Clubhouse Luncurkan Dukungan Spatial Audio, Buat Percakapan Jadi Terasa Lebih Hidup

Spatial audio, atau yang juga dikenal dengan istilah 3D audio, terus menjadi tren yang kian populer di industri audio. Platform demi platform secara bergantian menghadirkan dukungan terhadap fitur ini. Setelah Apple Music, kini giliran Clubhouse yang mengadopsi teknologi spatial audio.

Lewat siaran pers, Clubhouse menjelaskan bahwa fitur spatial audio ini dirancang supaya para pengguna bisa merasa lebih larut dalam percakapan, dan membuat pembicara di dalam ‘ruangan’ yang sedang kita singgahi seperti sedang berada di dekat kita. Alhasil, pengalaman mendengarkan yang didapat jadi terasa lebih hidup.

Dari perspektif sederhana, teknologi spatial audio bekerja dengan meniru cara manusia menangkap dan memproses suara ketika berada di ruangan yang sama. Clubhouse pun lanjut menjelaskan bagaimana otak manusia dapat bekerja ibarat instrumen luar biasa yang mampu memproses isyarat seperti jarak, frekuensi, dan getaran untuk lebih memahami dari mana suatu suara berasal.

Guna menciptakan pengalaman spatial audio ini, software rancangan Clubhouse pertama-tama akan menetapkan posisi setiap pembicara di sebuah ‘ruangan’, dan secara merata menetapkan posisi tersebut agar seluruh pengguna dapat merasakan pengalaman mendengarkan suara dengan lebih jelas dan maksimal.

Selanjutnya, software tersebut akan mengaktifkan HRTF (Head Related Transfer Function) dan beberapa pemroses suara tambahan untuk tiap suara agar suara pembicara dapat terdengar seakan-akan datang dari suatu posisi yang spesifik. Software ini bahkan bisa diaplikasikan ke sumber stereo, semisal musik, untuk kemudian memberikan pengalaman dan efek stereo layaknya di suatu lingkungan spasial.

Clubhouse percaya fitur spatial audio ini juga dapat membuka lebih banyak peluang bagi para kreator untuk bereksperimen. Clubhouse mencontohkan suatu room yang sedang menceritakan sebuah cerita horor. Berkat spatial audio, audiens dapat mendengar lebih jelas suara roh jahat yang sedang bergerak di sekitar rumah, atau bahkan yang berbisik di telinga mereka.

Lalu untuk pertunjukan musik atau komedi, audiens dapat mendengarkan suara tepuk tangan atau suara tawaan secara jelas dari orang-orang yang berada di room yang sama. Sekali lagi, tujuannya adalah memberikan pengalaman mendengarkan yang lebih hidup dan mendekati aslinya.

Fitur spatial audio ini sudah mulai tersedia di aplikasi Clubhouse versi iOS, sementara versi Android-nya dipastikan bakal secepatnya menyusul. Pengguna tidak diwajibkan memakai perangkat khusus untuk bisa menikmatinya, namun Clubhouse menyarankan penggunaan headphone atau earphone (wired maupun wireless) demi mendapat pengalaman yang terbaik.

Gambar header: Dmitry Mashkin via Unsplash.

Yamaha YH-L700A Adalah Headphone Nirkabel Premium dengan ANC dan 3D Audio

Dewasa ini, headphone nirkabel tidak bisa hanya mengandalkan kualitas suara dan desain semata. Fitur ekstra macam active noise cancellation (ANC) perlahan juga mulai menjadi standar wajib yang harus dipenuhi, dan tidak jarang pabrikan turut menyematkan fitur lain yang tak kalah inovatif, seperti misalnya 3D audio berbasis head tracking.

Dua fitur inilah yang menjadi nilai jual utama headphone terbaru Yamaha, YH-L700A. Perangkat tak hanya dibekali fitur ANC yang efektif meredam suara di sekitar tanpa memengaruhi kualitas suara yang dihasilkan, melainkan juga kemampuan untuk mendeteksi pergerakan kepala penggunanya. Sederhananya, efek 3D audio yang dihasilkan bisa terkesan lebih immersive karena akan selalu disesuaikan dengan orientasi kepala pengguna secara real-time.

Teknologi 3D audio atau spatial audio berbasis head tracking bukanlah hal yang benar-benar baru. Produsen headphone Audeze bahkan sudah mengimplementasikannya sejak tahun 2018 pada sebuah headset gaming bernama Mobius, dan belum lama ini, Apple menyingkap AirPods Max yang juga mengunggulkan fitur serupa. Seperti yang kita tahu, Apple cukup sering memopulerkan suatu tren teknologi, dan sepertinya 3D audio bakal jadi yang selanjutnya.

Fitur lain yang ditawarkan YH-L700A mencakup Listening Optimizer, yang memanfaatkan mikrofon di bagian dalam earcup untuk mengukur seberapa kedap perangkat membungkus telinga. Dengan kata lain, optimasinya bakal berbeda untuk setiap pengguna karena bentuk telinga mereka berbeda satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya ada fitur Listening Care, yang pada dasarnya bakal menjaga konsistensi dynamic range yang dihasilkan di volume apapun. Harapannya adalah supaya pengguna tidak harus menyetel musik dalam volume yang keras untuk bisa mendengarkan seluruh detail suara dengan baik.

Seperti halnya headphone modern lain yang dibekali ANC, Yamaha YH-L700A juga dilengkapi fitur ambient mode agar pengguna dapat mendengarkan suara di sekitarnya tanpa perlu melepas headphone saat dibutuhkan. Semua fitur ini dapat diakses melalui aplikasi pendamping yang tersedia di platform Android maupun iOS.

Perihal baterai, Yamaha mengklaim daya tahan baterai hingga 34 jam nonstop dengan fitur ANC aktif. Angka tersebut cukup impresif dan selevel dengan yang ditawarkan Bang & Olufsen Beoplay HX. Yang jadi problem adalah ketika fitur 3D audio-nya diaktifkan, sebab daya tahan maksimumnya bakal langsung turun menjadi 11 jam saja.

Seperti yang sudah bisa diprediksi, semua fitur ini harus ditebus dengan modal yang tidak murah. Di Australia, Yamaha YH-L700A dijual seharga AU$700, atau kurang lebih sekitar 7,5 jutaan rupiah. Harga tersebut membuatnya berada jauh di atas level headphone ANC populer macam Sony WH-1000XM4, dan sudah mendekati level AirPods Max.

Sumber: What Hi-Fi.

Cell Alpha Adalah Speaker Super-Premium Bikinan Desainer Veteran Apple

iPhone merupakan salah satu produk tersukses Apple, dan ini terkadang membuat sebagian dari kita lupa bahwa mereka sebenarnya juga punya pengaruh besar di industri audio. 20 tahun lalu, Apple memperkenalkan iPod, dan mereka juga berjasa memopulerkan tren TWS dalam beberapa tahun terakhir. Itulah mengapa ketika ada seorang mantan karyawan veteran Apple yang menciptakan perangkat audionya sendiri, dunia perlu menaruh perhatian ekstra.

Beliau adalah Christopher Stringer. Namanya memang tidak terdengar familier sama sekali, akan tetapi ia menghabiskan 22 tahun bekerja sebagai desainer di tim Jony Ive, dan namanya tercantum pada sekitar 1.400 paten yang Apple daftarkan. Mulai dari iPod generasi pertama sampai HomePod, Stringer terlibat langsung dalam pengembangannya.

Sekarang, dia merupakan CEO dari Syng, sebuah startup yang ia dirikan di tahun 2017. Produk pertama Syng adalah Cell Alpha, sebuah speaker super-premium yang dibanderol seharga $1.799. Bentuknya yang membulat dengan diameter 30 cm lebih mirip kamera 360 derajat ketimbang perangkat audio, dan entah kenapa saya langsung teringat pada Death Star dari franchise Star Wars.

Bagian pipih di sisi atas dan bawahnya itu masing-masing dihuni oleh sebuah subwoofer dengan konfigurasi “force-balanced” — bukan referensi Star Wars. Kemudian di bagian tengahnya, kita bisa melihat tiga buah mid-range driver yang diposisikan mengelilingi perangkat. Respon frekuensinya tercatat di angka 30 Hz – 20.000 Hz.

Syng mengklasifikan Cell Alpha bukan sebagai speaker stereophonic ataupun surround, melainkan “Triphonic”. Istilah ini pada dasarnya merupakan sebutan fancy dari teknologi spatial audio. Ini berarti Cell Alpha tak hanya mampu mengisi seluruh ruangan dengan suara surround saja, tetapi juga memberikan kesan bahwa tiap-tiap suara atau instrumen tertentu berasal dari titik-titik yang berbeda di dalam ruangan secara sangat akurat.

Untuk mewujudkannya, Cell Alpha juga memanfaatkan tiga buah mikrofon yang berfungsi untuk mengukur geometri ruangan. Dengan mengamati pantulan-pantulan suara, perangkat pada dasarnya sanggup memetakan ruangan tempatnya berdiri. Kedengarannya mirip seperti kemampuan HomePod mendeteksi posisinya di dalam ruangan. Seperti yang saya bilang tadi, Stringer memang terlibat dalam proses pembuatan HomePod, tapi ia juga menghabiskan waktu sekitar tiga tahun untuk menyempurnakan teknologi yang terdapat pada Cell Alpha.

Cell Alpha juga bakal hadir bersama sebuah aplikasi pendamping untuk perangkat Android dan iOS bernama Syng Space. Lewat aplikasi tersebut, pengguna pada dasarnya bisa memanipulasi lebih jauh lagi titik-titik penempatan suara itu tadi. Menurut laporan Financial Times, Syng juga berencana melisensikan teknologi audionya ke produsen-produsen hardware lain.

Perihal konektivitas, Cell Alpha datang membawa dukungan AirPlay 2 maupun Spotify Connect. Selain memutar audio secara nirkabel, perangkat turut dilengkapi dua port USB-C untuk disambungkan ke sumber-sumber audio lain. Cell Alpha pun juga bisa dihubungkan ke TV yang memiliki port HDMI eARC (Enhanced Audio Return Channel), tapi Anda butuh kabel khusus yang harus ditebus secara terpisah seharga $49.

Bluetooth LE sebenarnya juga tercantum di rincian spesifikasi Cell Alpha, tapi itu cuma berguna ketika pengguna hendak menyambungkan unit lainnya. Ya, kalau Anda punya budget-nya, Anda bisa menempatkan lebih dari satu unit Cell Alpha di dalam ruangan. Menurut Syng, pengalaman spatial audio terbaik bisa didapat dengan konfigurasi tiga unit Cell Alpha.

$1.799 bukanlah harga yang murah untuk sebuah speaker wireless, apalagi jika dikali tiga. Banderol tersebut adalah banderol untuk bundel yang disertai sebuah table stand. Syng juga akan menjual Cell Alpha yang dibekali floor stand seharga $1.969. Kendati demikian, harga ini masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan speaker besutan Bang & Olufsen.

Syng bukanlah satu-satunya produsen hardware audio yang pendirinya merupakan alumni Apple. Belum lama ini, saya juga sempat menuliskan tentang VZR Model One, sebuah headset gaming yang pada dasarnya juga menawarkan efek spatial audio, tapi yang dicapai melalui teknik manipulasi akustik ketimbang sepenuhnya bergantung pada software. Seperti Syng, VZR juga didirikan oleh bekas karyawan senior Apple.

Sumber: Fast Company.

VZR Model One Andalkan Manipulasi Akustik untuk Menyajikan Audio 3D Secara Akurat

Tidak setiap hari Anda mendengar istilah “audiophile gaming headset“, apalagi yang berasal dari perusahaan tidak dikenal. Sentimen itulah yang saya dapatkan ketika mendengar soal headset bernama VZR Model One berikut ini.

Sepintas, kelihatannya memang tidak ada yang istimewa dari headset ini. Kelebihan utamanya terletak pada teknologi CrossWave yang pengembangnya patenkan. Dari perspektif sederhana, CrossWave pada dasarnya dirancang untuk mengemulasikan efek audio 3D yang lebih akurat ketimbang yang dihasilkan oleh bermacam teknik lain.

Untuk mewujudkannya, VZR rupanya tidak mau bergantung pada software. Teknologi CrossWave ini melibatkan semacam filter yang VZR sebut dengan istilah “acoustic lens” untuk membentuk ulang gelombang suara yang keluar dari unit driver. Hasil akhirnya, kalau kata VZR, adalah efek yang sangat mendekati cara kerja indera pendengaran yang sebenarnya.

Manipulasi akustik semacam ini tentu akan lebih relevan dalam jangka panjang ketimbang mengandalkan chip DSP (digital signal processing) yang kemungkinan bakal terasa ketinggalan zaman hanya dalam beberapa tahun saja. Fokus pada aspek akustik juga bisa jadi jaminan atas performa headset saat dipakai untuk mendengarkan musik atau menonton film.

Semua itu mungkin terdengar kelewat ambisius, terutama untuk perusahaan yang belum punya nama seperti VZR. Namun kepercayaan diri itu rupanya didasari oleh pengalaman panjang pendirinya di industri audio. Co-founder VZR adalah Vic Tiscareno, sosok yang dulunya sempat menjabat sebagai Senior Acoustics and Audio Engineer di Apple selama 7 tahun.

Kontribusi terbesarnya buat Apple adalah membantu mengembangkan laboratorium pengujian akustik pertama milik Apple. Namun Vic bilang bahwa teknologi CrossWave ini sama inovatifnya seperti banyak teknologi yang pernah ia garap buat Apple selama ini.

Bagi sebagian besar orang, audio 3D mungkin terkesan sebatas gimmick. Namun kalau melihat perkembangannya, sepertinya trennya memang mengarah ke sana. Kalau perlu bukti, coba lihat Sony, yang merilis PlayStation 5 bersama dengan headset baru demi berfokus pada penyajian audio 3D.

Rencananya, VZR Model One bakal dipasarkan mulai kuartal kedua tahun ini dengan banderol $349. Bukan harga yang murah, tapi paling tidak masih lebih terjangkau daripada produk serupa macam Audeze Mobius.

Sumber: TechRadar dan Digital Trends.

Xbox Series X dan Series S Jadi Console Pertama yang Mendukung Dolby Vision dan Dolby Atmos

Xbox Series X dan Xbox Series S akan dipasarkan secara luas mulai 10 November 2020. Selain memulai era console next-gen secara resmi, keduanya bakal jadi game console pertama yang membawa dukungan teknologi Dolby Vision sekaligus Dolby Atmos untuk keperluan gaming.

Kabar ini dikonfirmasi langsung oleh Dolby sendiri. Dukungan terhadap Dolby Atmos akan hadir lebih awal, sedangkan Dolby Vision baru akan menyusul di tahun 2021. Atmos dirancang untuk menyuguhkan suara surround yang sangat optimal, sedangkan Vision didesain sebagai alternatif yang lebih superior ketimbang format HDR yang lebih umum seperti HDR10.

Dibandingkan dengan tampilan standar, Dolby Vision diklaim mampu menyajikan highlight 40x lebih terang, shadow 10x lebih gelap, dan color depth hingga 12-bit. Dari kacamata sederhana, bagian yang terang akan kelihatan lebih terang dengan teknologi Dolby Vision, dan bagian yang gelap kelihatan lebih gelap, semuanya tanpa mengorbankan tingkat detail pada gambar.

Ilustrasi perbedaan tampilan menggunakan Dolby Vision dan tidak / Dolby
Ilustrasi perbedaan tampilan menggunakan Dolby Vision dan tidak / Dolby

Tentu saja ini tidak berlaku untuk semua game. Sejauh ini baik Dolby maupun Microsoft belum punya daftar resminya, tapi setidaknya game seperti Mass Effect Andromeda maupun Battlefield 1 sudah sejak lama menawarkan dukungan Dolby Vision di PC. Andai koleksi game yang mendukung ternyata cuma sedikit, hal itu bisa dibilang wajar mengingat Dolby memang menarik biaya lisensi untuk Vision.

Ini juga bukan pertama kalinya kita mendengar nama Dolby Vision disebut-sebut bersama console Xbox. Sebelum ini, Xbox One X sebenarnya juga sudah mendukung teknologi Dolby Vision, akan tetapi implementasinya tidak pernah melebihi fase beta testing.

Untuk Dolby Atmos, beberapa judul game yang sudah dikonfirmasi bakal mendukung teknologi audio 3D tersebut mencakup Cyberpunk 2077, Gears 5, Call of Duty Warzone, Ori and the Will of the Wisps, dan F1 2020.

Di kubu lawan, sejauh ini belum ada kabar apakah PlayStation 5 juga bakal menawarkan dukungan yang sama. Untuk Dolby Atmos, sepertinya tidak mengingat Sony merancang teknologi audio 3D-nya sendiri yang bernama Tempest; sedangkan untuk Dolby Atmos, keputusan Sony untuk tidak mengadopsi teknologi yang bukan standar (seperti HDR10+ besutan Samsung) pada lini TV-nya bisa menjadi indikasi bahwa PS5 hanya akan mendukung HDR10 standar ketimbang Dolby Vision.

Sumber: TechRadar.

Razer Luncurkan Aplikasi THX Spatial Audio untuk Windows 10

2016 lalu, Razer membuat kejutan dengan mengakuisisi THX, dan sejak saat itu mereka getol memanfaatkan branding sang spesialis audio di balik franchise Star Wars tersebut sebagai nilai jual ekstra pada sejumlah produknya.

Ambil contoh headset Razer Kraken Ultimate, yang salah satu fitur andalannya adalah dukungan teknologi THX Spatial Audio. Dibandingkan teknologi virtual surround 7.1 biasa, THX Spatial Audio diklaim punya akurasi yang jauh lebih baik, tidak ketinggalan pula opsi kustomisasi yang amat lengkap.

Pertanyaannya, cukupkah nama besar THX menjadi penentu utama dalam membeli sebuah gaming headset? Sebagian besar konsumen mungkin bakal menjawab tidak, apalagi mengingat gaming peripheral merupakan sebuah topik yang amat subjektif. Kabar baiknya, sekarang ada cara untuk mengawinkan teknologi THX Spatial Audio dengan gaming headset favorit kita masing-masing.

Lewat sebuah siaran pers, Razer mengumumkan bahwa mereka telah merilis aplikasi Razer THX Spatial Audio buat platform Windows 10. Jadi apapun headset yang Anda pakai, baik yang tersambung via jack 3,5 mm, USB, ataupun Bluetooth, semuanya dapat disulap menjadi setup virtual surround 7.1 yang presisi.

Ini juga termasuk earphone sekaligus, sebab Razer mengklaim rendering engine milik THX mampu menciptakan efek 3D yang akurat dari perangkat stereo. Untuk perangkat yang memang mendukung surround 5.1 atau 7.1, akurasinya dapat ditingkatkan lebih lagi, apalagi mengingat ada opsi untuk mengatur posisi speaker secara virtual (kalibrasi).

Salah satu opsi kustomisasi yang sangat berguna: fitur spatial audio dapat diaktifkan per aplikasi / Razer
Salah satu opsi kustomisasi yang sangat berguna: fitur spatial audio dapat diaktifkan per aplikasi / Razer

Kustomisasi via software ini menurut saya merupakan aspek penting lain di samping rendering engine-nya, sebab Razer memang punya reputasi yang sangat baik dalam hal ini. Kalau tidak percaya, lihat saja betapa lengkapnya opsi kustomisasi mouse yang tersedia dalam software Razer Synapse.

Kustomisasi juga menjadi pembeda utama Razer THX Spatial Audio dengan fitur bawaan yang tersedia di Windows 10, yaitu Windows Sonic. Fitur ini pada dasarnya bisa memberikan efek surround yang serupa pada perangkat stereo, namun tanpa opsi kustomisasi sama sekali; yang ada cuma tombol On atau Off.

Razer THX Spatial Audio di sisi lain turut menyediakan fitur pemanis macam dukungan Xbox Game Bar, yang berarti widget-nya dapat diakses langsung dari dalam game dengan menekan kombinasi tombol Win + G, sehingga pengguna bisa dengan cepat mengganti profil EQ maupun mengakses sejumlah fungsi lainnya.

Aplikasi Razer THX Spatial Audio sekarang sudah bisa dibeli seharga $20, dan Anda bisa tonton video di bawah (menggunakan headphone) untuk mendapat gambaran terkait kapabilitas yang ditawarkannya.

Sumber: Razer.

Razer Kraken Ultimate Hidangkan THX Spatial Audio Demi Memaksimalkan Performa Gamer Kompetitif

Gamer FPS kompetitif pasti tahu betapa pentingnya audio buat mereka. Menggunakan headset yang mendukung suara surround, mereka dapat bereaksi secara lebih baik, sebab mereka tahu dari mana suara derap kaki musuh berasal, dan secara keseluruhan mereka bisa lebih siaga selama bermain ketimbang saat sedang tidak menggunakan headset serupa.

Tidak semua headset surround diciptakan sama. Ada yang mendukung konfigurasi 5.1 channel, ada yang 7.1, dan ada pula yang dibekali teknologi THX Spatial Audio, salah satu terobosan terbaru di ranah 3D audio. Inilah yang menjadi hidangan utama headset teranyar Razer, Kraken Ultimate.

Razer Kraken Ultimate

Razer bilang THX Spatial Audio punya akurasi yang jauh lebih baik dibanding surround 7.1 biasa. Selain lebih presisi, teknologi ini juga dirancang untuk mencegah pemain terlalu cepat lelah akibat harus berkonsentrasi secara visual maupun aural. Caranya adalah dengan mencocokkan posisi speaker virtual-nya persis dengan jarak sumber suara di dalam game, sehingga pada akhirnya yang lebih banyak bekerja adalah insting pemain ketimbang telinganya.

Yang mungkin menjadi pertanyaan, apakah THX Spatial Audio juga bakal berdampak di luar sesi gaming? Well, pengguna Kraken Ultimate tidak perlu khawatir sebab sudah ada tuas untuk mengaktifkan atau menonaktifkan fitur tersebut kapan saja mereka mau. Tuas tersebut diposisikan di sisi luar earcup, persis di sebelah kenop kecil untuk menyesuaikan volume.

Kraken Ultimate datang membawa sepasang driver 50 mm yang diyakini punya karakter suara yang natural, dan yang diklaim mampu menyuguhkan suara paling mendetail dari seluruh lini Kraken. Selain unggul dari sisi input, Kraken Ultimate juga memprioritaskan output dengan berbekal mikrofon active noise cancelling, yang akan memastikan suara pengguna selalu terdengar jelas dan tidak terganggu suara lain di sekitarnya.

Razer Kraken Ultimate

Fisik headset ini memang tergolong bongsor, akan tetapi bobotnya masih tergolong ringan di angka 390 gram berkat konstruksi yang terbuat dari perpaduan bahan aluminium dan stainless steel. Demi menambah kenyamanan, Razer turut menanamkan gel pendingin di balik masing-masing bantalan telinganya.

Razer Kraken Ultimate saat ini telah dipasarkan seharga $130. Kalau terlalu mahal, Razer juga menawarkan Kraken X USB yang jauh lebih terjangkau ($60), akan tetapi yang hanya berbekal surround 7.1 biasa dan sejumlah pemangkasan lain dibanding Kraken Ultimate.

Sumber: Razer.

Sennheiser Jalani Debut Perdananya di Bidang Otomotif dengan Membawa Konsep Immersive Audio

Tidak seperti Bowers & Wilkins, Bang & Olufsen, maupun dedengkot audio lainnya, Sennheiser selama ini belum pernah mengaplikasikan teknologinya ke sektor otomotif. Bukan berarti pabrikan asal Jerman itu tidak tertarik, namun mereka rupanya memiliki visi yang sedikit berbeda. Berbeda karena mereka ingin memberikan suatu suguhan yang benar-benar baru di dunia otomotif.

Suguhan yang dimaksud adalah 3D audio, atau yang dikenal juga dengan istilah immersive audio. Seperti yang kita tahu, beberapa tahun terakhir ini Sennheiser sibuk mengembangkan platform teknologi bernama Ambeo yang menitikberatkan pada penyajian immersive audio.

Puncaknya, awal tahun ini Sennheiser menyingkap Ambeo Soundbar, yang diyakini sanggup menggantikan peran set home theater dalam menyajikan immersive audio, tanpa harus meminta bantuan dari perangkat lain seperti subwoofer. Berhubung teknologinya sudah cukup matang, Sennheiser kini berniat memperkenalkan Ambeo ke industri otomotif.

Klien pertama mereka adalah Karma Automotive, produsen mobil elektrik yang dulunya mengusung nama Fisker Automotive. Kolaborasi antara kedua pihak ini melahirkan sound system Ambeo untuk Karma Revero GT.

Berdasarkan penjelasan Sennheiser, sistem ini melibatkan sejumlah speaker multi-channel yang disusun menjadi dua lapis, serta dibantu oleh sebuah subwoofer. Agar semakin maksimal, sandaran kepala pada kursi mobil juga tidak lupa diintegrasikan dengan deretan speaker ini.

Contoh interface mobil sound system Sennheiser Ambeo / Sennheiser
Contoh interface sound system Sennheiser Ambeo pada layar dashboard mobil / Sennheiser

Menariknya, kadar immersive dari audio yang disuguhkan rupanya juga bebas diatur oleh konsumen melalui layar dashboard. Bahkan titik pusat suaranya pun juga bisa disesuaikan dengan keinginan. Sennheiser tak lupa menambahkan bahwa ini berlaku untuk sumber audio apapun, sebab Ambeo telah dilengkapi algoritma yang sanggup mengonversi format audio standar menjadi 3D audio.

Itu tadi soal output, dan ternyata sound system Ambeo juga meliputi input sekaligus. Berbekal deretan mikrofon berteknologi beam-forming, sistem ini juga dirancang untuk mewujudkan percakapan telepon via mobil yang lebih jernih dari biasanya, sebab teknologi beam-forming itu mampu memfokuskan mikrofon ke pembicara yang aktif.

Di saat yang sama, suara angin, suara mesin, atau suara gesekan ban juga akan dianulir oleh sistem ini. Lebih menarik lagi, berkat kemampuan menentukan titik pusat audio itu tadi, penumpang lainnya tak harus terganggu oleh percakapan telepon dan tetap bisa menikmati alunan musik yang tengah diputar.

Apa yang ditawarkan Sennheiser ini, khususnya seputar positional audio itu tadi, sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh pabrikan lain, Harman misalnya. Kendati demikian, karya Sennheiser ini terkesan lebih lengkap karena juga melibatkan immersive audio dan yang pada dasarnya merupakan teknologi noise cancelling untuk bercakap-cakap di dalam mobil.

Sumber: Sennheiser.

Headset Gaming Terbaru HyperX Usung Teknologi Planar Magnetic dan Head Tracking

Divisi gaming Kingston, HyperX, punya sajian baru yang cukup menarik di ajang CES 2019. Mereka memperkenalkan duo headset gaming anyar, yakni HyperX Cloud Orbit dan Cloud Orbit S. Keunggulannya? Keduanya sama-sama merupakan hasil kolaborasi HyperX dengan Audeze.

Buah dari kemitraan ini adalah, baik Cloud Orbit maupun Cloud Orbit S sama-sama dibekali driver planar magnetic 100 mm besutan Audeze. Bukan hanya itu saja, khusus Cloud Orbit S, ia juga dilengkapi teknologi 3D audio berbasis head-tracking, persis seperti yang terdapat pada headset gaming bikinan Audeze sendiri, Mobius.

Ini berarti Cloud Orbit S mampu menyimulasikan zona 360 derajat dalam mereproduksi suara, sehingga pengguna dapat benar-benar tahu dari titik mana suara berasal. Lebih lanjut, Audeze sudah berencana meluncurkan fitur agar headset-nya dapat menerjemahkan pergerakan kepala menjadi input keyboard, dan ini semestinya juga bakal hadir di Cloud Orbit S.

Namun kemiripannya dengan Mobius cukup berhenti sampai di situ saja. Ketimbang mengandalkan konektivitas wireless seperti Mobius, duo Cloud Orbit ini masih mengandalkan kabel sebagai sambungannya. Kendati demikian, pengguna dibebaskan memilih antara kabel USB-A, USB-C, atau 3,5 mm standar.

Berhubung bukan wireless, otomatis harganya juga lebih terjangkau ketimbang Audeze Mobius. Rencananya, HyperX Cloud Orbit dan Cloud Orbit S bakal dipasarkan mulai kuartal kedua tahun ini dengan banderol masing-masing $300 dan $330 – lebih murah dari Mobius yang dihargai $400.

Sumber: Business Wire dan The Verge.

Sennheiser Kembangkan Aksesori Berteknologi Spatial Audio untuk Magic Leap

Game Angry Birds FPS yang bakal dirilis untuk Magic Leap merupakan salah satu bukti pengalaman unik yang dapat ditawarkan AR headset tersebut. Gameplay-nya menarik, dan visualnya yang membaur dengan lingkungan di sekitar pemain pun sangat menggugah perhatian.

Namun di medium mixed reality (AR + VR), grafis barulah sebagian dari cerita lengkapnya. Audio turut memegang peranan penting dalam menumbuhkan kesan immersive. Dalam kasus Magic Leap, headset-nya memang dilengkapi speaker terintegrasi, akan tetapi ini masih jauh dari kata ideal.

Pengalamannya akan jauh lebih ideal apabila melibatkan perangkat yang kapabel untuk spatial audio, atau sederhananya audio yang ‘menyelimuti’ sekitar kita (360 derajat). Kabar baiknya, Magic Leap One dilengkapi colokan audio 3,5 mm standar, sehingga ia dapat dibantu oleh aksesori yang tepat.

Sennheiser Ambeo Smart Headset / Sennheiser
Sennheiser Ambeo Smart Headset / Sennheiser

Salah satu aksesori tersebut tengah dikerjakan oleh Sennheiser. Kita tahu pabrikan asal Jerman itu punya lini perangkat Ambeo yang menitikberatkan pada teknologi 3D audio, yang sejatinya merupakan istilah lain dari spatial audio. Sennheiser ingin inovasinya ini bisa dinikmati para konsumen Magic Leap.

Pastinya apa yang sedang digarap Sennheiser masih belum diketahui, tapi saya menduga antara headphone atau earphone baru dari lini Ambeo. Produk ini nantinya bakal mengusung label “Works with Magic Leap” sebagai pertanda bahwa perangkat sudah pasti kompatibel dengan headset Magic Leap One.

Balik ke game Angry Birds FPS tadi, kehadiran headphone atau earphone berteknologi spatial audio seperti besutan Sennheiser ini tentunya dapat menambah keseruan bermain. Suara burung yang kita lontarkan dengan katapel akan terdengar menjauh seiring ia meluncur menuju ke markas para babi. Ini baru satu contoh, dan tentu masih ada banyak skenario yang lain, dengan konten yang lain pula.

Sumber: Sennheiser.