Review ASUS TUF Gaming A15 FX506: Performa Kencang Kombinasi AMD dengan Nvidia

Memilih laptop yang tepat memang bisa dibilang susah-susah gampang. Dalam urusan laptop gaming, ada beberapa laptop yang rancangannya mantap, tapi jeroannya agak tanggung. Sementara pada sisi lain, ada juga laptop yang punya jeroan mumpuni untuk gaming tapi malah punya rancangan yang mungkin kurang memuaskan.

Sekitar bulan Juni 2020 lalu, ASUS meluncurkan lini TUF (The Ultimate Force) Gaming terbaru, yaitu TUF Gaming A15. Menggunakan CPU AMD Ryzen terbaru dan GPU NVIDIA GeForce seri RTX, laptop ini diharapkan memiliki performa yang kencang. Saya kebetulan mendapat kesempatan menjajal ASUS TUF Gaming A15 dan cukup penasaran dengan performa, maupun kualitas laptop ini secara keseluruhan.

Kebetulan, saya dipinjamkan ASUS TUF Gaming A15 versi FX506 yang merupakan varian dengan spesifikasi tertinggi. Sebelum membahas lebih jauh soal ASUS TUF Gaming A15 FX506, simak dulu spesifikasi lengkap dari laptop yang dibanderol dengan harga Rp20.299.000 berikut ini:

Spesifikasi

  • Prosesor – AMD Ryzen Mobile 7 4800H 8 Core 16 Thread
  • GPU – 6GB NVIDIA GeForce RTX 2060
  • RAM – 16 GB DDR4 3200 MHz Dual Channel
  • Storage SSD PCIe NVMe 512 GB
  • Monitor 15,6 inci Full HD 144Hz 3ms Adaptive Sync
  • OS Windows 10
  • Bobot 2.3 Kg
  • Dimensi 359,8 x 256 x 24,7 mm
  • Audio DTS-X Ultra

Dengan harga yang cukup tinggi, kira-kira bagaimana kualitas ASUS TUF Gaming A15 FX506IV secara produk laptop gaming secara keseluruhan? Berikut ulasan saya:

 

Tampilan, Desain, dan ASUS TUF Gaming A15 FX506IV Secara Keseluruhan

Melihat dari kulit luar, ASUS TUF Gaming A15 terbilang cukup minimalis, sembari tetap mempertahankan identitasnya sebagai laptop gaming. ASUS TUF Gaming A15 hanya menyediakan varian warna Fortress Gray saja untuk rilisan Indonesia. Varian warna Fortress Gray memiliki warna abu-abu layaknya aluminium, dengan ornamen berupa mur besi di setiap pojok, dan logo TUF di tengah.

Tampilan kalem ala militer tersebut cenderung lebih low-profile, jika dibanding dengan laptop gaming lain, yang kadang juga menyajikan ornamen lampu RGB di bagian belakang laptop. Dengan tampilan seperti itu, TUF Gaming A15 terbilang masih cocok untuk digunakan dalam berbagai keadaan, termasuk keadaan formal.

Walau rancangan cover belakang laptop minimalis, tapi Anda akan merasakan feel yang berbeda setelah mengintip ke bawah cover belakang, Anda akan menemukan exhaust untuk mengeluarkan udara panas, yang berpenampilan ala racing dengan warna tembaga. Sekilas, kombinasi warna hitam dan tembaga pada bagian exhaust membuat saya jadi teringat bagian belakang mobil Lamborghini, yang seakan ingin mempertegas betapa kencangnya performa laptop ini. Build quality dari TUF Gaming A15 bisa dibilang cukup solid, walau semua bagian laptop terbuat dari plastik; termasuk bagian belakang laptop yang wujudnya seperti alumunium.

Dari segi I/O port, TUF Gaming A15 hadir dengan rancangan yang standar, yaitu colokan berada di sisi samping laptop. Tak seperti port colokan belakang, port colokan samping mungkin akan membuat laptop jadi terkesan berantakan. Walau demikian, saya cukup salut dengan rancangan ASUS terhadap port colokan TUF Gaming A15.

Kebanyakan colokan sengaja diletakkan di bagian kiri, sehingga bagian kanan laptop punya ruang yang lebih luas. Rancangan ini membuat saya (yang kebetulan sedang hobi main VALORANT) jadi lebih leluasa menggerakkan mouse, karena semua peripheral saya colokkan ke 2 port USB A yang ada di sisi kiri laptop.

Berlanjut ke keyboard, TUF Gaming A15 mempromosikan sebuah teknologi bernama Overstroke Technology pada bagian keyboard. Mengutip laman resmi ASUS TUF A15, dikatakan bahwa Overstroke Technology memungkinkan keyboard laptop ini bertahan lebih lama sampai dengan 20 juta tekanan.

Walaupun dipasarkan memiliki daya tahan yang kuat, namun sepertinya keyboard ASUS TUF Gaming A15 terbilang kurang cocok untuk gaming. Salah satu alasannya, karena keyboard ini tidak mendukung N-Key RollOver (NKRO), yang memungkinkan pengguna melakukan input tombol keyboard sebanyak apapun yang diinginkan. Saya menguji hal ini di laman pengujian fitur NKRO. Hasilnya keyboard TUF Gaming A15 cuma bisa menerima 8 input saja paling maksimal.

Ketiadaan dukungan NKRO membuat keyboard bisa jadi ghosting, yaitu kejadian ketika input tidak masuk walau tombol keyboard sudah ditekan. Tanpa NKRO, pemain Dota 2 yang menggunakan hero Invoker bisa jadi kesulitan, gara-gara tombol yang ditekan mungkin jadi tidak masuk sebagai input. Namun demikian, sejauh saya menggunakan laptop ini, ketiadaan fitur NKRO terbilang tidak mengganggu. Saya belum pernah menemukan momen ghosting ketika sedang bermain game, ataupun mengetik untuk kebutuhan produktivitas sehari-hari. Keyboard TUF Gaming A15 juga mendukung LED backlit berwarna. Walau punya beragam warna, sayangnya hanya satu warna yang aktif dalam satu waktu secara default.

 

Performa dan Suhu

Kalau ditanya bagaimana performa si ASUS TUF Gaming A15 FX506IV, jawaban tercepat yang bisa saya berikan adalah, KENCANG! Tapi jujur, kalau urusan bermain game di PC, saya terbilang lebih jelata kalau dibandingkan dengan Chief Editor Hybrid, Yabes Elia; yang memang seorang PC Master Race. Jadi saya merasa bahwa performa laptop ini adalah yang terkencang, dibanding dengan laptop dan PC built-in yang pernah saya bahas.

Patokan kencang saya dalam hal gaming juga mungkin agak sedikit receh. Seperti sebelumnya, untuk gaming kompetitif dan mengoptimalkan display 144Hz dari laptop ini, saya menggunakan PUBG dan Apex Legends. Sementara untuk game AAA saya menggunakan Assassin’s Creed Odyssey dan Metro Exodus sebagai patokan.

Sebelum menuju ke pembahasan performa, saya ingin memberi tahu terlebih dahulu bahwa TUF Gaming A15 memiliki 3 preset pengaturan performa laptop. Tiga mode tersebut adalah Silent, Performance, dan Turbo, yang bisa Anda temukan di halaman utama aplikasi Armoury Crate.

Mode Silent akan memperlambat putaran kipas untuk mengurangi kebisingan, seraya mengurangi performa CPU serta GPU secara keseluruhan. Mode Performance membuat TUF Gaming A15 berjalan lebih optimal dengan kipas berputar lebih kencang, dan tentunya lebih bising. Sementara Mode Turbo mungkin bisa dibilang semacam ‘overclock kecil-kecilan’, meningkatkan performa CPU dan GPU secara keseluruhan dengan putaran kipas paling kencang mencapai 5600 RPM.

Penampakan software Gaming Crate, dan beberapa mode yang bisa dipilih. Sumber; Akbar Priono - Hybrid.co.id
Penampakan software Armoury Crate dan beberapa mode yang bisa dipilih. Sumber: Akbar Priono – Hybrid.co.id

Untuk PUBG dan Apex Legends, secara umum, saya bisa bilang kedua game tersebut berjalan dengan lancar di laptop ini (ya iyalah! AMD Ryzen 7 4800H dan GeForce RTX 2060… Hehe). ASUS TUF Gaming A15 bisa menjalankan PUBG dengan pengaturan grafis rata kanan, dan berhasil mendapatkan 80,9 average fps (Frame per Second) saat menggunakan mode Performance. Saat menggunakan Mode Turbo, performa jadi lebih meningkat, dan mendapatkan 90,4 average fps pada pengaturan grafis yang sama.

Sementara itu, Apex Legends juga bisa berjalan lebih lancar lagi. Dengan pengaturan rata kanan, Anda bisa mendapatkan 102 average fps. Tapi jika Anda mengutamakan fps tertinggi, mungkin Anda perlu menurunkan sedikit pengaturan menjadi medium untuk bisa mendapatkan 114,1 average fps.

Untuk game AAA, saya yang jelata ini begitu kagum ketika melihat Metro Exodus dengan pengaturan grafis Extreme, RTX On, dan Hairworks On, bisa berjalan dengan 56.0 average fps. Walau begitu, rata-rata scene pertarungan sebenarnya hanya mendapatkan 40an fps saja. Tapi menurut saya, 40an fps terbilang masih cukup playable karena juga mendapat pertukaran yang adil berupa kualitas visual yang ciamik.

Tidak berhenti sampai Metro Exodus saja, Assassin’s Creed Odyssey juga berjalan dengan mulus pada laptop ini. Menguji performa dengan menggunakan ingame benchmark, TUF Gaming A15 berhasil menjalankan game dengan pengaturan grafis rata kanan dan mendapatkan 49 average fps.

Lebih lanjut berikut catatan hasil performa ASUS TUF Gaming A15 untuk menjalankan game-game terkini yang lebih detail:

PUBG

Sumber: Akbar Priono - Hybrid.co.id
Sumber: Akbar Priono – Hybrid.co.id

Ultra, Mode Performance

  • Average frame rate – 80.9 fps
  • Minimum frame rate – 37.8 fps
  • Maximum frame rate – 141.0 fps

Ultra, Mode Turbo

  • Average frame rate – 90.4 fps
  • Minimum frame rate – 68.5 fps
  • Maximum frame rate – 155.5 fps

High, Mode Performance

  • Average frame rate – 77.5 fps
  • Minimum frame rate – 45.3 fps
  • Maximum frame rate – 140.4 fps

Medium, Mode Performance

  • Average frame rate – 91.5 fps
  • Minimum frame rate – 61.9 fps
  • Maximum frame rate – 175.1 fps

Apex Legends

Sumber: Akbar Priono - Hybrid.co.id
Sumber: Akbar Priono – Hybrid.co.id

Pengaturan Grafis Tertinggi

  • Average frame rate – 102.0 fps
  • Minimum frame rate – 74.0 fps
  • Maximum frame rate – 171.1 fps

Pengaturan Grafis High

  • Average frame rate – 101.1 fps
  • Minimum frame rate – 66.2 fps
  • Maximum frame rate – 144.8 fps

Pengaturan Grafis Medium

  • Average frame rate – 114.1 fps
  • Minimum frame rate – 81.4 fps
  • Maximum frame rate – 144.8 fps

Metro Exodus

Sumber: Akbar Priono - Hybrid.co.id
Sumber: Akbar Priono – Hybrid.co.id

Pengaturan Grafis Tertinggi, RTX On, HairWorks – On, Mode Turbo

  • Average frame rate – 56.0 fps
  • Minimum frame rate – 35.9 fps
  • Maximum frame rate – 93.8 fps

Pengaturan Grafis Tertinggi, RTX – On, HairWorks – On, Mode Performance

  • Average frame rate – 53.9 fps
  • Minimum frame rate – 34.3 fps
  • Maximum frame rate – 90.2 fps

Pengaturan Grafis Menengah, RTX – Off, HairWorks – Off, Mode Performance

  • Average frame rate – 95.7 fps
  • Minimum frame rate – 50.3 fps
  • Maximum frame rate – 189.8 fps

Assassin’s Creed Odyssey

Ultra High, Mode Performance

  • Average frame rate – 49 fps
  • Minimum frame rate – 19 fps
  • Maximum frame rate – 89 fps

Ultra High, Mode Turbo

  • Average frame rate – 50 fps
  • Minimum frame rate – 28 fps
  • Maximum frame rate – 88 fps

Very High, Mode Performance

  • Average frame rate – 60 fps
  • Minimum frame rate – 29 fps
  • Maximum frame rate – 95 fps

High, Mode Performance

  • Average frame rate – 68 fps
  • Minimum frame rate – 40 fps
  • Maximum frame rate – 103 fps

Pada benchmark menggunakan 3DMARK, dan PCMARK 10 saya mencoba lebih lanjut menguji perbedaan antara mode Silent, Performance, dan Turbo. Dengan menggunakan 3DMARK Time Spy dan Fire Strike, saya menemukan salah satu perbedaan dari mode tersebut ada pada average clock frequency GPU. Pada mode Silent, average clock frequency GPU berjalan lebih rendah, sementara mode Performance membuat GPU berjalan dengan average clock frequency lebih tinggi, dan mode Turbo lebih tinggi lagi. Mengingat yang diubah adalah average clock frequency GPU, tentu saja perbedaan skor 3DMARK antar mode menjadi berbeda, terutama antara mode Silent dengan mode Performance.

Dari sisi Thermal, CPU TUF Gaming A15 beberapa kali menyentuh angka 100 derajat celsius. Pengukuran sendiri saya lakukan dengan menggunakan software Open Hardware Monitor. Walaupun suhu mencapai angka 100 derajat celsius, namun tidak ada penurunan performa sejauh saya melakukan benchmark, ataupun bermain game dalam durasi yang panjang. Salah satu contoh bisa Anda lihat pada gambar di atas, perbandingan skor Cinebench R15 yang tidak begitu jauh walau dilakukan sebanyak 5 kali berturut-turut.

Selain itu, saya juga menemukan bahwa mode Turbo cenderung lebih mendinginkan GPU. Hal tersebut terlihat dari perbedaan suhu saat memainkan PUBG dengan mode Turbo yang 5 derajat celsius lebih rendah dibanding dengan mode Performance. Kondisi tersebut juga terlihat dalam bencmark menggunakan 3DMARK, dengan suhu GPU 3 derajat celsius lebih rendah saat menggunakan mode Turbo.

 

Display

Sumber: Akbar Priono - Hybrid.co.id
Sumber: Akbar Priono – Hybrid.co.id

Mengutip laman resmi ASUS TUF A15 dikatakan bahwa layar TUF Gaming A15 memiliki spesifikasi sebagai berikut

  • 15.6″ (16:9)
  • LED-backlit FHD (1920×1080)
  • Anti-Glare IPS-level
  • 144Hz Panel with 45% NTSC With Adaptive Sync

Melihat dari spesifikasi layarnya, memang benar bahwa reproduksi warna terbilang jadi salah satu kelemahan laptop ini. Secara respon, saya sih merasa layar 144Hz ini dengan Adaptive Sync ini sudah lebih dari cukup. Respon yang diberikan cukup cepat, memberikan pengalaman bermain game yang mulus tanpa ada screen-tearing, walau saya bergerak cepat dalam game VALORANT.

Namun demikian, reproduksi warna dan tingkat kecerahan display TUF Gaming A15 terbilang menjadi satu hal yang cukup mengganjal bagi saya. TUF Gaming A15 terbilang cukup keteteran untuk menghasilkan warna yang cerah, yang salah satu fungsinya adalah agar lebih mudah menemukan musuh ketika main game FPS kompetitif. Untungnya ASUS menyematkan software Game Visual, yang berisi beberapa preset reproduksi warna display untuk beberapa jenis game, termasuk FPS.

Tingkat kecerahannya pun terbilang tidak begitu tinggi. Mengutip ulasan ultrabookreview.com, tingkat kecerahan display monitor ASUS TUF Gaming A15 adalah sekitar 250 nits. Kalau sepengalaman saya menggunakan laptop ini, saya merasa tingkat kecerahan display laptop bahkan masih kalah dengan terangnya lampu kamar pada pengaturan tertinggi.

 

Baterai

Sumber: Akbar Priono - Hybrid.co.id
Sumber: Akbar Priono – Hybrid.co.id

Mengutip dari laman spesifikasi resmi, ASUS TUF Gaming A15 memiliki baterai sebesar 48 Wh. Berdasarkan claim dari laman produk, ASUS TUF Gaming bisa berjalan sampai dengan 8,7 jam untuk browsing, dan 12,3 jam untuk memutar video. Untuk menguji daya tahan baterai laptop, saya memutar video dengan resolusi 1080p secara berulang-ulang sampai laptop mati. Hasilnya adalah laptop berhasil bertahan selama 2 jam 46 menit 43 detik. Namun memang, catatan tersebut adalah daya tahan baterai dengan menggunakan mode Performance, yang dipilih secara default oleh laptop. Ketahanan baterai tentu akan bervariasi tergantung tingkat penggunaan, dan mode yang Anda pilih.

 

Kesimpulan

Dengan banderol harga Rp20.299.000, ASUS TUF Gaming A15 FX506 sebenarnya sudah terbilang cukup baik dari segi performa, malah mungkin lebih dari cukup. Kekurangannya mungkin hanyalah dari sisi display yang terkesan tanggung, tampilan yang cenderung minimalis, dan suara kipas yang cenderung bising.

Jadi apabila Anda yang ingin punya laptop spesifikasi tinggi, banderol harga ASUS TUF Gaming A15 FX506 terbilang cukup “murah”. Kenapa TUF Gaming A15 terbilang murah? Coba misalnya Anda bandingkan dengan ROG Zephyrus G14. Walau memiliki spesifikasi yang agak mirip, namun ROG Zephyrus dibanderol dengan harga Rp23.999.000, dan bahkan memiliki GPU yang lebih rendah yaitu GTX 1650 Ti.

Jadi Rp20 juta untuk Ryzen 7 4800H dan GeForce RTX 2060, dengan kompromi berupa produk laptop yang secara keseluruhan terbilang biasa-biasa saja? Yaa, masih cukup adil lah.

Mencoba MicroSD dari Kingston, Canva Go! Plus, di Nintendo Switch

Bagi pengguna Nintendo Switch, ada banyak pilihan aksesoris yang bisa dibeli untuk menambah nyaman dalam bermain. Ada aksesoris gamepad, dock, casing, bahkan ada juga tools tambahan seperti Labo atau Ring Fit. Namun ada aksesoris lain yang sebenernya cukup penting yaitu microSD. 

Aksesoris ini cukup penting, apalagi bagi pengguna yang kerap membeli game digital bukan kolektor game fisik. Diantara beberapa pilihan microSD, produk dari Kingston ada yang menarik untuk dibahas, yaitu seri Canvas Plus.

Kingston belum lama ini memperkenalkan produk Canvas Select Plus microSD Card untuk konsumen Indonesia. Ada beberapa lini produk yang disediakan, salah satunya adalah Canvas Go! Plus microSD, microSD yang akan Hybrid bahas di artikel ini. 

MicroSD ini memang varian tengah-tengah alias bukan yang paling tinggi tetapi bukan pula yang terendah jika dilihat dari angka kecepatan teknis yang disematkan. Dari seri ini yang paling tinggi ada Canva React Plus, lalu ada Canvas Go! Plus dan untuk kecepatan terendah adalah Canvas Select Plus. Rekan kami di DailySocial sempat me-review Canvas React Plus, bisa dibaca di sini

Packing

canva go plus

Sebelum membahas ke hal teknis kita bahas dulu packing dan kelengkapan yang disertakan. Packing yang dibawanya cukup standar yaitu satu buah microSD dan disertakan pula adapter untuk penggunaan yang lebih luas. Nintendo Switch menggunakan microSD jadi adapter tidak dibutuhkan, kecuali untuk transfer data ke perangkat yang tidak mendukung microSD. 

Selain dari Canva Go! Plus, Kingston dengan baik hati menyertakan microSD Card reader MobileLite Plus yang berguna untuk alat baca microSD via USB type A. 

Kedua produk ini dibungkus dengan desain khas Kingston dengan beberapa keterangan fitur utama yang ada di perangkat dicantumkan di bagian depan. Bentuk bungkus yang cukup ringkas dan tidak neko-neko, tersedia pula petunjuk untuk memotong bungkus di bagian belakang. 

Di bagian depan Anda juga bisa menemukan beberapa keterangan tentang penggunaan yang bisa atau yang disarankan oleh Kingston. Di bungkus Canvas Go! Plus pada bgian kanan Anda bisa melihat beberapa ikon seperti 4K, lalu penggunaan untuk drone, tablet dan termasuk untuk gaming

Spesifikasi dan pengujian

Mari kita bahas sisi teknis atau kecepatan baca dan tulis untuk microSD ini. Canvas Go! Plus di atas kertas alias menurut Kingston memiliki kecepatan membaca hingga 170 mb/s dengan kecepatan menulis 90MB/s untuk varian 128 dan 512 GB sedangkan untuk varian kecepatannya 64GB 70MB/s untuk menulis sedangkan untuk baca 170MB/s. Jadi ada perbedaan write dan read untuk beberapa varian. Unit yang Hybrid coba berkapasitas 512GB jadi memiliki kecepatan baca hingga 170MB/s dan menulis hingga 90MB/s. 

Dalam keterangan resminya, Kingston juga menyebutkan bahwa MicroSD ini cocok untuk pengguna consumer alias pengguna umum, dengan kegunaan seperti perekaman 4K, untuk action camera, drones dan perangkat Android. Sedangkan di bungkusnya ada keterangan gambar controller, seperti yang dijelaskan di bagian packing di atas, yang menunjukkan bahwa microSD ini juga cocok untuk bermain game

Dalam handson kali ini saya melakukan uji coba pemakaian dengan handheld yang lagi sangat populer saat ini yaitu Nintendo Switch. Saya menggunakan versi pertama dari handheld keluaran Nintendo ini.

Berikut spesifikasi berdasarkan situs resmi: 

Kingston

Untuk pengujian kecepatan, karena tidak bisa mengujinya secara langsung (dengan tools atau aplikasi benchmark) di perangkat Nintendo Switch maka saya menggunakan microSD reader mobile lite plus yang dicolokkan ke USB hub 3.0. Kecepatan yang saya dapatkan mendekati 170MB/s yang berarti bisa dibilang klaim dalam kotak Canvas GO! plus ini sesuai dengan saat test. Untuk angka test lengkap bisa di cek di bawah, saya menggunakan software benchmark Crystal Disk Mark sebagai salah satu alat uji.  

Canva Go! Plus

 

Canva Go! Plus

Dalam penggunaan Nintendo Switch, salah satu aktivitas yang biasanya sering dilakukan adalah memindahkan file game yang ada di Switch ke microSD agar ruang penyimpanan internal cukup lega. Nah salah satu aktivitas yang saya lakukan adalah memindahkan file di internal ke microSD, dan pengalaman yang saya dapatkan juga cukup baik, waktu yang dibutuhkan juga tidak terlalu lama. Memindahkan game Super Smash Bross dengan ukuran 15.7 GB membutuhkan waktu belasan menit saja. 

Meski MicroSD penting untuk penggunaan Switch, namun ada informasi yang coba saya gali terkait, apakah kualitas Micro SD akan berpengaruh pada kecepatan atau kenyamanan bermain. Dan sampai tulisan ini dibuat, dari beberapa informasi yang saya kumpulkan, kecepatan yang disarankan oleh Nintendo adalah microSD yang memiliki transfer speed antara 60 – 95 MB/s. Dengan spesifikasi yang lebih direkomendasikan adalah UHS-I. 

Nintendo juga menyebutkan bahwa semakin tinggi kecepatan transfer maka pengalaman bermain akan lebih baik. Tetapi sebenarnya tidak ada penjelasan tambahan apakah ada perbedaan jika menggunakan microSD dengan kecepatan transfer di atas 95MB/s, apakah akan lebih baik dari yang maksimal 95MB/s.

Nah untuk pengalaman bermain sendiri, meski tidak bisa dideteksi dengan tools tertentu menurut saya cukup menyenangkan. Ada perubahan cukup signifikan dari microSD sebelumnya yang saya coba, minimal dari sisi kecepatan loading game atau menyimpan progress game. 

Beberapa game yang saya rutin mainkan, salah satunya adalah Super Smash Bros. Ultimate memberikan loading time saat start game atau save progress yang terasa lebih cepat dari hanya menggunakan internal memory ditambah microSD non Kingston. 

Tentang microSD Card reader MobileLite Plus

Nah dari tadi saya belum berbicara banyak tentang perangkat tambahan yang disertakan untuk melengkapi Canva GO! Plus yaitu card reader. Bentuk dari perangkat ini cukup kecil dan bisa menjadi pelengkap saat kita membutuhkan mobilitas. Fitur utama produk ini antara lain USB 3.2 Gen 1 speeds dan dukungan performa tinggi untuk kartu memori tipe UHS-II. Card reader ini juga mendukung kartu memori tipe UHS-I cards.

Pengalaman penggunaannya pun cukup baik, card reader ini mampu mendukung kecepatan kartu memori Canva GO! Plus yang saya coba. Satu kekurangannya adalah tidak ada tutup, jadi ketika membawa perangkat ini Anda harus menyiapkan tempat tersendiri agar slot yang ada tidak banyak terkena debu. 

canva go plus

Kesimpulan

Canva Go! Plus bisa jadi pilihan untuk mereka yang membutuhkan memori luas dengan kualitas yang cukup baik dan kecepatan baca dan tulis yang juga cukup baik. Meski memang memory ini tidak dikhususkan untuk gaming atau ada embel-embel logo Switch seperti merek SanDisk, namun dari pengujian kecepatannya bisa diandalkan. Dari pengalaman juga saya tidak menemukan hambatan.

Jika Anda tidak menggunakannya untuk gamingmemory ini masih bisa diandalkan karena kecepatannya, memudahkan saat memindahkan file misalnya. Harga jual microSD ini adalah 500 ribu rupiah (sebelum diskon) di toko online

Meski demikian Anda tentunya bisa membaca detail spesifikasi dan mengukur apakah spesifikasi yang ada sesuai dengan kebutuhan Anda. Karena Kingston menyediakan varian yang lebih tinggi yaitu Canva React Plus yang cocok untuk mereka yang membutuhkan kecepatan baca dan tulis yang lebih cepat. Tapi bagi saya, Canva Go! Plus sudah cukup untuk kegiatan gaming, setidaknya untuk bermain di Nintendo Switch.  

Review Lenovo Legion 5: Rancangan Mantap Dengan Jeroan yang Tanggung

Selama situasi pandemi jumlah pemain game di PC memang dikabarkan meningkat lebih pesat dibanding dengan pemain game mobil. Apalagi protokol Physical Distancing dan himbauan untuk di rumah saja mungkin akan membuat Anda bosan setengah mati, jika Anda tidak memiliki sebuah perangkat untuk sarana hiburan atau produktivitas.

Dari sisi desktop, saya sudah sempat mengulas Acer Nitro N50-110, yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk dibeli jika Anda adalah tipe pengguna yang tak mau repot. Lalu bagaimana dari laptop? Mengingat beberapa waktu lalu Lenovo baru meluncurkan lini produk laptop gaming terbaru, mungkin Anda bisa menjadikan produk tersebut sebagai pertimbangan.

Kebetulan beberapa waktu lalu saya dipinjami Lenovo Legion 5 untuk di-review. Jika Anda penasaran apakah laptop ini bisa memenuhi kebutuhan gaming dan produktivitas Anda, simak ulasan berikut dari saya.

 

Tampilan, Desain, dan Lenovo Legion 5 Secara Keseluruhan

Saat membahas desktop saya sengaja menempatkan soal performa di bagian pertama, karena faktor itu yang lebih esensial. Namun berhubung kali ini barang yang saya review adalah laptop, saya merasa bagian soal tampilan dan desain jadi penting karena bisa dibilang sebagai nilai jual utama juga dari sebuah laptop. Jajaran produk laptop “gaming” dari Lenovo ini membawa jargon “Stylish Outside, Savage Inside”. Alhasil, Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 yang diluncurkan pada 25 Juni 2020 kemarin tersaji dengan penampilan yang minimalis, elegan, dan profesional.

Desainnya jadi alasan kenapa saya menggunakan tanda kutip saat menyebut laptop gaming. Karena tampilan luarnya membuat laptop ini sebenarnya jadi tidak terlihat seperti kebanyakan laptop gaming lainnya.

Oh iya, sebelum lebih lanjut membahas soal tampilan, saya jelaskan dulu varian Lenovo Legion 5 dan IdeaPad Gaming 3 agar Anda tidak bingung. Lenovo Legion dan IdeaPad Gaming datang dengan dua varian. Lenovo Legion 5i menggunakan prosesor Intel, sementara Lenovo Legion 5 menggunakan prosesor AMD. IdeaPad Gaming juga sama, IdeaPad Gaming 3i menggunakan prosesor Intel, IdeaPad Gaming 3 menggunakan prosesor AMD. Unit yang saya review adalah Lenovo Legion 5, yang menggunakan prosesor AMD.

Secara penampilan, Lenovo Legion 5 tidak beda dari Lenovo Legion 5i, hanya jeroannya saja yang berbeda. Juga supaya Anda tidak bingung, berikut spesifikasi varian Lenovo Legion 5 yang saya review kali ini:

1- lenovo legion 5

Lanjut membahas tampilan, salah satu yang membuat saya merasa Lenovo Legion 5 tidak terlihat sebagai laptop gaming adalah warna hitam doff yang disebut sebagai “Phantom Black”. Seperti yang Anda tahu, laptop yang menggunakan embel-embel “gaming” biasanya tampil mencolok, entah dengan lampu RGB, warna-warna cerah, desain ala racing, atau gimmick tampilan lainnya.

Alih-alih menggunakan tampilan yang terkesan kekanak-kanakan, Lenovo Legion 5 malah tampil dewasa dan elegan. Warna tersebut dipermanis dengan logo Lenovo kecil yang nemplok di pojok kiri layaknya pembatas buku kecil, dan logo Legion di pojok kanan yang agak besar, namun tetap kalem dan minimalis. Dahulu logo ini menyala putih, kini diubah menjadi hanya bersifat iridescent, alias berubah warna saat terkena pantulan cahaya.

Oke, soal tampilan mungkin cukup segitu saja. Soal keyboard, mungkin jadi hal yang ingin saya bahas selanjutnya. Saat peluncuran, Lenovo gembar-gembor soal True Strike keyboard sebagai salah satu fitur unggulan. Hal ini membuat saya jadi penasaran dan bertanya “memangnya sebagus dan seenak apa sih True Strike keyboard?”

Ternyata setelah dicoba, saya bisa bilang bahwa keyboard Lenovo Legion 5 ini adalah yang paling enak dibanding dari kebanyakan keyboard laptop yang ada di pasaran. Saya sengaja bilang “enak” karena memang ini memang adalah pendapat subjektif. Seberapa enak? Ya cukup enak sampai membuat saya meninggalkan keyboard mekanik Anne Pro II yang menggunakan red switch, untuk pekerjaan menulis saya.

Bagaimana feel-nya? Solid, tactile, dan lembut. Setiap tombol yang ditekan terasa kokoh tapi luwes. Tombol yang ditekan akan langsung masuk menjadi input, tanpa ada perasaan goyang atau jiggly terhadap tombol yang ditekan. Setiap tombol dilapisi Anti-oil coating, yang juga memberi feel lembut ketika permukaan tuts keyboard disentuh.

Lalu apakah keyboard True Strike bagus? Untuk urusan produktivitas, keyboard ini bagus, karena punya layout full-size, dengan full-sized NumPad, tombol arrow, dan tombol F-row (F1-F12) yang cukup besar. Beberapa laptop gaming mungkin sudah menyediakan ini, tetapi menurut saya yang perlu diapresiasi adalah ukuran setiap tombolnya yang cukup besar sehingga sangat nyaman digunakan untuk urusan produktivitas kerja.

Untuk gaming juga bagus, karena keyboard ini sudah memiliki fitur N-Key Rollover (NKRO) dan anti-ghosting. Dengan dua fitur tersebut, artinya Anda bisa menekan sebanyak mungkin tuts keyboard dan semuanya akan masuk menjadi input. Untuk urusan gaming, NKRO dan anti-ghosting jadi penting, karena pemain kerap kali menekan keyboard dengan cepat, yang bisa menyebabkan apa yang keluar di game tidak sesuai dengan apa yang ditekan, jika keyboard tidak memiliki dua fitur tersebut.

Tapi apakah “enak” untuk gaming? Saya rasa cukup enak, tapi tingkat responnya masih kalah cepat jika dibandingkan dengan keyboard mekanik yang menggunakan red switch, terutama untuk urusan gaming kompetitif. Namun jika Anda main game secara casual saja, saya merasa keyboard laptop Legion Lenovo 5 ini sudah sangat cukup.

Kekurangan dari keyboard True Strike di Lenovo Legion 5 ini hanyalah tombol-tombol besar, seperti Enter dan Shift, yang cenderung terasa keras. Lagi-lagi, pendapat ini muncul, mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa dengan keyboard mekanik red switch, yang memang sangat ringan ketika ditekan. Oh iya, laptop ini juga hanya memiliki backlight warna putih. Untuk saya, ini sih bukan kekurangan tapi mungkin akan jadi dealbreaker jika Anda adalah seorang penggila RGB.

Tampilan sudah, keyboard sudah, sekarang kita beralih ke I/O ports dan monitor. Anda mungkin sudah sempat melihat ulasan dari beberapa YouTuber dan melihat rancangan I/O port Lenovo Legion. Laptop ini meletakkan hampir semua colokan di bagian belakang.

Walau membuat meja jadi kelihatan bersih, namun tetap ada plus-minus terhadap rancangan seperti ini. Minus-nya adalah, Anda mungkin akan sulit setup laptop jika ukuran meja Anda tidak begitu besar. Rancangan ini jadi sulit untuk anak kosan seperti saya, yang harus terima nasib menggunakan meja kecil fasilitas kosan, namun punya banyak gadget tambahan yang dicolok ke laptop… Hehe.

Soal monitor, saya menggunakan varian Lenovo Legion 5 yang memiliki tingkat kecerahan display sebesar 250nits dan Refresh-Rate 120Hz. Jujur, 250 nits sih terasa kurang, apalagi jika Anda adalah seorang gamers FPS kompetitif atau pekerja multimedia.

Anda bisa melihat sendiri pantulan matahari mengalahkan terangnya LCD jika digunakan di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Anda bisa melihat sendiri pantulan matahari mengalahkan terangnya LCD jika digunakan di luar ruangan. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Dengan tingkat kecerahan 250nits, monitor laptop masih kalah dengan cerahnya matahari, terutama saat pagi hingga siang hari. Refresh-rate 120Hz terasa sangat enak. Bukan hanya untuk gaming, tetapi juga membuat berbagai animasi Windows 10 jadi terasa lebih halus.

Bagaimana untuk gaming? Berhubung saya adalah reviewer kere-hore, jadi saya belum pernah mencoba monitor dengan Refresh-Rate yang lebih tinggi lagi. So? 120Hz terasa baik-baik saja, sangat enak untuk bermain game FPS yang banyak gerakan seperti Apex Legends. Namun satu hal yang pasti, Refresh Rate tersebut ternyata tidak berhasil membuat saya jadi lebih jago saat main VALORANT, tetap saja saya mengisi posisi Bottom Frag… Haha.

 

Performa Tanggung Dengan Kemampuan Thermal yang Mantap

Unit Lenovo Legion 5 yang saya review ini menggunakan prosesor AMD Ryzen R5-4600H yang dilengkapi dengan GPU GeForce GTX1650Ti 4GB GDDR6. Dari sini, Anda yang geeky soal hardware mungkin sudah punya gambaran atas performa laptop ini. Namun, mari kita lihat hasil pengujian saya terhadap performa Lenovo Legion 5.

Untuk urusan gaming, saya cuma bisa bilang bahwa Lenovo Legion 5 ini “Esports Ready”. Tapi untuk gaming AAA? Sepertinya nanti dulu. Kenapa saya bilang Esports Ready? Karena display 120Hz dari laptop ini sangat menunjang kebutuhan gaming kompetitif. Juga, game multiplayer kompetitif cenderung tidak terlalu demanding dari segi hardware. Jadi saya rasa, AMD Ryzen R5-4600H dan GTX 1650Ti sudah lumayan cukup untuk mencapai 60++ FPS pada beberapa judul game kompetitif.

Seperti sebelumnya, saya menggunakan PUBG (Steam) dan Apex Legends sebagai alat untuk menguji kemampuan laptop dalam menjalankan game multiplayer kompetitif. Kenapa game tersebut yang saya pilih? Karena dua game tersebut bisa dibilang sebagai dua game multiplayer kompetitif paling berat untuk saat ini. Untuk metode, pada pengujian ini saya bermain dengan beberapa preset pengaturan grafis, demi menemukan pengaturan yang paling optimal dengan display Refresh Rate 120Hz.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark PUGB. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Mengingat spesifikasi minimum PUBG yang lebih tinggi daripada Apex Legends, maka tidak heran jika usaha untuk mendapat 100++ average FPS di PUBG jadi lebih sulit ketimbang di Apex Legends. Bahkan PUBG dengan preset Very Low saja, tidak bisa menembus angka 100 Average FPS. Kenapa begitu penting mencapai 100++ FPS? Karena game FPS kompetitif cenderung mengutamakan respon. Visual kerap kali dipinggirkan dalam game kompetitif seperti PUBG. Bahkan hampir kebanyakan pemain CS:GO professional menggunakan pengaturan rendah, demi mendapat FPS sebanyak mungkin.

Tapi jika Anda adalah tipe pemain PUBG yang main santai, dan ingin menikmati indahnya pancaran matahari di map Vikendi ataupun Erangel 2.0, Lenovo Legion 5 masih kuat menjalankan PUBG dengan pengaturan Ultra.

Namun cukup sulit untuk main kompetitif dengan preset grafis Ultra, karena Lenovo Legion 5 cuma bisa dapat 51,1 average FPS, dengan 28,4 min FPS, dan 63,4 max FPS. Dalam keadaan yang umum, seperti masuk ke rumah untuk looting, atau rotasi dengan kendaraan, FPS berada di kisaran 30an. Max FPS sendiri baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit.

Pengaturan Medium membuat PUBG lebih playable untuk kompetitif dengan 78 average FPS, 58,5 min FPS, dan 106,4 max FPS. Seperti pengaturan Ultra, pemandangan standar bisa akan mendapatkan angka yang tidak jauh dari min FPS. Sementara angka max FPS baru bisa didapatkan jika Anda menatap langit, atau menatap pemandangan yang minim konten visual.

Pengaturan Very Low baru bisa membuat PUBG jadi lebih “Esports Ready” dengan 93,9 average FPS, 43,8 min FPS, dan 166,4 max FPS. Saya cukup bingung kenapa catatan minimum FPS-nya lebih rendah daripada Medium. Mungkin sempat terjadi stutter ketika saya baru masuk game, atau saat baru terjun payung. Namun angka tersebut terbilang tak perlu terlalu dikhawatirkan, karena sepengalaman saya PUBG bisa berjalan di rata-rata 90++ FPS jika menggunakan preset grafik Very Low.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark Apex Legends. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Apex Legends lebih mudah untuk dapat 100++ average FPS. Bahkan game ini masih bisa dimainkan secara kompetitif pada pengaturan Ultra. Menggunakan preset pengaturan Ultra, Apex Legends bisa mendapatkan 76,3 average FPS, 39,3 min FPS, dan 117,9 max FPS. Saya merasa Apex dengan preset Ultra masih berjalan cukup mulus dalam berbagai skenario baku tembak. Angka min FPS sendiri didapatkan ketika awal terjun, dan pada skenario baku tembak yang penuh kekacauan dengan serangan dari berbagai arah, dan ledakan di mana mana.

Tetapi jika Anda bermain Apex Legends secara lebih kompetitif, preset grafis Medium akan lebih baik. Dengan pengaturan Medium, Apex Legends mendapatkan 101,8 average FPS, 58,6 min FPS, dan 144,8 max FPS. Lagi-lagi, angka min FPS saya dapatkan ketika awal terjun. Mungkin karena kartu grafis harus memproses seluruh bagian map. Namun bisa dipastikan bahwa dalam rata-rata skenario permainan, Apex Legends bisa berjalan di 100++ FPS.

Lalu bagaimana dengan game AAA? Hasil benchmark yang saya dapatkan menjadi alasan kenapa saya bilang, untuk urusan gaming, laptop ini cuma sampai status “Esports Ready” saja. Spesifikasi hardware yang disajikan ternyata masih cukup keteteran untuk menjalankan game AAA dengan preset grafis Ultra.

Kebutuhan grafis game AAA biasanya berbanding terbalik dengan game esports. Para PC Master Race seperti Editor kami, Yabes Elia, biasanya punya keinginan untuk menggunakan preset grafik Ultra demi mendapat kenikmatan visual. Kebutuhan Frame Rate biasanya tidak terlalu tinggi pada game AAA. 60FPS sudah cukup, setidknya agar game berjalan lebih mulus, tidak seperti… Uhuk! PlayStation yang cuma bisa 30 FPS saja.

Untuk game AAA saya menguji laptop ini dengan menggunakan Metro Exodus (2019) dan Assassin Creed: Odyssey (2018). Pengujian untuk Metro Exodus dilakukan dengan menjalankan game menggunakan beberapa pengaturan grafik, dan melihat perolehan FPS yang didapat. Sementara untuk Assassin’s Creed: Odyssey, saya menggunakan in-game benchmark.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Hasil benchmark Metro Exodus. Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Metro Exodus tidak memiliki preset grafik, jadi untuk grafik Ultra saya ubah semua opsi jadi rata kanan, dan Medium di rata tengah. Dengan pengaturan grafik Ultra, Metro Exodus ternyata jadi tidak playable. Game besutan 4A Games berubah jadi gambar stop motion dengan 19,9 average FPS, 9,3 min FPS, dan 32,1 max FPS.

Cukup menyedihkan memang. Iya sih, pengaturan Ultra membuat game jadi nikmat secara visual. Tapi juga jadi menyebalkan kalau baru mulai game karakter kita sudah mati dimakan mutant, gara-gara Frame Rate rendah membuat kita kesulitan merespon serangan.

Game tersebut baru bisa dimainkan dengan pengaturan Medium, yang berhasil mendapatkan 52,1 average FPS, dengan 41,4 min FPS, dan 68,9 max FPS. Permainan berjalan dengan cukup lancar, dan kini saya berhasil berjalan lebih jauh dibanding saat menggunakan pengaturan Ultra.

Dalam pertarungan, Frame Rate berada di kisaran 45-50 FPS, cukup untuk merespon musuh berupa AI yang sudah diprogram. Sementara itu max FPS didapatkan ketika Anda menghadapi pemandangan yang minim konten visual, contohnya saat Artyom (karakter utama Metro Exodus) dibawa ke markas Metro.

Selanjutnya Assassin’s Creed Odyssey. Game besutan Ubisoft ini sendiri terbilang masih playable dengan menggunakan pengaturan Ultra. Assasin’s Creed Odyssey berhasil mendapatkan 29 average FPS, dengan 17 min FPS, dan 49 max FPS.

Jadi, walau Anda cuma bisa mendapat Frame Rate layaknya bermain di konsol, tapi setidaknya Anda bisa bermain dalam keadaan visual yang ciamik. Namun memang, Assassin’s Creed Odyssey terbilang lebih ringan jika dibanding Metro Exodus. Dengan pengaturan High, Anda masih bisa mendapat 55 average FPS, 28 min FPS, dan 108 max FPS. Sementara preset Medium memberikan Anda 66 average FPS, 28 min FPS, dan 130 max FPS.

Jadi, apakah konfigurasi jeroan Lenovo Legion 5 versi Ryzen 5-4600H ini memang hanya sekadar cukup saja? Untuk mengetahui performanya saya lalu menguji kemampuan laptop dengan menggunakan 3DMark dan PCMark. Jika berdasarkan dua software penguji tersebut, konfigurasi Lenovo Legion 5 dengan CPU Ryzen 5-4600H dan GPU GTX1650Ti ini terbilang cukup tanggung.

Skor 3DMark Time Spy dan Fire Strike laptop ini masing-masing adalah 4032 dan 9377. Kalau menurut kedua software tersebut, semua skor ini lumayan ketinggalan dibanding dengan “Gaming Laptop 2020”. Menurut 3DMark “Gaming Laptop 2020” adalah laptop dengan prosesor Intel Core i7-9750H dengan kartu grafis GeForce RTX 2060. Menurut catatan 3DMark, Gaming Laptop 2020 bisa mendapat skor sebesar 5730 pada Time Spy, dan 13771 pada Fire Strike. Perbedaan yang cukup jauh?

Sementara untuk produktivitas, skor PCMark Lenovo Legion 5 malah bisa menyalip si Gaming Laptop 2020 dengan cukup jauh. Gaming Laptop 2020 hanya mendapatkan skor sebesar 4515 saja, sementara Lenovo Legion 5 bisa mendapatkan skor sebesar 5687. Kontestan Lenovo Legion 5 dalam urusan produktivitas ini malah Gaming PC 2020. Walau saya tahu tidak adil membandingkan laptop dengan desktop, namun menurut PCMark, Gaming PC 2020 dengan CPU AMD Ryzen 7 3700X, GPU AMD Radeon RX 5700 XT mencatatkan skor sebesar 6739, masih beda cukup tipis dibanding Lenovo Legion 5.

Memang kalau melihat dari sisi GPU, GTX1650 Ti tentu akan ngos-ngosan jika dibandingkan dengan RTX 2060. Mungkin hal ini jadi alasan kenapa skor 3DMark unit Lenovo Legion 5 yang saya uji masih kalah saing. Tetapi kalau untuk urusan produktivitas, Ryzen 5 4600H masih bisa diadu dengan dan Intel Core i7-9750H, yang mana keduanya sama sama memiliki 6 core 12 thread.

Oke, gaming sudah, pengujian dengan software juga sudah. Berikutnya kita akan membahas soal suhu. Soal thermal atau suhu juga jadi hal lain yang dibanggakan dari produk Lenovo Legion 5 ini, lewat teknologi yang disebut sebagai ColdFront 2.0.

Tapi, apa benar teknologi ini bisa membuat Lenovo Legion 5 jadi adem? Melihat dari kulit luar, rancangan sirkulasi udara Lenovo Legion 5 memang membuat saya kagum.

Jika Anda melihat ke bawah, Anda bisa melihat hampir setengah bagian Laptop hanya berisikan lubang udara yang dibuat dengan menggunakan rancangan circular atau bulat-bulat. Lalu beralih ke bagian samping dan belakang, Anda bisa melihat empat buah ventilasi udara: satu di kiri, dua di belakang, dan satu di kanan. Ketika berjalan dalam performa tinggi, laptop akan menyedot udara dingin dari bawah, dan mengeluarkan udara panas ke kiri, kanan dan belakang.

Hasilnya? Rancangan ColdFront 2.0 memang cukup baik namun tidak berhasil menahan suhu tertinggi yang mengkhawatirkan saat digunakan untuk memainkan Metro Exodus.

Namun demikian, setidaknya suhu hangat terkumpul di bagian tengah laptop saja. Jadi tak perlu khawatir tangan terasa panas saat sesi gaming, atau bekerja dengan durasi panjang saat menggunakan laptop ini.

Oh saya hampir lupa, baterai! Ini juga jadi aspek yang tidak kalah penting dalam urusan laptop. Saya menguji performa baterai dengan memainkan video HD 1080p mulai dari baterai penuh 100%, dan membiarkannya berjalan berulang-ulang sampai laptop mati sendiri.

Dengan menggunakan metode tersebut Lenovo Legion 5 bisa bertahan selama 2 jam 40 menit (160 menit). Dengan kapasitas 60.000mWh, daya tahan baterai Lenovo Legion 5 terbilang sudah cukup. Walau memang, jika dibandingkan dengan daftar Best Gaming Laptop menurut PCMag angka ini terbilang cukup rendah.

Tapi baterai seharusnya bisa bertahan lebih lama untuk skenario penggunaan sehari-hari, seperti mengirim surel, mengerjakan dokumen, dan lain sebagainya. Tapi tentu akan beda cerita jika Anda menggunakannya untuk tugas yang berat seperti mengedit video atau gambar.

Sumber: Dokumentasi Pribadi - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Pribadi – Akbar Priono

Lenovo Legion 5 juga memiliki fitur Rapid Charge Pro yang cukup signifikan meningkatkan kecepatan charging. Fitur ini sendiri harus dinyalakan terlebih dahulu lewat software Lenovo Vantage. Tanpa Rapid Charge, Lenovo Legion 5 butuh 2 jam 7 menit (127 menit) untuk charging dari 0-100%. Rapid Charge berhasil memangkas 30 menit waktu charging, membuat proses dari 0-100% jadi hanya 1 jam 33 menit saja (93 menit).

Torehan daya tahan baterai dan proses charging saya dapatkan dengan menggunakan Performance Mode. Ini artinya daya tahan baterai seharusnya bisa lebih lama, dan proses charging bisa lebih cepat lagi jika Anda mengaktifkan Quiet Mode dengan menggunakan Lenovo Q Control 3.0 yang akan menurunkan CPU Voltage dan fan speed.

 

Fitur-Fitur Pelengkap Lenovo Legion 5

Dari semua fitur-fitur tambahan, satu lagi yang menarik untuk dibahas mungkin adalah software Lenovo Vantage. Saya akui, pengalaman saya mengulas produk laptop memang belum banyak. Namun saya merasa software ini menjadi nilai tambah yang sangat membantu untuk keseharian. Seperti saya sebut tadi, Lenovo Vantage adalah semacam pusat kendali untuk fitur-fitur tambahan dari Lenovo Legion 5, fitur Rapid Charge salah satunya.

Tetapi selain itu, software ini juga akan membantu Anda untuk melakukan update terhadap driver laptop, mengatur Lenovo Q Control, dan mengaktifkan Hybrid Mode.

Terkait Hybrid Mode, saya ingin sedikit membahas soal dampaknya pada performa. Awalnya saya cukup bingung dengan fungsi Hybrid Mode, bagaimana dampaknya terhadap performa jika saya nyalakan? Lenovo sendiri menjelaskan bahwa dalam mode ini, sistem akan mendeteksi apakah GPU dibutuhkan atau tidak. Jika tidak maka sistem akan secara otomatis dimatikan dan menggunakan Integrated Graphics Processor.

Karena penasaran, saya lalu mencoba melakukan sedikit benchmark untuk mengetahui dampaknya pada performa. Menariknya, Hybrid Mode justru menurunkan skor benchmark jika laptop digunakan sambil dicolok ke listrik. Masih menggunakan 3DMark, skor benchmark menurun jadi 9203 dibanding sebelumnya, yaitu 9377 saat Hybrid Mode tidak digunakan.

Tapi di sisi lain, performa laptop jadi meningkat saat melakukan benchmark dengan menggunakan baterai. Skor 3DMark Hybrid Mode dengan menggunakan baterai adalah 6638, sementara skor benchmark tanpa Hybrid Mode dengan menggunakan baterai hanya 6307 saja.

Hal lain yang patut jadi catatan adalah, Refresh Rate monitor akan bertahan di frekuensi 120Hz meski sedang menggunakan baterai, jika Hybrid Mode dinyalakan. Sementara jika Hybrid Mode dimatikan, Refresh Rate monitor akan otomatis turun ke frekuensi 60Hz ketika menggunakan baterai. Jadi? Hybrid Mode atau tidak? Saya rasa Hybrid Mode akan cocok jika di sekitar Anda tidak ada colokan listrik, namun Anda sedang butuh performa untuk task berat seperti edit video.

Terakhir Lenovo juga memberikan nilai tambah lain berupa Accidental Damage Protection dan Onsite Warranty selama dua tahun. Garansi tersebut bisa digunakan untuk berbagai kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian pengguna. Tak hanya itu, paket penjualan Lenovo Legion 5 juga sudah menyertakan Windows 10, dan juga paket Microsoft Office Home & Student 2019.

 

Kesimpulan

Jadi apakah Lenovo Legion 5 layak beli? Secara price-to-performance, Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dan GPU GeForce GTX1650Ti ini terbilang tanggung. Apalagi mengingat masih ada laptop gaming lain yang punya spesifikasi hardware serupa, namun memiliki harga yang lebih terjangkau.

Tetapi, saya merasa nilai jual Lenovo Legion 5 ini sebenarnya datang dari desain produk laptop ini secara keseluruhan dan juga fitur-fitur tambahan yang disematkan.

Apakah keyboard yang diberikan bisa solid dan lembut seperti keyboard dengan teknologi True Strike atau tidak? Saya juga penasaran dan ingin bisa menjawab pertanyaan tersebut. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk melakukan review terhadap laptop dengan spesifikasi serupa, agar bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Selain itu, hal lain yang menurut saya jadi nilai jual dari Lenovo Legion 5 ini adalah rancangan tampak luar yang elegan, sleek, dan minimalis. Jadi jika Anda adalah datang dari kalangan profesional yang suka main game, laptop ini masih bisa digunakan untuk keseharian, karena tetap membuat Anda tampil smart, dan profesional saat digunakan di lingkungan kerja.

Menurut saya, pesaing Laptop Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen R5-4600H dengan GeForce GTX1650Ti ini malah adalah versi Lenovo Legion 5 yang punya konfigurasi hardware lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga antar versi Lenovo Legion 5 yang beda-beda tipis.

Versi yang saya review dibanderol dengan harga Rp16.499.000. Sementara di sisi lain, Lenovo Legion 5 versi lain yang menggunakan konfigurasi hardware berupa AMD Ryzen R7-4800H dengan GeForce GTX1660Ti, ditambah dengan Refresh Rate monitor 144Hz, dibanderol dengan harga Rp18.499.000. Lalu jika kita mengintip versi Intel, harga Lenovo Legion 5i versi Core i7-10750H dengan NVIDIA GTX1660Ti juga cuma Rp21.999.000.

Apakah beda performanya signifikan? Saya sendiri belum sempat mencobanya. Tetapi untuk penggunaan jangka panjang, saya rasa tidak ada salahnya untuk lebih sabar, menabung 5,5 juta lagi, demi mendapat konfigurasi hardware tertinggi, agar laptop bisa menjadi investasi masa depan yang future-proof.

Tapi jika dana Anda terbatas, dan butuh segera membeli laptop, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan Lenovo Legion 5 versi AMD Ryzen 5 4600H dengan GeForce GTX1650Ti.

Review Acer Nitro N50-110: Performa Tangguh Dengan Fitur yang Terlampau Sederhana

Selama masa pandemi, banyak perusahaan menerapkan protokol kerja dari rumah sebagai sarana mendukung usaha pemerintah untuk menanggulangi wabah COVID-19. Maka dari itu tak heran, jika kebutuhan akan komputer jadi meningkat, entah sebagai alat produktivitas maupun sebagai sarana hiburan untuk bermain game.

Saya melihat sendiri bagaimana kebanyakan teman-teman saya, yang juga gamers dan pekerja digital, belakangan terlihat menunjukkan baru saja berbelanja PC terbaru; yang tentunya bikin saya jadi iri melihatnya… Huhuhu. Jika Anda seperti saya, yang sedang terpikirkan untuk membeli PC baru untuk kebutuhan “produktivitas”, dan tidak mau kerepotan merakit, mungkin Anda bisa mempertimbangkan memilih pre-built desktop Acer Nitro N50-110.

Namun, agar Anda lebih yakin, simak dulu review Pre-built Desktop Acer Nitro N50-110 berikut ini. Oh iya, di sisi lain, jika Anda lebih butuh monitor gaming, Anda bisa membaca review BenQ Zowie XL2746s.

Performa

Ketika membeli sebuah perangkat PC, entah itu laptop maupun desktop, performa sepertinya menjadi pertanyaan pertama yang harus dijawab. Apalagi para gamers, yang mungkin akan serta-merta bertanya, “Bang, PC atau laptop spek dengan sekian-sekian-sekian kuat nggak ya untuk main game ini dan itu?”

Maka dari itu, saya sengaja meletakkan pembahasan soal performa di bagian paling depan, agar Anda tidak perlu scroll terlalu jauh untuk mengetahui seberapa tangguh Acer Nitro N50-110. Namun sebelum menuju pembahasan soal performa, mari kita lihat dulu spesifikasi hardware dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini:

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono
  • AMD Ryzen™ 7 3700X
  • 2x8GB DDR4 2666 MHz
  • X570 Chipset
  • NVIDIA® GeForce® GTX 1660Ti 6GB GDDR6
  • 512GB SSD NVMe + 1 TB HDD

Untuk menguji performa dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini saya menggunakan dua metode. Pertama adalah dengan synthetic benchmark dengan menggunakan dua program, ada 3D Mark FireStrike Ultra dan Uningine Superposition untuk menguji kemampuan pre-built desktop ini dalam memproses grafis 3d yang intensif. Lalu untuk menguji performa CPU, saya menggunakan Cinebench R20, dan menjalankan uji kemampuan CPU multi-core dan single-core.

Untuk FireStrike Ultra, konfigurasi dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini mendapatkan skor sebesar 3359. Skor tersebut bisa dibilang cukup normal untuk GeForce seri GTX 1660 Ti. Anda bisa melihat perbandingannya sendiri dengan pengujian terhadap seri 1660 Ti yang dilakukan oleh reviewer lainnya seperti guru3d atau kitguru. Lalu untuk pengujian dengan Uningine Superposition skor yang dihasilkan adalah sebesar 3260. Hasil ini juga masuk akal untuk GeForce GTX 1660 Ti jika dibandingkan dengan hasil benchmark dari legitreviews dan guru3d.

Lalu bagaimana dengan performa CPU? AMD lewat seri Ryzen memang terkenal sebagai salah satu CPU dengan performa yang baik. Bahkan seri prosesor AMD ini kerap kali dianggap sebagai “Intel Killer” karena performanya. Bagaimana dengan performa Ryzen 7 3700X yang memiliki base clock speed 3,6GHz yang bisa TurboBoost 1 core hingga 4,4 GHz, dan memiliki konfigurasi 8 core 16 threads ini?

Menggunakan Cinebench R20, skor yang didapatkan untuk performa multi-core processor ini adalah sebesar 4512. Hasil ini memang memuaskan mengingat performa procie lain yang ada di atas 3700X memang sudah sekelas workstation atau server. Lalu untuk performa single-core, Ryzen 7 3700X berhasil mendapatkan skor 478. Kali ini berhasil sedikit membalap skor Intel i7-7700K yang punya base clock speed lebih besar, yaitu 4,2GHz.

Setelah melalui synthetic benchmark dengan menggunakan beberapa tools di atas, bagian benchmark yang satu ini mungkin akan lebih menarik, terutama untuk Anda para gamers. Untuk metode kedua, saya melakukan real-world benchmark dengan menggunakan game. Saya membagi real-world benchmark ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah real-world benchmark menggunakan game AAA dengan menggunakan fitur in-game benchmark. Lalu pada bagian kedua saya melakukan real-world benchmark pada game multiplayer.

Untuk game AAA saya menggunakan Far Cry 5 (2018) dan Shadow of The Tomb Raider (2018). Jika melihat konfigurasi yang disajikan pre-built desktop Acer Nitro N50-110, harusnya pengaturan rata kanan dengan resolusi 1080p tidak menjadi masalah bagi kedua game tersebut. Benar saja, untuk Far Cry 5 hasil frame per second yang didapatkan adalah 78 min FPS, 108 max FPS, dengan 88 average FPS. Walau awalnya terlihat meyakinan, namun Far Cry ternyata bisa membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi keteteran. Jika Anda mengatur Resolution Scale di dalam game menjadi 2 (default 1), maka torehan FPS yang didapatkan akan turun setengah jadi 29 min FPS, 40 max FPS, dengan 33 average FPS.

Sementara itu untuk Shadow of The Tomb Raider Anda juga bisa mendapatkan FPS yang terbaik dengan menggunakan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p. Pada game tersebut, Anda bisa mendapatkan 86 min FPS, 164 max FPS, dan 120 avg FPS. Mengingat dua game tersebut terbilang sebagai dua game yang cukup berat, bahkan sampai sekarang, maka bisa dibilang kita tidak perlu terlalu khawatir jika ingin memainkan game AAA lainnya dengan menggunakan pada Acer Nitro N50-110 ini.

Untuk skenario kedua saya menggunakan game multiplayer alat uji. Saya menggunakan dua game yang terbilang paling berat dan cukup populer belakangan ini, yaitu PlayerUnkown’s Battleground dan Apex Legends. Untuk melakukan pengujian, saya memainkan 3 kali sesi permainan, lalu merekam FPS yang didapatkan dengan menggunakan MSI Afterburner. Hasil FPS yang didapatkan (min, max, dan average) dijumlahkan, dan dibagi 3 untuk mendapatkan angka rata-rata FPS keseluruhan.

Seperti pada game AAA, dua game tersebut juga tidak memberi banyak masalah kepada Acer Nitro N50-110. Dengan menggunakan penghitungan tersebut, pengaturan rata kanan, dan resolusi 1080p, PUBG berhasil mendapatkan 61 min FPS, 95 max FPS, dengan 80 average FPS.

Rata-rata game PUBG sebenarnya masih bisa mempertahankan 60an min FPS. Tetapi sempat pada satu sesi saya mendapatkan 54 min FPS. Catatan tersebut saya dapatkan pada saat saya bermain di map Vikendi, dan berhasil mencapai peringkat 3 dengan torehan 8 kill (maaf pamer… Hehe). Mengingat pertarungan cukup intens ketika itu, mungkin banyaknya efek ledakan, serta bom asap yang dilemparkan pemain lain, jadi alasan kenapa min FPS yang saya dapatkan turun ke angka di bawah 60.

Lalu untuk Apex Legends, masih dengan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p, saya mendapatkan 42 min FPS, 145 max FPS, dengan 96 average FPS. Untuk min FPS, angka yang rendah tersebut saya dapatkan sepertinya karena terjadi sedikit anomali pada sesi ketiga permainan saya. Saat itu, Apex Legends mencatatkan 17 min FPS. Mungkin ini terjadi karena lag koneksi yang terjadi pada saat saya bermain di sesi ketiga. Tetapi secara keseluruhan, torehan min FPS Apex Legends memang selalu di bawah 60.

Saya sendiri sebenarnya kurang tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena konfigurasi Acer Nitro N50-110 yang memang kurang tangguh untuk memainkan Apex Legends, atau bisa jadi juga game tersebut yang masih kurang optimal. Namun secara keseluruhan average FPS yang didapatkan sudah lebih dari rata-rata, yang membuat pengalaman bermain jadi sangat menyenangkan.

Tampilan, Desain, dan Fitur Tambahan

Setelah kita kupas tuntas soal performa jeroan Acer Nitro N50-110, sekarang mari kita beralih ke kulit luar. Walau punya performa dan jeroan yang sangar, tampilan luar Acer Nitro N50-110 ini malah terbilang terlalu sederhana. Tidak ada kesan gamer yang berlebihan, selain warna hitam doff dengan motif brushed alumunium, ditambah aksen merah tua yang membuatnya terlihat sporty namun tetap elegan.

Anda juga tidak bisa mengharapkan lampu RGB kelap-kelip yang biasanya menjadi ciri khas bagi gaming PC. LED Backlit pada Acer Nitro N50-110 hanya ada satu, berwarna merah dan berbentuk huruf V di bagian depan casing, yang akan menyala (tapi kurang terang) pada saat PC dinyalakan.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Secara ukuran, casing Acer Nitro N50-110 terbilang cukup compact dibanding dari kebanyakan PC. Menurut saya design compact sebenarnya bisa berarti menguntungkan atau merugikan. Pada satu sisi PC ini akan mudah dibawa-bawa jika Anda harus pindah rumah dan memberi kesan minimalis serta sleek. Namun pada sisi lain design compact akan memberikan kekhawatiran tersendiri dari sisi air flow.

Terlebih dari apa yang saya lihat hanya ada dua lubang air flow dan dua fan tersedia untuk sebuah PC yang punya performa tinggi ini. Jadi, apakah design compact pada Acer Nitro N50-110 ini diterapkan dengan tanpa mengorbankan performa thermal-nya? Agak sulit sebenarnya untuk menjawab ini, sebagai gambaran Anda bisa melihat penjelasan saya saja seputar performa thermal pre-built desktop ini.

Pada saat melakukan benchmark dengan Superposition dan Cinebench, suhu maksimum CPU mencapai angka 79 derajat celsius, sementara suhu maksimum GPU mencapai angka 85 derajat celsius. Sementara itu pada saat saya menggunakan pre-built desktop ini untuk kebutuhan sehari-hari, suhu CPU-nya bisa mencapai suhu maksimum 68 derajat celsius. Untuk melakukan pekerjaan sehari-hari saya sebagai penulis, saya tidak banyak melibatkan GPU, sehingga suhunya aman di kisaran 40an. Sebagai catatan juga, suhu tersebut saya dapatkan saat melakukan pengujian di dalam kamar kos saya, tanpa menggunakan AC. Lebih detil, Anda bisa lihat sendiri galeri di bawah ini yang berisikan bentuk bagian dalam Acer Nitro N50-110, beserta catatan performa thermal yang saya dapatkan.

Seperti Anda lihat di atas, bagian dalam Nitro N50-110 ini tidak bisa dibilang bagus. Jika hanya melihat bagian casing luar, skor-nya mungkin 70/100, tapi saat melihat ke dalam saya jadi terpaksa memberi skor 40/100. Bagian dalam Acer Nitro N50-110 ini terlihat sempit. Hal ini berarti Anda akan memiliki banyak sekali keterbatasan jika ingin mengupgrade desktop ini satu hari ini, misalnya seperti menggunakan kartu grafis yang berbadan bongsor.

Konsisten seperti bagian luar, bagian dalam juga minim dekorasi. Manajemen kabel juga tidak sepenuhnya bagus, karena kabel masih menggeliat ke bagian luar, dan terlihat tidak ditata dengan rapih. Untungnya casing ini tidak transparan, yang membuat jeroan Acer Nitro N50-110 jadi bisa disembunyikan.

Untuk port colokan, bisa dibilang semua hampir semua colokan tersedia di dalam Acer Nitro N50-110. Pada bagian belakang ada 2x USB 3.1 Gen 1 Type A, 2x USB 3.1 Gen 2 Type A, 2x USB 2.0 Type A, 1x LAN Port, 1x HDMI, 1x DVI Port, 1x DisplayPort dan audio port. Sementara pada bagian depan ada optical drive, 1x USB 3.0 Type A, 1x USB 3.1 Gen 1 Type C, SD Card reader, dan audio port.

Pada bagian ini, satu yang cukup saya sayangkan mungkin adalah jumlah port USB bagian depan yang hanya satu buah saja. Selain itu, kehadiran optical drive terbilang cukup membingungkan, mengingat perangkat ini yang sudah semakin ditinggal seiring zaman. Namun optical drive yang diletakkan secara vertikal ini patut diapresiasi, membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi terlihat sleek dan modern (walau saya tetap bingung mau digunakan untuk apa… Haha).

Selain dari port tersebut, Acer Nitro ini juga dilengkapi dengan Wi-Fi card serta Bluetooth. Jadi jika Anda adalah penganut setup wireless, tidak perlu lagi membeli dongle tambahan entah Wi-Fi atau Bluetooth. Tambahan lainnya yang ada pada bagian atas PC berupa penampang Qi Wireless Charging. Walau sebenarnya bagus, mungkin ini akan kurang berguna bagi para pengguna entry (seperti saya). Tetapi mengingat MSRP Acer Nitro N50-110 ini adalah Rp22.999.000, maka kemungkinan besar pemilik pre-built desktop ini sudah menggunakan smartphone kelas atas yang punya kemampuan wireless charging, sehingga fitur ini jadi sangat handy untuk kebutuhan produktivitas sehari-hari.

Lalu bagaimana dengan paket penjualan? Paket penjualan Acer Nitro N50-110 sendiri terbilang terlalu sederhana, namun sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Acer menyertakan mouse dan keyboard standar untuk penggunaan sehari-hari di dalam paket penjualan — bukan gaming seperti Razer Basilisk V2 atau SteelSeries Apex 7. Acer Nitro N50-110 ini juga sudah menyertakan Windows 10 Home 64-bit. Jadi Anda cukup menyediakan sebuah monitor saja, dan Acer Nitro N50-110 ini sudah siap digunakan.

Kesimpulan

Sebenarnya saya agak sedikit bingung, pasar apa yang sebenarnya ingin dikejar oleh Acer Nitro N50-110 ini. Tampilannya terlalu sederhana untuk kalangan gamers, tapi juga lumayan flashy untuk kalangan pengguna profesional.

Terlebih, dari jeroan dan konfigurasi yang disajikan, Acer Nitro N50-110 seharusnya bisa menyasar gamers atau para profesional multimedia lewat paket penjualan yang lebih menarik. Padahal jika Acer Nitro N50-110 ini menyertakan bonus berupa gaming gear, para gamers mungkin jadi lebih tertarik. Atau bisa juga menyertakan bonus software multimedia, sehingga pre-built desktop ini jadi lebih menawan bagi para profesional bidang multimedia.

Dengan MSRP seharga Rp22.999.000, Acer Nitro N50-110 terbilang terlalu sederhana dan minimalis. PC ini cuma bisa menawarkan performa yang baik di kelas mid-low, belum sampai ke high-end. Dengan jumlah uang yang dikeluarkan dan apa yang didapatkan, saya cenderung masih berpikir lebih baik sedikit repot merakit PC sendiri karena bisa dapat spesifikasi serupa dengan harga yang lebih murah. Lalu sisa uangnya bisa dialihkan untuk membeli game AAA terbaru atau software multimedia untuk kebutuhan kerja.

Jadi melihat ini, bisa jadi pre-built PC ini ditujukan untuk profesional multimedia yang suka main game di waktu luang, namun tidak mau banyak repot. Mengingat spesifikasinya yang mumpuni, software multimedia kemungkinan besar bisa dilahap juga dengan Acer Nitro N50-110. Port colokan yang lengkap, Windows Home 64-bit, serta mouse dan keyboard dalam paket penjualan, juga membuat PC ini jadi sudah serba berkecukupan. Seperti yang saya bilang tadi, Anda cukup menyediakan sebuah monitor dan Acer Nitro N50-110 sudah siap digunakan.

[Review] BenQ Zowie XL2746s: Monitor Gaming 240 Hz DyAC+ untuk Para Pegiat Esports

Sepertinya kata esports sudah tidak lagi asing di telinga para konsumen di Indonesia. Hal ini dikarenakan esports sudah mulai diakui di mana-mana, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, banyak orang pun mulai membeli kebutuhan untuk olahraga elektronik ini. Salah satunya adalah kebutuhan monitor gaming.

Salah satu vendor yang memiliki monitor gaming yang khusus ditujukan untuk para pegiat esports adalah BenQ. BenQ memiliki lini Zowie yang mereka akuisisi pada tahun 2015 yang lalu. Hal inilah yang membuat BenQ berfokus untuk bersaing pada pasar gaming.

BenQ Zowie XL2746S

BenQ saat ini memiliki monitor yang memiliki nama Zowie XL2746S. Monitor ini merupakan versi dengan dimensi yang lebih besar dari Zowie XL2546 yang pernah saya uji. Namun BenQ meningkatkan teknologi akurasinya menjadi DyAC+ pada monitor yang satu ini.

BenQ Zowie XL2746S sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Dimensi layar 27″
Rasio 16:9
Resolusi 1920×1080
Tipe panel TN
Dimensi 632.5 x 558.8 x 225 mm
Berat total 8.7 KG
Port DVI- DL, HDMI x2, DP1.2, headphone jack, microphone jack‎‎‎, USB 3
Response Time 0.5 ms
Kontras 1000:1 (12M:1 Dynamic Contrast Ratio)

Unboxing

Sekarang mari kita lihat perlengkapan apa saja yang ditawarkan oleh BenQ Zowie XL2746S

BenQ Zowie XL2746S - Unboxing

Desain

Jika pada XL2546 BenQ menggunakan layar dengan jenis TN (Twisted Nematic) yang memiliki response time 1 ms, maka berbeda dengan XL2746s. Monitor ini menawarkan respons time yang lebih cepat, yaitu 0.5 ms. Selain itu, Zowie XL2746S juga menawarkan refresh rate yang tinggi pula dengan 240 Hz. 240 Hz sendiri hanya dapat dicapai dengan menggunakan kabel Display Port.

BenQ Zowie XL2746S - Ports

Oleh karena dibuat untuk para pegiat esports, monitor ini pun dapat digunakan selain untuk bermain. Zowie XL2746s memiliki kemampuan untuk dipakai secara horizontal maupun vertikal. Biasanya, online streaming juga sering kali membutuhkan sebuah monitor dengan orientasi portrait untuk membaca stream chat. Dan para editor video juga kerap memutar layar karena banyaknya layer sequence sebuah video.

Pada bagian bawahnya, Zowie XL2746s memiliki dua port HDMI, sebuah Display Port, DVI, audio jack 3.5mm, microphone, dan dua USB 3.0. Monitor ini juga dilengkapi dengan S-Switch yang dibuat untuk mempermudah navigasi seting monitor. Pada S-Switch juga tersedia tiga buah profile agar pengguna lebih mudah berpindah-pindah mode.

BenQ Zowie XL2746S - USB Ports

BenQ juga menyediakan Shield pada monitor yang satu ini. Fungsi dari shield ini selain untuk lebih fokus, juga cukup menghalangi orang lain untuk “menyontek” gerak-gerik Anda.

DyAC vs DyAC+

BenQ saat ini mengedepankan teknologi yang mereka miliki dengan nama Dynamic Accuracy. Teknologi ini sendiri mengurangi bayangan yang terjadi pada saat ada pergerakan di layar. Dengan menggunakan teknologi ini, pergerakan benda yang ada di layar akan menjadi lebih tajam.

Ternyata, BenQ sendiri sepertinya belum puas dengan hasil dari DyAC. Saat ini, mereka telah mengimplementasikan DyAC+ pada XL2746S. DyAC+ ini sendiri memiliki kecepatan yang lebih baik dari DyAC. Hal ini dapat dicapai berkat panel baru yang BenQ pasang pada XL2746S.

BenQ Zowie XL2746S - Menu Detail

DyAC dan DyAC+ sendiri memang sulit untuk dibicarakan. Fitur yang satu ini memang harus dirasakan sendiri oleh para penggunanya. Yang paling terasa adalah menggunakan fasilitas ini langsung pada game-game FPS, seperti CS:GO.

Pada saat fitur ini dimatikan, pengguna yang memakai kartu grafis AMD Radeon dapat menyalakan pilihan AMD Freesync. AMD Freesync sendiri akan membebaskan game-game yang mendukung dari tearing atau gambar terputus-putus. Sayangnya, saya belum mencoba apakah XL2746S bisa menggunakan G-Sync atau tidak.

Black eQualizer

Fitur yang satu ini juga hadir pada monitor BenQ Zowie XL2746S. Bagi para pemain game-game first person shooter tentu saja merasakan saat masuk ke dalam terowongan atau tempat-tempat gelap. Tidak jarang kita ditembak oleh para camper karena tidak terlihat. Tentu saja, hal tersebut merugikan kita saat bermain.

Fasilitas Black eQualizer pada BenQ Zowie XL2746S akan membuat bagian gelap menjadi lebih terang. Hal ini tidak berarti bahwa bagian yang terang akan menjadi lebih putih lagi. Bisa dibilang, fasilitas ini mirip dengan menaikkan nilai shadow pada saat melakukan editing gambar.

Pengalaman Bermain: Auto Tambah Jago?

Hal apa lagi yang paling menyenangkan pada saat masa PSBB seperti ini? Tentu saja bermain game. Kebetulan, saya merupakan salah satu penggemar game CS:GO yang sudah lama tidak bermain. Tentu saja, saat menguji monitor ini, saya harus melakukan pemanasan terlebih dahulu agar tidak terlihat terlalu “cupu”.

BenQ Zowie XL2746S - Auf Extra

Saya pun langsung menyalakan Black eQualizer dan juga melakukan setting DyAC+ menjadi premium. Namun yang terjadi ternyata saya tidak perlu melakukan pemanasan. Dengan DyAC+, saya dengan mudahnya melihat pergerakan musuh. Entah memang ini fungsi dari DyAC+ atau memang sugesti saya, sepertinya game CS:GO dapat dimainkan dengan lebih mudah.

Saya pun mencoba mematikan DyAC+ dan meneruskan permainan. Ternyata, menembak musuh dalam game yang satu ini memang tidak senyaman pada saat DyAC+ menyala. Bagi yang pernah melihat pergerakan dari DyAC+, tentu saja akan merasakan perbedaan yang cukup jauh. Pada saat DyAC+ dinyalakan, titik tembakan terasa lebih mudah dibidik.

Pada CS:GO, Black eQualizer sangat membantu pada saat ada di tempat gelap. Saya bermain pada map Inferno dan sedang melewati bangunan appartment. Saya pun tidak perlu bersusah payah melihat musuh yang sedang camping dan bisa langsung membalas serangan. Fungsi ini juga sangat berguna pada saat bermain map Dust II yang banyak masuk ke dalam ruangan.

BenQ Zowie XL2746S - S-Switch

Saya pun juga mencoba menggunakan Shield yang dipasangkan pada bagian kanan dan kiri. Saya juga terbiasa bermain CS:GO dengan menggunakan rasio layar 4:3. Hal ini tentu saja digunakan agar dapat bermain lebih fokus dan perhatiannya tidak terlalu teralihkan seperti menggunakan 16:9. Ternyata, penggunaan Shield lagi-lagi harus dirasakan sendiri karena memang cukup membantu fokus saat bermain.

Sayangnya, semua itu harus dicoba sendiri dan memang sulit diceritakan dengan kata-kata. Hal tersebut lah yang saya rasakan pada saat menguji monitor yang satu ini.

Verdict

Begitu banyak monitor gaming yang dijual di pasar Indonesia. Tentunya, hal tersebut membuat daftar pilihan dalam membeli sebuah monitor gaming menjadi lebih panjang. Akan tetapi, satu hal yang harus dipikirkan dalam membeli perangkat yang satu ini, yaitu feature. Dan feature yang tidak dimiliki oleh kebanyakan monitor adalah DyAC+ dan Black eQualizer dari BenQ pada Zowie XL2746S.

Feature yang dibutuhkan oleh para pegiat esports juga sudah dipenuhi pada BenQ Zowie XL2746S ini. Hal tersebut seperti DyAC+, Black eQualizer, S-Switch, Shield, serta kemampuan untuk menggunakan layar secara vertikal. Hal ini tentu saja membuat para pegiat esports dapat bermain dengan lancar serta nyaman.

Bicara mengenai kelengkapan port, BenQ Zowie XL2746S pun bisa dikatakan sebagai sebuah monitor yang lengkap. Menu yang dimilikinya juga sangat mudah untuk dioperasikan. Terlebih lagi dengan menggunakan S-Switch, membuat pengoperasiannya menjadi lebih mudah lagi.

BenQ menjual monitor ini dengan harga Rp. 12.000.000. Harga ini memang terlihat mahal untuk beberapa kalangan. Namun, dengan segala feature yang memudahkan penggunanya dalam bermain, apalagi para profesional, membuat harga tersebut cukup pantas.

Sparks

  • DyAC+ untuk akurasi lebih baik
  • Black eQualizer untuk meningkatkan bagian gelap
  • Konektivitas yang lengkap
  • Refresh rate 240 Hz
  • Mendukung AMD FreeSync
  • Posisi dapat diatur apakah menginginkan vertikal atau horizontal
  • Respons Time 0.5 ms

Slacks

  • Harga jualnya cukup tinggi, yaitu Rp. 12.000.000
  • Colokan listrik bukan standar Indonesia

Disclosure: Artikel ini didukung oleh BenQ. 

Review Razer Basilisk V2: Tampilan Garang dengan Fitur-Fitur Matang

Jika sebelumnya saya memberikan penilaian saya untuk keyboard SteelSeries Apex 7, kali ini saya akan menuliskan review Razer Basilisk V2 yang baru saya beli bulan Mei 2020 lalu. Makanya, review ini baru keluar sekarang meski mouse ini sudah dirilis awal tahun 2020, bersamaan dengan DeathAdder V2.

Seperti biasanya, saya harus mengatakan bahwa review gaming peripheral sepenuhnya subjektif karena akan sangat bergantung pada pengalaman, kemampuan bermain, dan ukuran fisik sang reviewer. Karena itulah, saya juga merasa harus menyebutkan pengalaman saya sebagai justifikasi atas penilaian saya kali ini.

Saya sendiri memang sudah menggunakan belasan mouse dari Razer dan puluhan gaming peripheral lainnya sejak tahun 2008. Di sisi lain, saya harus mengakui bahwa kemampuan gaming saya juga memang mungkin menyedihkan kawkawkawkawk… Setidaknya jika dibandingkan dengan pro player game FPS ataupun MOBA PC yang menuntut kelincahan dan akurasi super tinggi dalam menggunakan mouse.

Saya sendiri juga sebenarnya lebih suka game-game singleplayer ataupun cooperative seperti Borderlands 3 ataupun The Outer Worlds yang mungkin tidak menuntut kelincahan dan akurasi aiming layaknya CS: GO. Namun setidaknya, karena memang lebih suka memainkan game-game singleplayer, sudah cukup banyak game-game yang saya selesaikan Single Player Campaign-nya — sekitar 2000 judul game PC dari sejak saya mengenal PC gaming di 2003.

Saya kira cukup latar belakang saya yang mungkin bisa Anda pertimbangkan juga saat membaca review Razer Basilisk V2 kali ini.

Bodi dan Fisik Razer Basilisk V2

Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid
Perbandingan ukuran dengan jam tangan yang saya gunakan. Dokumentasi: Hybrid

Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan saat ingin memilih gaming mouse untuk dibeli adalah ukurannya, apakah nyaman di tangan dan sesuai dengan gaya menggenggam mouse Anda — apakah itu palm, claw, ataupun fingertip grip. Pasalnya, jika ukuran mouse terlalu kecil untuk tangan, Anda tak mungkin juga menggunakan gaya palm jika gaya itu yang paling sering digunakan.

Saya sendiri lebih terbiasa menggunakan palm grip dengan ukuran tangan sedang (tidak besar, tidak kecil juga) untuk ukuran orang Indonesia dan saya sangat nyaman menggunakan Basilisk V2 ini. Seperti yang saya tuliskan di review sebelumnya, saya bisa bermain game 8 jam tanpa henti — kecuali mungkin ke toilet. Saya pun merasakan kenyamanan sempurna dengan mouse yang satu ini.

Basilisk V2 juga menawarkan 11 tombol yang bisa diganti fungsinya — programmable buttons. Saya memang biasanya tidak menggunakan tombol di bawah scroll, yang biasanya digunakan untuk mengganti sensitivitas — termasuk 2 tombol di bawah scroll di mouse ini. Meski begitu, Razer Naga adalah mouse favorit saya sampai hari ini karena menawarkan 12 tombol di sisi kiri badan — untuk ibu jari. Jadi, saya memang sudah terbiasa untuk memanfaatkan side buttons di gaming mouse.

side buttons di Basilisk V2 juga sangat nyaman digunakan, meski sayangnya tidak sebanyak Razer Naga. Namun, 1 tombol samping di paling depan kurang pas dengan lokasi ibu jari saya sehingga tidak secepat mengakses 2 tombol samping lainnya saat permainan sedang berjalan dengan tempo cepat. Jadi, biasanya saya memilih untuk menggunakan tombol tersebut untuk fungsi yang tidak terlalu butuh kecepatan — seperti membuka map (biasanya tombol M di keyboard). Selain itu, 2 tombol yang ada di samping sangat cepat diakses dan nyaman dipencet.

Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid
Tiga tombol di bagian kiri mouse. Dokumentasi: Hybrid

Saya juga suka melihat tampilan Basilisk V2 yang terlihat garang — tidak seperti DeathAdder V2 yang lebih subtle. Oh iya, finishing dan bodi Basilisk V2 juga terasa solid layaknya mouse premium — sepadan dengan harga yang harus Anda bayarkan.

Selain satu tombol samping yang sedikit terlalu jauh tadi, saya sungguh tidak bisa mencari kekurangan lain dari aspek bodi dan fisik yang ditawarkan oleh mouse yang satu ini.

Kecepatan, Akurasi, dan Klik Switch Razer Basilisk V2

Tentu saja, akurasi aiming dan kecepatan gliding juga akan jadi salah satu pertimbangan utama buat Anda para gamer dalam menentukan mouse yang ingin digunakan. Basilisk V2 juga sempurna dalam hal ini. Oh iya, mengingat akurasi dan kecepatan sensor juga bergantung dengan mousepad yang Anda gunakan, saya menggunakan Razer Goliathus Control dengan mouse ini.

Sensor Focus+. Sumber: Razer
Sensor Focus+. Sumber: Razer

Untuk akurasi dan kecepatan yang tak bercela, hal ini mungkin memang sudah sesuai ekspektasi. Spesifikasi yang diungkap Razer untuk Basilisk V2 ini sensornya bisa mencapai 20ribu DPI dengan teknologi Focus+ sensor optical dan akurasi 99.6%. Selain itu, ia juga menyuguhkan akselerasi sampai dengan 650 inci per detik atau 50G. Meski memang sebenarnya tidak ada gamer yang menggunakan DPI ataupun akselerasi tadi sampai mentok, saya kira teknologi sensor Focus+ dengan akurasi 99.6% tadi yang membuat mouse ini sangat nyaman untuk aiming dan gliding.

Dari pengalaman saya mencobanya di Borderlands 3 dan The Outer Worlds, mouse ini sungguh sempurna karena tidak terasa licin namun sangat responsif — beberapa mouse yang sangat responsif kadang terasa sedikit terlalu licin untuk saya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal switch klik yang digunakan. Faktanya, mouse Razer itu dulu memang terkenal dengan masalah double click. Saya bahkan membeli Razer Naga generasi pertama sampai 3 kali dan ketiganya berakhir dengan masalah double click. Namun demikian, saya cukup salut dengan keputusan Razer yang mengakui masalah tersebut dengan mengganti switch yang digunakan. Dari pengalaman saya, switch klik yang biasanya berakhir double click adalah switch dari Omron yang kelas murahan — yang bahkan masih digunakan di mouse gaming beberapa merek lainnya.

Di Basilisk V2 ini, Razer menggunakan optical switch yang diklaim mampu bertahan sampai dengan 70 juta kali pencetan. Sebelum saya memutuskan membeli mouse ini, saya juga sempat googling dengan kata kunci “Razer Basilisk V2 double click” ataupun “razer optical mouse switch double click“. Hasilnya, sentimen netizen tentang mouse ataupun switch ini sangat positif. Setidaknya saya belum menemukan postingan soal double click untuk Basilisk V2 saat menulis artikel ini. Sepertinya, Razer memang berhasil menemukan desain switch yang mampu terhindar dari masalah paling menyebalkan sepanjang sejarah gaming mouse.

Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer
Optical Switch dari Razer. Sumber: Razer

Meski begitu, saya juga tidak bisa memastikan 100% karena saya memang baru menggunakan mouse ini sekitar sebulan lebih. Selain itu, bisa jadi karena memang mouse ini baru dirilis di awal tahun, belum ada netizen yang melaporkannya. Semoga saja saya ingat untuk meng-update review ini jika terjadi masalah double click dengan mouse saya. Wkwakwakwa

Oh iya, terakhir sebelum saya menutup bagian ini, selain Basilisk V2, Razer juga menggunakan optical switch dan sensor Focus+ di DeathAdder V2, Viper Ultimate, dan Basilisk Ultimate. Nah, yang jadi pertimbangan adalah harga Razer DeathAdder V2 yang dibanderol dengan harga (kurang lebih) Rp200 ribu lebih murah.

Fitur Tambahan Razer Basilisk V2

Jika dibandingkan dengan DeathAdder V2 yang sedikit lebih murah tadi, fitur tambahan yang ada di Basilisk V2 adalah kecepatan scroll yang bisa diatur — dengan menggeser roda yang ada di bagian bawah mouse ini. Di satu sisi, saya sendiri menyukai fitur ini — karena bisa berguna buat fungsi makro yang butuh kecepatan namun tetap terukur. Namun demikian, saya juga tahu fitur ini mungkin tidak akan berguna buat gamer lainnya.

Di bagian ini saya juga ingin membahas soal Razer Synapse (versi yang saya gunakan saat menulis ini adalah 3.5.531). Saya tahu banyak orang mungkin tidak terlalu memusingkan soal software gaming peripheral namun saya memang suka bermain-main dengan fungsi makro.

Saya bisa katakan bahwa Razer Synapse menyuguhkan fungsi makro terbaik dari semua software gaming peripheral yang pernah saya gunakan. Semua fungsi makro yang bisa ditemukan di software brand lain (seperti SteelSeries Engine) bisa dilakukan di sini. Namun Razer Synapse menawarkan kelebihan lain, yaitu merekam pergerakan mouse. Dengan begitu, saya bisa menggunakan fungsi makro untuk menekan recoil di game-game FPS.

Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse
Menetralisir recoil dengan fungsi makro Razer Synapse. Sumber: screenshot pribadi.

Fungsi makro biasanya lebih sering digunakan di game-game RPG ataupun RTS yang butuh banyak tombol namun Razer Synapse memungkinkan fungsi makro jadi begitu bermanfaat buat game FPS.

Kesimpulan

Saat saya mencoba mouse ini, sebenarnya saya memang sengaja mencari-cari kekurangannya. Namun sampai artikel ini ditulis, saya tidak mampu menemukannya. Satu kekurangan minor mungkin adalah soal salah satu tombol di kiri mouse yang terlalu jauh tadi. Namun kekurangan tersebut sebenarnya sangat tidak signifikan karena saya juga masih menggunakannya — seperti memasukkan tombol map saat di game ataupun menyetel fungsi CTRL+I saat mengedit ataupun mengetik artikel.

Jika berbicara soal kompetitor terberat Basilisk V2, produknya juga mungkin datang dari Razer; DeathAdder V2 yang sama-sama menggunakan sensor Focus+ dan optical switch untuk kliknya. Namun demikian, jika Anda tanya saya, saya akan memilih Basilisk V2 karena selisih harganya yang tidak berarti di kisaran ini. Plus Basilisk V2 punya tampilan yang lebih garang dan scroll yang bisa disesuaikan kecepatannya.

Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer
Sumber: Razer

Review SteelSeries Apex 7: Sang Adik yang Cantik Meski Tak Seseksi Kakaknya

Artikel ini saya update di 25 Januari 2021 saat saya menemukan masalah dengan keyboard ini.

Saya masih ingat betul beberapa tahun silam ketika sejumlah produsen periferal gaming berlomba-lomba merilis keyboard gaming mechanical-nya masing-masing. Razer merilis Blackwidow di tahun 2010. SteelSeries sendiri juga sudah meluncurkan keyboard gaming mechanical generasi pertama mereka lewat 7G (2008) dan 6Gv2 (2011) — koreksi saya tahun rilisnya jika salah.

Karena kebetulan kala itu saya juga sudah bekerja di sebuah majalah PC gaming, saya juga sempat mereview hampir semua keyboard gaming mechanical generasi awal — setidaknya yang masuk ke Indonesia. Saat itu, keyboard gaming mechanical sedikit membosankan karena semuanya menggunakan switch dari Cherry MX — seperti Blackwidow yang menggunakan Cherry MX Blue ataupun 7G yang menggunakan Cherry MX Black.

Namun demikian, penggunaan switch mekanikal tadi memang sungguh revolusioner buat para gamer PC. Saya masih ingat betul betapa kagum saya dengan kecepatan respon yang ditawarkan oleh SteelSeries 7G. Berhubung dari 2008 saya juga sudah jadi penulis/jurnalis, mengetik dengan menggunakan Cherry MX Blue juga menjadi sebuah nikmat yang tak dapat didustai.

Beberapa tahun berselang, produsen periferal gaming pun merilis beberapa keyboard mereka dengan mechanical switch-nya masing-masing. Salah satunya adalah SteelSeries Apex 7 ini, yang baru saya beli beberapa hari yang lalu. Maksudnya bukan hanya pamer (wkakwkakaw) tapi review ini bukan barang kiriman/pinjaman.

Sebelum kita masuk ke beberapa aspek di review SteelSeries Apex 7 kali ini, saya harus memberikan penafian bahwa semua review gaming periferal tentu saja sangat subjektif — tergantung dari reviewer-nya. Pasalnya, komponen/hardware PC punya software atau benchmark yang bisa dijadikan acuan objektif. Namun tidak demikian dengan periferal PC. Belum lagi ukuran tangan, kecepatan mengetik, kecakapan bermain game, perangkat yang biasa digunakan, dan lain sebagainya tentunya akan berbeda-beda untuk setiap orang.

Oleh karena itu, semoga pengalaman saya mereview puluhan periferal gaming dan menggunakan belasan produk SteelSeries (baik itu beli sendiri ataupun kiriman barang review) sejak 2008 bisa menjadi justifikasi untuk memberikan penilaian yang cukup fair untuk SteelSeries Apex 7 ini.

Bodi dan Fisik

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Untuk bodi Apex 7 ini, ia terlihat cukup seksi dan menawan. Ia cukup ramping meski saya membeli yang versi full size (bukan TKL). Tidak ada frame yang terlalu lebar dan juga tak ada tombol khusus makro (yang biasanya di sebelah kiri tombol CAPS LOCK dan Tab) membuatnya ideal bagi Anda yang mungkin tak punya meja berukuran besar.

SteelSeries juga menggunakan metal frame yang disebut aircraft grade aluminum alloy untuk fondasi dari keyboard yang satu ini — sama seperti yang digunakan di versi yang lebih mahal, Apex Pro. Saat saya pegang sendiri, bahannya memang terasa sangat solid dan durable. Kecuali Anda memang atlet pencak silat yang suka mematahkan batu bata, saya rasa frame dari Apex 7 ini tidak akan mudah dipatahkan. Untuk harganya yang mungkin cukup premium untuk sebagian orang (Rp2,6 jutaan), build quality Apex 7 ini saya rasa cukup sepadan.

Ia juga dilengkapi dengan wrist rest yang cukup nyaman. Sebelum menggunakan keyboard ini persis, saya menggunakan Razer Ornata yang juga memiliki bantalan pergelangan tangan. Namun bantalan Ornata tadi terbuat dari busa yang dilapisi karet kulit, yang kempes busanya dan terkelupas kulitnya sebagian saat saya gunakan lebih dari satu tahun. Wrist rest dari Apex 7 ini harusnya akan lebih awet karena memang tidak menggunakan busa dan kulit. Meski begitu, ia tetap menggunakan lapisan yang halus dan sangat nyaman digunakan untuk berlama-lama. Saya bisa mengetik dan bermain game selama 8 jam terus menerus dengan Apex 7 ini tanpa merasa pegal ataupun sakit dengan dudukannya.

Kenyamanan dan Kecepatan Tombol

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Seperti yang saya tuliskan di bagian awal artikel ini, meski pilihan switch-nya adalah Red dan Blue (saya tidak menemukan opsi Brown di beberapa toko saat ingin membeli), Apex 7 tidak menggunakan Cherry MX. Keyboard ini menggunakan switch-nya sendiri (SteelSeries QX2 Mechanical RGB Switch). Hal ini mungkin bisa jadi membingungkan buat sebagian orang. Jujur saja, saya lebih suka penamaan switch mekanikal dari Razer (Green, Orange, Yellow) karena jadi tidak membingungkan dengan sistem penamaan yang sudah digunakan Cherry MX.

Saya pun membeli yang Blue Switch, yang tactile (yang berbunyi klik saat dipencet). Saat digunakan untuk bermain game, tombol-tombolnya sangat nyaman digunakan dan responnya pun cepat. Kenyamanan dan kecepatan tombolnya sungguh sempurna untuk bermain game — setidaknya saya tidak menemukan masalah apapun. Responnya jelas lebih cepat dari keyboard yang masih menggunakan membran dan sesuai ekspektasi saya atas produk SteelSeries.

Namun demikian, jika digunakan untuk mengetik, jujur saya lebih suka dengan Blue Switch dari Cherry MX karena feel-nya terasa lebih mantap. Tentunya hal ini bisa jadi pertimbangan sendiri untuk Anda. Saya tahu Apex 7 memang dibuat untuk bermain game namun saya kira kebanyakan orang tidak akan memiliki 2 keyboard, satu khusus untuk bermain dan satu lagi khusus untuk mengetik.

Mengingat ini juga bukan switch dari Cherry MX, saya pun belum bisa berbicara banyak soal durabilitasnya. Untuk keyboard yang menggunakan Blue Switch dari Cherry MX yang pernah saya miliki, saya bisa menggunakan keyboard tersebut lebih dari 3 tahun tanpa masalah — sampai saya bosan sendiri dan ingin ganti. Mungkin, jika saya tidak lupa, saya akan meng-update artikel ini satu tahun setelah saya menggunakannya atau setelah saya menemukan masalah dengan tombol-tombolnya.


View this post on Instagram

A post shared by Yabes Elia (@elia.yabes)

Update 25 Januari 2021: Switch untuk tombol Enter yang ada di keyboard ini sudah tidak berfungsi normal meski belum satu tahun saya gunakan — tanggal pembelian saya 27 Mei 2020. Memang keyboard ini diklaim menawarkan garansi 1 tahun dari tanggal pembelian, saya tidak tahu apakah masalah yang saya alami ini mencakup aturan main garansi dari SteelSeries.

Misalnya pun masih masuk garansi, jujur saja, saya sebenarnya malas mengurus hal-hal semacam ini karena membuang waktu saya. Saya lebih berharap dengan membeli keyboard premium, saya tak perlu dipusingkan dengan masalah peripheral yang rusak.

SteelSeries memberikan klaim bahwa switch Apex 7 ini bisa bertahan sampai dengan 50 juta kali pencetan. Dibandingkan dengan produsen lainnya, switch dari Razer diklaim mampu bertahan sampai dengan 80 juta kali. Sedangkan Logitech malah tidak menyebutkan berapa kali switch-nya bisa bertahan.

Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid
Ukuran SteelSeries Apex 7 relatif dengan objek-objek di sekitar. Dokumentasi: Hybrid

Jika boleh jujur, saya sebenarnya sedikit menyesal membeli Apex 7 ini. Bukan karena keyboard ini mengecewakan juga tapi karena Apex Pro dibanderol dengan harga yang tidak jauh berbeda. Saat artikel ini ditulis, Apex Pro dibanderol di kisaran harga Rp3 juta. Jadi, selisih harganya hanyalah Rp400 ribuan antara Apex 7 dan Apex Pro. Selisih harga ini mungkin saja tidak berarti buat orang-orang yang mampu membeli keyboard seharga Rp2,5 juta ke atas.

Memang salah saya juga sih yang kelewatan cek harga SteelSeries Apex Pro. Waktu saya ingin membeli Apex 7 ini, saya justru lebih membandingkan harganya dengan Razer Huntsman Elite (Rp4,5 juta) dan Corsair K95 RGB Platinum XT (Rp3,5 juta). Kedua produk tadi adalah flagship dari Razer dan Corsair. Makanya, awalnya saya kira Apex Pro yang merupakan flagship dari SteelSeries akan berada di kisaran harga yang setara dengan dua produk tadi. Saya baru menyadari setelah membelinya, ternyata saingan terberat produk ini justru datang dari saudaranya sendiri.

Dengan harga Rp400 ribu lebih mahal, Anda bisa mendapatkan Apex Pro yang super canggih karena kecepatan dan kedalaman switch tombolnya bisa disesuaikan dengan selera Anda. OmniPoint Switch yang digunakan di SteelSeries Apex Pro juga diklaim mampu bertahan sampai dengan 100 juta pencetan. Jadi, ada yang mau bayarin Apex 7 saya? Sebelum saya ganti ke Apex Pro? Wkwkwkwkkw… 

Fitur Tambahan SteelSeries Apex 7

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Ini aspek terakhir yang akan saya bahas di review kali ini. Apex 7 memiliki beberapa fitur tambahan yang cukup menarik sebenarnya. Ada USB passthrough port, ada cable routing di bagian bawah keyboard, dan ada juga beberapa tombol untuk fungsi multimedia di bagian kanan atas.

Dari 3 fitur tadi, yang berguna buat saya hanyalah tombol volume multimedianya. Saya sudah menggunakan casing dengan 4 port USB di depan dan saya sudah punya banyak cable ties dan velcro untuk merapihkan kabel. Namun demikian, mungkin saja, fitur-fitur tambahan tadi bisa berguna buat Anda.

Selain itu, Apex 7 juga menawarkan layar OLED meski sayangnya tidak secanggih yang saya bayangkan. Jika Anda bermain CS:GO ataupun Dota 2, layar OLED nya bisa digunakan untuk menampilkan beberapa informasi menarik seperti KDA. Anda bisa membaca sendiri hal-hal apa saja yang bisa dilakukan dengan layar OLED tadi di blog resmi dari SteelSeries.

Buat saya pribadi, sayangnya, saya adalah tipe gamer yang lebih suka menyelesaikan singleplayer campaign — saat ini saya sedang bermain XCOM: Chimera Squad, setelah baru saja menyelesaikan Assassin’s Creed Odyssey sampai 100%. Atau, saya juga lebih berharap layar OLED nya bisa menampilkan informasi suhu CPU, GPU atau monitoring jeroan lainnya. Jadinya, saya hanya bisa memanfaatkan layar OLED tadi untuk GIF saja.

Screenshot dari SteelSeries Engine 3.
Screenshot dari SteelSeries Engine 3.

Selain itu, di sini saya juga ingin membahas soal SteelSeries Engine. Buat sebagian besar orang, software dari gaming peripheral mungkin memang tidak diperhatikan. Namun saya suka saja iseng bermain-main dengan fungsi makro. Sayangnya, jika saya membandingkan fungsi makro antara SteelSeries Engine (versi 3.17.8) dan Razer Synapse (versi 3.5.531) — sama-sama update terbaru saat artikel ini ditulis — Razer lebih unggul.

Karena Razer Synapse bisa merekam pergerakan mouse — bukan hanya tombol-tombol yang dipencet. Karena itu, dengan Razer Synapse, saya bisa menetralisir recoil di game FPS. Di luar itu, SteelSeries Engine sebenarnya juga tidak jelek dan sangat lengkap fungsi makronya. Anda bisa merekam tombol mouse di keyboard, mengganti delay antar tombol, dan mengedit sendiri makro yang sudah di-record. Saya berani bertaruh untuk berkata bahwa SteelSeries Engine adalah salah satu yang terbaik soal fungsi makro — meski sayangnya tadi ada satu fitur dari Razer Synapse yang tak ada di sini.

Terakhir, untuk urusan RGB, Apex 7 dan SteelSeries Engine juga cukup komprehensif. Saya saja sungguh kewalahan dengan konfigurasi lampu-lampu yang ada untuk Apex 7 — mengingat juga saya sebenarnya lebih tertarik dengan memainkan fitur makro ketimbang lampu-lampu RGB.

Kesimpulan

SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid
SteelSeries Apex 7. Dokumentasi: Hybrid

Jadi, apakah Apex 7 ini layak dibeli? Jika saya tidak mengalami masalah dengan keyboard ini, Apex 7 sangat menyenangkan untuk digunakan. Sayangnya, saya salah satu orang yang tidak beruntung. Saingan ketatnya justru datang dari saudaranya sendiri, Apex Pro. Jika selisih harga Rp400 ribu tidak jadi masalah untuk Anda, Apex Pro lebih menggiurkan untuk dibawa pulang. Sedangkan untuk saingannya yang punya banderol harga sedikit lebih murah, mungkin datang dari Corsair K70 RGB MK.2 yang menggunakan switch Cherry MX.

Namun demikian, sentimen di dunia maya untuk Apex 7 lebih positif ketimbang Corsair K70 RGB MK.2. Jika tidak percaya silakan googling SteelSeries Apex 7 problems” dan “Corsair K70 RGB MK.2 problems“. Meski begitu, sentimen ini mungkin juga tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur soal durabilitas.

Satu hal yang pasti, saya sangat puas menggunakan Apex 7 ini — meski memang punya beberapa kekurangan dan sedikit menyesal melewatkan Apex Pro…

Spesifikasi SteelSeries Apex 7

Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries
Sumber: SteelSeries

[Review] Mouse Gaming Corsair M55 RGB Pro, Ketika Akurasi dan Kesederhaan Jadi Andalan

Gaming jadi semakin nyaman berkat tersedia begitu banyaknya aksesori pendukung: gamepad, keyboard, mouse, bahkan kursi khusus. Sayangnya, opsi periferal di PC jadi jauh lebih sedikit jika Anda terlahir kidal. Itu artinya, mau tak mau pengguna kidal harus beradaptasi dengan perangkat yang didesain untuk pengguna ‘normal’ atau menerima pilihan yang ada dengan lapang dada.

Pengguna setia Corsair mungkin juga memahami, faktor kenyamanan lah yang membuat perusahaan hardware PC asal Amerika itu menyediakan mouse berdesain ergonomis. Rancangan ini diterapkan baik untuk model entry-level, premium, hingga varian-varian terbaru. Namun ada kabar gembira jika Anda membutuhkan mouse berdesain ‘netral’. Corsair Components sudah menyiapkan satu lagi opsi esensial bernama M55 RGB Pro.

Corsair mendeskripsikan M55 RGB Pro sebagai mouse gamingmultigripambidextrous. Singkatnya, produk ini didesain agar fleksibel untuk digunakan oleh berbagai jenis gamer dan siap mendukung tipe genggaman berbeda: palm, claw ataupun fingertip. Penawaran ini terdengar menarik, tapi betulkah Corsair sudah menemukan satu desain ideal yang mampu menjawab seluruh kebutuhan user? Simak pembahasan lengkapnya setelah saya menguji M55 RGB Pro selama hampir dua minggu.

 

Presentasi produk dan desain

M55 RGB Pro disajikan secara sederhana. Mouse tersambung ke PC via kabel USB sepanjang 1,8-meter, dan bisa segera dideteksi oleh Windows 10 begitu Anda mencolokkannya. Meski demikian, M55 RGB Pro baru beroperasi maksimal jika Anda menginstal iCUE. Via software ini, Anda dapat mengakses seluruh fungsi mouse, termasuk mengutak-utik LED RGB-nya.

M55 4

Bahkan untuk ukuran tangan saya yang kecil, M55 RGB Pro tidak terlalu besar. Mouse memiliki dimensi 124,4×57,25×40 milimeter. Tubuhnya terbuat dari plastik dengan tekstur doff yang membantu meningkatkan daya cengkeram di jari. Selanjutnya, Corsair membubuhkan lapisan karet berpola segitiga pada sisi kiri dan kanan, demi memaksimal kendali dan sangat berguna ketika situasi menuntut kita membuat manuver-manuver presisi.

 

M55 12

Untuk memberikan gambaran mengenai fleksibilitas desain M55 RGB Pro, perlu Anda tahu bahwa saya mempunyai jari yang kecil dan terbiasa menggenggam mouse dengan postur ‘mencakar’. Kebiasaan ini membuat daya jangkau jari jadi lebih pendek lagi. Tapi berita baiknya, saya tidak pernah kesulitan menekan segala tombol yang ada di sana, termasuk dua thumb button di samping.

M55 9

Desainer Corsair turut mencantumkan lapisan karet berpola heksagonal pada scroll wheel, lalu menempatkan switch DPI di tengah, di area yang mudah dijangkau tetapi sangat kecil peluang untuk tak sengaja menekannya. Dua pasang thumb button di kiri dan kanan pada dasarnya dibaca sebagai tombol berbeda, dan Anda dipersilakan menentukan fungsinya secara manual di dalam permainan.

Mouse gaming Corsair M55 RGB Pro.

 

Pendekatan seperti ini beberapa beberapa kali sempat saya temukan di produk kompetitor (meskipun tidak sering), contohnya mouse MSI Clutch GM40 yang sama-sama menawarkan desain ambidextrous. Namun dilihat dari sisi fitur, Clutch GM40 sedikit lebih canggih karena ia mempunyai switch untuk menukar fungsi thumb button kiri ke kanan atau sebaliknya sehingga kita tidak perlu mengustomisasi secara manual. Kabar gembira buat Corsair, produk MSI itu belum tersedia secara luas di Indonesia.

M55 7

 

Menakar kualitas dan mengulik komponen

Menakar dari aspek harga, Corsair tampaknya menyiapkan M55 RGB Pro sebagai periferal kendali entry-level. Namun tak perlu cemas, sang produsen sama sekali tidak mengambil jalan pintas dalam pembuatannya. M55 RGB Pro mempunyai tubuh yang kokoh, penempatan komponen yang presisi, lalu hal terpenting adalah seluruh tombolnya terasa konsisten, baik pada dua tombol utama, scroll wheel, switch DPI maupun keempat thumb button-nya (total ada delapan).

M55 6

Jika sensor adalah mata dan switch menjadi jantungnya, maka Corsair boleh dibilang telah memilih ‘organ’ yang tepat dalam menyusun M55 RGB Pro. Mouse dibekali switch Omron yang menjanjikan daya tahan hingga 50 juta kali klik (minimal) serta dipersenjatai sensor optik spesialis gaming Pixart PAW3327. Varian ini kabarnya mampu membaca hingga 12.400-dots per inch dan punya polling rate (kemampuan mengirimkan info ke PC terkait posisi mouse dalam satu detik) sebesar 1.000Hz.

M55 13

Itu berarti, Corsair M55 RGB Pro pada dasarnya mempunyai spesifikasi internal high-end – meski ada kemungkinan kita tidak pernah betul-betul membutuhkannya atau menggunakan setting DPI setinggi itu. 1.000Hz sendiri maksudnya ialah, data dikirimkan 1.000 kali dalam satu detik, meminimalkan peluang kesalahan baca dan memaksimalkan akurasi. Perlu digarisbawahi juga bahwa putaran scroll wheel terasa kosisten dan stabil, tak pernah terasa lompat.

M55 3

Sempat saya singgung di atas, M55 RGB Pro tersambung ke PC via kabel berlapis kain braided, dimaksudkan untuk meningkatkan daya tahannya. Kehadiran lapisan itu memang membuat kabel lebih kaku, tapi berita baiknya, tidak sekeras milik Rapoo VPro V25s. Ingat saja ketika ingin menyimpannya, Anda disarankan untuk menggulung kabel secara rapi dan tidak membuat gulungan terlalu kecil agar tak cepat rusak.

 

Kustomisasi via software iCUE

iCUE perlu terinstal di PC agar Anda bisa mengonfigurasi M55 RGB Pro lebih jauh. Prosedurnya cukup sederhana. Software ini dapat Anda unduh gratis di situs Corsair. Dan begitu terpasang, ia mampu mendeteksi semua komponen Corsair yang terpasang di sistem. Di PC saya, iCUE segera membaca keyboard K63 lawas andalan serta unit review M55 RGB Pro.

M55 RGB Pro 1

Ada empat hal bisa Anda lakukan via iCUE: merekam/men-setup macro, mengutak-atik pencahayaan pada logo Corsair di punggung, mengubah setting dan preset DPI lebih jauh, serta mengoprek kecepatan pointer. Semua aspek ini disuguhkan lewat user interface sederhana dan icon-icon yang mudah dimengerti, bahkan bagi pengguna awam. Di sana Anda dapat menambah dan menyimpan profile, serta membuang atau menduplikat setting yang ada.

M55 RGB Pro 2

Di bagian konfigurasi DPI, Corsair memasangkan enam buah preset dari mulai 400 (ideal bagi para penembak jitu) sampai 9.000, dan masing-masing telah diberikan kode warna. Tentu saja Anda bisa menentukan sendiri tingkat sensitivitasnya – termasuk mengakses 12.400DPI – serta mengubah warna lampu indikator. Untuk saya sendiri, 1.500 sudah cukup nyaman dan fleksibel dalam menangani berbagai jenis permainan action dan shooter.

M55 RGB Pro 3

 

Performa gaming dan pengalaman penggunaan

Dalam periode dua minggu ini, Corsair M55 RGB Pro saya gunakan setiap hari untuk bekerja dan bermain. Game action yang belakangan saya nikmati dengan cukup intens adalah Tom Clancy’s The Division 2, namun saya juga tidak lupa menguji kinerja mouse lewat judul-judul wajib bertempo cepat semisal Titanfall 2 dan Apex Legends. Saya bahkan menyempatkan diri bermain Sekiro: Shadows Die Twice berbekal M55 RGB Pro.

M55 RGB Pro 5

Corsair mencantumkan tiga mouse feet berbahan teflon di sisi bawah M55 RGB Pro – dua di depan dan satu berukuran lebar di belakang. Kehadiran mereka di mouse (terutama varian gaming) ialah ‘keharusan’, tapi tidak ada standar peletakkan feet yang pasti. Kabar gembira bagi Anda yang sedang mempertimbangkan buat membeli M55 RGB Pro: periferal ini sangat nyaman baik ketika dipasangkan dengan mouse mat berbahan kain maupun plastik.

M55 RGB Pro 6

Dari sesi tes bersama game-game di atas, saya sama sekali tidak menemukan masalah. Hanya butuh waktu sebentar saya untuk membiasakan diri dalam menggunakan M55 RGB Pro, terutama di Titanfall 2 karena permainan inilah yang bagi saya paling menuntut sensitivitas dan akurasi tinggi. Saya menyukai penempatan thumb button-nya: semuanya mudah terjangkau, tidak terlalu pendek ataupun menonjol, dan walau ditaruh secara merata, saya tetap bisa merasakan perbedaan antara tombol depan dan belakang.

M55 RGB Pro 4

Mungkin satu fenomena menarik selama proses tes adalah saya harus beradaptasi terhadap ringannya bobot M55 RGB Pro. Saya cuma butuh sedikit tenaga untuk mengangkat mouse – memakai jempol, jari manis dan kelingking. Hal ini memang membantu mobilitas dan repositioning, tapi pastikan Anda mengangkatnya lebih tinggi karena sensor optik di M55 RGB Pro tetap bisa membaca permukaan mousepad saat diangkat sejauh beberapa milimeter.

M55 RGB Pro 7

Baik di Apex Legends maupun The Division 2, M55 RGB Pro memudahkan saya buat melacak gerakan musuh, entah apakah mereka bergerak secara horisontal, vertikal maupun diagonal. Batasannya hanyalah refleks dan keakuratan tangan saya sendiri. Menurut saya, tracking ialah aspek paling menantang dalam first-person shooter dan tak akan optimal tanpa dibantu perangkat yang tepat.

M55 17

Saya belum bisa memastikan apakah M55 RGB Pro juga cocok untuk bermain game non-action karena belakangan saya lebih banyak menghabiskan waktu menikmati shooter. Saya menduga, untuk permainan-permainan RPG, MOBA ataupun MMO, kemungkinan besar Anda membutuhkan periferal dengan input lebih banyak. Saya sendiri kebetulan berhasil menamatkan Sekiro menggunakan mouse dan keyboard, dan semuanya tetap berjalan lancar saat saya menukar mouse lawas dengan M55 RGB Pro.

M55 15

 

 

Konklusi

Menakar dari seluruh fitur dan kapabilitas yang saya temukan di M55 RGB Pro, Corsair menyoba menawarkan kita sebuah periferal kendali fleksibel dengan fungsi-fungsi yang secara esensial dapat memengaruhi performa bermain. Dan dengan gembira saya katakan, Corsair berhasil melakukannya. Saya membayangkan bagaimana M55 RGB Pro tak hanya bisa bermanfaat bagi gamer hardcore, tapi juga jadi perangkat favorit para atlet esports FPS.

M55 5

Sekali lagi, desain ambidextrous M55 RGB Pro ialah kekuatan utamanya. Saya bukanlah gamer kidal, tapi saya sangat mengapresisasi kesederhanaan yang disajikan oleh produk ini. Mereka yang mendalami ilmu desain pasti setuju serta berpegang pada prinsip ‘form follows function‘, dan hal tersebut diwakilkan oleh M55 RGB Pro. Tidak ada satu aspek pada mouse yang tidak berguna. Bahkan pencahayaan RGB-nya pun tidak berlebihan.

M55 1

 

Namun untuk sebuah periferal berwujud simpel, saya merasa Corsair M55 RGB Pro dipatok di harga cukup premium (walaupun tidak setinggi M65 Elite). Produk dibanderol seharga hampir Rp 600 ribu, sekitar dua kali lipat Harpoon RGB wired. Tidak masalah jika Anda menginginkan mouse berdesain ambidextrous, tapi seandainya desain bukan jadi pertimbangan utama dan Anda lebih memprioritaskan konektivitas nirkabel, Anda bisa membeli Harpoon RGB Wireless dengan menabung sedikit lagi.

 

Sparks

  • Desain simpel, memprioritaskan fitur-fitur penunjang performa
  • Rancangan ambidextrous dengan dua pasang thumb button, cocok buat gamer kidal
  • Ringan, lalu penampilannya mendukung berbagai macam postur mencengkeram mouse
  • Mendukung DPI tinggi serta dibekali sensor optik gaming-grade high-end
  • Build quality memuaskan

 

Slacks

  • Hanya ditopang koneksi kabel
  • Tak banyak kustomisasi yang bisa dilakukan pada RGB
  • Harganya cukup mahal untuk mouse wired

 

[Review] Logitech G431 yang Garang Kala Berdendang

Mencari gaming headset mungkin memang lebih tricky ketimbang mencari headset untuk musik. Muasalnya, buat yang berada di kelas menengah dan bawah, mungkin kita tak punya anggaran untuk membeli 2 headset untuk keperluan yang berbeda.

Karena itulah, saya pribadi setidaknya mencari headset gaming yang juga bisa digunakan untuk semua keperluan; bahkan sampai mendengarkan musik di ponsel. Padahal kebutuhan audio untuk gaming dan musik sebenernya jauh berbeda, setidaknya menurut saya yang sudah menamatkan sekitar 2000 judul game PC dan menyukai musik-musik jazz.

Di sana mungkin letak dilema yang saya alami saat menggunakan salah satu headset gaming terbaru dari Logitech ini, G431. G431 ini adalah headset 7.1 yang dibanderol dengan harga Rp1,4 jutaan yang menawarkan 2 koneksi yaitu 3.5mm dan USB.

Sebelum kita masuk ke pengalaman saya menggunakan headset ini, mari kita lihat spesifikasinya dulu.

SPESIFIKASI FISIK

  • Tinggi: 172 mm
  • Lebar: 81,7 mm
  • Tebal: 182 mm
  • Berat: (tanpa kabel): 259 g
  • Panjang Kabel: 2 m

SPESIFIKASI TEKNIS

Headphone
  • Driver: 50 mm
  • Respons frekuensi: 20 Hz-20 KHz
  • Impedansi: 39 Ohm (pasif), 5k Ohm (aktif)
  • Sensitivitas: 107 dB SPL/mW
Mikrofon (Boom)
  • Pola Pickup Mikrofon: Cardioid (Unidireksional)
  • Ukuran: 6 mm
  • Respons frekuensi: 100 Hz–20 KHz

Itu tadi speknya yang cukup baik untuk harganya yang di bawah Rp.1,5 juta meski memang frekuensinya bukan yang paling luas – kalah dengan Razer Kraken 7.1 yang kisaran harganya sama persis. Saat saya tes di frekuensi rendah, G431 ini cukup sesuai dengan yang diklaimnya karena masih terdengar di frekuensi 23Hz – selisih 3Hz nya bisa jadi ada anomali di telinga saya.

Namun demikian, setidaknya dari pengalaman saya menguji produk gaming peripheral selama 9 tahun terakhir, spesifikasi tak mampu bercerita utuh menggambarkan kualitas produk itu sendiri. Jadi, ijinkan saya bercerita tentang pengalaman saya menggunakan Logitech G431.

Sebelumnya, disclaimer dulu; dari pengalaman saya mencoba ratusan produk gaming peripheral, review produk di kategori ini memang bisa sepenuhnya terbilang subjektif. Karena, ukuran tubuh kita berbeda-beda antara satu dan yang lainnya (ukuran tangan atau telinga misalnya) dan kepekaan kita masing-masing yang sepenuhnya bergantung pada produk di kelas mana yang biasa kita gunakan sehari-hari.

Kualitas Suara

Seperti yang saya tuliskan di awal, saya cukup dilema dengan produk ini dan mungkin justru karena opsi 2 konektor yang ditawarkannya. Kenapa? Hal ini berkaitan dengan hasil dendangan suara berbeda yang dihasilkan saat menggunakan USB dan 3.5mm. Saat saya menggunakannya dengan konektor USB, suara Logitech G431 bisa dibanggakan. Mungkin memang bukan yang terbaik dari semua headset yang pernah saya coba tapi setidaknya yang lebih baik dari produk ini biasanya ada di kisaran harga Rp2 jutaan atau lebih.

Suara surround 7.1 nya begitu terasa sangat imersif saat saya coba untuk semua kebutuhan dari mulai bermain game, menonton film (Blu-Ray – 5.1 Dolby AC-3 audio), mendengarkan musik (FLAC – 5.1 Surround 24bit / 96kHz), ataupun sekadar menikmati YouTube (lowest quality format). Suara ambience lebih jadi fokus saya untuk bermain game ataupun menonton film. Sedangkan detail suara yang jadi fokus untuk mendengarkan musik.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sayangnya, hal ini tak mampu diimbangi dengan suara yang dihasilkan saat saya menggunakannya dengan konektor 3.5mm. Memang tidak buruk juga sebenarnya tapi suaranya jadi tak jauh berbeda dengan headset gaming lain yang berada di kisaran Rp.1 juta – SteelSeries Siberia 200 misalnya. To be fair, hal itu memang ada di keterbatasan konektor 3.5mm nya. Meski memang, ada beberapa produk headset lain yang menawarkan virtualisasi surround dengan konektor 3.5mm.

Dengan konektor 3.5mm, suaranya sedikit memekakan telinga saat disetel di volume 100% (apalagi saat dicoba di ponsel). 80% adalah volume maksimum yang masih nyaman didengar di headset ini saat menggunakan konektor 3.5mm. Padahal, ada produk lainnya yang masih cukup nyaman di 100% meski menggunakan 3.5mm.

Di sisi lain, slot USB sendiri mungkin boleh dibilang lebih langka karena tak ada di ponsel. Di laptop juga bisa jadi sangat terbatas jumlahnya dan digunakan untuk perangkat lainnya – mouse atau flashdrive misalnya. Sedangkan konektor 3.5mm itu biasanya memang khusus untuk output audio. Buat kelas sultan, mungkin Anda memang tak ada masalah membeli lebih dari satu headset untuk keperluan yang berbeda. Namun, kelas sultan juga mungkin tak akan membeli headset di harga Rp1,5 jutaan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sekali lagi, sebenarnya ini dilema yang justru ditawarkan dari fitur itunya sendiri. Bisa jadi, ketika tak ada opsi USB, mungkin saya sendiri juga tak akan membandingkan kualitas suara untuk konektor yang berbeda. Walau memang, jika hanya menawarkan konektor 3.5mm, headset ini mungkin jadi tak terlalu menarik juga karena harga resminya yang nyaris menyentuh Rp1,5 juta.

Di sisi lain, frekuensi yang lebih luas (setidaknya dibanding Siberia 200 yang saya punya tadi) bisa jadi juga salah satu faktor kenapa ia kurang nyaman saat di volume 100% di konektor 3.5mm. Mungkin ada frekuensi yang terlalu tinggi yang memang tersalurkan mentah via konektor 3.5mm nya.

Kenyamaan Penggunaan

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Dari sisi kenyamanan, G431 juga cukup ideal meski mungkin juga bukan yang terbaik. Bantalan ear-cup nya cukup nyaman di telinga saya yang mungkin terbilang cukup besar. Mekanisme geser penyangganya juga terasa solid dan tak mudah patah. Saya betah berlama-lama menggunakan headset ini tanpa merasa terhimpit kepala ataupun telinganya meski digunakan sampai 5 jam bermain game.

Meski begitu, menurut saya pribadi, mekanisme geser penyangga yang standar seperti yang disuguhkan Logitech G431 ini masih kalah nyaman dengan sistem ‘bando’ yang ditawarkan oleh SteelSeries. Walau memang, mekanisme ‘bando’ tadi biasanya memang tak bertahan lama (punya saya putus kawatnya setelah 2 tahun digunakan).

Software dan Fitur Lainnya

Logitech G Hubs
Logitech G Hubs

Saat saya mencoba headset ini, Logitech sudah mengupdate software gaming mereka jadi Logitech G Hub (menggantikan Logitech Gaming Software). Tak ada keluhan yang berarti meski juga tak ada keistimewaan yang ditawarkan oleh softwarenya. Meskipun, memang tak banyak juga fitur yang bisa ditawarkan untuk software headset (tak seperti mouse ataupun keyboard).

Untuk mic nya sendiri, berhubung memang saya jarang sekali menemukan mic yang bisa dikeluhkan dari sebuah gaming headset, demikian juga yang saya rasakan dari milik G431. Kebanyakan gaming headset (asal bukan yang merek abal-abal) memang sudah cukup baik dalam menyediakan mic yang mampu menyaring suara berisik di sekitar.

Terakhir, absennya kabel perpanjangan mungkin bisa jadi satu kekurangan buat setting tertentu (seperti front panel 3.5mm yang mati dan jarak jauh antara back panel ke kursi). Namun panjang kabel yang sampai 2 meter mungkin sudah cukup untuk sebagian besar pengguna. Still, a cable extension is a nice thing to be included.

Kesimpulan

Akhirnya, jika boleh saya menyimpulkan dari cerita di atas, Logitech G431 sebenarnya sungguh mampu berdendang cukup nendang jika konektor USB nya yang digunakan. Sayangnya, ia tak terasa berbeda kualitas suaranya dengan produk lainnya yang banderol harganya sedikit lebih rendah saat digunakan lewat slot 3.5mm. Ia juga nyaman digunakan selama lebih dari 5 jam meski bukan yang paling nyaman. Meski demikian, semua kekurangannya sebenarnya masih dapat dimaklumi mengingat harganya yang mungkin memang masih terjangkau untuk kelas menengah.

Jadi, andai headset ini sedikit saja turun harga, ia bisa jadi favorit baru buat para gamer kelas menengah seperti saya.

[Review] Corsair K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire, ‘Ratu’ di Kelas Gaming Keyboard Premium

Di ranah gaming gear, inovasi dan eksperimen tak selamanya memperoleh respons positif. Bayangkan saat kita sudah terbiasa menggunakan sebuah periferal, namun versi barunya punya rasa berbeda. Boleh jadi, hal tersebut hanya akan memancing keluhan user. Mungkin inilah mengapa Corsair K70 RGB Mk. 2 Rapidfire lebih terasa seperti penyempurnaan sekaligus alternatif, bukan pengganti.

Dalam meracik versi Mark 2 ini, upgrade diterapkan secara minor atas dasar pemikiran, ‘untuk apa memperbaiki sesuatu yang tak rusak’. Lewat K70 RGB Mk.2 SE, perusahaan hardware asal Fremont ini menawarkan lebih banyak variasi opsi switch mekanis. Huruf SE ialah kependekan dari Special Edition, menandai penggunaan warna berbeda. Ketika gaming gear Corsair identik dengan hitam, K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire didominasi tubuh cerah.

Corsair Indonesia sebetulnya telah lama meminjamkan K70 RGB Mk.2 SE pada DailySocial, bersama set PC ‘iCUE Ready’, namun baru beberapa waktu lalu saya punya kesempatan buat bercengkerama bersamanya secara lebih personal. Sejatinya, K70 RGB Mk.2 SE tidak terlalu berbeda dari sang pendahulu, dan membawa segala kelebihan serta kekurangannya.

K70 2

Seperti biasa, selama sesi pengujian saya gunakan periferal ini untuk mengetik dan bermain, khususnya game-game action. Simak ulasan lengkapnya di sini.

 

Presentasi produk

Penyajian K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire berkiblat pada desain keyboard tradisional yang terpercaya. Begitu dikeluarkan dari bungkusnya, Anda akan segera berjumpa dengan papan ketik full size tebal berbobot. Perangkat tersambung ke kabel braided tebal sepanjang 1,8-meter bercabang dua. Anda perlu mencolokkan kedua connector USB-nya ke port agar keyboard bisa bekerja sempurna.

K70 6

Sesuai namanya, K70 Mk.2 edisi spesial ini punya perbedaan distingtif dari sisi estetika dari versi standar. Di sana, produsen memilih untuk mengimplementasikan pemakaian warna putih, abu-abu cerah dan perak. Tuts-nya putih, pelat aluminium di bawahnya tidak dicat dan menampilkan warna keperakan asli dengan finishing brushed, lalu chassis dan wrist rest detachable-nya mengusung warna abu-abu cerah.

K70 16

Bagi saya, penampilan K70 RGB Mk.2 SE merupakan kombinasi dari tema futuristis dengan konsep utilitarian. Desainnya menarik, dihias lengkungan-lengkungan stylish, tapi tak berlebihan. Warna-warna cerah juga membuatnya lebih ‘netral’. Ia bisa lebih mudah disandingkan bersama PC minimalis di ruang kerja, serta berpeluang menarik hati kaum Hawa – terlepas dari apakah mereka gamer atau bukan.

K70 5

Begitu disambungkan ke PC, kita akan segera sadar bahwa pemakaian warna cerah lebih efektif dalam menonjolkan pencahayaan RGB. Warna hitam punya sifat menyerap cahaya, membuat kecerahan LED jadi teredam. Sebaliknya, tubuh abu-abu metalik K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire sangat baik dalam memantulkan cahaya. Sehingga ketika backlight menyala, permukaan aluminium tersebut seolah-olah turut berpendar.

K70 29

Pertunjukan 16,8 juta warna yang ditampilkan K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire dengan memuaskan. RGB-nya terang, cerah serta jelas – dan Anda bisa mengatur tingkat brightness-nya secara langsung. Di mode rainbow, tidak ada warna yang tampak pudar. Selain pada tuts, LED juga dibubuhkan pada tombol-tombol pengaturan, fungsi multimedia, dan serta sebagai indikator.

K70 15

K70 RGB Mk.2 SE mempunyai dimensi 43,8×16,6×3,9-sentimeter dan berat 1,25-kilogram, termasuk kabel minus wrist rest. Dengan bobot yang cukup tinggi dan volume besarnya, berkuranglah faktor portabilitas produk. Menyebabkannya kurang praktis untuk dibawa-bawa setiap hari.

K70 17

 

Aspek teknis pada desain

Corsair sama sekali tidak mengambil jalan pintas dalam memproduksi K70 edisi spesial ini. Pengguna disuguhkan set tombol lengkap (totalnya ada 104). Dan silakan perhatikan lebih teliti. Keycap di sana terbuat dari bahan plastik PBT (Polybutylene terephthalate) yang lebih superior dari ABS (Acrylonitrile butadiene styrene). Beberapa hobiis keyboard bahkan berpendapat bahwa PBT mengeluarkan suara lebih rendah ketika ditekan dibanding ABS yang ‘nyaring’.

K70 7

Tentu saja saya tak akan membahas sampai sejauh itu. Buat saya, PBT lebih keras dan kuat dibanding ABS. Teksturnya mungkin tak sehalus ABS, tetapi material ini tidak mudah mengilap. Apalagi, saya punya permukaan jari berjenis ‘ampelas’ dan korban sudah banyak berjatuhan. Penggunaan PBT juga ideal buat keycap warna putih, menjaganya agar tidak cepat kotor. Cukup bersihkan dengan lap lembap begitu selesai memakainya.

K70 27

Desainer Corsair menempatkan bagian stem dan base tombol di atas pelat datar tanpa area-area cekung, sehingga debu dan kotoran lebih mudah dibersihkan (dibanding model K63). Jika ingin membersihkannya secara menyeluruh, Anda hanya tinggal melepas keycap-nya saja.

K70 9

Sempat sedikit dibahas di atas, K70 RGB Mk.2 SE dibekali tombol pengaturan dedicated, baik untuk fungsi multimedia, kendali volume, microphoneswitch kontrol brightness LED, serta tombol untuk menonaktifkan tuts shortcut menu Start. Pengguna kasual umumnya kurang mengapresiasi fitur ini, namun ia sangat esensial bagi gamer yang tak mau terganggu karena masalah-masalah kecil. Rangkaian dedicated button itu memungkinkan kita mengakses fungsi-fungsi esensial tanpa perlu menggunakan kombinasi dua tombol konvensional.

K70 8

Produsen juga tetap mempertahankan pemakaian volume wheel di area kanan atas, sehingga proses pengaturannya sangat simpel dan cuma memakan sedikit tenaga. Di dekatnya, terdapat tombol mute dan multimedia (stop/prev/pause/play/next).

K70 4

Silakan lihat bagian depan, dan Anda akan menemukan sebuah port USB pass-through. Dengannya, Anda bisa langsung menyambungkan mouse atau headphone, atau menggunakannya untuk mengisi ulang baterai smartphone.

K70 20

 

iCUE

iCUE adalah versi lebih canggih dari Corsair Utility Engine. Dengannya, sistem mampu membaca seluruh komponen Corsair yang tersambung di PC, serta memungkinkan pengguna untuk mengonfigurasi segala macam fitur di sana melalui interface simpel dan mudah dimengerti oleh pengguna awam. Di PC yang saya gunakan, iCUE segera mendeteksi mouse Glaive RGB, mouse mat MM800 RGB Polaris, termasuk node lighting Pro dan RAM Vengeance RGB Pro.

K70 32

Software ini memang tak wajib diinstal, tapi hanya melaluinya Anda bisa mengutak-atik macro, men-setup profil berbeda, dan mengustomisasi RGB serta menentukan efek pecahayaan. Anda juga dipersilakan mematikan fungsi dari kombinasi tombol di keyboard tertentu, misalnya Shift-Tab, Alt-F4 atau Alt-Tab.

K70 33

Bagi saya, iCUE mempunyai sebuah pesona (dan keajaiban) tersendiri, apalagi jika K70 RGB MK.2 SE bukan satu-satunya produk Corsair yang terpasang di komputer. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam cuma untuk bermain-main dengan RGB, mencoba mencari setting yang bisa merepresentasikan mood saat itu.

K70 34

 

Pernak-pernik di dalam dan pengalaman menggunakan

Corsair memilih switch mekanis Cherry Mx ‘Silver’ Speed sebagai jantung dari K70 RGB Mk.2 SE. Kemampuan tuts membaca dorongan jari secara responsif ialah asal kata ‘Rapidfire’. Cherry MX Speed ialah switch berprofil liner. Karakteristiknya mirip Cherry MX Red, namun titik actuation serta jarak key travel-nya lebih pendek. Tombol akan meregistrasi tekanan jari di jarak 1,2mm (versus 2mm untuk MX Red) dan berjalan sejauh 3,4mm (MX Red punya key travel 4mm).

K70 14

Selain itu, baik MX Speed maupun MX Red memiliki actuation force serupa di 45-gram dan menjanjikan daya tahan sampai 50 juta kali tekan. Di atas kertas, ia cocok untuk menemani Anda bermain game-game bertempo cepat seperti shooter. Cherry MX Speed juga  merupakan satu-satunya switch yang tidak diindentifikasi dengan warna stem-nya. Walaupun MX Speed punya nama panggilan ‘silver‘, bagian stem sebetulnya berwarna abu-abu.

K70 11

Melengkapi switch MX Speed, Corsair mencantumkan kemampuan anti-ghosting N-key rollover ‘full key‘. Itu artinya, seberapa pun jumlah tombol yang Anda tekan, K70 RGB Mk.2 SE tetap mampu meregistrasi input. Kemudian berkat pemanfaatan konektivitas kabel, perangkat mampu menyampaikan informasi segesit mungkin, dengan frekuensi 1.000Hz.

K70 18

Dihitung dari durasi pemakaian,  K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire sebetulnya lebih sering saya gunakan untuk bekerja ketimbang bermain. Mayoritas orang lebih menyukai papan ketik jenis clicky (dengan switch MX Blue) untuk mengetik dan mereka yang berdompet tebal boleh jadi akan memilih varian high-end seperti Topre Type Heaven. Saya sendiri menggunakan keyboard ber-switch Cherry MX Red buat bekerja dan pengalamannya tidak istimewa.

K70 21

Karena itulah, untuk fungsi produktif, saya tidak berharap terlalu banyak dari K70 RGB Mk.2 SE. Namun performa produk ini ternyata  mengejutkan saya. Berkat key travel dan actuation point yang lebih pendek, ia lebih nyaman dipakai mengetik. Keyboard tidak membuat jari cepat lelah karena resistansi yang rendah, mampu merespons tekanan dengan baik tanpa ada double typing, dan saya juga jarang salah ketik karena penempatan tiap-tiap tuts-nya familier.

K70 31

Di sesi gaming, K70 RGB Mk.2 SE menemani saya dalam menikmati judul battle royale yang belakang sedang naik daun, Apex Legends. Dan sesuai tradisi, saya tak lupa mengujinya dengan Titanfall 2 buat mencari tahu efektivitas periferal dalam menangani first-person shooter bertempo super-cepat. Kedua permainan ini pada dasarnya masih kerabat tetapi punya karakteristik yang bertolak belakang.

K70 22

Saya sama sekali tidak menemui kendala saat bermain Apex Legends. Respawn  memastikan fungsi-fungsi kendali penting berada di jangkauan tangan kiri Anda, dan saya tak kesulitan buat mengaksesnya: mengelola isi tas via Tab, mengeluarkan granat (G), mengisi ulang senjata (R), hingga melompat (spasi) atau menunduk (Ctrl). Jari kelingking bahkan tidak terasa lelah ketika situasi mengharuskan saya untuk menunduk selama beberapa belas menit.

K70 10

K70 RGB Mk.2 SE juga lulus tes Titanfall 2. Keyboard punya andil besar dalam membantu saya mendapatkan gelar MVP, atau setidaknya mengamankan posisi runner-up. Dengan K70 RGB Mk.2 SE, tidak sulit bagi saya untuk bermanuver di udara, lari dan lompat dari tembok ke tembok, serta hinggap di punggung Titan lawan untuk mencuri baterai perisainya. Selain itu, tidak susah buat menggapai tombol krusial di area bawah seperti Z (push to talk), X (memulai tahap ejection), dan V (menurunkan Titan atau mengaktifkan Titan Core).

K70 12

Faktor kenyamanan saat bermain sangat terbantu oleh wrist rest plastik berpermukaan rubberized-nya.  Bagian ini terasa lembut ketika bersentuhan dengan kulit tangan, dan punya sedikit celah untuk bergerak mengikuti keyboard ketika kedua kakinya dinaikkan. Kemudian seandainya meja kerja/bermain Anda tak memiliki banyak ruang, wrist rest dapat dilepas.

K70 1

Satu kendala kecil yang berpotensi mengejutkan Anda adalah listrik statis. Anda akan merasakan sengatannya jika menyentuh bagian pojok pelat aluminium tanpa mengenakan alas kaki.

K70 23

 

Konklusi

K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire masuk dalam kategori keyboard premium Corsair, hanya berada satu tier di bawah varian top-end K95 RGB Platinum. Tidak heran jika segala macam teknologi dan material terbaik dapat ditemukan di sana. Efek negatifnya, konsumen dibebani dengan harga tinggi. Untuk meminang satu unit keyboard, Anda harus rela mengeluarkan uang Rp 2,5 juta. Di antara model K70 ber-RGB, edisi spesial ini merupakan yang termahal.

K70 13

Bagi saya, K70 RGB Mk.2 SE ialah salah satu keyboard berprofil linier paling fleksibel yang pernah saya gunakan. Shooter memang jadi spesialisasinya, tapi tak ada keluhan pula saat ia dipakai menekel genre lain, misalnya action adventure atau racing. Kemudian dengan sedikit adaptasi, papan ketik siap jadi rekan kerja sehari-hari.

K70 3

Meski demikian, saya tidak melihat adanya alasan kuat untuk beralih ke K70 RGB Mk.2 SE jika Anda sudah memiliki varian K70 lawas, kecuali jika Anda memang mengincar switch Cherry MX Speed atau tengah melengkapi satu set PC berwarna putih. Dengan kapabilitas mutakhir dan tubuh cerah, perkenankanlah saya menyebut K70 RGB Mk.2 SE Rapidfire sebagai ratu keyboard gaming premium.

Sparks

  • Responsif, akurat dan nyaman
  • Ideal untuk menikmati shooter, tapi siap juga menangani  action adventure dan racing
  • Terbuat dari material-material premium
  • Penuh fitur
  • Didukung penuh iCUE
  • Cukup fleksibel buat jadi rekan kerja

 

Slacks

  • Mahal
  • Berat dan besar, mengurangi faktor portabilitasnya
  • Tidak banyak perbedaan dari anggota keluar K70 lain kecuali pada switch
  • Warna putih mungkin bukan favorit semua orang