PC Classic Ialah Gaming PC Retro ala SNES Mini

Dengan terbatasnya pilihan hardware dan ketiadaan fungsi backward compatibility yang ‘terlalu jauh’, bernostalgia menikmati game-game tua kadang hanya bisa dilakukan melalui metode-metode yang kurang legal. Mengetahui tingginya animo di kalangan pengguna, sejumlah produsen meresponsnya melalui perilisan versi modern dari console legendaris mereka.

Penjelmaannya tak asing lagi buat kita. Nintendo belum lama melepas NES dan SNES Classic Edition, lalu gagasan serupa diikuti oleh Sony melalui PlayStation Classic. Dan masih di tahun ini, Sega sempat memamerkan Mega Drive Mini dan menunjuk perusahaan third-party AtGames untuk memproduksinya. Kali ini, satu perusahaan bernama Unit-e mencoba menerapkan pendekatan serupa pada PC.

Seperti SNES Classic atau produk-produk sejenis, perangkat yang Unit-e namai PC Classic ini merupakan versi miniatur dari komputer personal di tahun 80- hingga awal 90-an. PC Classic mempunyai tubuh mungil berwarna beige (putih gading), bertubuh boks menyerupai casing PC lawas, dan jika teliti, Anda dapat melihat bagaimana produsen betul-betul memerhatikan detail  dengan mencantumkan slot floppy disk serta membubuhkan lubang-lubang ventilasi bergaya tua.

Namun tak seperti console PlayStation Classic ataupun NES mini, aspek paling menarik dari PC Classic adalah ‘floppy disk‘ di sana bukan sekadar pemanis penampilan. Bagian tersebut benar-benar bisa bekerja untuk memasukkan ‘kartu game‘.

Perangkat dibekali kurang lebih 30 permainan, dan Unit-e bilang semua software tersebut resmi dan berlisensi. Produsen belum menyingkap daftar game-nya secara lengkap, tapi beberapa yang sudah dikonfirmasi meliputi Doom, Jill of the Jungle, Commander Keen 4 dan Quake II). Saya pribadi mengharapkan kehadiran franchise besar di era DOS, misalnya kreasi-kreasi LucasArts hingga seri Kings Quest, serta game-game action kasual seperti Alley Cat sampai Prehistoric.

PC Classic 2

Untuk konektivitas PC Classic, Unit-e mengombinasikan teknologi modern dan ‘legacy‘. Di sisi depan, Anda akan menemukan sepasang port USB dan tombol power. Lalu di bagian belakangnya, terdapat satu lagi port USB, sebuah HDMI, serta trio port AV. Itu artinya, PC Classic bisa disambungkan ke televisi modern ataupun TV tabung tua buat memaksimalkan efek nostalgia.

Kabarnya, PC Classic akan dibundel bersama unit controller. Meski demikian, Anda tetap dipersilakan untuk menggunakan produk third-party, termasuk keyboard dan mouse. Aksesori bahkan bisa disambungkan ke PC Classic secara wireless karena ia turut dibekali Bluetooth.

Unit-e berencana memulai kampanye penggalangan dana via platform crowdfunding pada akhir bulan November atau awal Desember besok. Produsen mematok harga yang masuk akal buat produk bertema nostalgia ini, yaitu US$ 100.

Via PC Gamer.

PlayerUnknown’s Battlegrounds Mendarat di PlayStation 4, Catat Tanggal 7 Desember

Kabar gembira bagi Anda pemilik konsol PlayStation 4 (PS4), sebentar lagi Anda bisa berburu ayam untuk makan malam di game PlayerUnknown’s Battlegrounds atau biasa disingkat PUBG.

Ya, akhirnya Sony telah memastikan bahwa PUBG akan meluncur ke PlayStation 4 pada tanggal 7 Desember 2018 mendatang.

Game bergenre battle royale ini cukup lama eksklusif di platform konsol Xbox One, setelah pertama kali ‘meledak’ di PC. Kepopulerannya bahkan tak terbendung sampai ke platform mobile.

PUBG versi PS4 langsung mendapatkan tiga peta yaitu Erangel, Miramar, dan Sanhok. Sementara, peta Vikendi akan menyusul. Anda bisa bermain solo atau squad dengan mengajak teman, terjun ke sebuah pulau dengan total 100 pemain dan bertahan sampai menjadi orang atau tim terakhir.

Pre-order untuk PUBG versi PS4 ini sudah dibuka mulai tanggal 13 November dan tersedia dalam tiga paket yang berbeda. Mulai dari Looter’s Edition yang dibanderol US$30, Survivor’s Edition US$50 termasuk Survival Pass: Vikendi, 2.300 G-Coin Pack, 20.000 BP, dan Champion’s Edition US$60 dengan Survival Pass: Vikendi, 6.000 G-Coin Pack, 20.000 BP.

battlegrounds-playerunknown-mendarat-di-playstation-4

battlegrounds-playerunknown-mendarat-di-playstation-4

Tentu saja, bagi Anda yang mengikuti pre-order akan memperoleh semacam bonus atau insentif yang tidak akan didapatkan setelah game dirilis pada bulan Desember. Sebut saja, skin eksklusif Nathan Drake Desert Outfit, serta Ellie Backpack dari game Uncharted dan Last of Us.

Sumber: Android Central

Revisi: Perubahan judul dan keterangan artikel yg salah menyebutkan kepanjangan PUBG. Sudah diperbaiki.

Info Pada Paten Ungkap Controller PlayStation Berlayar Sentuh

Memulai kiprahnya sebagai unit controller alternatif untuk PlayStation pertama, DualShock akhirnya dipilih Sony buat jadi pendamping setia home console-nya. Namun dalam perjalanannya selama lebih dari dua dekade, rancangan DualShock tidak banyak berubah. Di penjelmaan keempatnya, Sony menambahkan touch pad, accelerometer, gyroscope dan light bar.

Dan berdasarkan informasi terkini, ada indikasi Sony Interactive Entertainment berencana untuk membubuhkan layar sentuh di unit kendali baru mereka. Laporan tersebut diungkapkan oleh situs DualShockers berdasarkan paten yang diajukan oleh sang console maker Jepang di United States Patent Office di bulan Oktober silam. Paten ini berisi data teknis, namun seorang user  Reddit menemukan eksistensi dari bagian touchscreen di sana.

Menurut deskripsi di paten, konsep desain perangkat ini tidak terlalu berbeda dari controller yang sudah ada: housing membentuk tubuh utama, ada dua buah bagian memanjang sebagai ekstensinya agar pengguna mudah menggenggam unit pengendali, lalu terdapat sebuah layar sentuh di permukaan teratas tubuhnya, berlokasi di antara kedua grip. Selanjutnya, tersedia dua set tombol diposisikan di dua area, lagi-lagi berada di samping touchscreen.

Dari penjelasan deskriptif tersebut, kita dapat mengintip cara departemen riset dan pengembangan Sony merancang produk. Tapi yang terpenting, kita juga bisa tahu kemiripan unit kendali baru itu dengan DualShock 4 – kecuali pada kehadiran layar sentuh. Tersedianya touchpad dan gyroscope di DualShock 4 memperluas cara pengguna berinteraksi dengan konten, bayangkan fitur baru apa yang dapat disajikan oleh touchscreen.

Setidaknya ada dua probabilitas yang mungkin terjadi berdasarkan info tersebut. Boleh jadi, controller ini diracik sebagai alternatif dari DualShock 4; atau kemungkinan keduanya ialah, perangkat itu merupakan penjelmaan teranyar dari DualShock buat menemani peluncuran console PlayStation next-gen. Tentu saja masih ada peluang ketiga: ia cuma sekadar eksperimen dan tidak dihadirkan jadi produk konsumen.

Membubuhkan layar sentuh di unit kendali untuk console sebetulnya bukanlah gagasan baru. Nintendo sempat menerapkannya di Wii U, lalu dahulu kala Sega juga pernah mencantumkan touchscreen di Dreamcast. Meski berbeda generasi, kedua perangkat ini punya satu kesamaan: mereka bukanlah produk yang sukses secara komersial.

Layar sentuh di controller memang membuat perangkat jadi unik, apalagi produk mengusung jenis panel berwarna. Tapi hal yang terpenting adalah, produsen harus menemukan fungsi esensial dari touchscreen yang bisa menambah kualitas pengalaman gaming, sehingga ia tak hanya jadi sekadar gimmick atau pengalih perhatian.

Inilah Alasan Mengapa Nintendo Switch Populer di Kalangan Developer Indie

Nama Nintendo dan game indie dulu mungkin bukan dua hal yang sering kita dengar bersamaan. Sekitar tahun 2012 hingga 2015, platform yang paling gencar mendukung perkembangan game indie adalah PlayStation. Sony selalu mempromosikan game indie berkualitas di acara-acara pameran game besar, dan mereka terus berusaha mempermudah proses penerbitan game independen baik di platform PS4 atau PS Vita.

Akan tetapi, tren tersebut kini telah bergeser. Semenjak Nintendo merilis Switch pada tahun 2017, para developer game indie seperti melakukan hijrah besar-besaran ke platform tersebut. Judul-judul yang sudah sukses di platform lain, seperti Stardew Valley dan Hollow Knight, satu-persatu muncul di Switch, dan kini Switch seolah menjadi pilihan pertama bagi para developer indie untuk merilis game terbaru mereka.

Apa yang menyebabkan Switch begitu menarik bagi para developer indie? Dalam acara PAX Australia 2018, empat developer indie mendiskusikan berbagai alasan yang membuat perilisan game di Switch lebih menguntungkan ketimbang platform lainnya. Dilansir dari Nintendo Everything, inilah alasan-alasan tersebut.

The Gardens Between | Screenshot
The Gardens Between, game indie yang sukses di Switch | Sumber: Steam

Pasar baru yang masih sepi

Sebagai console yang usianya masih muda, Switch memiliki keuntungan besar bagi pada developer, yaitu jumlah game di dalamnya masih sedikit. Sementara jumlah hardware Switch yang beredar di seluruh dunia sangat banyak. Berdasarkan pengumuman Nintendo pada tengah tahun 2018, Switch sudah melampaui angka 20 juta unit terjual, padahal baru 15 bulan berlalu sejak peluncurannya.

Bila kita mengacu pada daftar game Switch di Wikipedia, saat artikel ini ditulis maka ada kurang lebih 670 game yang telah dirilis untuk Switch. Jumlah tersebut sangat sedikit dibandingkan dengan game di PS4, apalagi Steam. Oleh karena itu, game yang muncul di Switch lebih punya ruang untuk dikenal masyarakat, termasuk juga game indie.

“Tergantung dari game itu sendiri. Bukan berarti hanya dengan menaruhnya di Switch maka Anda akan langsung dapat instant hit. Saya pikir audiens saat ini masih menginginkan game yang bagus. Menurut saya kami cukup beruntung, karena kami masuk (ke Switch) cukup awal. Tapi sampai sekarang pun angka penjualan kami cukup memuaskan, jadi (Switch) adalah platform yang cukup sehat asalkan Anda juga cukup cerewet (mempromosikan) game Anda,” demikian penuturan Ash Ringrose dari SMG Studio.

Adanya dukungan dari Nintendo sendiri

Sama seperti program PlayStation Love Indies, Nintendo mendorong ekosistem game indie di Switch lewat program yang disebut “Nindies. Selain memamerkan game indie terbaru di berbagai event, Nintendo juga sering merilis video “Nindies Showcase” di YouTube berisi berbagai game indie pilihan. Ini salah satu faktor yang membuat game indie di Switch dapat dikenal luas.

Henrik Pettersson dari The Voxel Agents berkata tentang game mereka yang berjudul The Gardens Between, “Saya rasa 60% penjualan kami sejauh ini datang dari Switch, dan itu sangat besar. Saya pikir ini punya kaitan cukup besar dengan bantuan dari Nintendo dalam hal mempromosikan game itu dan juga bahwa (Switch) ini adalah platform baru yang sangat diminati orang-orang.”

Sony dulu juga memberi dukungan yang besar terhadap game indie di PS Vita, akan tetapi ada satu perbedaan besar antara kedua platform tersebut. Sony memposisikan PS Vita sebagai platform sampingan, sementara Switch adalah platform utama milik Nintendo saat ini. Orang yang membeli Switch tidak akan merasa bahwa console ini adalah “console khusus game indie”, karena memang nyatanya semua game terbaru Nintendo juga ada di sana.

Golf Story | Screenshot
Golf Story, game indie eksklusif Switch | Sumber: Nintendo

Gamer Switch tidak mementingkan tampilan grafis

Switch, seperti halnya console Nintendo lainnya, tidak pernah digembar-gemborkan sebagai console dengan hardware tercanggih atau berkualitas grafis terbaik. Hasilnya, para gamer Switch lebih mudah menerima game indie yang punya nilai produksi relatif rendah, karena mereka memang tidak pernah mengharapkan grafis tercanggih dari console tersebut. Ini cukup kontras dengan PS4, Xbox One, apalagi PC, yang selalu identik dengan game AAA mewah dan mahal.

Sentimen tersebut diutarakan oleh Matthew Rowland, developer game berjudul Armello. “(Game) kami baru keluar selama kira-kira empat minggu di Switch. Tapi memang audiens Armello di Switch terlihat lebih dapat menerima game seperti ini dibandingkan PlayStation atau Xbox […],” ujarnya. Armello sendiri sudah dirilis di platform-platform lain selama tiga tahun, jadi agak sulit membandingkan angka penjualannya. Namun menurut Rowland penjualan awalnya sangat baik.

Faktor-faktor pendukung lain

Ada satu hal yang menurut saya luput dari penuturan para developer di atas, yaitu keunggulan Switch yang tak dimiliki oleh console lainnya: Joy-Con! Saya rasa Joy-Con adalah daya tarik yang sangat besar bagi beberapa game, terutama game indie dengan fitur local multiplayer dan kontrol yang tidak begitu rumit. Ada kesenangan yang muncul dari kemampuan untuk bermain bersama teman di mana saja dan kapan saja, dan ini sangat terasa untuk game sejenis TowerFall atau Ultra Space Battle Brawl.

Penasaran dengan sudut pandang lokal, saya kemudian meminta pendapat dari salah satu developer Indonesia yang baru-baru ini merilis game untuk Switch, yaitu Dominikus Damas Putranto. Damas adalah developer dari Rolling Glory Jam, studio di balik game genre platformer berjudul Rage in Peace. Ia ternyata juga memandang PS4 identik dengan game yang terpoles rapi dan mengandung segudang konten. Tapi di samping itu, ia mengaku bahwa game indie memang terasa cocok saja di Switch.

“Kalau dari sisi handheld, ane selalu merasa platformer nikmat banget di Switch. Ane main ulang beberapa platformer asyik di Switch kayak Owlboy, Hollow Knight, dan merasa sangat nikmat. Dan ternyata begitu pula dengan Rage in Peace,” cerita Damas.

Lanjutnya lagi, “Ada arah kasualnya karena naturnya (Switch) kayak tablet/smartphone begitu, tipe yang tidak perlu attention span tinggi. Ada beberapa teman yang dulu di PC selalu menolak main (Rage in Peace), begitu ada di Switch langsung casually main. Ini bahkan untuk game yang sama persis tanpa ada penyesuaian mekanik atau gameplay gimana-gimana.”

Apa pun alasannya, yang jelas Switch adalah pasar potensial yang tidak boleh diabaikan, terutama oleh para developer game dalam negeri. Saat ini sudah ada beberapa developer ataupun penerbit game Indonesia yang memiliki development kit untuk Nintendo Switch, sehingga jalan untuk merilis game di platform tersebut telah terbuka lebar. Masalahnya, apakah para developer bisa menciptakan game dengan daya saying kuat atau tidak? Itu yang harus jadi perhatian utama.

Sumber: Nintendo Everything

Dukungan Keyboard dan Mouse Untuk Xbox One Akan Tiba Besok

Controller Xbox dan DualShock 4 mungkin ideal untuk menikmati game dari atas sofa atau buat mengakses permainan-permainan ber-genre fighting, Tapi di era console saat ini, ada banyak judul multi-platform dilepas, dan beberapa dari mereka mempunyai sistem kendali yang cukup kompleks. Dan dinilai dari skenario tersebut, gamepad mulai menunjukkan keterbatasannya.

Mincrosoft sendiri sudah lama berjanji untuk menghadirkan dukungan keyboard dan mouse di console current-gen mereka. Di bulan Juni kemarin, sang produsen sempat dikabarkan berkolaborasi dengan Razer buat menggarapnya. Dan baru di acara XO18 yang dilangsungkan akhir minggu kemarin akhirnya Microsoft mengumumkan bahwa perusahaan akan mengimplementasikan fitur tersebut di minggu ini, tepatnya pada tanggal 14 November.

Kapabilitas itu tidak disuguhkan secara langsung dan ‘masif’. Untuk sekarang, cuma produk bertuliskan Designed for Xbox buatan Razer yang mendukung Xbox One. Keyboard dan mouse ini dari awal didesain agar menunjang pemakaian di ruang keluarga ataupun skenario desktop, telah dilengkapi tombol-tombol khusus Xbox, serta dibekali fitur Dynamic Lightning – yaitu sistem pencahayaan yang bisa menyesuaikan dengan kejadian dalam permainan.

Sementara ini, Razer masih menjadi satu-satunya partner eksklusif Microsoft dalam peracikan keyboard dan mouse untuk Xbox One. Rencananya, kedua perusahaan akan memamerkan produk-produk anyar tersebut di CES 2019. Tanggal 14 November sendiri menandai dimulainya periode uji coba penerapan mouse dan keyboard di console Microsoft bagi peserta program Xbox Insider.

Epic Games sebelumnya sudah sempat bilang bahwa Fortnite merupakan salah satu game pertama yang akan mengadopsi fitur baru ini, begitu pula Digital Extreme selaku studio di belakang game third-person shooter populer, Warframe. Selanjutnya, Microsoft juga telah mengonfirmasi judul-judul lain yang siap menopang solusi kontrol andalan para gamer PC tersebut, yaitu:

  • Bomber Crew
  • Deep Rock Galactic
  • Strange Brigade
  • Vermintide 2
  • War Thunder
  • X-Morph Defense

Di waktu ke depan, dukungan mouse dan keyboard akan turut dihadirkan di versi Xbox permainan-permainan di bawah ini:

  • Children of Morta
  • DayZ
  • Minion Master
  • Moonlighter
  • Vigor
  • Warface
  • Wargroove

Kita boleh berasumsi, dukungan keyboard dan mouse secara penuh bagi Xbox One adalah salah satu cara Microsoft menyambut tren yang mulai populer dan pelan-pelan jadi kian esensial bagi penyedia hardware serta developer game: cross-platform play. Berkatnya, para pemilik console punya kesempatan buat berhadapan dengan gamer PC di arena multiplayer.

Sumber: Xbox Wire.

Square Enix Segera Luncurkan Dissidia Final Fantasy NT Versi Free-to-Play

Ketika Dissidia: Final Fantasy NT dirilis untuk PS4 pada awal tahun 2018 lalu, banyak penggemar yang merasa kecewa. Konten yang terlalu sedikit, koneksi online bermasalah, serta tidak adanya Story Mode ala RPG seperti Dissidia versi PSP merupakan beberapa keluhan utama yang sering dilontarkan terhadap game ini. Usaha Square Enix untuk mengangkat Dissidia Final Fantasy NT ke ranah esports juga tidak begitu banyak diminati, dan entah bagaimana nasibnya di masa depan.

Square Enix pun mengakui bahwa hasil penjualan Dissidia Final Fantasy NT gagal mencapai ekspektasi. Kendati demikian, mereka masih terus memberi dukungan berupa konten seperti karakter dan arena baru. Dalam pengumumannya di bulan Maret kemarin, Square Enix membeberkan rencana perilisan karakter baru setiap dua bulan sekali hingga Februari 2019.

Dissidia Final Fantasy NT | Season Pass
Dissidia Final Fantasy NT akan mendapat konten baru hingga 2019 | Sumber: Square Enix

Mungkin sebagai salah satu langkah meningkatkan popularitas game ini kembali, Square Enix akhirnya memutuskan untuk merilis Dissidia Final Fantasy NT versi free-to-play. Versi gratis tersebut akan diluncurkan di PS Store Jepang pada tanggal 22 November, sementara untuk versi bahasa Inggris belum ada informasi.

Perbedaan utama antara Dissidia Final Fantasy NT versi biasa dan versi free-to-play adalah karakter yand disediakan. Mirip Arena of Valor atau Mobile Legends, Square Enix menyediakan beberapa karakter yang dapat dimainkan secara gratis, namun karakter gratis ini akan dirotasi setiap beberapa waktu sekali. Pemain yang ingin memiliki karakter secara permanen dapat melakukan pembelian seharga 800 Yen (sekitar Rp103.000). Kostum serta senjata alternatif juga akan dijual secara terpisah.

Praktik versi alternatif free-to-play ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Koei Tecmo dalam Dead or Alive 5 Last Round: Core Fighters. Bandai Namco juga sempat merilis Tekken versi gratis di PS3 dengan judul Tekken Revolution. Mengingat pengembangan Dissidia Final Fantasy NT juga ditangani oleh Koei Tecmo, keputusan di atas tidak mengejutkan. Kekurangannya, tentu saja, bila layanan server ditutup maka seluruh game akan hilang. Berbeda dengan membeli versi utuh, kita bisa memainkannya sampai kapan pun walau hanya secara offline.

Dissidia Final Fantasy NT | Screenshot 1
Dissidia Final Fantasy NT sempat menjadi cabang esports, tapi lalu tenggelam | Sumber: Sony

Di Jepang sendiri popularitas Dissidia Final Fantasy sebetulnya lumayan sehat, tapi bukan versi PS4 melainkan versi arcade. Game ini telah menjadi salah satu pilihan populer sejak tahun 2015, dan meskipun pasar arcade di Jepang sudah sedikit menurun beberapa tahun terakhir, peminatnya masih sangat banyak.

Perilisan versi free-to-play memang cukup menarik, tapi saya tak yakin langkah ini cukup untuk menjadikan Dissidia Final Fantasy NT booming di kalangan gamer. Apalagi menjadikannya cabang esports populer. Yang lebih dibutuhkan Square Enix adalah menciptakan game dengan konten sesuai keinginan penggemar, bukannya memaksakan diri untuk terjun ke dunia esports sambil mengorbankan kualitas. Kita lihat saja bagaimana hasilnya, apakah Dissidia Final Fantasy NT bisa bangkit kembali atau malah semakin terkubur.

Sumber: Gematsu

Game Indonesia Sabet Dua Penghargaan di SEA Game Awards Malaysia

Para developer game Indonesia semakin gencar menunjukkan tajinya di dunia internasional. Selain banyak merilis game di console modern seperti PS4 dan Switch, mereka juga meraih berbagai penghargaan di pameran luar negeri. Di antara para pengukir prestasi itu adalah perusahaan asal Tangerang yang sudah cukup lama berkecimpung di industri game, yaitu Toge Productions.

Anda mungkin mengenal nama Toge Productions dari seri game zombi andalan mereka, Infectonator. Namun sejak tahun 2017 lalu Toge Productions juga membuka divisi penerbitan game yang kini membawahi beberapa studio, antara lain Rolling Glory Jam, Mojiken Studio, Tahoe Games, dan GameChanger Studio. Dalam ajang SEA Game Awards di acara Level Up KL 2018 Malaysia akhir Oktober kemarin, Toge Productions berhasil meraih dua gelar penghargaan.

Coffee Talk
Coffee Talk

Game pertama yang memenangkan penghargaan adalah Coffee Talk, sebuah visual novel buatan Toge Productions sendiri. Mengambil inspirasi dari game indie terkenal VA-11 Hall-A, Coffee Talk menempatkan pemain dalam posisi seorang barista yang harus piawai meracik minuman sambil mendengar keluh kesah pelanggan di dunia fantasi modern. Coffee Talk meraih gelar Best Storytelling di SEA Game Awards.

Sementara itu, She and the Light Bearer karya Mojiken Studio menyabet penghargaan Best Visual Art berkat tampilannya yang mengambil nuansa estetika kisah dongeng. Mojiken memang memiliki visi untuk menciptakan game bernilai seni tinggi, sebuah visi yang akhirnya menarik minat Toge Productions untuk berinvestasi di perusahaan tesebut.

She and the Light Bearer
She and the Light Bearer

Malaysia sendiri sebagai tuan rumah juga tak kalah “garang”. Dari sepuluh penghargaan yang ada, enam di antaranya jatuh ke tangan developer asal Malaysia, sedangkan dua sisanya diterima oleh perusahaan asal Singapura. Berikut adalah daftar penghargaan lengkapnya:

  • Grand Jury Award – No Straight Roads (Metronomik/Malaysia)
  • Audience Choice Award – Iteno (Why Creative/Malaysia)
  • Rising Star Award – Songbird Symphony (Joysteak Studios/Singapore)
  • Best Technology – Nightstream (Streamline Games/Malaysia)
  • Best Visual Art – She and the Light Bearer (Mojiken Studio/Indonesia)
  • Best Game Design – Re: Legend (Magnus Games/Malaysia)
  • Best Audio – Songbird Symphony (Joysteak Studios/Singapore)
  • Best Storytelling – Coffee Talk (Toge Productions/Indonesia)
  • Best Innovation – Simulacra: Pipe Dreams (Kaigan Games/Malaysia)
  • Best Student Game – Terminus Lockdown (Glenmarie Games KDU University/Malaysia)

Mengingat terdapat lebih dari seratus game yang bersaing di ajang SEA Game Awards, apa yang dicapai Toge Productions adalah prestasi yang membanggakan. Apalagi She and the Light Bearer sebelumnya juga mendapat penghargaan di Busan Indie Connect Festival 2018 untuk kategori Excellence in Art. Mojiken Studio berhasil menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia punya SDM industri game yang layak diperhitungkan.

Sayangnya saat ini belum ada kepastian tentang jadwal rilis dua game pemenang penghargaan tersebut. Toge Productions hanya memberi perkiraan bahwa Coffee Talk akan dirilis pada tahun 2019, dan She and the Light Bearer pada tahun 2018. Sebentar lagi tahun 2018 akan segera berakhir. Bisakah She and the Light Bearer rilis sesuai waktu yang dijanjikan?

Betulkah Tadinya Blizzard Berencana Mengumumkan Diablo 4 di BlizzCon 2018?

Kejadian paling canggung di BlizzCon 2018 minggu lalu adalah respons Blizzard terhadap pertanyaan seorang gamer: Jadi apakah Diablo Immortal akan tersedia di PC? Developer menjelaskan bahwa permainan ini dari awal digarap untuk perangkat bergerak. Wyatt Cheng dari Blizaard malah bertanya kembali pada penonton, “Bukankah kalian semua punya smartphone?”

Kekecewaan fans terhadap pengumuman Diablo Immortal tentu bukan dikarenakan mereka tidak punya smartphone – atau tidak suka bermain game di smartphone namun karena para penggemar berat ini mengetahui jelas sejarah Diablo yang terlahir di PC. Tidak menyertakan PC sebagai platform peluncuran game Diablo anyar memberikan kesan yang salah. Menariknya, berdasarkan laporan sejumlah narasumber terpercaya pada Kotaku, Blizzard Entertainment sebetulnya memiliki rencana untuk mengumumkan sekuel sejati Diablo III di BlizzCon 2018.

Dua informan anonim itu menginformasikan bahwa Blizzard telah menyiapkan sebuah video berisi singkat dari co-founder Allen Adham, berisi update mengenai proyek Diablo baru. Kejutan yang disinyalir berupa Diablo 4 itu awalnya akan diungkap sesudah pengumuman Diablo Immortal. Namun entah mengapa, Blizzard memutuskan buat tidak melakukannya.

Kotaku sendiri berani mengonfirmasi bahwa memang betul Diablo 4 sedang dikembangkan, tapi salah satu narasumbernya bilang Blizzard belum siap ‘berkomitmen’. Kabarnya, Diablo 4 telah dikerjakan selama empat tahun, namun sudah beberapa kali arahan pengembangannya berubah secara drastis. Kotaku menuturkan, setidaknya sudah terlahir dua iterasi Diablo 4, yang pengerjaannya dipimpin sutradara berbeda.

Tak lama setelah berita dari Kotaku ini dipublikasikan, Blizzard Entertainment segera mengeluarkan pernyataan:

“Pertama-tama, kami ingin menyatakan bahwa kami tentu saja mendengar permintaan komunias. Biasanya kami tidak memberikan komentar terhadap rumor atau spekulasi, tapi di sini kami ingin menggarisbawahi: Blizzard tidak menarik rencana pengumuman apapun dari BlizzCon tahun ini atau punya agenda untuk melakukan pengumuman lain. Walau demikian, kami memiliki beberapa tim yang sedang menggarap sejumlah proyek Diablo, dan akan menyingkapnya di waktu yang tepat.”

Eksistensi dari Diablo 4 memang sudah lama dirumorkan. Beberapa waktu lalu, komunitas gamer sempat merasa yakin sekuel permainan action role-playing itu akan diumumkan di BlizzCon 2018. Melihat tingginya antusiasme fans, lewat blog resminya Blizzard mengingatkan dengan gamblang: mereka belum siap buat mengungkap semua proyek game di acara tahunan fans tersebut.

Sejujurnya, Diablo Immortal tidak terlalu menarik bagi saya. Tapi kemungkinan besar saya tak akan melewatkan Diablo 4 jika akhirnya permainan dirilis di PC.

Tambahan: Polygon.

Melalui Edisi Reforged, Blizzard Bangun Kembali Game RTS Legendaris Warcraft III

Kesuksesan sejumlah game terkadang sulit untuk diulang oleh sekuel atau penerus spiritualnya. Ekspektasi fans yang begitu besar terkadang membuat pengerjaannya jauh lebih menantang. Sejumlah developer tak jarang menggunakan ‘metode’ aman buat menghasilkan keuntungan yang tersimpan dalam rasa nostalgia, yaitu melalui remake dan remaster.

Ada banyak sekali game remaster yang kita bisa temukan saat ini, digarap lewat berbagai cara: beberapa developer mencoba mempertahankan formulanya sembari menyuguhkan visual HD, namun sejumlah studio tidak takut untuk merombak gameplay inti dan mengintegrasikannya dengan elemen modern. Warcraft III: Reforged sendiri bisa dikatakan sebagai upaya remake paling ambisius, mengombinasikan dua pendekatan berbeda di atas.

Diumumkan di BlizzCon 2018, Warcraft III: Reforged adalah versi remake besar-besaran dari permainan yang Blizzard luncurkan 16 tahun silam. Developer menjanjikannya sebagai ‘penciptaan ulang dari real-time strategy revolusioner yang menjadi pondasi bagi cerita-cerita epik di dunia Azeroth’. Game menyatukan konten Reign of Chaos serta The Frozen Throne, lalu semua asetnya dibangun dari nol, menawarkan upgrade visual serta didukung fitur-fitur baru.

Warcraft III: Reforged akan kembali membawa kita menjadi saksi didirikannya Orgrimmar, momen jatuhnya Lordaeron, berkuasanya Burning Legion, hingga bangkitnya Lich King. Para gamer akan menyaksikan sejarah Azeroth ini dari sudut pandang empat faksi yang berbeda, yaitu Orc, Manusia, Night Elf dan Undead. Anda yang gemar mengutak-atik dan menciptakan skenario baru juga dipersilakan mengakses fungsi World Editor anyar di sana.

Dalam mengembangkan Warcraft III: Reforged, Blizzard membangun lagi setiap karakter, struktur, lingkungan, serta dimensi permainan. Game menyuguhkan lebih dari 60 misi dan menghidangkan cutscene in-game baru berdurasi empat jam lebih. Developer juga repot-repot melakukang pengisian suara ulang dalam kualitas high definition, terutama buat karakter-karakter penting semisal Sylvanas Windrunner and Arthas Menethil.

“Warcraft III merupakan permainan penting dan monumental bagi kami di Blizzard, dan memengaruhi karya-karya kami selanjutnya,” kata presiden Blizzard Entertainment J. Allen Brack. “Proyek seperti Warcraft III: Reforged bukanlah sesuatu yang kami anggap enteng. Sebagian alasannya adalah karena warisan Warcraft, tapi yang lebih penting adalah, karena kami tahu betapa berartinya permainan ini bagi para gamer.”

Blizzard berencana buat melepas Warcraft III: Reforged di tahun depan, walaupun mereka belum menyebutkan tanggalnya secara spesifik. Permainan akan disajikan dalam dua edisi, yaitu versi standar seharga US$ 30 dan versi Souls of War, dibanderol US$ 40. Edisi spesial ini dibundel bersama skin tambahan untuk karakter hero serta mount Meat Wagon buat World of Warcraft dan cardback Third War untuk Hearthstone.

Sumber: Blizzard.

Ayo Berkenalan Dengan 2 Hero Baru Overwatch, Ashe dan Echo

Mungkin Anda sudah mendengar kabar baik dan buruk terkait ajang Bllizzcon 2018 minggu lalu. Di sana, fans yang mengharapkan eksistensi dari sekuel Diablo dikecewakan oleh penyingkapan Diablo Immortal untuk perangkat bergerak. Namun para gamer Overwatch dimanjakan oleh penayangan film animasi pendek baru beserta pengumuman beberapa hero sekaligus.

Menariknya lagi, film animasi bertajuk ‘Reunion’ tersebut punya kaitan erat dengan karakter-karakter anyar Overwatch. Reunion difokuskan pada sang koboi Jesse McCree sembari memperkenalkan Ashe dan Echo, masing-masing adalah hero ke-29 dan ke-30 Overwatch. Film juga mengisahkan apa yang sebelumnya terjadi di map Route 66, menjelaskan mengapa ada puing-puing kereta dan apa isi dari payload yang selama ini diperebutkan para pemain.

Singkatnya, Elizabeth Caledonia alias Ashe adalah pemimpin dari Gang Deadlock. Di film Reunion, ia beserta anak buahnya mencoba mencuri muatan kereta dengan meledakkannya. Tapi rencana tersebut berhasil digagalkan oleh McCree. Dan di penghujung cerita, akhirnya kita mengetahui bahwa muatan misterius tersebut berisi robot omnic yang dahulu pernah menjadi rekan McCree. Robot ini bernama Echo.

Detail mengenai Echo belum diketahui, namun informasi rinci terkait Ashe sudah tersedia di situs PlayOverwatch.com. Ashe didesain sebagai hero ‘damage‘. Di bulan Juni kemarin, Blizzard Entertainment memutuskan untuk menggabungkan kategori offense dan defense menjadi damage karena peran keduanya di tiap tim telah mengabur. Sering kali gamer menggunakan hero menyerang untuk bertahan atau sebaliknya.

Dalam bertempur, Ashe mengandalkan senapan repeater andalannya yang ia namai The Viper. Ashe juga dapat menggunakan Coach Gun ala senapan tabur untuk mendorong musuh yang menghalangi jalannya, serta memanfaatkan dinamit buat membakar lawan dan memberikan efek damage over time. Dinamit bisa sekadar dilempar atau ditembak untuk meledakkannya tanpa perlu menunggu.

Sebagai skill ultimate-nya, pemimpin gang Deadlock itu juga dapat memanggil teman omnic-nya, robot bernama Bob. Ketika diperintah buat membantu Ashe, Bob akan terjun ke medan tempur, bergerak secara otomatis dan membuat lawan-lawannya terpental ke udara (mirip efek Primal Rage punya Winston) serta menyerang dengan menggunakan senapan mesin.

Buat sekarang, belum diketahui kapan Ashe bisa dimainkan. Seperti sebelum-sebelumnya, Blizzard akan melakukan pengujian terlebih dulu di server tes sebelum hero baru ini bisa diakses oleh semua pemain baik di PC, PlayStation 4 atau Xbox One. Baru setelah itu, mungkin kita akan mendengar detail lebih lanjut soal Echo.

Ashe dan Bob, Overwatch 1

Via Polygon.