Bagaimana Nintendo Mendukung Game Indie di Switch?

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Sejak saat itu, Nintendo telah meluncurkan dua versi baru dari Switch, yaitu Switch Lite dan Switch OLED. Per 2019, angka penjualan Switch mencapai 41,7 juta unit. Pada 2021, angka itu naik menjadi lebih dari 92 juta unit. Hal itu berarti, minat gamers akan Switch masih tinggi dalam dua tahun terakhir.

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kamon Yoshimura, Head of Developer and Publisher Relations for Southeast Asia, Nintendo memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus developer lakukan jika mereka ingin meluncurkan game mereka di Switch. Dia mengatakan, pada dasarnya, developer punya dua cara untuk membawa game mereka ke Switch. Pertama, developer bisa meluncurkan game yang mereka buat melalui Nintendo eShop. Kedua, developer bisa bekerja sama dengan publisher yang memang sudah diakui oleh Nintendo, seperti Capcom, Konami, Square Enix, 2K, Bethesda, 505 Games, Ubisoft, dan lain sebagainya.

Untuk bisa meluncurkan game di Nintendo eShop, developer harus mendaftarkan diri di Nintendo Developer Portal (NDP). Sementara itu, sebelum meluncurkan game di eShop, developer harus mengunggah game ke server Nintendo terlebih dulu. Di tahap ini, Nintendo akan memeriksa apakah game dari developer memang kompatibel dengan Switch. Jika tidak ada masalah, developer akan mendapatkan persetujuan dari Nintendo. Kemudian, developer akan diminta untuk mengunggah aset marketing dari game mereka, seperti trailer dan screenshot. Ketika semua persiapan telah selesai, maka game yang developer unggah ke eShop akan bisa diakses oleh pengguna Switch di seluruh dunia.

Dari tahun ke tahun, jumlah penjualan game digital di Nintendo eShop terus naik. Misalnya, pada tahun fiskal 2021, total nilai penjualan game digital mencapai JPY3,4 miliar (sekitar Rp420 miliar), naik 68,5% dari JPY2,04 miliar (sekitar Rp252 miliar) pada tahun fiskal 2020. Karena itu, jangan heran jika kontribusi penjualan game digital pada total nilai penjualan game di konsol Nintendo juga terus naik. Pada 2021, penjualan game digital menyumbangkan 42,8% dari total penjualan game untuk Nintendo.

Menurut Nintendo, salah satu alasan mengapa penjualan game digital terus naik adalah karena keberadaan game indie dan game-game yang hanya dijual secara digital. Melihat tren ini, Nintendo mencoba memberikan dukungan pada developer game indie. Salah satu dukungan yang mereka berikan adalah mengadakan Nintendo Indie World, event yang memang khusus diadakan untuk memamerkan game-game indie yang akan diluncurkan di Switch.

Sumber header: Pexels

Tips untuk Melakukan Pitching ke Publisher dari Toge Productions

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IDGX) pada 18-22 November 2021. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di industri game lokal menjadi salah satu tujuan dari penyelenggaraan IGDX. Dan salah satu topik yang dibahas di acara tersebut adalah cara developer game melakukan pitching pada publisher.

Ketika ditanya tentang tips untuk melakukan pitching pada publisher, CEO dan pendiri Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjawab, “Jangan malu-malu. Langsung saja kirim email ke publisher. Tapi, ketika kalian kirim email, jangan hanya bilang kalau kalian ingin melakukan pitching. Kirimkan pitch deck yang meyakinkan.” Dia mengungkap, salah satu kelemahan developer game di Indonesia memang ketidaktahuan akan cara untuk melakukan pitching.

“Yang paling penting, developer harus bisa menjelaskan kenapa game yang mereka buat harus ada di dunia,” jelas Kris. “Alasannya apa? Apa karena ada kebutuhan tertentu, atau memang ada demand tertentu atau ada kesempatan khusus? Developer juga harus bisa meyakinkan publisher bahwa mereka bisa mengeksekusi game yang akan mereka buat. Jadi, tidak hanya jualan mimpi.”

Lebih lanjut, Kris menjelaskan, saat melakukan pitching, developer juga sebaiknya mengirimkan mockup, screenshots, atau bahkan prototipe dari game yang hendak mereka buat. Tujuannya adalah untuk menunjukkan game yang ingin developer kembangkan. Ketika email pitching tidak dibalas, Kris mengatakan, developer tidak boleh menyerah begitu saja. Dia menyarankan agar developer terus mengirimkan email pitching pada publisher. “Spam juga nggak apa-apa,” ujarnya sambil tertawa. “Perseverance memang penting sih.”

Adib, Kris, dan Riris dalam IGDX.

Adib Toriq, CEO Algorocks juga memberikan tips tentang cara melakukan pitching pada publisher. Dia memberikan saran dari sudut pandang Algorocks sebagai developer game. Saran pertamanya adalah untuk memeriksa portofolio publisher sebelum developer melakukan pitching. “Karena, terkadang, publisher menolak sebuah game bukan karena game-nya tidak bagus, tapi karena tidak sesuai dengan portofolio publisher,” kata Adib.

Selain itu, Adib juga menekankan pentingnya etika ketika menghubungi publisher. “Jangan jadi orang menyebalkan,” ujarnya. Salah satu contoh etika yang dia berikan adalah membalas email dari publisher dengan cepat. Contoh lainnya adalah mengajukan dana sesuai dengan kebutuhan. “Dan yang paling penting adalah game harus punya value. Seberapa bagus skill pitching developer, kalau game-nya memang tidak punya nilai unik, bakal sulit untuk membuat publisher mau merilis game itu,” katanya.

Usaha developer tidak berakhir dengan tawaran kontrak dari publisher. Riris Marpaung, CEO dan pendiri GameChanger Studio mengatakan, setelah mendapatkan kontrak dari publisher, developer sebaiknya memeriksa kontrak tersebut bersama dengan pengacara. Alasannya adalah karena kontrak antara developer dan publisher “penuh dengan pasal-pasal hukum jelimet“, menurut Riris. Untuk meninjau kontrak, developer tidak harus punya pengacara sendiri. Bisa saja, mereka menggunakan jasa pengacara per kontrak.

Fold AR Adalah Game Mirip Pokemon Go, Tapi yang Isinya Bitcoin Ketimbang Monster

Apa jadinya kalau deretan monster di Pokémon Go kita ganti dengan bitcoin? Jadi ketimbang mengelilingi komplek di sekitar rumah untuk berburu Pokémon anyar, yang diburu justru adalah pecahan-pecahan mata uang crypto. Kedengarannya mungkin kelewat utopis, tapi inilah visi yang tengah diwujudkan oleh sebuah startup asal Amerika Serikat bernama Fold.

Tidak tanggung-tanggung, Fold memutuskan untuk langsung bekerja sama dengan pengembang Pokémon Go itu sendiri, Niantic, dalam mewujudkan visinya. Hasil kolaborasinya adalah Fold AR, sebuah game augmented reality sederhana yang banyak terinspirasi oleh Pokémon Go.

Cara bermainnya sangat sederhana: setiap 10 menit, pemain bisa menemukan sebuah blok yang muncul secara acak di sekitarnya dalam radius 15 meter. Hampiri dan buka blok tersebut, maka pemain bakal menerima hadiah. Hadiahnya bisa bervariasi, tapi yang paling utama adalah satoshi — satuan terkecil bitcoin, dengan nilai 1 satoshi setara 0,00000001 BTC.

Premisnya sepintas terdengar seperti mining, tapi yang dapat dilakukan hanya dengan bermodalkan sebuah smartphone. CEO Fold, Will Reeves, percaya bahwa ini bisa menjadi cara termudah bagi banyak orang untuk mendapatkan bitcoin pertamanya.

“Siapapun bisa menggunakan aplikasi kami untuk mendapatkan Bitcoin dan hadiah-hadiah lain dengan menjelajahi dunia di sekitarnya. Bagi kami, sangatlah penting untuk memberikan kemudahan berpartisipasi dalam ekonomi Bitcoin bagi siapapun, terlepas dari latar belakang pendidikan atau pehamahan teknisnya,” terang Will seperti dikutip oleh VentureBeat.

Dalam sebuah posting blog, Will juga sempat menyinggung soal “bitcoin metaverse” dan bagaimana mereka tertarik dengan konsep real-world metaverse yang digagaskan oleh Niantic. Apapun itu, yang pasti bentuk gamification semacam ini memang berpeluang untuk menggaet partisipasi dari banyak orang sekaligus.

Terlepas dari betapa simpel permainannya, Fold AR terus memperkuat tren game play-to-earn (P2E) yang sedang marak belakangan ini, dengan Axie Infinity dan berbagai judul game P2E lain yang terus menjadi topik perbincangan publik.

Sumber: The Verge.

Hitman 3 Janjikan Beragam Lokasi, Alur Cerita, dan Mode Gameplay Baru di Tahun 2022

Dalam waktu kurang dari dua bulan, Hitman 3 bakal merayakan ulang tahunnya yang pertama, dan IO Interactive selaku pengembangnya sudah punya rencana besar untuk game tersebut di tahun keduanya.

Lewat sebuah posting blog, IO mengonfirmasi bahwa Hitman 3 bakal kedatangan sejumlah lokasi baru, alur cerita baru, sekaligus mode baru di tahun 2022. IO sejauh ini belum punya detail soal konten-konten baru yang sudah mereka persiapkan, akan tetapi mereka sudah menjadwalkan update besar untuk Hitman 3 di musim semi tahun depan.

Untuk sekarang, IO baru memberikan teaser lokasi anyarnya dalam bentuk gambar di bawah ini.

Sementara itu, salah satu mode baru yang sudah dikonfirmasi adalah Elusive Target Arcade. Tidak diketahui apa saja perubahan formula yang diterapkan jika dibandingkan dengan mode Elusive Target di Hitman dan Hitman 2, namun yang pasti semua konten Elusive Target Arcade di Hitman 3 bersifat permanen. Di kedua game sebelumnya, konten Elusive Target akan hilang dengan sendirinya beberapa saat setelah dirilis.

Dari sisi teknis, Hitman 3 versi PC bakal kedatangan dukungan ray tracing mulai tahun depan, plus mode virtual reality (VR) di bulan Januari 2022. Detail mengenai platform VR yang didukung baru akan disingkap pada tanggal 20 Januari 2022.

Kemungkinan besar salah satunya adalah SteamVR — cuplikan singkat pada video di atas (menit 1:20) dengan jelas menunjukkan headset Valve Index beserta sepasang controller-nya — terutama mengingat hak distribusi eksklusif Hitman 3 yang dipegang Epic Games akan berakhir tepat setahun setelah peluncurannya.

Terakhir, IO tidak lupa mengumumkan bahwa ketiga game Hitman bikinannya (trilogi World of Assassination) telah berhasil menggaet 50 juta pemain secara total, dan Hitman 3 sendiri disebut sebagai game Hitman yang paling sukses sepanjang masa — sekaligus yang terbukti mampu meningkatkan laba perusahaan hingga 136% dibanding tahun sebelumnya.

Via: Game Informer.

Investasi untuk Developer Game, Seberapa Penting?

Sebanyak 67,8% developer game di Indonesia menggunakan dana pribadi sebagai dana operasi, menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini menunjukkan, pendanaan masih menjadi salah satu masalah bagi developer lokal.

Kabar baiknya, skema pendanaan untuk developer game lokal saat ini sudah jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Ada beberapa program pendanaan yang bisa developer incar jika mereka memang membutuhkan kucuran dana segar. Beberapa program tersebut antara lain:

Toge Game Fund Initiative (TGFI), hingga US$10 ribu (sekitar Rp143 juta)
Bantuan Insentif Pemerintah, hingga Rp200 juta
Indigo Game Startup Incubation (IGSI), hingga Rp2 miliar
Agate Skylab Fund, hingga US$1 juta (sekitar Rp14,3 miliar)

BIP merupakan program dana untuk 9 subsektor industri kreatif. | Sumber: Kemenparekraf

Seberapa Penting Modal untuk Developer Game?

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kris Antoni Hadiputra, CEO dan pendiri Toge Productions, mengatakan bahwa bagi developer game, pendanaan itu memang punya peran penting, tapi bukan yang paling penting. Dia bercerita, hanya dengan modal sebesar Rp5 juta dan 1 komputer, dia sudah bisa memulai studio game-nya sendiri. Menurutnya, bagi pendiri studio, memiliki mindset yang tepat justru lebih penting. Sementara modal uang akan berfungsi layaknya safety net.

“Di Indonesia, kita tidak punya mentor. Jadi, semua harus belajar sendiri,” kata Kris. “Kalau punya dana, kita punya waktu lebih lama untuk gagal sebelum membuat produk yang memang sesuai dengan market.” Sementara setelah perusahaan berjalan, dana investasi akan dibutuhkan untuk memperbesar skala perusahaan. Pada dasarnya, semakin besar sebuah perusahaan, semakin besar pula modal yang dibutuhkan.

Sementara itu, CEO Agate International, Arief Widhiyasa bercerita, pada awal berdiri, Agate juga tidak langsung mencari dana investasi. Mereka justru melakukan bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan modal milik sang pemilik, tanpa harus meminjam uang dari bank. Ketiadaan modal memang bukan jaminan kegagalan. Namun, Arief merasa, tanpa modal, kemungkinan perusahaan game gagal juga menjadi lebih besar.

“Analoginya, tanpa modal itu seperti kalau kita main suit, tapi kita cuma punya dua jurus,” ujar Arief. “Kalau batu itu mental fortitude, gunting itu capability, kita nggak pernah punya kertas, yaitu modal. Jadi, kita tidak bisa menampar pasar dengan marketing besar-besaran.”

TGFI tawarkan dana hingga US$10 ribu. | Sumber: Toge Productions

Sementara ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi developer untuk mencari dana investasi, Arif mengatakan bahwa waktu yang tepat adalah ketika developer sudah bisa memperkirakan besar dana yang diperlukan untuk membuat sebuah game. “Ketika tim sudah punya kemampuan untuk deliver game, ketika tim sudah tahu betul funding yang didapat akan digunakan untuk apa dan bisa mempertanggungjawabkan investasi yang didapatkan,” ujar Arif.

Kris menambahkan, jika developer mencari dana tanpa punya rencana yang matang akan penggunaan investasi tersebut, hal ini justru berpotensi membuat uang terbuang sia-sia. “Kadang-kadang, banyak startup yang baru mulai yang mengira kalau mendapatkan funding adalah tujuan akhir,” kata Kris. Padahal, bagi developer game, tujuan akhir mereka tetaplah mendapatkan untung dengan menjual game yang mereka buat. Dan keuntungan yang didapat dari penjualan game itu, idealnya, lebih besar dari dana investasi yang didapatkan perusahaan.

Model Bisnis Apa yang Ideal untuk Developer Game?

Secara garis besar, ada empat model bisnis yang biasa digunakan developer game Indonesia. Setiap model bisnis punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kris mengatakan, karena setiap developer game punya situasi yang berbeda — dengan kemampuan dan minat yang juga berbeda-beda — maka tidak ada model bisnis ideal yang bisa digunakan oleh semua developer game untuk sukses. Namun, dia tetap memberikan saran dalam memilih model bisnis yang tepat untuk sebuah developer game.

“Pertama, know your limit. Saya ini kemampuannya bagaimana, lebih suka game apa, apakah mobile atau PC,” jelas Kris. “Lalu, start small. Mulai aja dulu, membuat game kecil-kecilan. Jangan langsung mau membuat game seperti Mobile Legends. Terlalu mengawang-awang. Kemungkinan gagalnya sangat besar.”

Lebih lanjut Kris menjelaskan, setelah mencoba untuk membuat game, developer bisa mencoba menggunakan model bisnis yang dianggap sesuai. Kemudian, developer bisa mengamati apakah model bisnis yang dipilih memang bisa menghasilkan uang atau tidak. Karena developer harus melakukan trial-and-error, penting bagi mereka untuk tidak membuat game terlalu besar yang membutuhkan waktu pengembangan yang lama. Dengan menekan waktu pembuatan game, diharapkan, sekalipun game gagal, developer akan bisa menyesuaikan diri dengan cepat dan mengubah model bisnis yang mereka gunakan.

Epic Games Akuisisi Harmonix, Musik Bakal Punya Peran Lebih Besar Lagi di Fortnite

Epic Games mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Harmonix. Buat yang tidak tahu, Harmonix merupakan developer di balik seri rhythm game populer Rock Band dan Dance Central. Mereka juga bertanggung jawab atas pengembangan Guitar Hero orisinal yang dirilis di tahun 2005 untuk PlayStation 2.

Nilai akuisisinya tidak disebutkan, dan baik Harmonix maupun Epic juga belum mau menyingkap rencana ke depan mereka secara spesifik. Satu hal yang pasti, Harmonix akan berkolaborasi dengan Epic untuk mengembangkan “musical journeys and gameplay” buat Fortnite. Menurut Epic sendiri, ini merupakan bagian dari langkah awal mereka dalam membangun metaverse.

Co-Founder and Chairman Harmonix, Alex Rigopulos, mengatakan: “Bersama-sama kami akan mendorong batasan kreatif dari apa yang mungkin dan menemukan cara baru bagi pemain kami untuk membuat, membawakan, dan membagikan musik.”

Musik di Fortnite bukanlah suatu hal baru. Sejak tahun lalu, Fortnite sudah beberapa kali dijadikan venue untuk konser virtual dari musisi-musisi ternama macam Marshmello, Travis Scott, dan Ariana Grande. Oktober kemarin, Fortnite juga menggelar festival musik bertajuk Soundwave Series yang melibatkan musisi-musisi dari berbagai belahan negara.

“Musik telah menyatukan jutaan orang di Fortnite, dari emote sampai konser dan event global kami,” ucap Alain Tascan, Vice President of Game Development at Epic Games, dalam sebuah siaran pers. “Bersama dengan tim Harmonix kami akan mengubah cara pemain menikmati musik, dari yang tadinya pendengar pasif menjadi partisipan aktif,” imbuhnya.

Buat Harmonix sendiri, mereka memastikan bahwa akuisisi ini tidak akan mempengaruhi komitmen mereka terhadap game-game bikinan mereka sendiri. Konten DLC untuk Rock Band 4 masih akan tetap digarap, dan event di Fuser pun masih akan terus berlanjut. Semua game besutan Harmonix juga masih akan tetap tersedia di Steam maupun console.

Sumber: Epic Games dan Harmonix via Games Industry.

Kojima Productions Buat Divisi Baru Khusus untuk Menggeluti Bidang Film, TV dan Musik

Developer Death Stranding, Kojima Productions, mengumumkan pembukaan divisi baru yang didedikasikan untuk berkarya di bidang film, TV, dan musik. Studio baru yang bermarkas di kota Los Angeles ini nantinya akan berfokus untuk mengembangkan IP (intellectual property) milik perusahaan ke luar ranah video game.

Sebagai studio yang masih relatif baru, Kojima Productions sejauh ini memang baru punya satu IP orisinal saja, yaitu Death Stranding, akan tetapi sudah bukan rahasia kalau Hideo Kojima sendiri sangat terobsesi dengan film, terbukti dari elemen-elemen sinematik yang begitu kental pada deretan game bikinannya, bahkan sejak ia masih di Konami.

Death Stranding sendiri merupakan game yang amat sarat adegan sinematik, dan sejumlah karakternya pun diperankan oleh aktor dan aktris Hollywood ternama, mulai dari Norman Reedus, Mads Mikkelsen, Guillermo Del Toro, sampai Léa Seydoux. Singkat cerita, penggemar loyal Kojima tidak akan terkejut mendengar kabar ini.

Studio baru ini akan dipimpin oleh Riley Russell, seorang veteran yang sebelum ini mengabdi di tim PlayStation selama hampir 28 tahun. Menurut Riley, ekspansi ke ranah film, TV, dan musik ini penting untuk menjadikan karya-karya Kojima Productions sebagai bagian yang lebih integral lagi dari pop culture.

Sejauh ini belum ada kejelasan mengenai proyek yang akan digarap oleh studio kedua Kojima Productions ini, apakah berdasar pada Death Stranding atau IP lain yang belum diumumkan. Perilisan game baru kemudian disusul oleh film atau serial TV-nya tentu bisa membangun hype yang lebih besar. Di saat yang sama, serial TV Death Stranding pun juga terdengar tak kalah menarik, dan itu semestinya bisa memberi kita kesempatan untuk mendalami lore uniknya lebih jauh lagi.

Keputusan Kojima Productions menjajaki segmen media hiburan lain ini langsung mengingatkan saya pada Riot Games. Seperti yang kita tahu, franchise League of Legends kini tak hanya mencakup game MOBA semata, melainkan juga musik dan film. Baru-baru ini, Riot juga merilis serial animasi Arcane di Netflix yang pada dasarnya berhasil mematahkan stigma buruk video game yang diadaptasikan ke film.

Sumber: The Verge dan Games Industry.

Genshin Impact Umumkan Shenhe dan Yun Jin sebagai Karakter Terbaru

Beberapa hari sebelum memasuki versi 2.3, Genshin Impact mengumumkan dua karakter terbaru mereka, yaitu Shenhe dan Yun Jin. Pengumuman ini mereka sampaikan lewat akun Twitter dan Facebook resmi mereka.

Pengumuman ini menarik perhatian yang besar, terutama bagi komunitas Genshin Impact. Dalam dua jam setelah pengumuman ini saja, tagar Shenhe Genshin Impact sempat trending di Twitter, dengan lebih dari 70 ribu retweet.

Belum banyak detail yang diberikan oleh miHoYo mengenai kedua karakter baru ini. Detail yang diberikan hanyalah elemen, senjata, dan sedikit cerita latar dari karakter-karakter tersebut. Keduanya diperkirakan bakal rilis pada versi 2.4. Bila Anda tertarik dengan isi versi 2.3 yang akan rilis pada 24 November, Anda bisa cek di sini.

Shenhe merupakan sebuah karakter berelemen Cryo, dengan senjata polearm. Ia merupakan murid dari Cloud Retainer, seekor makhluk Adeptus yang pemain temui saat menjalankan cerita Archon di Liyue. Berikut ini cerita latar yang diberikan oleh miHoYo:

“Shenhe lahir di dalam klan pengusir roh jahat. Karena satu dan lain hal, dia dirawat dan dibesarkan oleh Cloud Retainer. Bagi Shenhe, Cloud Retainer adalah seorang guru yang banyak pengetahuan dan pandai bertutur kata. Bagi Cloud Retainer, Shenhe adalah manusia fana paling spesial yang pernah dibimbingnya.
Hidup bersama Adeptus bukanlah perkara yang mudah bagi seorang manusia biasa. Tapi, Shenhe berbeda. Tubuhnya yang unik, kehendaknya yang kuat, dan bakatnya dalam mempelajari ilmu mereka, membuatnya mendapat pengakuan dari para Adeptus.

Namun, tahun-tahun yang ia habiskan untuk mengembangkan dan melatih ilmunya, ditambah dengan kebiasaan makan tumbuhan dewa dan minum embun pegunungan, membuat Shenhe semakin asing dengan kehidupan manusia fana, sampai dirinya sering dikira sebagai Adeptus misterius berambut putih.

Ketegasan yang terkadang terlihat dalam karakternya, dan tali merah yang diikatkan ke tubuhnya, semakin menambah “misteri” yang meliputi dirinya. Jika masa lalunya dirangkai menjadi sebuah cerita, maka akan ada banyak sekali versinya.

Baik makhluk kayangan atau pun penyihir berambut putih, bagaimanakah pandangan orang-orang terhadap perempuan penuh misteri ini? Menyibak rahasia dan perasaannya, sama sulitnya seperti menangkap awan-awan yang melingkupi pegunungan.”

Karakter selanjutnya yang diperkenalkan adalah Yun Jin. Ia berelemen Geo dan juga bersenjatakan polearm. Ia merupakan pimpinan dari Grup Opera Yun-Han sekaligus aktris paling terkenal di Liyue. Berikut ini cerita latar yang disampaikan oleh miHoYo:

“Pemimpin Grup Opera Yun-Han sekaligus aktris paling terkenal seantero Pelabuhan Liyue. Yun Jin terkenal karena suaranya yang merdu dan kostumnya yang menarik, juga karena pertunjukannya yang dinamis dan menjiwai. Baik peran sebagai nona muda yang rapuh dan anggun, maupun pahlawan wanita yang agung dan perkasa, peran apa pun pasti bisa dilakoninya dengan baik.

Yang lebih langkanya lagi, aktris muda ini juga menguasai cara menulis naskah. Selain “Kemurkaan Adeptus”, Grup Opera Yun-Han juga mempertunjukkan berbagai sandiwara baru dalam beberapa tahun terakhir, yang semuanya adalah karya tulisan Yun Jin.”

Lebih dari 1.700 Karyawan Activision Blizzard Setujui Petisi Agar Sang CEO Mundur

5 bulan berlalu sejak awal mula gugatan hukum yang dilayangkan para karyawan Activision Blizzard, kasus ini masih terus berlanjut dan malah menjadi kian runyam. Yang terbaru, lebih dari 1.700 karyawan Activision Blizzard telah menandatangani petisi agar sang CEO, Bobby Kotick, mundur.

Petisi ini dibuat sebagai tanggapan dari artikel Wall Street Journal (WSJ) pada 16 November lalu yang mengungkap fakta bahwa sang CEO ternyata mengabaikan banyak tuduhan pelecehan seksual terhadap karyawan wanita Activision Blizzard selama bertahun-tahun.


Aliansi pekerja Activision Blizzard atau ABK Workers Alliance kemudian mengumumkan secara resmi petisi mereka melalui akun Twitter-nya. Pada awalnya petisi ini ditandatangani oleh sekitar 500 orang saja, namun ketika berita ini diangkat jumlahnya telah menjadi 1700 orang lebih.

Para karyawan ini menganggap Bobby Kotick telah melanggar integritasnya yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan Activision Blizzard. Para karyawan juga meminta Bobby mengundurkan diri dari jabatan CEO dan juga memberikan hak penuh kepada para pemegang saham Activision Blizzard untuk menunjuk CEO baru tanpa masukan dari Bobby.


Di sisi lain, setelah artikel milik WSJ tersebut dipublikasikan, Bobby Kotick dan Activision Blizzard berusaha untuk membantah klaim tersebut. Activision Blizzard bahkan mengeluarkan pernyataan resmi yang menuding laporan tersebut memberikan pandangan yang salah dan menyesatkan dari perusahaan dan CEO mereka.


Selain para karyawan, para fans dan publik ternyata memberikan dukungan dengan ikut mendukung petisi ini. Lewat petisi di Change.org yang kini sudah ditandatangani oleh lebih dari 18 ribu orang dan terus bertambah. Para fans juga secara terbuka memberikan dukungan positif bagi para karyawan untuk dapat memberikan perubahan yang dibutuhkan oleh Activision Blizzard.

Rockstar Akhirnya Meminta Maaf Terhadap GTA Trilogy yang Bermasalah

Harapan para gamer di seluruh dunia untuk menikmati nostalgia lewat GTA The Trilogy – The Definitive Edition memang tinggal angan-angan. Bagaimana tidak, sejak peluncurannya pada 11 November lalu, remastered dari tiga game legendaris GTA ini dihantui oleh berbagai masalah.

Mayoritas para pemain mengeluhkan permasalahan teknis mulai dari optimalisasi game yang buruk hingga bug dan glitch yang secara konstan muncul di dalam permainan. Untuk lebih detailnya, Anda bisa melihat kumpulan review GTA The Trilogy – The Definitive Edition yang saya buat.


Seminggu setelah peluncurannya, Rockstar akhirnya buka suara perihal remastered trilogi GTA tersebut. Lewat postingan blog terbarunya, Rockstar secara terbuka meminta maaf kepada semua fans yang mengalami masalah teknis ketika memainkan game-nya. Mereka juga menyadari bahwa GTA The Trilogy – The Definitive Edition tersebut masih jauh dari standar yang mereka patok, ataupun standar yang diharapkan oleh para fans.

Rockstar juga berjanji untuk memperbaiki ketiga game tersebut dan memberikan improvisasi kepada masing-masing game ke depannya. Rockstar juga merasa bahwa mereka tidak dapat langsung membuatnya sempurna. Sehingga, Rockstar akan menggunakan sistem update bertahap hingga game-nya dapat mencapai standar kualitas yang seharusnya.

Sebagai permintaan maaf, Rockstar juga akan mengembalikan versi klasik dari Grand Theft Auto III, Grand Theft Auto: Vice City, dan Grand Theft Auto: San Andreas ke platform PC. Namun kini ketiga game klasik tersebut hanya tersedia lewat launcher milik mereka yaitu Rockstar Game Launcher.

Rockstar juga akan memberikan versi klasik dari ketiga game ini kepada semua pemain yang membeli GTA Trilogy – The Definitive Edition di PC melalui Rockstar Store hingga 30 Juni 2022. Tawaran ini cukup menarik bagi mereka yang belum membeli versi original dari tiga game tersebut.

Uniknya, selain meminta maaf dan memberikan penawaran kompensasi, Rockstar juga meminta para fans untuk berhenti mengganggu dan bahkan mengancam anggota developer Rockstar di media sosial. Rockstar memohon agar para fans untuk tetap menjaga interaksi yang sopan dan beradab selama mereka berusaha memperbaiki masalah tersebut.