Riot Ungkap Lebih Banyak Detail Soal Fighting Game yang Sedang Digarapnya, Project L

2019 lalu, Riot Games sempat mengumumkan bahwa salah satu proyek baru yang sedang mereka garap adalah sebuah fighting game dengan codename Project L. Setelah sekian lama bungkam, Riot akhirnya berani buka-bukaan lebih banyak soal game tersebut.

Project L dideskripsikan sebagai sebuah tag-team style fighting game, yang berarti setiap pemain akan menjalankan dua karakter sekaligus secara bergantian. Menurut Riot, kontrol di Project L “mudah untuk dipelajari tapi sulit untuk dikuasai”, dan ini mereka yakini sebagai cara terbaik untuk mengakomodasi semua kalangan pemain, dari yang amatir sampai yang pro.

Kalau melihat cuplikan videonya di bawah, gameplay-nya sejauh ini memang sudah kelihatan cukup matang, akan tetapi Project L sebenarnya masih jauh dari kata selesai (bahkan judul finalnya pun belum ada). Riot belum punya estimasi jadwal perilisannya, tapi yang pasti tidak tahun ini ataupun tahun depan.

Beberapa aspek esensial, seperti misalnya core gameplay, kontrol, dan art direction untuk Project L memang sudah hampir selesai difinalisasi, namun Riot masih punya banyak PR terkait karakter, stage, menu, UI, maupun sistem ranking. Belum diketahui berapa banyak karakter yang akan tersedia nantinya, tapi yang sudah terkonfirmasi sejauh ini adalah Jinx, Darius, Ahri, dan Ekko.

Aspek teknis seperti rollback netcode juga tidak dilupakan, dan Riot berniat mengintegrasikan sejumlah teknologi yang sudah mereka gunakan sekarang, macam RiotDirect yang terbukti efektif dalam meminimalkan ping di League of Legends maupun Valorant.

Riot menegaskan bahwa pengembangannya tidak akan dilakukan secara terburu-buru karena mereka ingin menciptakan game yang dapat dimainkan oleh komunitas pencinta fighting game selama bertahun-tahun. Rencananya, mereka bakal menyingkap update anyar seputar Project L paling cepat di awal babak kedua tahun 2022.

Sebulan terakhir ini merupakan periode yang sangat produktif buat Riot Games. Mereka merilis serial animasi Arcane di Netflix yang menuai banyak pujian positif, tidak ketinggalan pula dua game spin-off League of Legends berjudul Ruined King dan Hextech Mayhem. Mereka bahkan juga sempat mengumumkan dua game lain yang siap diluncurkan tahun depan, yakni Song of Nunu dan Conv/rgence.

Sumber: Riot Games via PC Gamer.

Blockchain Gaming: Bagaimana Axie Infinity Menggapai Popularitasnya

Konsep blockchain pertama kali diajukan pada 1982, oleh cryptographer David Chaum. Namun, blockchain baru mulai dikenal masyarakat banyak setelah teknologi itu digunakan pada cryptocurrency, seperti Bitcoin. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, blockchain punya peran penting dalam sistem cryptocurrency. Karena, blockchain adalah teknologi yang memastikan keamanan dan validitas dari transaksi cryptocurrency. Penggunaan blockchain menjamin bahwa transaksi dalam cryptocurrency aman dan terpercaya, tanpa perlu keberadaan pihak ketiga sebagai penjamin.

Setelah sukses dengan cryptocurrency, blockchain digunakan untuk berbagai sektor, termasuk game. Belakangan, mulai muncul game dengan model bisnis baru, yang diklaim sebagai blockchain game. Menurut Niko Partners, blockchain game merupakan tren teraru yang berpotensi mendisrupsi industri game. Dan tren tersebut tumbuh pesat di Asia.

Apa Itu Blockchain Game?

Sebelum membahas soal blockchain game, mari kita mendefinisikan blockchain itu sendiri. Secara sederhana, blockchain adalah sekumpulan data — disebut blok — yang terhubung dengan satu sama lain melalui cryptography. Setiap blok dalam blockchain bersifat unik dan tidak bisa diubah. Karena, jika salah satu blok dalam sebuah blockchain diubah, perubahan itu akan mempengaruhi blok-blok lain dalam blockhain tersebut.

Satu hal yang membedakan blockchain game dengan game tradisional adalah semua aset digital yang digunakan dalam blockchain game merupakan Non-Fungible Token (NFT). Artinya, setiap aset digital di blockchain game berbeda dengan satu sama lain. NFT sendiri merupakan unit data yang tersimpan dalam blockchain. Dan segmen blockchain yang menyimpan semua aset sebuah game itulah yang disebut blockchain gaming.

Blockchain dikenal sebagai teknologi yang digunakan untuk cryptocurrency. | Sumber: Pexels

Selain penggunaan NFT, satu hal lain yang membedakan blockchain game dengan game tradisional adalah model bisnis yang digunakan. Blockchain game memperkenalkan model bisnis baru yang disebut “play to earn“. Sesuai namanya, game dengan model bisnis itu memungkinkan para pemainnya untuk mendapatkan uang dengan bermain game. Jadi, ketika seseorang memainkan blockchain game dengan model bisnis play-to-earn, setiap dia bermain, dia akan mendapatkan reward berupa aset digital. Reward tersebut akan bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional.

Selain model play-to-earn, blockchain game juga menerapkan model bisnis “play to trade“. Dengan model bisnis itu, pemain akan bisa mendapatkan token saat bermain. Token tersebut bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan uang kertas. Bagi developer, ketika mereka hendak mengembangkan blockchain game dengan model play-to-earn, mereka harus bisa mengintegrasikan model bisnis itu ke desain dan gameplay dari sebuah game.

Di atas kertas, blockchain game dengan model bisnis play-to-earn merupakan impian bagi para gamers. Gamers mana yang tidak mau mendapatkan uang hanya dengan bermain game? Dan berbeda dengan atlet esports, Anda tidak harus punya kemampuan yang sangat luar biasa untuk bertanding di turnamen kelas atas dan mendapatkan hadiah.

Meskipun begitu, para pemain blockchain game juga punya kekhawatiran tersendiri. Salah satunya, mereka khawatir bahwa masalah teknis akan membuat aset digital mereka hilang — yang berarti uang mereka akan hilang. Keresahan lain yang mereka rasakan adalah penipuan. Karena, perusahaan blockchain game tidak wajib untuk mematuhi regulasi terkait pencucian uang atau untuk mengenal pemain mereka. Hal ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh para penipu.

Contoh Blockchain Game: Axie Infinity

Saat ini, ada beberapa blockchain game yang populer, seperti CryptoKitties, The Sandbox, dan Decentraland. Dengan jumlah pemain aktif harian mencapai satu juta orang, Axie Infinity menjadi contoh lain dari blockchain game yang populer. Axie Infinity adalah blockchain game buatan Sky Mavis, developer asal Vietnam. Pada Januari 2021, total pemasukan studio itu adalah US$103 ribu. Angka ini meningkat pesat pada Agustus 2021, menjadi US$364 juta. Tak hanya itu, Sky Mavis juga berhasil mendapatkan pendanaan Seri B sebesar US$150 juta.

Bagaimana mekanisme dari Axie Infinity? Blockchain game itu punya dua token. Token pertama adalah Smooth Love Potion (SLP), yaitu mata uang dalam game yang bisa digunakan untuk mengembangbiakkan axie alias binatang dalam game. Pemain bisa mendapatkan SLP sebagai reward ketika mereka memainkan Axie Infinity. Jumlah SLP dalam game tidak dibatasi. Token kedua adalah Axie Infinity Shards (AXS), yang bisa didapatkan dengan menjual axie dalam game. AXS inilah yang bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Hanya saja, jumlah maksimal AXS dibatasi, hanya 27 juta unit. Per September 2021, harga satu AXS adalah US$60. Diperkirakan, angka ini akan terus naik di masa depan.

Ketika pemain menjual axie mereka melalui marketplace dalam game, Sky Mavis akan mendapatkan komisi senilai 4,25% dari nilai transaksi. Dari sinilah sumber pemasukan studio tersebut. Menurut CryptoSlam, sejauh ini, total nilai penjualan NFT di Axie Infinity telah mencapai lebih dari US$2 miliar.

Filipina menjadi pasar terbesar untuk Axie Infinity. Pada April 2021, sebanyak 29 ribu dari total 70 ribu downloads Axie Infinity berasal dari Filipina. Menurut Niko Partners, per Oktober 2021, jumlah gamers Axie Infinity di Filipina mencapai 300 ribu orang. Faktanya, blockchain game itu begitu populer di negara kepulauan itu sehingga beberapa penjual di sana kini menerima SLP sebagai metode pembayaran untuk produk yang mereka tawarkan.

Popularitas Axie Infinity bahkan menarik perhatian Bureau of Internal Revenue (BIR) dan Department of Finance (DOF). Keduanya membuat pernyataan resmi, mengatakan bahwa cryptocurrency juga akan dikenai pajak. Namun, cryptocurrency hanya bisa dikenakan pajak ketika pemliiknya menukar cryptocurrency dengan mata uang tradisional atau menggunakannya untuk membeli barang yang harganya bisa diukur dalam mata uang tradisional.

Masalah di Axie Infinity

Sama seperti kebanyakan teknologi baru, blockchain game juga punya masalah sendiri. Untuk Axie Infinity, naik-turun harga SLP menjadi salah satu masalah. Misalnya, pada 13 Juli 2021, harga SLP sempat mencapai US$0,39, yang merupakan rekor termahal. Sementara pada pertengahan Agustus, nilai SLP telah turun menjadi US$0,081.

Perubahan harga drastis itu sempat membuat komunitas para gamers Axie Infinity di Discord dan Facebook khawatir. Tak hanya itu, opini negatif pun sempat merebak di kalangan para gamers. Sebagian dari mereka mulai meragukan validitas Axie Infinity. Meskipun begitu, sebagian gamers justru mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka mencoba untuk mendapatkan untung dari perubahan harga SLP.

Axie Infinity dari Sky Mavis.

Masalah yang terjadi pada Axie Infinity menunjukkan, permintaan dan ketersediaan aset akan berdampak besar pada ekonomi dalam blockchain game. Pada Axie Infinity, salah satu hal yang bisa developer lakukan untuk memecahkan masalah itu adalah dengan membiarkan pemain menggunakan SLP untuk aktivitas lain. Satu hal yang pasti, jika developer ingin membuat blockchain game yang sukses, mereka harus mempertimbangkan keberlangsungan dari game itu.

Keamanan menjadi masalah lain yang dikhawatirkan oleh pemain blockchain game. Mengingat seseorang bisa mendapatkan uang dengan bermain blockchain game, tidak heran jika ada hackers yang tertarik untuk mengambil alih akun blockchain game pemain lain untuk mendapatkan uang yang ada di akun tersebut. Selain itu, juga mulai muncul situs phishing yang menargetkan para pemain Axie. Ketiadaan regulasi terkait blockchain game juga memungkinkan penipu untuk berpura-pura menjadi developer game.

Sumber header: Twitter

Susul Nickelodeon, Warner Bros. Umumkan Crossover Fighting Game Berjudul MultiVersus

Warner Bros. Games baru saja mengumumkan MultiVersus, sebuah crossover fighting game anyar dengan deretan karakter yang berasal dari koleksi IP milik mereka, mulai dari Looney Tunes, DC Comics, Scooby Doo, bahkan sampai Game of Thrones.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya sebuah franchise besar mencoba meniru formula sukses yang dipopulerkan oleh Nintendo lewat seri Super Smash Bros., sebab ada Nickelodeon All-Star Brawl yang baru saja dirilis bulan lalu. Namun tidak seperti kedua game tersebut, MultiVersus merupakan sebuah game free-to-play (F2P).

Selain mode 1v1, MultiVersus juga menawarkan mode 2v2 dan 4-Player Free For All. Dalam mode 2v2, para pemain dituntut untuk menerapkan strategi kerja sama yang efektif, sebab karakter-karakter dalam MultiVersus memang dirancang untuk melengkapi satu sama lain secara dinamis.

Salah satu contohnya, ketika Bugs Bunny menggunakan skill untuk menggali terowongan di bawah tanah, rekan setimnya juga bisa ikut masuk ke lubang tersebut dan melancarkan serangan kejutan dari titik keluar di sisi yang berlawanan.

Sejauh ini MultiVersus memiliki 13 karakter, masing-masing dengan pengisi suara aslinya, namun jumlahnya dipastikan bakal bertambah seiring berjalannya waktu. Selain dari IP yang sudah terkenal, WB turut merancang karakter baru untuk MultiVersus.

Sebagai game F2P, sudah sewajarnya MultiVersus menawarkan konten in-app purchase, semisal skin untuk tiap karakter — Superman dengan skin Black Lantern kelihatan sangat keren — dan WB Games berniat menghadirkannya dalam format season-based. Cuplikan di trailer-nya juga sempat memperlihatkan elemen dari sistem battle pass.

Cross-play dan cross-progression merupakan fitur standar untuk MultiVersus, dan pengembangnya berjanji untuk menyediakan dedicated server dari hari pertama peluncuran guna meminimalkan problem seputar koneksi. Selain online, MultiVersus juga mendukung local multiplayer.

MultiVersus dikembangkan oleh studio baru bernama Player First Games. Permainan rencananya akan dirilis di tahun 2022 di PC, PlayStation, dan Xbox. Entah kenapa alasannya, WB Games tampaknya tidak punya rencana untuk menghadirkan game ini di Nintendo Switch.

Bagi yang sudah tidak sabar, pengembang MultiVersus berencana menggelar sesi playtest dalam waktu dekat. Kalau tertarik, silakan mendaftarkan diri melalui situs resminya.

Sumber: IGN.

BTS Umumkan Kolaborasi dengan Among US

Pada 17 November 2021, BTS umumkan kolaborasi dengan game Among Us. Pengumuman ini mereka rilis melalui akun Twitter BT21, beserta dengan sebuah video pendek. Belum banyak detail yang diberikan, mengenai produk kolaborasi yang akan dibuat oleh kolaborasi ini.

Bentuk kolaborasi yang paling memungkinkan adalah penjualan kosmetik untuk game Among Us, yang menyerupai bentuk dari karakter-karakter BT21. Bagi Anda yang belum tahu, BT21 merupakan proyek pertama antara LINE dan BTS. BT21 adalah sekumpulan karakter yang didesain khusus oleh para member BTS. Sampai saat ini, sudah ada delapan karakter yang telah dibuat.

Peluncuran resmi dari kolaborasi antara BTS dan Among Us direncanakan pada tanggal 25 November untuk Korea Selatan pada pukul 18:00 KST (sekitar pukul 16:00 WIB), dan untuk versi globalnya pada pukul 18:00 PDT (sekitar pukul 09.00 WIB) dengan tanggal yang sama.

Kolaborasi ini menambah jumlah kolaborasi antara industri hiburan, khususnya industri musik, dengan industri game. Sebelumnya, Ariana Grande pernah mengadakan konser virtual, dengan menggaet Fortnite. Hal ini menandakan perkembangan industri game yang semakin pesat, sehingga mulai banyak dilirik sebagai media promosi oleh industri lainnya.

Selain BTS, League of Legends juga telah melakukan kolaborasi dengan Among Us. Kolaborasi ini dilakukan dalam rangka meramaikan peluncuran serial Arcane, sebuah serial animasi di dunia League of Legends, pada Netflix. Di kolaborasi ini, para pemain dapat membeli sejumlah kosmetik di game Among Us, dengan karakter-karakter yang tampil di Arcane.

sumber: Among Us

Among Us merupakan sebuah game online multiplayer dengan gameplay sederhana namun unik. Di game ini, setiap pemain akan berargumen dan mengobservasi pemain lain, untuk memenangkan permainan.

Among Us pertama kali dirilis pada tahun 2018, namun meledak di tahun 2020. Game ini mendapatkan perhatian yang luar biasa dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Dikutip dari pocketgamer, Among Us mampu meraup keuntungan sebesar US$ 86 juta (sekitar Rp 1,2 triliun) dalam tiga tahun terakhir.

Among Us dapat dimainkan secara gratis di PlayStation 4, PlayStation 5, Android, iOS, Xbox Series X | S, Xbox One, Nintendo Switch, dan PC.

Play-To-Earn Games: Just What Exactly Is It?

Recently, Play-to-Earn games have been bombarding the media and the gaming world with all their hype and connection with cryptocurrency. Of course, you might be left wondering what is this new type of game really is and why it’s becoming so popular all of a sudden.

To put it simply, play-to-earn is just another gaming business model. You might have heard of free-to-play games or pay-to-play games in the past. Well, play-to-earn is just another iteration of those types of gaming models. The definition of this business model is also in its name – the players play the game in the hopes of earning something money in the form of cryptocurrency.

You might realize that almost all games that have some trading features indirectly implement some play-to-earn element. In CS:GO, you could obtain and sell skins in the Steam market. If the skins are incredibly rare, you can also usually sell (trade) them using real-world money. Some skins even go as high as $100,000 USD and even higher in some cases.

This M4A4 “Howl” skin goes for more than $100,000 USD | Source: esports.net

In World of Warcraft, you could sell accounts with real-world money and raise their price according to the level of items owned. DotA and other similar competitive games are also plagued with cases of account-buyers, where noob players purchase high-ranked accounts and play outside their ELO range. So yes, intended or not, almost all games virtually have some element of play-to-earn.

However, play-to-earn games fully implemented this element as a feature and encourages players to upgrade their items or characters to increase their market appeal. The more time a player puts into the game, the more they will be rewarded with high-value characters or assets; play more to earn more. The game will also provide the necessary tools and space for players to trade these assets. Of course, these tools are non-existent in the previous games, where third-party websites are usually needed to complete a transaction. As you can see, play-to-earn games essentially take advantage of NFTs to run this whole brand-new business model.

The Axie Infinity market, one of the most popular play-to-earn games at the moment | Source: rappler.com

NFT and Crypto’s correlation with P2E games

Understanding NFTs is critical when you want to make sense of these whole play-to-earn games. If you already know what NFTs are, you can proceed to the next section of the article. If you don’t, NFTs, or non-fungible tokens, are essentially a modern form of bartering sprinkled cryptocurrency and supported by blockchain technology. NFTs are usually associated with “internet” items such as photos, videos, GIFs, or in-game assets in our case. Of course, it doesn’t take much to make copies of these items on the internet, which is why NFT also incorporates proof of ownership that is secured by blockchain technology.

By now, you should already have some sense between the connection of the whole crypto NFT shenanigan with play-to-earn games. So you play the game to earn rare items. These items are represented as NFTs, which verify your ownership over the particular in-game asset. You can then trade or sell these items to other players in exchange for cryptocurrency. The cycle repeats and eventually creates its own crypto ecosystem or economy around the game.

Featured Image: Freepik

ASUS Menguasai 59,7% Pangsa Pasar Laptop Gaming di Indonesia

Pada bulan April lalu, ASUS mengumumkan rangkaian laptop gaming yang ditenagai oleh prosesor AMD Ryzen 5000 Mobile Series hingga Ryzen 9 dan chip grafis NVIDIA GeForce RTX 3080 di Indonesia. Termasuk ASUS ROG Zephyrus Duo 15 SE, ROG Flow X13, ROG Strix SCAR 15/17, ROG Strix G 15/17, ROG Zephyrus G15, ROG Zephyrus G14, dan TUF Gaming A15.

Lanjut ke bulan Agustus, ASUS turut menghadirkan laptop gaming yang ditenagai prosesor Intel Core H-series generasi ke-11 Tiger Lake hingga Intel Core i9-11900H dan chip grafis NVIDIA GeForce RTX 3080. Mereka adalah ASUS ROG Zephyrus M16 dan ROG Zephyrus S17.

Ya, variasi model lini laptop gaming ASUS sangat lengkap. Mulai dari lini TUF Gaming dengan harga belasan jutaan, serta berbagai seri laptop gaming premium ROG dari rentang harga dua puluh jutaan hingga puluhan juta seperti ROG Zephyrus S dan Duo, serta ROG Flow X13 dengan inovasi teknologi terdepan.

Hal tersebutlah yang membuat laptop gaming ASUS berhasil menguasai pasar laptop gaming di Indonesia sepanjang tahun 2021. Berdasarkan data aktivasi dari NVDIA hingga bulan September 2021, ASUS mencatat penguasaan pasar laptop gaming hingga 59,7% di Indonesia.

Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2021. Serta, membuktikan bahwa laptop gaming ROG dan TUF Gaming tetap merupakan pilihan para gamer di Indonesia.

Pencapaian tersebut merupakan bukti bahwa laptop gaming ROG dan TUF Gaming tetap menjadi pilihan utama para gamer di Indonesia. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada gamer dan komunitas gaming di Indonesia yang setia memilih dan menggunakan laptop gaming ROG serta TUF Gaming,” ujar Jimmy Lin, ASUS Regional Director Southeast Asia.

Pencapaian kali ini juga membuat kami semakin berkomitmen untuk menghadirkan laptop gaming yang tidak hanya sekadar powerful, tetapi juga berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan gamer di Indonesia,” tambahnya.

Meski pangsa pasar sempat turun di awal tahun 2021, laptop gaming ROG dan TUF Gaming tetap tampil dominan di pasar Indonesia. Mereka berhasil mencatat peningkatan pangsa pasar yang signifikan, yaitu sebesar 10,7% dari 49% di bulan Agustus ke 59,7% di bulan September 2021 (berdasarkan data aktivasi dari NVIDIA).

ROG Flow X13 dengan ROG XG Mobile

Salah satu inovasi ASUS di tahun 2021 adalah hadirnya ROG Flow X13. Laptop gaming dengan bodi yang sangat portabel tersebut tidak hanya tampil sebagai perangkat yang mengadopsi desain yang fleksibel, tetapi juga tampil sebagai laptop convertible paling powerful di dunia.

ROG Flow X13 juga merupakan laptop pertama yang dapat dihubungkan dengan ROG XG Mobile, yaitu solusi GPU eksternal. ROG XG Mobile dapat mentransformasi ROG Flow X13 menjadi laptop yang sangat powerful bahkan setara dengan performa laptop gaming yang memiliki ukuran bodi jauh lebih besar.

Kolaborasi dan Layanan Purna Jual

ROG Zephyrus G14 Alan Walker Special Edition

Selain menghadirkan banyak varian laptop gaming dengan berbagai inovasi teknologinya, faktor lain yang mendukung pencapaian ASUS ialah kolaborasi dan layanan purna jual. Tahun ini ASUS berkolaborasi dengan Nyjah Huston untuk menghadirkan sebuah laptop gaming eksklusif bernama ROG Strix Nyjah Huston Special Edition yang diciptakan berdasarkan seri ROG Strix SCAR yang sangat dikenal sebagai laptop untuk para gamer eSports profesional.

Selain itu, ASUS juga berkolaborasi dengan musisi ternama Alan Walker untuk menghadirkan laptop gaming edisi khusus ROG Zephyrus G14 Alan Walker Special Edition. Laptop gaming edisi khusus tersebut tampil dengan desain unik yang tidak dapat ditemukan di laptop lainnya.

ROG Zephyrus G14 AW SE juga dilengkapi dengan aksesori eksklusif dalam paket penjualannya. Aksesori yang paling istimewa adalah ROG Remix, yaitu perangkat audio remix unik yang juga dapat digunakan sebagai tempat menyimpan laptop ROG Zephyrus G14 AW SE yang dapat dihubungkan dengan kabel USB Type-C dan dapat dimainkan melalui software khusus yang telah dipasang.

ASUS juga memberikan pelayanan purna jual terbaik melalui program ASUS VIP Perfect Warranty untuk lini laptop gaming ROG. Sebuah layanan perlindungan ekstra untuk pengguna laptop ASUS ROG jika terjadi kerusakan pada unit yang tidak ter-cover oleh garansi standar ASUS, termasuk kerusakan akibat kelalaian pengguna. Layanan ini merupakan layanan premium, ASUS akan menanggung 100% biaya jasa perbaikan dan spare part untuk kerusakan-kerusakan yang disebabkan kelalaian pengguna.

Riot Siap Luncurkan Dua Game Spin-off League of Legends Baru Lagi Tahun Depan

Menjelang pergantian tahun, publishing label milik Riot Games, Riot Forge, mengumumkan game anyar berjudul Song of Nunu. Seperti halnya game-game lain di bawah arahan Riot Forge, Song of Nunu juga merupakan spin-off dari League of Legends (LoL).

Sesuai judul, Song of Nunu menceritakan petualangan seorang champion bernama Nunu dalam misi mencari ibunya yang hilang. Seperti di LoL, Nunu juga ditemani oleh kawannya, seekor Yeti bernama Willump. Keduanya akan bersama-sama menjelajahi dan mengungkap misteri di Freljord, kawasan tundra di belantara Runeterra.

Melihat cuplikan videonya di bawah, Song of Nunu sepertinya bakal banyak memadukan elemen puzzle dan platformer. Interaksi antar kedua karakter tampaknya bakal menjadi kunci dalam memecahkan beragam puzzle dalam game.

Song of Nunu digarap oleh Tequila Works, studio asal Spanyol yang portofolionya mencakup game seperti RiME dan The Sexy Brutale. Riot menjadwalkan peluncuran di tahun 2022, tapi sejauh ini belum ada tanggal pastinya. Selain di PC, Song of Nunu juga akan dirilis di PlayStation, Xbox, dan Nintendo Switch.

Dalam kesempatan yang sama, Riot juga sempat menyingkap lebih banyak detail mengenai game lainnya yang berjudul Conv/rgence. Game ini sebenarnya sudah diumumkan sejak akhir 2019 bersamaan dengan Ruined King, dan Riot bilang game ini juga bakal meluncur tahun depan. Menurut pengembangnya, Double Stallion, ada banyak perubahan signifikan yang sudah mereka terapkan semenjak pengumuman perdananya.

Sebagai pengingat, Conv/rgence merupakan sebuah 2D action platformer yang menceritakan petualangan champion Ekko di distrik bernama Zaun — lokasi yang sama seperti yang menjadi setting serial animasi baru Netflix, Arcane. Di LoL, skill-skill Ekko banyak berkaitan dengan manipulasi waktu, dan di Conv/rgence pun juga demikian. Kalau mau disederhanakan, Conv/rgence pada dasarnya merupakan sebuah game platformer dengan tombol undo.

Berhubung pandemi masih terus berlanjut, wajar kalau akhirnya Riot tidak memberikan tanggal rilis yang pasti untuk kedua game ini. Kendati demikian, mereka baru-baru ini membuktikan bahwa mereka bisa menepati janjinya dengan meluncurkan Ruined King sekaligus Hextech Mayhem.

Sumber: PC Gamer.

Early-Access Battlefield 2042 Dipenuhi dengan Masalah

Para pengembang game di masa sekarang kelihatannya masih kesulitan untuk memastikan game baru yang mereka rilis benar-benar menawarkan pengalaman sempurna. EA dan DICE kini menjadi korban terbaru, karena game shooter andalan mereka yaitu Battlefield 2042 ternyata juga mengalami beragam masalah saat diluncurkan.

Bagaimana tidak, sejak dirilis resmi untuk early access pada Jumat 12 November lalu game ini langsung mendapat respon negatif dari para fans. Banyak pemain yang mengakses lewat EA Play trial tersebut melaporkan bahwa Battlefield 2042 tidak dapat dimainkan karena eror ketika masuk ke dalam server.


Permasalahan ini bahkan disadari oleh pihak EA yang kemudian mengatakan bahwa mereka telah berusaha untuk memperbaiki masalah tersebut. Namun sayangnya setelah pengumuman perbaikan tersebut, masih banyak pemain yang melaporkan tetap mendapatkan eror.

Para pemain yang berhasil masuk dan dapat bermain pun juga masih tetap dihantui masalah lainnya. Seperti glitch dan bug yang masih kerap terjadi dan dialami para pemain. Mulai dari bagian tubuh pemain yang terkadang hilang, kendaraan yang tiba-tiba terlontar ke udara, dan mungkin yang paling parah adalah hovercraft yang dapat berjalan naik secara vertikal.


Di luar permasalahan tersebut, Battlefield 2042 juga dilaporkan memiliki beragam masalah teknis gameplay lain. Antara lain tampilan UI yang terlalu kompleks dan membingungkan, hingga ke sistem kelas baru yang membuat karakter baik kawan maupun lawan memiliki tampilan yang sama.

Ditambah, implementasi sistem “Gunshot Bloom” pada game ini yang ternyata terlalu intense. Gunshot bloom adalah sistem yang membuat peluru yang ditembakkan memiliki kemungkinan untuk mendarat tidak tepat pada titik bidikan. Namun kelihatannya penerapan sistem tersebut pada Battlefield 2042 terlalu acak yang bahkan membuat menembak dalam game ini berubah menjadi faktor keberuntungan ketimbang akurasi.

EA dan DICE memang masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki game-nya sebelum dirilis secara global pada Jumat mendatang, 19 November. Namun bila tidak segera ditangani maka para fans yang mendengar banyak masalah dari para pemain early-access ini mungkin akan mengurungkan niatnya bermain nanti. Karena hingga sekarang saja, telah banyak pemain yang meminta refund terhadap Battlefield 2042 ini.

Baru Dirilis, Halo infinite Jadi Game Xbox Paling Sukses di Steam

Berbicara seri Halo mungkin terdengar asing bagi para gamer di Indonesia. Pasalnya, game ini awalnya muncul eksklusif di konsol Xbox, dan mayoritas gamer di Indonesia memiliki PlayStation. Namun di luar negeri, terutama di Amerika Serikat seri Halo merupakan salah satu seri yang wajib ditunggu oleh para pecinta game shooter.

Maka tidak heran bila setelah penantian panjang, para fans Halo langsung menyerbu game terbaru Halo Infinite yang baru saja dirilis. Halo Infinite memang telah melalui masa pengembangan yang cukup panjang sejak diumumkan pada 2018 lalu. Dan Microsoft cukup cerdik untuk merilis terlebih dahulu porsi multiplayer-nya secara gratis pada hari ini, 16 November 2021.

image credit: Microsoft

Tidak perlu menunggu lama, Halo Infinite: Online tersebut langsung diserbu oleh para fans. Dirilis juga melalui Steam, game ini juga langsung meroket dan menduduki posisi pertama game dengan pemain aktif terbanyak hanya dalam rentang satu hari setelah dirilis.

Analis game, Daniel Ahmad juga menuliskan lewat cuitannya di Twitter bahwa hanya dalam waktu 2,5 jam saja Halo Infinite: Online mampu menembus angka 162 ribu pemain di Steam. membuat game ini menjadi game milik Xbox Game Studio yang paling sukses sepanjang masa di Steam.


Rekor Halo Infinite: Online tersebut berhasil menggeser Forza Horizon 5 yang sebelumnya menjadi judul paling sukses mereka. Namun hal tersebut dapat dipahami karena Forza Horizon 5 masih merupakan game berbayar (meskipun dapat dimainkan secara gratis lewat Xbox Game Pass), sedangkan Halo Infinite: Online ini dapat dimainkan secara cuma-cuma.

Angka pemain tersebut hanya memperlihatkan data pemain di Steam saja. Padahal Halo Infinite: Online ini juga dapat dimainkan langsung lewat Xbox for PC dan juga konsol Xbox One, Series X, dan Series S.

Meskipun hype-nya sangat tinggi dan para fans sudah dapat memainkan porsi multiplayer dari Halo Infinite ini. Kini kekhawatiran datang dari mode single-player campaign-nya yang belum memiliki tanggal rilisnya hingga sekarang. Sehingga para fans kini hanya dapat berharap agar Microsoft dan developer 343 Industries untuk segera memberikan tanggal rilis pasti untuk mode campaign-nya.

Exclusive Interview: Industri VR di Indonesia di Luar Gaming

Industri AR/VR mungkin tidak berkembang sepesat yang diharapkan pada beberapa tahun lalu. Menurut GlobalData, tahun ini industri AR/VR tahun bernilai US$5 miliar. Padahal, pada 2015, nilai industri AR/VR diperkirakan akan mencapai US$150 miliar. Meskipun begitu, menurut data dari PwC, teknologi AR/VR akan tetap dapat mendorong ekonomi global. Dalam laporan berjudul Seeing is Believing, PwC menyebutkan, teknologi AR dan VR dapat memberikan dorongan sebesar US$1,5 triliun pada ekonomi global di 2030.

Bentuk Dorongan yang AR/VR Berikan

Di laporan Seeing is Believing, PwC juga menjelaskan bagaimana teknologi AR/VR dapat mendorong ekonomi global. Mereka menyebutkan, keuntungan yang bisa didapat oleh perusahaan dari teknologi AR/VR beragam, mulai dari mempercepat proses desain produk sampai menjadi alat latihan untuk mengerjakan tugas berbahaya. Sebagai contoh, militer bisa menggunakan VR untuk melatih pasukan dalam menjinakkan bom.

Selain itu, AR/VR juga bisa memangkas waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendesain produk. Karena, teknologi AR/VR memungkinkan perusahaan untuk menguji konsep produk tanpa harus membuat prototipe dari produk tersebut. Dampaknya ke konsumen, hal ini membuat perusahaan dapat memberikan produk dengan kualitas lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.

Dampak AR/VR pada ekonomi global. | Sumber: PwC

Contoh industri yang menggunakan teknologi VR untuk memangkas waktu desain produk adalah industri otomotif. Menurut PwC, waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan otomotif untuk membuat desain pertama sampai model di dunia nyata adalah beberapa minggu. Namun, dengan VR, proses tersebut bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Perusahaan juga bisa menggunakan teknologi AR/VR untuk mendapatkan sumber pemasukan baru. Saat ini, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang retail, jasa, dan otomotif tengah mempertimbangkan untuk menggunakan AR atau VR untuk menampilkan produk yang mereka tawarkan pada konsumen. Sementara perusahaan game dan hiburan mencoba untuk memberikan pengalaman yang sama sekali baru dengan teknologi AR/VR.

Industri VR di Indonesia: Pandemi Justru Dorong Pertumbuhan

Untuk mengetahui tentang industri AR/VR di Indonesia, saya menghubungi Andes Rizky, Managing Director, Shinta VR. Ketika ditanya soal nilai industri AR/VR di Tanah Air, Andes berkata, “Kalau nilai industri, saya mengacu sama perhitungan dari PwC dengan beberapa adjustment, bahwa Indonesia masuk dalam pasar Asia Pasifik non-Tiongkok. Kalau kita sesuaikan, sebenarnya potensi pasar AR/VR di Indonesia itu bisa sekitar US$500 juta sampai US$2 miliar pada 2025.”

Lebih lanjut, Andes bercerita, konsumsi konten AR/VR di Indonesia mulai naik sejak 2019. Karena, ketika itu, Oculus Quest diluncurkan. Keberadaan Oculus Quest mendorong pertumbuhan industri VR karena jika dibandingkan dengan headset VR lain, Oculus Quest punya harga yang lebih terjangkau. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri AR/VR, ungkap Andes, adalah karena semakin banyak influencers dan YouTubers yang membuat konten VR, jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu.

“Kalau dari peningkatan penjualan sendiri, kita memperkirakan, 2020-2021 ini, peningkatan pendapatan para startup VR naik di angka 50-200% dari tahun 2019,” kata Andes saat dihubungi melalui pesan singkat. “COVID-19 menyebabkan banyak sekali perusahaan, institusi pemerintah, dan masyarakat melirik VR sebagai solusi pandemi.”

Bisnis AR/VR di Indonesia

Mengutip data dari data dari Indonesia VR/AR Association (INVRA), Andes mengatakan, saat ini, ada sekitar 20 startup yang bergerak di bidang AR/VR di Indonesia. Kebanyakan dari startup itu fokus pada bisnis business-to-business (B2B). “Yang punya produk hanya beberapa startup, seperti Shinta VR dengan Millealab, Space Collab, dan Virtual Character, WIR dengan produk MINAR dan DAV, Octagon Studio dengan AR Card Education, dan Assmbler,” jelas Andes.

Startup AR/VR yang melayani perusahaan sebagai klien, mereka biasanya mengerjakan proyek berdasarkan apa yang diinginkan oleh sang klien. “Jadi, perusahaan klien mau buat konten VR, lalu dikerjakan oleh startup-nya,” kata Andes. “Nah, permintaannya macam-macam, ada untuk marketing, training, dan lain sebagainya.”

Perusahaan yang menjadi klien startup VR berasal dari industri yang beragam. Pariwisata dan kesehatan jadi contoh industri yang pelakunya menggunakan AR/VR. Sementara sektor yang paling banyak menggunakan teknologi AR dan VR, menurut Andes, adalah sektor hiburan, pendidikan, dan human development. “Kalau AR, kemungkinan, sektor retail dan e-commerce akan berlomba ke sini,” ujarnya.

Kabar baik untuk pelaku industri AR/VR, generasi milenial dan gen Z yang tinggal di kota-kota besar Indonesia biasanya sudah mengerti VR. Artinya, perusahaan-perusahaan AR/VR tidak perlu terlalu mengkhawatirkan edukasi konsumen. “Jadi, orang-orang di rentang umur 10-35 tahun di kota besar, mereka sudah mengerti VR itu apa. Setidaknya, mereka sudah pernah lihat konten di media sosial atau YouTube, yang bahas tentang VR, walaupun mereka belum pernah langsung coba,” kata Andes. “Kalau dibandingkan dengan lima tahun lalu, edukasi dan awareness tentang VR sudah jauh lebih baik.”

Selama ini, salah satu masalah terbesar yang menghambat industri AR/VR tumbuh adalah harga hardware yang mahal. Namun, menurut Andes, masalah ini bisa diakali dengan membuat produk yang memang sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia dan menerapkan strategi harga yang sesuai. “Kita di Shinta VR, untuk melakukan market fit research, kita butuh 6 bulan di 2018,” ungkap Andes. “Kita melakukan iterasi produk beberapa kali. Satu kali iterasi validasi, biasanya membutuhkan waktu 2 bulan.”

Andes menyebutkan, riset menjadi kunci bagi Shinta VR untuk menetapkan harga dari produk mereka. Sementara soal harga ideal dari produk VR, dia mengatakan, hal itu targantung pada keadaan pasar. Karena itulah, dia menekankan, penting bagi perusahaan untuk melakukan riset market fit. “Iterasi produk bisa sampai tiga kali atau lebih,” ujarnya. “Sebagian orang masih menganggap bahwa VR itu mahal dan eksklusif. Padahal, memang dia kebetulan belum ketemu dengan vendor atau produk yang memang sesuai dengan kemampuan mereka. Atau mungkin karena added value-nya kurang tersampaikan.”

Selama ini, Shinta VR dikenal berkat Milealab mereka, yaitu platform yang mendukung penggunanya untuk membuat konten edukasi VR. Tahun ini, mereka meluncurkan produk baru bernama Spacecollab, yang merupakan sistem pelatihan untuk universitas dan perusahaan, dan Maha5, agensi untuk para Virtual YouTuber alias Vtubers.

Andes percaya, ke depan, industri Vtubers di Indonesia akan menjadi besar. Meskipun begitu, menurutnya, hal yang dapat membuat industri VR menjadi mainstream adalah konsep metaverse dari Meta, yang dulu dikenal dengan nama Facebook.

“Konsep meta ini punya banyak efek. Pertama, NFT dan blockchain system semakin meningkat. Kedua, produsen headset VR akan berlomba-lomba untuk membuat alat yang ringan dan murah. Ketiga, emotional connection insight dalam dunia metaverse ini bisa memberikan insight konsumen dengan lebih komprehensif. Empat, sudah pasti akan leverage penggunaan AI dan machine learning,” kata Andes. “Konsep Meta Facebook sebenernya untuk lebih mendapatkan insight emotional loh. Dan ini bakal banyak dibutuhkan dalam dunia commerce atau social-commerce.”

Sumber: Pexels