardware top-end diumumkan: apakah sebenarnya kita membutuhkan semua fitur baru dan performa setinggi itu?

Lompatan lain yang disuguhkan oleh id Tech 7 ialah, engine ini mendukung area permainan dua kali lebih luas dari id Tech 6 dan high dynamic range; serta adanya penyempurnaan pada efek post-processing, anti-aliasing (berfungsi membuat bagian ujung objek terlihat mulus, tidak jaggy) dan motion blur (walaupun sebagian gamer pemilik PC high-end kadang menonaktifkan opsi ini).

IMG_02032020_130654_(1000_x_650_pixel)

Khan turut menjelaskan keunggulan engine baru tersebut di aspek fleksibilitas. Selain kesiapan menopang hardware super-canggih, game berbasis id Tech 7 bisa lebih mudah disesuaikan dengan sistem tempat ia disajikan. Itu alasannya Doom Eternal tetap dapat dijalankan di Nintendo Switch. Tingginya ‘skalabilitas’ id Tech 7 mempersilakan developer secara leluasa mem-porting permainan.

Doom Enternal merupakan permainan pertama yang dibangun dengan id Tech 7. Saya pribadi berharap agar id Software memperkenankan developer third-party untuk turut memanfaatkannya. Sejauh ini, engine id Tech hanya dipakai buat mengembangkan sejumput game Bethesda saja (atau lebih tepatnya ZeniMax Media) sebagai perusahaan induk id Software.

IMG_02032020_130638_(1000_x_650_pixel)

Doom Eternal dijadwalkan untuk meluncur di PC, Stadia, PS4 dan Xbox One pada tanggal 20 Maret 2020. Versi Nintendo Switch akan menyusul beberapa bulan lagi. 

Via PCGamer.

Gameplay Dipamerkan, Baldur’s Gate III Siap Puaskan Dahaga Pecinta RPG D&D

Sesuai agenda, Larian Studios resmi memamerkan gameplay Baldur’s Gate III secara perdana di hari pertama Pax East 2020 Boston kemarin. Baldur’s Gate III adalah sekuel permainan role-playing PC legendaris yang meluncur hampir dua dekade silam. Eksistensinya diungkap di E3 tahun lalu, merupakan kabar gembira bagi mereka yang kecewa atas dibatalkannya pengerjaan proyek The Black Hound oleh Black Isle Studios.

Demonstrasi dipadu oleh founder sekaligus CEO Larian Studios, Swen Vincke. Permainan dibuka dengan intro sinematik, mengisahkan upaya seorang illithid (disebut pula mind flayer) menculik penduduk kota menggunakan ‘kapal terbang’ nautiloid. Terlahir sebagai larva, illithid membutuhkan makhluk lain untuk jadi inkubator dan tumbuh dewasa. Kabar baik, Anda merupakan salah satu korbannya. Setelah sosok misterius ini memasukkan larva di tubuh Anda, game segera menampilkan bagian kreasi karakter.

Seperti mayoritas RPG berbasis Dungeons & Dragons yang ada sebelumnya, Baldur’s Gate III menyuguhkan beragam opsi ras dan kelas familier. Di versi demo ini, tersedia 15 pilihan ras serta 8 kelas, dan Larian berniat untuk menambah lagi jumlahnya. Kustomisasi lebih lanjut bisa Anda lakukan, seperti menentukan gender, mengubah penampilan karakter, serta mentapkan skill dan latar belakang. Aspek terunik di sana adalah, kita juga dapat bermain sebagai tokoh kreasi Larian dengan kisahnya masing-masing.

Petualangan Anda dimulai setelah kapal nautiloid karam karena diserang penunggang naga. Game dapat dinikmati lewat dua cara: melalui tampilan third-person atau isometrik ala CRPG klasik. Anda bisa mengantinya kapan pun, dan keleluasaan ini berkaitan dengan cara dunia permainan disuguhkan. Tempat ini sangat luas, menyimpan banyak rahasia, jalan pintas, serta peluang-peluang tersembunyi; dan fleksibilitas dalam mengubah perspektif akan sangat membantu eksplorasi.

IMG_28022020_144242_(1000_x_650_pixel)

Satu hal yang segera saya tangkap di sesi demo ini ialah adanya begitu banyak elemen Divinity: Original Sin II yang Larian bubuhkan di Baldur’s Gate III. Pertama, sistem pertempuran turn-based hadir menggantikan pause-based. Itu berarti, pemain diberikan lebih banyak peluang strategis dalam menaklukkan lawan. Mode turn-based dapat pula digunakan saat Anda berjelajah. Ia akan sangat berguna buat menghindari jebakan serta menyelinap di area berbahaya.

Kedua, Baldur’s Gate III juga menyajikan level interaksi yang tinggi. Pemain dapat memanipulasi beragam objek: membuat tangga dari susunan boks kayu atau menutup lubang pembuangan minyak menggunakan vas. Genangan air (atau darah) efektif dalam menghantarkan listrik, bisa Anda manfaatkan untuk menyetrum musuh yang berdiri di atasnya. Seperti di Original Sin II, solusi dari sebuah hambatan dapat Anda temukan dengan berpikir kreatif.

IMG_28022020_144254_(1000_x_650_pixel)

Keunikan lain Baldur’s Gate III yang membuatnya berbeda dari permainan sebelumnya ialah kita dibebaskan untuk memecah grup. Karakter rogue bisa Anda perintahkan menyusup ke makam kuno dan mengambil artefak penting, sementara tokoh lain Anda kirim ke kota buat berbelanja. Metode ‘memisah party‘ ini membuka banyak kesempatan dalam pertempuran, memudahkan kita menyusun serangan atau menyergap lawan.

Berbicara soal pertempuran, tiap konfrontasi di Baldur’s Gate III terbilang menantang. Pemain dituntut mengesekusi langkah dengan cermat karena satu kesalahan kecil dapat berakibat fatal bagi para karakter yang Anda kendalikan. Baldur’s Gate III bahkan terbukti cukup sulit bagi Sven Vincke selaku game director. Hanya karena kurang beruntung, karakter-karakter yang ia kendalikan disapu bersih oleh musuh, memaksanya mengulang dari awal.

IMG_28022020_144223_(1000_x_650_pixel)

Segala aksi pemain – seperti serangan ke lawan atau upaya persuasi atau intimidasi – didasari oleh ‘lemparan dadu’ virtual 20 sisi khas D&D. Karena hasilnya acak, tak semua rencana Anda akan berjalan sesuai keinginan. Meski demikian, kegagalan kadang malah memunculkan efek menarik dan pilihan-pilihan baru.

Dari aspek visual hingga nilai produksi, Baldur’s Gate III tentu jauh lebih baik dibanding Divinity: Original Sin II. Desain karakternya dibuat begitu realistis dan disertai pula segala macam detail krusial – pada mimik wajah, pakaian, hingga gerakan tubuh. Adegan dialog Baldur’s Gate III mengedepankan elemen sinematik, punya kemiripan dengan game-game BioWare di era keemasannya serta The Witcher 3. Dan entah mengapa, aspek estetikanya juga mengingatkan saya pada Neverwinter Nights 2.

Demo Baldur’s Gate III diakhiri oleh bug. Sepertinya ada glitch yang memicu sesi pertempuran tanpa kehadiran musuh, secara berulang-ulang. Sebagai orang yang sangat menanti perilisan permainan ini, saya sendiri tidak terlalu mencemaskan bug. Walaupun game terlihat sudah bisa dimainkan, dan rencananya akan memasuki tahap early access di tahun ini, peluncuran resmi Baldur’s Gate III kemungkinan masih lama.

Buat sekarang, Baldur’s Gate III baru dikonfirmasi untuk hadir di Windows (lewat Steam dan GOG) serta layanan cloud gaming Google Stadia. Tapi melihat kebiasaan Larian sebelumnya, ada peluang permainan turut di-port ke console.

Plants vs. Zombies 3 Pelan-Pelan Siap Meluncur

Melakukan debutnya di Windows dan Mac pada tahun 2009, keunikan gameplay serta tema Plants vs. Zombies membuatnya jadi favorit gamer dalam waktu singkat. Kesuksesan permainan tower defense ini menyemangati PopCap untuk menghadirkannya ke lebih banyak platform, dan di bawah arahan Electronic Arts, lahirlah deretan sekuel serta spin-off seperti game third-person shooter Garden Warfare dan collectible card PvZ Heroes di Android dan iOS.

Kabar mengenai judul Plants vs. Zombies terbaru sempat terdengar di pertengahan 2019, kurang lebih enam tahun sesudah PvZ 2 dirilis. Namun saat itu PopCap Games hanya mengungkap sedikit detail dan melepas versi pre-alpha secara terbatas dengan maksud melakukan pengujian sebelum permainan tersedia lebih luas. Dan setelah penantian yang cukup panjang, developer akhirnya resmi ‘meluncurkan’ Plants vs. Zombies 3 di penghujung bulan Februari ini.

PvZ 3 kembali menyuguhkan formula tower defense lane-based dan menghadirkan lagi karakter-karakter familier. Anda ditugaskan untuk bertahan dari serangan zombie dengan menempatkan tanaman-tanaman defensif secara strategis. Tentu saja ada banyak aspek di permainan yang PopCap perbarui, salah satunya bisa segera Anda lihat dari trailer-nya: penggunan grafis dan aset 3D. Executive producer Bruce Maclean menjelaskan, desain baru ini memastikan game jadi lebih fleksibel dan memungkinkan developer menampilkan detail visual lebih baik.

Ada cukup banyak pula modifikasi yang tim implementasikan pada gameplay. Misalnya, bunga matahari (Sunflower) tak lagi diperlukan untuk menghasilkan tenaga, lalu mesin pemotong rumput (berfungsi sebagai pertahanan darurat) turut dihilangkan. PvZ 3 kabarnya mengusung tempo yang lebih cepat dan lebih menuntut keputusan taktis. Selain itu, developer juga memasukkan elemen ‘social play‘ di sana. Dari sisi estetika, perubahan terbesar terletak pada penyajian permainan secara portrait – tak lagi landscape.

PopCap menyampaikan, transisi dari landscape ke portrait dimaksudkan agar game lebih nyaman dinikmati dari smartphone. Orang biasanya menggunakan perangkat tersebut untuk berbagai keperluan serta menjalankan beberapa aplikasi secara berbarengan. Menurut developer, akan lebih praktis jika pemain tak perlu mengubah orientasi smartphone saat beralih dari satu app ke app lainnya.

Developer rencananya akan melepas Plants vs. Zombies 3 secara bertahap via metode soft launch. Setelah meluncur terbatas di Amerika Serikat, soft launch akan dimulai di Filipina. Di periode ini, sejumlah konten masih dikembangkan dan belum dapat diakses. PvZ 3 disajikan sebagai permainan free-to-play dengan  microtransaction. Buat sekarang, PopCap masih enggan menginformasikan kapan game siap dirilis global.

Menariknya, developer juga berjanji untuk terus mendukung dan melepas konten-konten baru buat PvZ 2 meski Plants vs. Zombies 3 sudah tersedia nanti.

Sumber: EA.

Monitor Esports AOC Agon Baru Sajikan Refresh Rate 240Hz, HDR dan Waktu Respons 0,5ms

Telah memproduksi monitor PC sejak era 80-an, AOC mulai memfokuskan perhatiannya pada gaming melalui peluncuran lini Agon di tahun 2016. Dalam waktu singkat, Agon menjadi brand favorit gamer pro karena produk menawarkan refresh rate tinggi. AOC merupakan salah satu perusahaan pertama yang menawarkan display dengan 240Hz dan waktu respons satu-milidetik.

Meneruskan tradisi itu, sang perusahaan asal Taiwan memperkenalkan monitor gaming anyar untuk memecahkan rekor ‘tercepat’. AOC menamainya Agon AG273QZ, dan di sana produsen mencoba mencantumkan segala teknologi canggih yang bisa mereka temukan. Menurut AOC, Agon AG273QZ siap memenuhi kebutuhan dua tipe konsumen: atlet esports serta gamer hardcore. Kedua jenis user ini biasanya menginginkan perangkat berperforma tinggi.

IMG_26022020_161631_(1000_x_650_pixel)

Agon AG273QZ adalah monitor dengan panel datar seluas 27-inci berbasis TN (twisted nematic), menyuguhkan resolusi 2560x1440p serta level kecerahan maksimal 400-nit, refresh rate 240-Hertz dan waktu respons super-cepat di 0,5-milidetik. Monitor turut dibekali teknologi AMD FreeSync yang berguna meminimalkan efek blur dan stuttering. Fitur lain yang jadi andalan AOC di sana ialah high dynamic range serta Shadow Control.

Sering ditemukan di televisi kelas menengah hingga high-end, high dynamic range memungkinkan panel menampilkan detail gambar secara optimal baik di area terang maupun gelap secara bersamaan. Shadow Control sendiri memperkenankan kita mengatur tingkat kecerahan di zona tertentu, misalnya membuat area gelap jadi lebih terang atau meredupkan bagian yang dirasa terlalu terang. Berkatnya, level kontras dapat diutak-atik tanpa memengaruhi kualitas output.

Demi memenuhi standar desain gaming gear modern, AOC membubuhkan LED RGB bundar di sisi belakang. Namun secara keseluruhan, penampilan Agon AG273QZ lebih simpel dan elegan dibanding mayoritas monitor gaming. Perangkat ini mempunyai bezel tipis dan gantungan headset. Bagian display tersambung ke stand dengan tiga kaki, dan kita dipersilakan mengubah ketinggian dan sudut kemiringannya.

IMG_26022020_161353_(1000_x_650_pixel)

Untuk memanfaatkan fitur refresh rate 240Hz-nya secara maksimal, tentu saja dibutuhkan PC berperforma tinggi. Perlu dicatat bahwa panel TN biasanya memiliki viewing angle dan tingkat akurasi warna yang lebih rendah dibanding IPS serta VA. Meski begitu, Agon AG273QZ menjanjikan kemampuan reproduksi warna 93,7 persen AdobeRGB.

Terkait refresh rate, memang ada beberapa monitor yang mempunyai frekuensi lebih tinggi dari Agon AG273QZ. Asus sudah mulai memasarkan TUF Gaming VG279QM 280Hz di Indonesia, dan di CES 2020 perusahaan juga sempat menyingkap monitor ROG Swift 360Hz. Tetapi mereka masih menyajikan resolusi 1080p (FHD), sedangkan Agon AG273QZ mengusung QHD. Produk kabarnya akan mulai tersedia di akhir minggu ini, dibanderol di harga premium – kurang lebih US$ 850.

IMG_26022020_161435_(1000_x_650_pixel)

Via PC Gamer.

Fitur Search Steam Diperbarui, Kini Mencari Game Jadi Lebih Mudah

Melimpahnya koleksi konten, dukungan beragam fitur serta integrasi membuat Steam jadi platform distribusi digital pertama yang muncul di benak pengguna PC ketika mereka ingin membeli game. Bahkan bagi kalangan non-gamer dan user awam, Steam sama sekali tak sulit digunakan. Untuk mendapatkan aplikasi yang diinginkan, kita hanya tinggal mendaftar, menginstal software client dan log-in, kemudian melakukan pencarian via kotak search di bagian store.

Valve paham bahwa search merupakan salah satu fungsi terpenting di Steam. Sebagai bagian dari eksperimen Steam Labs, developer minggu ini meluncurkan sederet pembaruan esensial pada fitur search di Steam, memastikannnya lebih canggih dan mudah dipakai. Lewat update tersebut, Valve juga bermaksud untuk mengumpulkan masukan pengguna. Mereka tahu, cara user berinteraksi dengan Steam berbeda-beda, jadi sangat penting bagi developer buat menakar manfaatnya.

Mulai sekarang, kita bisa menggunakan lebih banyak filter untuk mengerucutkan proses pencarian. User dipersilakan menentukan harga maksimal dari game serta melihat penawaran-penawaran khusus. Itu berarti, menemukan permainan yang sesuai isi dompat jadi lebih gampang. Dan dengan mencentang opsi special offer (penawaran khusus), Steam segera menyuguhkan judul-judul yang sedang mendapatkan potongan harga.

Selanjutnya, Valve turut menyertakan beragam pilihan tag yang dibagi berdasarkan kategori: preferensi, genre, tipe produk, mode permainan, bahasa dan lain-lain. Selain itu, user bisa menyembunyikan judul-judul yang sudah dimiliki, permainan-permainan di wishlist atau game virtual reality (karena mungkin Anda belum mempunyai headset VR). Begitu slide digeser atau ketika tag diaktifkan, Steam secara responsif meng-update list permainan.

Di bagian atas kolom daftar game, Anda bisa menemukan opsi ‘sort by‘. Secara default, Steam memilihkan ‘relevance‘ yang berkaitan erat dengan tag. Sistem memanfaatkan algoritma pintar dalam menampilkan permainan. Tentu saja, kita tetap dapat mengurutkan game berdasarkan harga tertinggi/terendah, ulasan, atau waktu rilis.

Di aspek interface, developer mengganti penyajian hasil search berbasis halaman menjadi infinite scrolling sehingga Anda tak perlu lagi mengklik page secara manual. Penyajian seperti ini membuat navigasi jadi jauh lebih praktis. Tapi jika Anda lebih menyukai tampilan tradisional, silakan ubah via setting Store Preferences.

Di blognya, Valve menjelaskan bahwa pembaruan fitur search Steam bermula dari upaya mereka mengeksplorasi algoritma ranking. Namun karena begitu tingginya permintaan konsumen terhadap pengalaman penggunaan yang lebih baik, developer akhirnya menerapkan teknologi ini di fungsi search.

Via The Verge.